BAGIAN SATU MENJADI MUSLIM SEJATI
Brainstorming :
1. Untuk Apa Beragama?
2. Agama Sebagai Candu Masyarakat
3. Segala Yang Ada : Materi.
4. Tuhan, Hasil Rekayasa Pikiran?
5. Tuhan Telah Mati?
6. Manusia Sebagai Makhluk Pencari Kebenaran.
7. Metodologi Ilmiah Paling Baik?
8. Siapakah Pencipta Alam Semesta?
Pelurusan :
1. Manusia, Makhluk yang Lemah
2. Fungsi Berfikir pada Manusia.
3. Kelemahan Metode Ilmiah
4. “X” power dalam penciptaan alam semesta
5. Existensi Tuhan
Bab Satu Agama dan Tuhan, Pandangan Kaum Atheis
Apa yang anda pikirkan, yang menjadi orientasi dalam kehidupan anda saat ini, cara pandang mengenai diri dan masyarakat, mengenai hidup dan kehidupan dalam semua aspek, sangat dipengaruhi oleh paradigma yang anda ikuti dan berlaku dalam masyarakat. Bagaimana paradigma yang berlaku dan diikuti sebagian besar orang dalam suatu masyarakat, secara umum bisa kita cermati dalam logika stereotip yang bisa kita diskusikan dalam buku ini.
1. Untuk Apa Beragama ?
Sebagaimana kita fahami, agama merupakan sebuah jalan bagi manusia untuk mencari kebahagiaan. Agama menjadi pedoman dan ajaran yang dikuti oleh banyak manusia, sebagai upaya untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang beragama pada dasarnya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan.
Namun bagaimana realitasnya? Banyak manusia beragama justru harus berhadapan dengan berbagai konflik. Suatu kelompok masyarakat ketika mereka mementingkan agamanya, maka masyarakat tersebut akan berhadapan secara diametral dengan masyarakat lain yang juga ingin menjalankan agamanya.
Masyarakat muslim Palestina ketika atas nama agama, mereka mencoba mempertahankan tanah kelahirannya, harus berlawanan dengan tentara Israil, yang juga atas nama agama ingin merebut tanah suci agama Yahudi. Hampir tiap hari pemuda dan remaja Palestina dengan ketapelnya, dengan batu-batu kerikil harus berhadapan dengan tentara Isarail yang membawa senjata modern. Puluhan pemuda dan remaja Palestina menjadi korban pembantaian oleh tentara Israil hampir tiap hari.
Setelah kelompok Hamas memenangkan Pemilu 2006 ini dan memimpin pemerintahan Palestina, terjadi penghentian bantuan dana dari Amerika Serikat dan dunia barat. Di negara Palestina sendiri terjadi pertentangan dan konflik internal antara kelompok Hamas dan kelompok Fatah (partai pemegang pemerintahan sebelumnya).
Di Irak, dalam kepemimpinan Saddam Husein yang mengibarkan bendera “Laa ilaaha illallah” harus menghadapi keganasan pasukan Amerika Serikat yang kemudian menghancur luluhkan negeri 1001 malam itu. Setelah Saddam Husein ditangkap dan diadili, masyarakat Irak mengalami perang saudara, yaitu kaum Sunni dan kaum Syiah, saling baku hantam. Terjadi pengeboman oleh jamaah Sunni di Masjid milik kaum Syiah dan sebaliknya dilakukan pengeboman oleh jamaah Syiah di Masjid milik kaum Sunni.
Di Ambon, beberapa tahun lalu juga terjadi peperangan dengan baku tembak, saling membunuh, dengan peralatan pedang, samurai, tombak, dan pistol rakitan antara kaum muslimin dan kaum nasrani.
Konflik yang tak pernah ada habisnya juga terjadi antara organisasi NU dan Muhammadiyah, padahal dua organisasi ini sama-sama dari kelompok muslim. Barangkali di tingkat pimpinan, ada upaya untuk meredam konflik itu, namun di kalangan masyarakat bawah, masih sering mereka tidak bersedia untuk duduk dalam satu forum.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kaum muslim Indonesia juga mengalami ketakutan dan kekhawatiran jika menunjukkan identitas keislamannnya, karena distampel Dalam beberapa tahun belakangan ini, kaum muslim Indonesia juga mengalami ketakutan dan kekhawatiran jika menunjukkan identitas keislamannnya, karena distampel
Apa yang saya uraikan merupakan realitas di depan mata yang pada akhirnya memunculkan pernyataan yang stereotip, untuk apa kita beragama jika agama justru mengantarkan kita pada peperangan, kehancuran, hilangnya kedamaian? Banyak orang akhirnya tak mau peduli terhadap ajaran agamanya, cenderung bersikap pasif, cuek bahkan tak mau membawa konsep agama dalam kehidupannya, khususnya dalam masyarakat.
2. Agama Sebagai Candu Masyarakat.
Agama bagi sementara orang hanyalah tempat pelarian dari permasalahan hidup. Ketika seseorang mengalami banyak masalah seperti kemiskinan, ketidakberdayaan, kesengsaraan, maka dia akan mencari suatu kekuatan yang dianggapnya dapat menolongnya dari permasalahan hidupnya. Kekuatan tersebut dipercaya dapat membantunya memberikan solusi atas masalah yang dihadapi.
Demikian anggapan yang ada pada sebagian masyarakat. Anggapan semacam ini juga didukung dan diperkuat oleh pemikiran Karl Marx (1818-1883), seorang ahli filsafat kelahiran Jerman. Menurut Marx, agama sebagai candu masyarakat. Dalam pandangan Marx, agama memang pantas disebut sebagai candu masyarakat karena seperti candu, ia memberikan harapan-harapan semu, dapat membantu orang untuk sementara waktu melupakan masalah real hidupnya. Seorang yang sedang terbius oleh candu/opium dengan sendirinya akan lupa dengan diri dan masalah yang sedang dihadapinya. Ketika orang sedang masuk dalam penderitaan yang dibutuhkan tidak lain adalah candu yang dapat membantu melupakan segala penderitaan hidup, kendati hanya sesaat saja. Dalam konteks ini orang memang membutuhkan ilusi-ilusi untuk meringankan penderitaan dalam dunia real. Pertanyaan filosofis yang diajukan Marx adalah: Mengapa masyarakat harus memiliki ilusi? Mengapa pula masyarakat membutuhkan ilusi-ilusi religius?
Bagi Marx, agama merupakan medium dari ilusi sosial. Dalam agama tidak ada pendasaran yang real-obyektif bagi manusia untuk mengabdi pada kekuasaan supranatural. Hal ini bisa dijelaskan dari bagaimana agama berkembang. Agama berkembang karena diwartakan oleh masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh masyarakat yang didukung oleh orang- orang yang memiliki kekuasaan itu. Agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena ada keasadaran dari manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda agama yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dipandang oleh Marx sebagai sikap meracuni masyarakat. (Eusta Supono, Agama Solusi atau Ilusi?, 2003)
Karena itu, komunitas yang sefaham dengan Marx berpandangan agama hanya menghambat kemajuan dan modernisasi. Dengan berbagai aturan, norma, dogma-dogma dan kaidah yang ada dalam ajaran agama membuat masyarakat terbelenggu, terhambat dalam produktifitas maupun kreativitasnya, dan tak bisa melakukan peningkatan Karena itu, komunitas yang sefaham dengan Marx berpandangan agama hanya menghambat kemajuan dan modernisasi. Dengan berbagai aturan, norma, dogma-dogma dan kaidah yang ada dalam ajaran agama membuat masyarakat terbelenggu, terhambat dalam produktifitas maupun kreativitasnya, dan tak bisa melakukan peningkatan
3. Segala Yang Ada : Materi?
Keraguan tentang konsep agama sebagai pedoman hidup yang bisa membawa manusia mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian, berlanjut pada keraguan akan Tuhan. “Sesuatu” yang menjadi pokok keyakinan orang beragama. Mereka pun meragukan keberadaan Tuhan.
Segala yang ada adalah materi. Materi adalah segala sesuatu yang menempati ruang dan terpengaruh oleh waktu. Materi tersusun dari partikel-partikel yang terdalam, tidak dapat rusak, kecil, bulat, keras, yang dinamakan atom-atom. Atom-atom tersebut bukan hanya tidak pernah terjadi atom-atom baru. Ini berarti bahwa semua bentuk materi hanyalah merupakan pengelompokan baru atom-atom tadi, sebagai semula diyakini kebenarannya, hukum kekekalan materi (Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, hal 88)
Alam semesta dan manusia menurut paham ini juga materi. Mahluk hidup sebagai materi tersusun dari partikel-partikel hidup yang disebut sel. Sel pada mahluk hidup akan mengalami kerusakan dan digantikan dengan yang baru. Itulah yang terjadi pada binatang, manusia maupun alam semesta. Materi merupakan awal dan akhir suatu kehidupan.
Orang yang berfaham materialisme menganggap bahwa realitas seluruhnya adalah materi belaka. Menurut Ludwig Feuerbach (1804-1872), hanya alamlah yang ada. Manusia adalah alamiah juga. Yang penting bagi manusia bukan akalnya, tetapi usahanya. Sebab pengetahuan hanyalah alat agar usaha manusia berhasil. Kebahagiaan manusia dapat dicapai di dunia ini. Oleh karena itu menurutnya, agama dan metafisika harus ditolak.
Menurut Feuerbach, agama timbul dari sifat egoisme manusia yang mendambakan kebahagiaan. Apa yang tidak ada pada manusia tetapi didambakannya, digambarkan sebagai kenyataan yang ada pada para dewa (atau Tuhan). Karena itu, Dewa (atau Tuhan) sebenarnya merupakan keinginan manusia. (Drs A. Chairil Basori, Filsafat, 1987)
Penganut faham materialisme, menganggap sebenarnya Tuhan itu tidak ada. Adanya Tuhan tak dapat dibuktikan. Mereka lebih percaya Tuhan itu tidak ada. Jika keberadaan Tuhan tidak diakui, maka secara otomatis ajaran dan kebenaran yang bersumber darinya yaitu agama pun tidak diakui. Paling tidak bagi mereka yang berpaham materialisme, menolak keberadaan Tuhan.
Akibat penolakan atas keberadaan Tuhan, mendorong penganut paham ini bebas melakukan tindakan yang mereka sukai, tanpa rasa takut akan mendapat murka dari Tuhan.
4. Tuhan, Hasil Rekayasa Pikiran?
Pada masyarakat yang tidak mengakui dan menolak keberadaan Tuhan, juga berpendapat bahwa adanya Tuhan pada kepercayaan orang-orang beragama, hanyalah hasil rekayasa pikiran. Manusia merupakan makhluk yang berakal, yang mampu berfikir, maka dengan pikirannya dia bisa mengadakan obyek tertentu dalam alam pikirannya.
Tokoh rasionalis Rene Descartes (1596-1650) menyatakan “cogito ergo sum” yang artinya aku berpikir, maka aku ada. Adanya aku, sebagai manusia, nyata ada jika aku berpikir. Dan dengan berpikir, manusia bisa menjadikan segala sesuatunya menjadi
“mengada”. Tuhanpun menjadi ada, dengan cara dipikirkan. Jika manusia berpikir Tuhan ada, maka jadilah Dia ada. Sebaliknya, jika Tuhan tidak dipikirkan, maka Tuhan tidak ada.
Dengan cara yang sama, pembaca bisa berpikir mengenai seorang wanita cantik berambut pirang, maka akan muncul dan menjadi ada dalam alam pikiran pembaca seorang wanita cantik berambut pirang. Pun pembaca bisa berpikir mengenai seekor harimau besar berwarna putih yang siap menerkam, maka akan muncul dan menjadi ada dalam alam pikiran pembaca, seekor harimau besar berwarna putih yang siap menerkam. Meski dalam alam nyata tak pernah ada di depan pembaca.
Demikianlah, analogi yang sama mereka anggap, bahwa adanya Tuhan adalah hasil rekayasa pikiran manusia. Perkembangan pemikiran manusia baik perorangan maupun masyarakat, manurut Auguste Comte (1798-1857) berlangsung dalam tiga zaman yaitu zaman teologis, metafisis dan zaman positif.
a. Zaman Teologis Zaman dimana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Pada masyarakat primitive, mereka percaya benda-benda seperti batu, pusaka, keris, dan sebagainya mempunyai kekuatan atau berjiwa (animisme), sehingga mereka begitu mengagungkan dan memuliakan benda-benda tersebut. Pada tahap selanjutnya, manusia percaya akan adanya Dewa-dewa (politheisme), sehingga mereka mengagungkan dan melakukan penyembahan terhadap Dewa-dewa tersebut, seperti Dewa Matahari, Dewa Padi, Dewa Gunung, Dewa Cinta. Dewa Pemberi Harta dan lain-lainnya. Mereka bahkan siap mengorbankan apapun agar Sang Dewa tidak murka pada masyarakat. Selanjutnya, manusia percaya adanya satu kekuatan besar, pemimpin para Dewa atau terkumpulnya Dewa-dewa menjadi satu yaitu Tuhan yang Maha Kuasa. (monotheisme).
b. Zaman Metafisis Kekuatan-kekuatan yang dimiliki para dewa itu, kekuatan adikodrati diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak. Mereka percaya benda-benda di alam semesta itu menyimpan energi, yang dengan suatu cara tertentu kekuatan energinya dapat dimanfaatkan bagi kebutuhan dan kepentingan hidup masyarakat.
c. Zaman Positif Ketika masyarakat tidak lagi berusaha mencapai pengetahuan tentang yang mutlak baik dari sisi teologis maupun metafisis. Manusia berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapatinya dengan pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini, akan tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja.
Hukum ketiga tahap zaman tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap perseorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisikus, dan sebagai orang dewasa adalah seorang fisikus. (Drs A. Chairil Basori, Filsafat, 1987)
Pada tahap positivisme, manusia telah mampu dengan akal dan pengetahuannya mengatasi setiap permasalahan. Dengan telah ditemukannya lampu listrik, mesin jahit, Pada tahap positivisme, manusia telah mampu dengan akal dan pengetahuannya mengatasi setiap permasalahan. Dengan telah ditemukannya lampu listrik, mesin jahit,
5. Tuhan Telah Mati?
Dengan kemampuan akal dan pengetahuannya, manusia bahkan berkeinginan untuk bisa menguasai alam. Kehendak untuk berkuasa merupakan dasar dan sumber tingkah laku manusia. Kehendak untuk berkuasa memasuki semua bidang kegiatan manusia: kesadaran hidup, perwujudan nilai-nilai agama, kebudayaan dan lain-lain. Kehendak untuk berkuasa bahkan merupakan kenyataan yang benar akan dunia ini. Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa, lain tidak.
Inilah salah satu pokok pikiran Friedrich Nietzsche (1844 – 1900), tokoh filsafat yang Anti-Theisme. Menurut Nietzsche, kehendak untuk berkuasa ini nampak dalam ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, manusia ingin menyelidiki dunia untuk menemukan kenyataan dunia yang menjadi. Dengan ilmu, semua yang ada diubah kedalam bentuk-bentuk yang pasti. Maka ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai penjelmaan alam menjadi konsep-konsep, dengan tujuan untuk menguasai alam.
Agama juga dinyatakan sebagai perwujudan kehendak untuk berkuasa. Semua agama hakekatnya berasal dari kehendak untuk berkuasa. Karena kehendak untuk berkuasa ini tidak dapat dipenuhi dengan kekuatan manusia sendiri, maka manusia menyerahkan usahanya kepada pribadi yang lebih tinggi. Manusia lari kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena ia sendirian tidak dapat mengalahkan kekuatan yang dihadapinya.
Bagi Nietzsche, manusia yang ideal adalah superman. Dengan superman kehendak untuk berkuasa atas dunia menjadi sempurna. Sejarah akan mencapai kesudahannya pada kehadiran manusia superman ini. Superman adalah manusia yang mengetahui bahwa Tuhan telah mati, bahwa tidak ada sesuatupun yang melebihi atau mengatasi dunia ini. Superman akan muncul bila manusia telah mempunyai keberanian untuk mengubah system nilai, untuk menghancurkan nilai-nilai yang ada terutama nilai-nilai lama, dan menyusun dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang melebihi sebelumnya. (Drs A. Chairil Basori, Filsafat, 1987)
Pernyataan yang cukup berani dari Nietzche bahwa “God is dead” (Tuhan telah mati) telah mampu membuat masyarakat yang anti Tuhan untuk melangkah dengan keyakinan diri yang penuh, untuk melakukan kreativitas yang liberal. Jika tuhan telah mati dengan segala perintah dan larngannya, maka berarti dunia sudah terbuka untuk sebuah kebebasan dan kreativitasnya.
Segalanya berjalan dengan sendirinya, alam semesta bergerak dan berputar mengikuti hokum alam, tanpa campur tangan lagi dari Tuhan. Demikianlah, pemikiran yang liberal semacam ini banyak yang melanda masyarakat modern, yang meski tidak secara terus terang, telah menganggap bahwa God is dead. Tuhan telah mati!
6. Manusia Sebagai Makhluk Pencari Kebenaran.
Namun tidak semua masyarakat mengikuti pemikiran para ahli filsafat yang anti Tuhan itu. Banyak diantara mereka yang tidak pernah puas dengan penjelasan para ahli Namun tidak semua masyarakat mengikuti pemikiran para ahli filsafat yang anti Tuhan itu. Banyak diantara mereka yang tidak pernah puas dengan penjelasan para ahli
Dengan menggunakan akalnya inilah manusia berusaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul pada dirinya. Menurut Endang Syaifudin Ansori, Manusia adalah hewan yang berpikir. Berpikir adalah bertanya. Bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Mencari kebenaran akan Tuhan, alam dan manusia. Jadi pada akhirnya : Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. (Endang Syaefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 1987)
Lalu apa itu kebenaran? Dalam dunia ilmu pengetahuan, kebenaran adalah kebenaran ilmiah, suatu pengetahuan yang jelas dari suatu obyek materi yang dicapai menurut obyek forma (cara pandang) tertentu dengan metode yang sesuai dan ditunjang oleh suatu system yang relevan. Pengetahuan demikian ini tahan uji baik dari verifikasi empiris maupun yang rasional.
Dalam pembahasan tentang teori kebenaran, Endang mengemukakan tiga teori yaitu teori korespondensi, teori konsistensi dan teori pragmatis. Uraian tiga teori itu dijelaskan sebagai berikut.
a. Teori korespondensi (coorespondence theory) Adalah kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.
Menurut teori korespondensi, suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu adalah berkorespondens (bersesuaian) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Dengan kata lain, kebenaran itu adalah suatu pernyataan yang sesuai dengan kenyataan (fakta), tanpa memperhatikan idea atau pikiran. Contohnya “di luar rumah udaranya dingin”, pernyataan ini benar jika faktanya ketika kita keluar rumah memang udaranya dingin.
b. Teori konsistensi (consistence theory) Teori ini disebut pula coherence, adalah kebenaran, tidak dibentuk atas hubungan antar putusan (gudgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Atau secara sederhana dapat dikatakan nahwa menurut teori konsistensi, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat konsisten atau koheren dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar, tanpa mempedulikan fakta yang ada. Contohnya, “murid SMA Satu pintar-pintar” adalah pernyataan awal (terdahulu) yang benar. “Harno adalah murid yang pintar”, pernyataan ini dianggap benar jika Harno adalah murid SMA Satu. Dasar pembenaran pernyataan “Harno murid yang pintar” karena koheren dengan pernyataan sebelumnya, “murid SMA Satu pintar-pintar”.
c. Teori pragmatis (pragmatic theory)
Suatu proposisi adalah benar sepanjang proposisi itu berlaku, atau memuaskan. Menurut teori pragmatis, kebenaran bergantung kepada kondisi-kondisi yang berupa manfaat (utility), kemungkinan dapat dikerjakan (workability) dan konsekuensi yang memuaskan (satisfactory results).
Dengan perkataan yang lebih sederhana, sesuatu dianggap benar jika itu mempunyai manfaat fungsional atau menguntungkan dalam kehidupan praktis. Contohnya, pernyataan “system komputerisasi kantor adalah baik”. Pernyataan tersebut benar karena penggunaan computer di kantor-kantor sangat membantu proses (memper mudah dan mempercepat kerja) kegiatan di kantor.
Ketiga teori ini meski tidak seluruhnya tepat, namun yang paling mendekati adalah teori korespondensi, dimana pernyataan bisa dikatakan benar jika faktanya sesuai dengan pernyataan.
Bagaimana manusia dalam upaya mencari kebenaran? Jika permasalahan yang dipertanyakan menyangkut masalah-masalah idea, filsafat atau metafisika maka sulit untuk bisa memperoleh jawaban sebagai kebenaran. Siapa aku sebenarnya? Untuk apa aku hidup? Kemana aku nantinya? Benarkah Tuhan itu ada? Bagaimana membuktikannya? Mencari jawaban atas pertanyaan tersebut sangatlah sulit, demikianlah untuk menemukan kebenaran tentang permasalahan yang essensial dalam kehidupan manusia tidaklah bisa dicapai dengan teori-teori diatas.
7. Mencari Kebenaran Dengan Metodologi Ilmiah
Bagaimana cara kita mendapatkan suatu kebenaran. Dalam dunia ilmu pengetahuan, kita mengenal apa yang dinamakan metodologi ilmiah. Metode ilmiah adalah sebuah cara untuk mencari sebuah kebenaran. Kebenaran ilmiah ini harus memenuhi persyaratan empiris, obyektif, rasional, dan sistematis.
Empiris berarti suatu kebenaran berdasarkan pengalaman yang dapat ditangkap dengan pancaindra. Pengetahuan tersebut berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap dengan pancaindranya. Sehingga kebenaran tersebut dapat juga diketahui oleh orang lain sebagai kebenaran yang dapat ditangkap dengan pancaindranya pula. Misalnya kebenaran mengenai air yang dipanaskan dalam suhu 100 derajat celcius akan mendidih. Ini merupakan kebenaran yang berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pernah dijalani manusia, maka terhadap hal tersebut secara empiris manusia lainpun akan menemui hal yang sama.
Obyektif berarti suatu kebenaran harus mengandung nilai obyektifitas, berdasarkan fakta yang menjadi obyek pengetahuan, bukan berdasarkan yang menilai atau yang mengamati (subyek-nya). Sebuah kebenaran harus dapat dibuktikan oleh orang lain dan akan memperoleh pengetahuan yang sama. Misalnya air akan bergerak mengalir pada tempat yang lebih rendah atau menurun. Kebenaran demikian dapat dibuktikan orang lain dan diperoleh pengetahuan yang sama pula.
Rasional berarti kebenaran tersebut bersumber dari akal (rasio) atau pikiran manusia, dimana pengalaman-pengalaman hanya sebagai perangsang bagi pikiran. Kebenaran demikian merupakan kesimpulan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dan menjadi pengetahuan dalam akal manusia. Bahkan tanpa perlu pembuktianpun, kebenaran itu tak terbantahkan. Misal, pernyataan garis lurus merupakan jarak terdekat diantara dua buah titik, maka kita mau tidak mau harus mengakui kebenaran pernyataan tersebut.
Sistematis berarti berurutan, yakni dalam menemukan kebenaran harus melalui proses yang berurutan. Dalam suatu penelitian ilmiah, sistematis itu bila dilakukan melalui tahapan-tahapan memilih dan merumuskan masalah, menyusun latar belakang teoritis, menetapkan hipotesis, menetapkan variable, memilih alat pengump[ulan data, menyusun rancangan penelitian, menentukan sample, menyimpulkan dan menyajikan data, mengolah dan menganalisis data, menginterpretasi hasil analisis dan mengambil kesimpulan, menyusun laporan dan mengemukakan implikasi. (Drs. Cholid Narbuko dan Drs H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, 2003)
Untuk menghasilkan sebuah kebenaran ilmiah juga harus didukung dengan berpikir dan bersikap ilmiah yaitu dengan tahapan skeptis, analitis, dan kritis. Skeptis adalah upaya untuk selalu menanyakan bukti-bukti atau fakta-fakta terhadap setiap pernyataan. Analitis adalah kegiatan untuk selalu menimbang-nimbang setiap permasalahan yang dihadapinya, mana yang relevan, mana yang menjadi masalah utama dan sebagainya. Kritis adalah berupaya untuk mengembangkan kemampuan menimbangnya selalu obyektif. Untuk ini maka dituntut agar data dan pola berpikirnya selalu logis. (Drs. Cholid Narbuko dan Drs H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, 2003)
8. Asal Usul Kehidupan
Untuk mengetahui realitas kehidupan manusia dan alam semesta, pertanyaan yang muncul mengemuka adalah bagaimana awal mula kehidupan di dunia ini. Siapakah yang menciptakan alam semesta dan bagaimana proses penciptaannya?
Dalam buku pelajaran Biologi Kelas III di SMA, kita dapatkan penjelasan mengenai asal-usul kehidupan. Bagi mereka yang sempat duduk di bangku SMA Jurusan IPA/Biologi, tentu pernah mendapatkan sub materi pelajaran Asal Usul Kehidupan ini.
Ada beberapa teori yang dikemukakan yaitu teori-teori abgiogenesis, biogenesis, kosmozaik, evolusi kimia dan evolusi biologi.
a. Teori Abiogenesis Menurut teori Abiogenesis, kehidupan berasal dari materi yang tidak hidup atau benda mati dan terjadi begitu saja (spontan). Itulah sebabnya, teori ini dinamakan pula teori generatio spontanea. Teori abiogenesis ini dikemukakan pertama kali oleh Aristoteles (334 – 332 SM), seorang filsuf dan ilmuwan Yunani Kuno. Teori ini bertahan ratusan tahun. Munculnya teori ini didasarkan pada pengamatan sederhana terhadap apa yang mereka lihat di sekelilingnya tanpa didukung oleh peralatan yang memadai. Sebagai contoh, karena cacing berada di dalam tanah, maka cacing berasal dari tanah. Dengan alasan yang sama, mereka menganggap katak berasal dari Lumpur, belatung berasal dari daging yang membusuk, dan sebagainya.
Pada abad 17, Antonie van Leeuwenhoek menemukan mikroskop. Penemuan mikroskop ini membuka cakrawala baru bagi dunia saina. Namun bagi para pendukung teori abiogenesis, adanya makhluk hidup kecil yang mereka lihat melalui mikroskop makin memperkuat mereka tentang teori abiogenesis tersebut.
b. Teori Biogenesis
Teori biogenesis merupakan lawan dari teori abiogenesis. Teori ini menyatakan bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk hidup pula. Teori biogenesis mendapat dukungan dari Francesco Redi (1626 – 1697), Lazzaro Spallanzani (1727 –1799) dan Louis Pasteur (1822 –1895). Ketiganya melakukan percobaan untuk membuktikan teori biogenesis.
Francesco Redi mengadakan serangkaian percobaan dengan bahan daging yang dimasukkan ke delapan stoples dengan kondisi yang berbeda-beda. Setelah beberapa hari di dalam stoples yang terbuka, Redi mendapatkan larva, sedangkan di dalam stoples yang tertutup tidak terdapat larva Berdasarkan percobaan ini, Redi berkesimpulan bahwa larva bukan berasal dari daging, melainkan berasal dari telur lalat yang disimpan dalam daging.
Lazzaro Spallanzani juga melakukan percobaan dengan menggunakan dua tipe medium dengan prinsip yang sama dengan Redi, tetapi dengan rancangan yang lebih sempurna. Berdasarkan hasil percobaan Spallanzani, ditemukan kenyataan bahwa udara memberi pengaruh besar terhadap terbentuknya kekeruhan pada air kaldu, membuat para pendukung abiogenesis menolak hasil percobaan spallanzani. Mereka menganggap udara mempunyai daya hidup (vital force) yang dapat memicu terbentuknya kehidupan.
Konsep tentang adanya daya hidup yang diyakini pendukung teori abiogenesis membuat Louis Pasteur berpikir bagaimana merancang percobaan yang memungkinkan udara (daya hidup) tetap dpat berhubungan dengan labu tetapi tidak mempengaruhi isi labu.
Hasil percobaan Pasteur menunjang teori biogenesis dan sekaligus menumbangkan teori abiogenesis. Teori biogenesis dapat dirumuskan dalam postulat berikut ini. Omne vivum ex ovo yang berarti makhluk hidup berasal dari telur, omne ovum ex vivo yang berarti telur berasal dari makhluk hidup, dan omne vivum ex vivo berarti makhluk hidup berasal dari makhluk hidup sebelumnya.
c. Teori Kosmozoik Teori ini dikemukakan oleh Richter (1865) dan didukung oleh Thompson, Helmholtz dan Van Tieghan. Menurut teori ini, benda-benda langit yang panas berpijar pada bagian permukaannnya saja. Bagian-Bagian dalamnya tetap dingin sehingga embrio suatu organisme yang menempati bagian dalamnya tetap hidup. Selanjutnya, organisme-organisme menyebar sampai ke bumi dan tumbuh subur di bumi. Kemudian organisme-organisme ini berkembang dan berevolusi hingga menghasilkan seluruh spesies yang ada sekarang ini.
d. Teori Evolusi Kimia Menurut salah satu teori, system tata surya (solar system) terbentuk dari kabut gas di angkasa. Gaya gravitasi yang timbul menyebabkan terjadinya kontraksi sehingga menaikkan suhu pusat massa. Kontraksi ini menyebabkan terbentuknya suatu bintang baru (matahari). Bintang ini dikelilingi lingkaran gas dan debu yang merupakan asal d. Teori Evolusi Kimia Menurut salah satu teori, system tata surya (solar system) terbentuk dari kabut gas di angkasa. Gaya gravitasi yang timbul menyebabkan terjadinya kontraksi sehingga menaikkan suhu pusat massa. Kontraksi ini menyebabkan terbentuknya suatu bintang baru (matahari). Bintang ini dikelilingi lingkaran gas dan debu yang merupakan asal
Kondisi bumi pada awal pembentukan sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Pada saat itu, suhu permukaan bumi antara 4000-8000 derajat celcius. Sewaktu permukaan bumi mulai dingin, senyawa-senyawa karbon © dan unsure logam membentuk lapisan bumi bagian dalam (mantel), tersusun dari batuan yang mencair dan terdiri atas senyawa silicon, aluminium, besi dan sebagainya.
Para ilmuwan berpendapat bahwa pada saat itu di atmosfer terkumpul gas-gas ringan, seperti hydrogen (H2), helium (He), argon (Ar), nitrogen (N), dan oksigen(O2). Akibatnya, di atmosfer terbentuk senyawa-senyawa yang mengandung unsure-unsur ringan, misalnya uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan ammonia (NH3).
Pada saat suhu atmosfer turun menjadi sekita 100 derajat Celcius, terjadi hujan air mendidih selama beberapa ribu tahun. Pada kondisi seperti ini, kehidupan di bumi tidak mungkin terbentuk, tetapi sangat memungkinkan terjadi reaksi-reaksi kimia karena tersedianya materi dan energi yang berlimpah.
e. Teori Evolusi Biologi
A.I. Oparin dalam bukunya Asal Mula Terjadinya Kehidupan (The Origin of Life), mengemukakan bahwa asal mula kehidupan terjadi di lautan melalui pembentukan senyawa-senyawa organic dari senyawa-senyawa sederhana seperti H2O, CO2, CH4, NH3 dan H2, yang memang berlimpah pada saat itu. Pembentukan senyawa organic ini dibantu oleh energi radiasi benda-benda angkasa yang juga sangat intensif pada saat itu. Senyawa kompleks pertama diduga semacam alkohol dan asam amino yang selama jutaan tahun senyawa-senyawa ini bereaksi membentuk senyawa yang lebih kompleks, seperti asam organic, purin dan pirimidin. Senyawa-senyawa ini merupakan bahan pembentuk sel.
9. Evolusi Menurut Darwin
Charles Robert Darwin seorang biolog Inggris mengemukakan teori evolusinya melalui buku yang berjudul The Origin of Species by Means of Natural Selection (Asal Mula terjadinya Spesies melalui Seleksi Alam) pada tahun 1859. dalam buku tersebut Darwin menyatakan bahwa semua makhluk hidup memiliki leluhur yang sama dan bahwa mereka berkembang satu sama lain dengan cara seleksi alamiah. Mereka yang terbaik dalam beradaptasi dengan lingkungan mewariskan perilaku mereka ke generasi berikutnya, dan lambat laun, sifat-sifat yang menguntungkan ini mengubah individu- individu menjadi spesies yang berbeda total dari leluhur mereka. Dengan demikian, manusia ialah produk yang paling maju dari mekanisme seleksi alamiah ini. Singkatnya, suatu spesies berasal dari spesies lain.
Dua teori evolusi pokok yang terkandung dalam buku tersebut adalah sebagai berikut (a) Spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies yang hidup di masa lampau. Dan (b) Evolusi terjadi melalui seleksi alam.
Ahli evolusi lain, Alfred R. Wallace (1823-1913) ternyata mempunyai pemikiran yang sama dengan pemikiran Darwin, meskipun diantara mereka tidak saling mengenal. Pemikiran mereka disajikan bersama dalam pertemuan antar ilmuwan di London yang tergabung dalam Linneon Society of London pada tanggal 1 Juli 1858. Sejak saat itu teori evolusi Darwin didukung oleh banyak ilmuwan di dunia.Menurut teori evolusi Darwin, manusia merupakan hasil proses evolusi dari spesies lain yang hidup lebih dahulu yaitu kera.
Dalam perkembangan selanjutnya, oleh para pendukung teori evolusi ini dengan mengemukakan teori neo-Darwinisme. Menurut teori ini spesies berkembang sebagai hasil dari mutasi-mutasi, perubahan-perubahan kecil dalam gen mereka, dan yang paling sesuailah yang bertahan hidup melalui mekanisme seleksi alam. Selanjutnya mereka juga mengembangkan teori punctuated equilibrium (keseimbangan bersela) yang menyatakan bahwa makhluk hidup tiba-tiba berkembang menjadi spesies lain, meski tanpa bentuk transisinya. Dengan kata lain, spesies tanpa ”nenek moyang” evolusioner tiba-tiba muncul. (Harun Yahya, Allah is Known Through Reason, 52)
Menurut teori evolusi, manusia dan kera modern mempunyai leluhur yang sama. Makhl-makhluk ini berkembang seiring dengan waktu dan beberapa diantara mereka menjadi kera-kera masa kini, sedangkan sekelompok lain yang mengikuti cabang evolusi lain menjadi manusia manusia masa kini.
Para evolusionis menyebut ”leluhur bersama” pertama manusia dan kera ini ”Australopithecus” yang berarti ”Kera Afrika Selatan”. Terdapat berbagai jenis Australopithecus, yang hanya spesies kera lama yang telah menjadi berbeda. Sebagiannya tegap, sementara yang lainnya kecil dan rapuh.
Para evolusionis menggolongkan tahap evolusi manusia berikutnya sebagai ”Homo”, yakni ”manusia”. Menurut klain evolusionis, makhluk hidup dalam tahap ”homo” ini lebih berkembang dari pada Australpithecus, dan tidak banyak berbeda dari manusia modern. Manusia modern masa kini, Homo sapiens, konon terbentuk pada tahap terakhir evolusi spesies ini. (Harun Yahya, Allah is Known Through Reason, 58-59)
10. Dimanakah Tuhan?
Dalam uraian mengenai teori-teori pengetahuan dan hasil dari penelitian sains diatas, belum ada yang bisa tuntas membahas dan membuktikan adanya Tuhan. Dimanakah Tuhan? Tak ada ilmuwan yang mampu menjawab pertanyaan mengenai keberadaan Tuhan dan memberikan bukti-bukti secara ilmiah.
Bab Dua Existensi Tuhan, Bantahan Atas Paradigma Kaum Atheis
Serangkaian teori, konsep dan pemikiran yang diuraikan pada Bab 1 disadari ataupun tidak telah memperangkap kebanyakan orang dalam paradigma kaum Atheis yang menolak keberadaan agama, Tuhan dan ajarannya. Dalam Bab 2 ini penulis mencoba untuk kembali mendiskusikan konsep dan pemikiran tersebut dengan kejernihan dan ketajaman berpikir kita. Dalam pembahasan ini diharapkan akan timbul kesadaran pembaca akan kekeliruan dalam cara pandang dan pola berpikir selama ini.
1. Manusia, Makhluk yang Lemah
Dalam diri manusia terdapat suatu potensi yang disebut akal atau rasio. Akal berfungsi untuk berpikir, dalam rangka mendapatkan pengetahuan dan mencari kebenaran. Mencari kebenaran merupakan hasrat manusiawi, sebagai makhluk yang berakal. Guna mendapatkan pengetahuan dan kebenaran tersebut, dalam diri manusia juga dilengkapi perangkat yang namanya panca indera berupa mata, telinga, hidung, kulit dan lidah. Dengan panca indera ini manusia berusaha untuk menangkap fenomena alam dan lingkungan, yang kemudian akan ditransfer ke dalam akal untuk diolah menjadi sebuah pengetahuan. Dengan proses menangkap fenomena alam oleh panca indera dan menstranfer ke dalam akal, secara menerus itulah, manusia berusaha untuk mencari kebenaran.
Namun panca indera yang digunakan untuk mengenali dan menangkap fenomena alam dan lingkungan ini memiliki keterbatasan dan kelemahan. Mata misalnya, hanya dapat melihat pada jarak tertentu saja dan menginformasikan dengan benar apa yang dilihatnya. Tetapi diluar jarak yang mampu dilihatnya itu, mata tak mampu melihat obyek secara tepat, sehingga yang diinformasikan ke dalam akal pun pengetahuan yang keliru. Terhadap obyek yang cukup jauh mata tak mampu melihat secara tepat, seperti melihat gunung dalam jarak yang jauh seolah berwarna biru, melihat laut seolah berwarna biru, melihat dua garis sejajar (rel kereta api) seolah bertemu pada satu titik, melihat pinsil yang dimasukkan sebagian ke dalam air di ember seolah patah dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Telinga dalam fungsinya sebagai indera pendengar, juga memiliki keterbatasan. Telinga hanya mampu mendengarkan suara dengan frekuensi tertentu saja. Pada suara yang sangat lemah ataupun suara yang sangat keras, telinga tak dapat berfungsi dan menginformasikannya pada akal. Dan sering informasi yang ditangkappun keliru ketika ditransfer ke akal.
Demikian pula indera-indera lainnya memiliki keterbatasan dan kelemahan. Padahal panca indera inilah yang diandalkan untuk memberikan masukan pengetahuan pada akal/otak untuk dianalisis dan disimpulkan menjadi suatu kebenaran.
Akal atau rasio manusia yang digunakan untuk berpikir, mengolah informasi mengenai fenomena alam dan lingkungan yang diberikan oleh panca indera ternyata juga memiliki keterbatasan dan kelemahan. Memang dengan akal manusia bisa mengolah informasi, membentuk pengertian-pengertian, pendapat-pendapat, kesimpulan- Akal atau rasio manusia yang digunakan untuk berpikir, mengolah informasi mengenai fenomena alam dan lingkungan yang diberikan oleh panca indera ternyata juga memiliki keterbatasan dan kelemahan. Memang dengan akal manusia bisa mengolah informasi, membentuk pengertian-pengertian, pendapat-pendapat, kesimpulan-
Emmanuel Kant (1724-1804) dalam bukunya yang terkenal Critic der Theoritische Vernunft, mengakui akan keterbatasan akal manusia. Dia menandaskan bahwa penyelidikan dengan akal (budi) benar-benar dapat memberikan sesuatu pengetahuan mengenai dunia yang tampak, akan tetapi akal (budi) itu sendiri tidak sanggup untuk membeikan kepastian-kepastian, dan bahwa berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan terdalam mengenai Tuhan, manusia, dunia, dan akhirat, akal (budi) manusia itu tidak mungkin memperoleh kepastian-kepastian, melainkan hidup dalam pengandaian. (Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, 2004)
2. Kelemahan Teori-teori Filsafat Barat
Teori dan konsep filsafat barat yang telah mempengaruhi cara pandang dan pola berpikir kebanyakan orang selama ini juga terdapat banyak kelemahannya. Marilah kita coba bahas teori dan konsep yang ada pada bab satu secara rinci sebagai berikut:
a. Klarifikasi atas Pandangan Marx
Menurut Marx, agama sebagai candu masyarakat. Dalam pandangan Marx, agama seperti candu, ia memberikan harapan-harapan semu, dapat membantu orang untuk sementara waktu melupakan masalah real hidupnya. Seorang yang sedang terbius oleh candu/opium dengan sendirinya akan lupa dengan diri dan masalah yang sedang dihadapinya.
Bagi Marx, agama juga merupakan medium dari ilusi sosial. Agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda agama yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dipandang oleh Marx sebagai sikap meracuni masyarakat.
Pernyataan Marx bahwa agama sebagai candu masyarakat, muncul tatkala dia mengamati realitas empiris di sekitarnya pada saat itu, dimana orang beragama dan melakukan ritualitas karena menghindari realitas hidup yang dihadapinya dan agama mampu meninabobokan para penganut agama tersebut.
Juga masalah penyebaran agama yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama untuk melanggengkan kekuasaan bisa dimaklumi, karena memang demikian kenyataan saat itu. Dan ini terjadi pada agama Kristiani, yang menjadi fokus kritik Marx pada fungsi politik agama, khususnya yang menjadikan agama sebagai ideologi Negara. Agama telah dijadikan alat pukul oleh Negara untuk membungkam para pemeluknya yang memprotes sikap otoriter para pemimpin politik dan ekonomi Prussia.
Pandangan Marx tersebut tak bisa digunakan untuk menggeneralisir semua agama. Juga keterbatasan kemampuan Marx dalam memahami tentang agama secara hakekat, maksud dan tujuan-lah yang mengantarkannya pada pengetahuan tersebut.
b. Materi Bukan Segalanya
Materialisme menganggap segala yang ada adalah materi. Unsur pokok, dasar dan hakekat segala sesuatu yang ada itu materi. Materi adalah suatu yang abadi, tidak diciptakan dan ada dengan sendirinya. Materi adalah awal dan akhir kehidupan. Paham materialisme menganggap pikiran, gagasan dan idea merupakan hasil dari kerja materi. Pada akhirnya paham materialisme mengingkari keberadaan agama dan Tuhan.
Pandangan yang menyatakan bahwa segala yang ada materi adalah sebuah kekeliruan. Dalam diri manusia sendiri, disamping adanya materi juga ada unsur non materi yang mampu menggerakkan tubuh materinya. Yang membuat tubuh materi tersebut hidup. Dan ketika manusia meninggal, ada sesuatu yang lepas dari tubuh materinya. Lalu bagaimana materialisme memandang sesuatu (yang non materi) yang lepas dari tubuh tersebut?
Dalam kehidupannya, manusia juga dihadapkan berbagai hal yang non materi. Energi listrik yang mampu menggerakkan peralatan elektronik, yang terdiri dari elektron- elektron bersifat gelombang tak bisa dikatakan sebagai materi. Energi tersebut kenyataannya ada, dan manusia tak pernah dapat menangkapnya secara langsung.
Masih banyak lagi dalam dunia ini ‘sesuatu’ yang bukan materi. Dus anggapan bahwa segala sesuatu adalah materi tidak lah tepat. Dan teori materialisme tak bisa dijadikan dasar pengetahuan akan sebuah kebenaran.
c. Berpikir Tak Dapat “mengadakan” Sesuatu
Apa yang dikatakan Rene Descartes yaitu “cogito ergo sum” yang artinya aku berpikir, maka aku ada, bukanlah bermakna bahwa dengan berpikir mampu “mengadakan” sesuatu. Hakekat berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban. Maka dengan berpikir akan didapat suatu pengetahuan, suatu kepahaman, kesadaran akan adanya sesuatu. Berpikir bukanlah bisa mengadakan sesuatu tetapi hanya bisa menyadari keberadaan sesuatu.
Kenyataannya sejumlah benda yang ada di sekitar kita, baik kita pikirkan maupun tidak, tetaplah ada. Dan suatu benda yang tak ada, tak akan pernah diwujudkan hanya dengan sekedar berpikir. Terhadap sesuatu yang tidak nyata, yang kemudian kita pikirkan adanya hanyalah dalam abstraksi pada pikiran kita.
Anggapan bahwa Tuhan pada kepercayaan orang-orang beragama, hanyalah hasil rekayasa pikiran, adalah sebuah kesalahan. Jika Tuhan merupakan hasil rekayasa pikiran, betapa hebatnya pemilik pikiran tersebut yang mampu merekayasa adanya Tuhan. Dan seseorang akan merekayasa sejumlah Tuhan sesuai keinginannya. Jika pemilik pikiran tersebut mengalami kematian, Tuhan pun akan ikut mati. Maka untuk peran apakah Tuhan direkayasa?
Demikianlah, sesungguhnya pikiran manusia tidak akan pernah menjangkau hakekat keberadaan Tuhan. Apalagi merekayasa atau menciptakan Tuhan, kecuali hanyalah Tuhan-tuhan illutif dan Tuhan-tuhan semu.
d. Skeptisisme Kaum Atheis
Perkembangan pemikiran manusia baik perorangan maupun masyarakat, menurut Comte, melalui tahapan zaman teologi, metafisi dan positif. Pada zaman positif yang ditandai dengan kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi, manusia sudah tidak lagi membutuhkan kepercayaan, agama maupun Tuhan, karena seluruh persoalan telah Perkembangan pemikiran manusia baik perorangan maupun masyarakat, menurut Comte, melalui tahapan zaman teologi, metafisi dan positif. Pada zaman positif yang ditandai dengan kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi, manusia sudah tidak lagi membutuhkan kepercayaan, agama maupun Tuhan, karena seluruh persoalan telah
Masyarakat komunis yang anti Tuhan, yang menolak keberadaan Tuhan pun tak sepenuhnya bisa menghilangkan akan perasaan akan adanya Tuhan. Mereka sendiri sebetulnya skeptis (meragukan) akan apa yang dipahaminya tentang ketiadaan Tuhan. Bahkan pada saat-saat tertentu, mereka masih berharap adanya kekuatan-kekuatan di luar dirinya (mistis) yang bisa menolongnya.
Dan pernyataan “God is dead” adalah lontaran dari kesombongan ilmiah, kesombongan intelektualitas yang menyesatkan, yang sebenarnya merupakan pengingkaran akan hati nurani sendiri.
3. Kelemahan Teori-teori Kebenaran
Sebagai makhluk yang mencari kebenaran, manusia dengan potensi akalnya akan terus berusaha untuk menemukan hakekat kebenaran. Namun pengetahuan hanya mengantarkan pada kebenaran-kebenaran yang subyektif. Kebenaran-kebenaran yang secara teoritis merupakan hasil temuan ilmiah yang sebetulnya memiliki banyak kelemahan, yang bisa kita diskusikan berikut ini :
a. Kelemahan Teori Koherensi Teori kebenaran ini banyak dianut oleh kaum idealis, menurut mereka sesuatu yang disebut benar itu adalah yang benar menurut idea dan dalam idea tanpa memperhatikan fakta. Plato mengatakan bahwa yang disebut kuda yang sebenarnya adalah kuda yang ada dalam idea. Sedangkan kuda menurut kenyataan dan yang nyata adalah bayangan dari kuda yang ada dalam idea. Dari pernyataan Plato ini lalu timbul pertanyaan “Plato yang sebenarnya itu ada dalam idea siapa?”, mengingat dari teorinya sendiri menyatakan bahwa Plato yang ada adalah bayangan dari Plato yang ada dalam idea (pikiran). Filosof Britania Bradley (1864 -1924) sebagai penganut idealisme menyatakan bahwa kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan tanpa harus memandang realitas peristiwa, asalkan dalam pikiran itu ada, jika pikiran itu tidak ada maka apapun yang ada di dunia ini tidak ada. Padahal orang yang berakal sehat akan mengatakan bahwa setiap yang ada di luar manusia, berpikir atau tidak berpikir kalau zat/sesuatu tersebut memang ada, maka akan tetap ada.
b. Kelemahan Teori Korespondensi Sesuatu itu benar jika sesuai dengan fakta, atau dapat dikaji dengan fakta. Ternyata dalam realitasnya tidak semua masalah dapat dikaji berdasarkan fakta. Misalnya aliran listrik yang mengalir dalam suatu penghantar yang faktanya dapat dirasakan berupa gejala-gejala listrik yang ditimbulkannya (aliran listrik) akan tetapi hal yang sesungguhnya berupa gerakan-gerakan electron yang tidak dapat dilihat, dibaui, didengar atau bahkan dirasakannya bukan gerakan-gerakan yang sesungguhnya itu hanya ada dalam pikiran. Begitu juga cinta, tidak dapat dikaji dengan fakta akan tetapi yang dapat dikaji dengan fakta-fakta hanyalah akibat atau gejala dari cinta itu.
c. Kelemahan Teori Pragmatisme Sesuatu dianggap benar jika bermanfaat, teori ini bagaimana kalau diterapkan terhadap pernyataan “Menyontek sewaktu ujian” dan “ Mencuri” serta “Narkoba”, apakah ketiga hal tersebut merupakan kebenaran? Kalau ya, kenapa setiap siswa/mahasiswa ujian selalu dijaga ketat, dan jika ketahuan ada yang menyontek diberika sangsi? Lalu mencuri. Apakah dengan mencuri yang mana hasil dari curian tersebut sangat bermanfaat bagi si pencuri itu juga dapat dikatakan benar? Kemudian dengan keberadaan narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya) apakah juga dibenarkan oleh akal sehat dan diterima oleh setiap orang?