Hubungan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat.

(1)

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KETRAMPILAN KOMUNIKASI

INTERPERSONAL PERAWAT DENGAN PASIEN DAN STRES KERJA PERAWAT

Lisna Indrawati Universitas Sanata Dharma

2007

Penelitian ini bertujuan untuk menguji signifikansi hubungan yang negatif antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat di rumah sakit umum. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat.

Subjek penelitian adalah perawat di RSU Palang Biru Kutoarjo dan perawat RSUD Saras Husada Purworejo. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 60 perawat. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran skala ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan skala stres kerja perawat. Koefisien reliabilitas dari skala ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien sebesar 0,956 dan koefisien reliabilitas skala stres kerja perawat sebesar 0,930.

Untuk mengetahui hubungan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat digunakan teknik koefisien korelasi product momen Pearson. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar -0.416 dengan taraf signifikansi (p) 0,000. Hal ini berarti ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dan stres kerja perawat. Maka semakin tinggi ketrampilan komunikasi interpersonal perawat semakin rendah stres kerja perawat.


(2)

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN NURSE WITH PATIENT

INTERPERSONAL COMMUNICATION SKILL AND NURSE WORK STRESS

Lisna Indrawati Sanata Dharma University

2007

The aim of this research is to test the negative significant correlation between nurse with patient interpersonal communication skill and nurse work stress at hospital. The Hypotheses of the research is there is a negative significant correlation between nurse with patient interpersonal communication skill and nurse work stress.

The research subjects are nurses at Palang Biru Kutoarjo Hospital and nurses at Saras Husada Purworejo Hospital. There are 60 nurses subject in this research. Scale of nurse with patient interpersonal communication skill and scale of nurse work stress are use to collects the data. The reliability coefficient from scale of nurse with patient interpersonal communication skill is 0,956 and reliability coefficient from scale of nurse work stress is 0,930.

To know the correlation between nurse with patient interpersonal communication skill and nurse work stress, the collected data are analyzed using Pearson product moment technique. The result of this research show a high significant and negative correlation between nurse with patient interpersonal communication skill and nurse work stress (r = -0.416, p < 0,000). The higher nurse interpersonal communications skill get, the lower nurse work stress will get.


(3)

HUBUNGAN ANTARA KETRAMPILAN KOMUNIKASI

INTERPERSONAL PERAWAT DENGAN PASIEN DAN STRES KERJA PERAWAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Lisna Indrawati NIM : 029114141

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

HUBUNGAN ANTARA KETRAMPILAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PERAWAT DENGAN PASIEN DAN STRES KERJA PERAWAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Lisna Indrawati NIM : 029114141

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(5)

(6)

(7)

Take time to think

It is the source of power

Take time to play

It is the secret to staying young

Take time to be quiet

It is the opportunity to seek God

Take time to lought

It is the music of the soul

Take time to pray

It is the greates power on earth

( Ecclesiates 3:1)

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi

kekuatan kepadaku.

( Filipi 4:13 )


(8)

Dengan segala kerendahan hati, kupersembahkan karyaku ini kepada....

The One and The Only

My Jesus Chirts

Mbah Kakung dan Mbah Putri

Pawiro Dinomo dan Karni

....yang telah mengukir jiwaku, menjaga ragaku dan mendidikku dengan kasih sayang yang tulus...

Bapak dan Ibu

Andri Andoyo dan Lanjarwati

....doamu selalu mengalir bagaikan sungai yang tak pernah kering menyertai setiap langkah hidupku..

Adik – Adikku Terkasih

Mandra dan Enggar

...atas kasih sayang dan senyum tawa yang selalu membuatku kembali tersenyum...

Kekasihku Tercinta

Marianus Trias Manda Guna

....you showed that you care when I was really down….you never turn away. Thanks to be my everything…..


(9)

(10)

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KETRAMPILAN KOMUNIKASI

INTERPERSONAL PERAWAT DENGAN PASIEN DAN STRES KERJA PERAWAT

Lisna Indrawati Universitas Sanata Dharma

2007

Penelitian ini bertujuan untuk menguji signifikansi hubungan yang negatif antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat di rumah sakit umum. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat.

Subjek penelitian adalah perawat di RSU Palang Biru Kutoarjo dan perawat RSUD Saras Husada Purworejo. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 60 perawat. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran skala ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan skala stres kerja perawat. Koefisien reliabilitas dari skala ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien sebesar 0,956 dan koefisien reliabilitas skala stres kerja perawat sebesar 0,930.

Untuk mengetahui hubungan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat digunakan teknik koefisien korelasi product momen Pearson. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar -0.416 dengan taraf signifikansi (p) 0,000. Hal ini berarti ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dan stres kerja perawat. Maka semakin tinggi ketrampilan komunikasi interpersonal perawat semakin rendah stres kerja perawat.


(11)

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN NURSE WITH PATIENT

INTERPERSONAL COMMUNICATION SKILL AND NURSE WORK STRESS

Lisna Indrawati Sanata Dharma University

2007

The aim of this research is to test the negative significant correlation between nurse with patient interpersonal communication skill and nurse work stress at hospital. The Hypotheses of the research is there is a negative significant correlation between nurse with patient interpersonal communication skill and nurse work stress.

The research subjects are nurses at Palang Biru Kutoarjo Hospital and nurses at Saras Husada Purworejo Hospital. There are 60 nurses subject in this research. Scale of nurse with patient interpersonal communication skill and scale of nurse work stress are use to collects the data. The reliability coefficient from scale of nurse with patient interpersonal communication skill is 0,956 and reliability coefficient from scale of nurse work stress is 0,930.

To know the correlation between nurse with patient interpersonal communication skill and nurse work stress, the collected data are analyzed using Pearson product moment technique. The result of this research show a high significant and negative correlation between nurse with patient interpersonal communication skill and nurse work stress (r = -0.416, p < 0,000). The higher nurse interpersonal communications skill get, the lower nurse work stress will get.


(12)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Bapa di Surga dan Tuhan Yesus Kristus putra tunggalNya, karena kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ” Hubungan Antara Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat Dan Stres Kerja Perawat”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Maka pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi, atas segala bantuan dan dukungan selama penulis menjalani kuliah.

2. Ibu Agnes Endar Etikawati., S.Psi.,M.Si.,Psi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mendukung dan memberikan dorongan bagi penulis dalam menyusun dan akhirnya menyelesaikan skipsi ini

3. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang telah banyak memberikan masukan bagi penulis untuk memyempurnakan penyusunan skripsi.

4. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran – saran yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.


(13)

5. Bapak Agung dan Ibu Nimas selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis, atas nasehat, dukungan, dan bantuannya selama penulis menjalani kuliah. 6. Ibu Kristina Dewayani, S.Psi., M.Si atas kesediaanya meluangkan waktu bagi

penulis untuk bertanya, atas masukan – masukan yang sangat berarti bagi penulis.

7. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto,M.Si, atas kesempatan yang diberikan untuk menimba pengalaman di P2TKP.

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membagikan ilmu dan wawasannya kepada penulis selama ini.

9. Karyawan Fakultas Psikologi Ibu Nani, Mas Gandung dan Pak Gie di sekertariat Psikologi serta mas Muji dan mas Dony di lab. Fakultas Psikologi. Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya.

10. Seluruh staf P2TKP, Bapak Toni, Ibu Tiwi, Mbak Thia, Mbak Etik, Mas Adi, Desta, Kobo, dan Katrin atas sharing dan pengalaman baru yang sangat bermanfaat dan berkesan bagi penulis.

11. Seluruh perawat di RSU Saras Husada Purworejo dan RSU Palang Biru Kutoarjo terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

12. Bapak R. Supriyadi di RSU Saras Husada, Mbak Theresia dan Mbak Cicil atas atas bantuan dan sambutan yang ramah.

13. Kakek dan nenekku tersayang atas kasih sayang yang tiada batas, dengan penuh kesabaran mendidik dan membesarkan penulis, sejak kecil hingga sekarang.


(14)

14. Bapak dan ibuku yang kusayangi, atas dukungan dan doa yang tak pernah berhenti dan tak pernah letih terucap.

15. Adik – adikku yang baik, dek Mandra dan dek Enggar yang selalu membuatku merasa rindu untuk bercanda bersama.

16. Marianus Trias Manda Guna, terimakasih atas kebersamaannya yang indah, yang selalu hadir dalam setiap tawa dan tangisku, yang selalu setia memberikan dukungan dan semangat hidup. Aku selalu merasa tegar saat bersamamu... Thanks to be my everything…..

17. Teman – teman yang selalu memberikan kenangan tidak terlupakan semasa perkuliahan Tanti, Joe, Rio, Thea, Ajeng, Fiesta, Lita, Nopex, dan Wedha. Terima kasih untuk kebersamaan dan tempat untuk berbagi rasa bagi penulis selama masa perkuliah.

18. Kepada semua pihak yang telah membantu dan teman – teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

Dengan penuh kesadaran diri dan dengan segala kerendahan hati, penyusunan Tugas Akhir ini masih jauh dri sempurna. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi masyarakat dan pembaca sekalian.

Yogyakarta, Mei 2007 Penulis


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN MOTTO...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

KATA PENGANTAR...ix

DAFTAR ISI...xii

DAFTAR TABEL...xvi

DAFTAR LAMPIRAN...xvii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH...1

B. RUMUSAN MASALAH...6

C. TUJUAN PENELITIAN...7

D. MANFAAT PENELITIAN...7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERAWAT...8


(16)

B. STRES KERJA PERAWAT

1. Pengertian Stres Kerja...11

2. Sumber Stres Kerja...14

3. Faktor – Faktor Stres Kerja...16

4. Indikator Stres Kerja...21

5. Stres Kerja Perawat...23

C. KETRAMPILAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PERAWAT DENGAN PASIEN 1. Pengertian Ketrampilan Komunikasi Interpersonal...26

2. Komponen Dasar Komunikasi Interpersonal...29

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketrampilan Komunikasi Interpersonal...31

4. Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat Dengan Pasien...33

5. Indikator Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat dengan pasien...34

D. HUBUNGAN ANTARA KETRAMPILAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PERAWAT DENGAN PASIEN DAN STRES KERJA PERAWAT...39

E. HIPOTESIS...43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN...44

B. VARIABEL PENELITIAN...44


(17)

C. DEFINISI OPERASIONAL

1. Stres Kerja Perawat...44

2. Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat dengan pasien ...45

D. SUBJEK PENELITIAN...46

E. PROSEDUR PENELITIAN...47

F. METODE PENGUMPULAN DATA. 1. Skala Stres Kerja...47

2. Skala Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat dengan Pasien...49

G. PERTANGGUNGJAWABAN ALAT UKUR 1. Validitas...51

2. Seleksi Item...52

3. Reliabilitas...58

H. METODE DAN TEKNIK ANALISIS DATA...59

BAB IV HASIL PENELITIAN A. GAMBARAN UMUM RUMAH SAKIT 1. RSUD Saras Husada Purworejo...60

2. RSU Palang Biru Kutoarjo...62

B. PELAKSANAAN PENELITIAN...65

C. DESKRIPSI SUBJEK DAN DATA PENELITIAN………..……...65

D. ANALISIS DATA PENELITIAN 1. Uji Asumsi a. Uji Normalitas...67


(18)

b. Uji Linieritas...68

2. Uji Hipotesis...69

E. PEMBAHASAN...70

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN...75

B. SARAN...75

DAFTAR PUSTAKA...78

LAMPIRAN...81


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Tabel Indikator dan Distribusi Skala Stres Kerja Untuk Item Uji

coba...49

Tabel 3.2. Tabel Indikator dan Distribusi Skala Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat...52

Tabel 3.3. Tabel Distribusi Item tiap Aspek Skala Stres Kerja setelah Try Out...54

Tabel 3.4. Tabel Distribusi Item Lolos Seleksi Skala Stres Kerja...55

Tabel 3.5. Tabel Distribusi Item tiap Aspek Skala Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat setelah Try Out...57

Tabel 3.6. Tabel Distribusi Item Lolos Seleksi Skala Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat...58

Tabel 4.1. Tabel Deskripsi Statistik Data Penelitian...67

Tabel 4.2. Tabel Hasil Uji Normalitas...68

Tabel 4.3. Tabel Hasil Uji Linieritas...69

Tabel 4.4. Tabel Analisis Korelasional...70

Tabel 4.5. Tabel Analisis R Square...71


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Alat Ukur...81

Lampiran B. Data Uji Coba...83

Lampiran C. Reliabilitas Skala...103

Lampiran D. Data Penelitian...111

Lampiran E. Analisis Data Penelitian………..129

Lampiran F. Surat Keterangan Penelitian...131


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan suatu kebutuhan manusia yang sangat penting. Di tengah kehidupan masyarakat yang semakin berkembang saat ini perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan semakin besar. Kebutuhan masyarakat akan tersedianya jaminan kesehatan dan fasilitas kesehatan yang memadai juga menjadi hal yang sangat penting bagi masyarakat kita dewasa ini.

Rumah sakit sebagai salah satu lembaga yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan masyarakat diharapkan dapat memahami dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan tersedianya fasilitas dan pelayanan kesehatan yang memadai. Meskipun banyak rumah sakit yang hadir di tengah – tengah masyarakat, namun masyarakat memiliki pertimbangan – pertimbangan tertentu dalam memilih suatu rumah sakit. Pertimbangan masyarakat dalam menentukan rumah sakit pada umumnya didasarkan pada mutu pelayanan, mutu kesehatan, harga, dan fasilitas kesehatan yang tersedia dalam rumah sakit. Menurut Hasanah (2000), dari berbagai pertimbangan tersebut mutu pelayanan memiliki persentase terbesar di antara aspek lainnya. Masyarakat akan lebih mempertimbangkan rumah sakit yang memiliki mutu pelayanan kesehatan yang baik sebagai pilihan mereka dalam memanfaatkan jasa rumah sakit.


(22)

2

Perawat adalah suatu profesi yang disoroti oleh banyak pihak dalam pelayanan di rumah sakit. Perawat merupakan sumber daya manusia yang besar peranannya dalam pelayanan kesehatan masyarakat yang menentukan kinerja rumah sakit secara keseluruhan (Harnanti,1995). Tugas perawat adalah membantu proses penyembuhan dan perawatan pasien (Gunarsa, 1995). Menurut Smett (1994), perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang melakukan fungsi keperawatan dan pelayanan kesehatan. Selain itu berdasarkan intensitas dan lamanya waktu, perawat adalah tenaga kesehatan yang paling intens dan lama dalam memberikan pelayanan dan berhubungan langsung dengan pasien.

Hal tersebut dapat dilihat di unit pelayanan kesehatan rumah sakit di bagian rawat inap. Sebagai tenaga kesehatan, para perawat di bagian rawat inap selama 24 jam harus berada di dekat pasien untuk merawat dan melayani kebutuhan pasien yang tidak dapat dipenuhi sendiri selama sakit. Selain bertugas merawat pasien, perawat seringkali juga harus berhadapan dengan karakteristik pasien yang berbeda – beda. Para perawat seringkali dihujani dengan berbagai keluhan, kecemasan, dan keingintahuan dari pasien maupun keluarganya mengenai perawatan yang dilakukan.

Perawat dalam melaksanakan tugas pekerjaannya selalu bergelut dengan para pasien yang menderita berbagai macam penyakit dan diperlukan tanggung jawab yang tinggi dalam penanganannya. Pekerjaan yang penuh tekanan karena berhadapan dan bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup pasien membuat perawat memiliki beban pekerjaan yang berat.


(23)

Perawat dituntut bekerja dengan batasan waktu yang kaku dan harus bertemu serta merawat para pasien yang berbeda kebutuhannya. Melihat karakteristik dan kondisi kerja perawat tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa perawat merupakan salah satu profesi yang rentan mengalami stres kerja.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa para pekerja di bidang kesehatan mengalami stres kerja yang lebih tinggi daripada para pekerja di bidang lain dan pekerjaan tersebut salah satunya adalah perawat (Messer & Meldrum,1999). Hasil penelitian yang dilakukan oleh The National Institute for Occupational Safety and Health menemukan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan kesehatan di rumah sakit memiliki kecenderungan tinggi terkena gangguan mental seperti depresi dan stres (Inayati, 1996). Sebuah survei di Perancis mengungkapkan bahwa 64% perawat merasa kesal terhadap lingkungan kerja mereka yang penuh stres (Melsa.ned.id).

Sarafino (1990) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan ketidakseimbangan antara tuntutan – tuntutan lingkungan dan situasi dengan sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial dalam diri individu. Sutherland & Cooper (1990) juga mendefinisikan stres sebagai akibat ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan individu dengan kemampuan untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Hampir semua orang dalam kehidupan mereka mengalami stres sehubungan dengan pekerjaan mereka. Tidak jarang situasi yang stressfull ini kecil saja dan tidak berarti bagi sebagian orang, tetapi bagi banyak orang


(24)

4

situasi stres itu begitu terasa dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini menurut Cooper .,dkk (2001) dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal dalam diri individu. Faktor internal adalah faktor – faktor yang bersumber dalam diri individu, seperti usia dan pengalaman kerja, kemampuan individu menyesuaikan diri, dan juga faktor kepribadian. Faktor eksternal adalah faktor – faktor yang bersumber dari lingkungan di luar individu, misalnya: karakteristik tempat kerja, hubungan interpersonal dalam bekerja, peran dalam organisasi, struktur organisasi, promosi pekerjaan, dan peristiwa – peristiwa yang dialami individu dalam kehidupan sehari – hari. Dalam buku karya Abraham Charles & Shanley E (1997), Gray-Toff dan Anderson menyatakan bahwa stres kerja pada perawat dipengaruhi oleh faktor organisasional yang terdiri dari; ketegangan peran, hubungan interpersonal (dengan teman sekerja, dengan dokter/ supervisor, dan dengan pasien), jenis kepemimpinan organisasi, dan tuntutan pekerjaan.

Hubungan antar pribadi adalah faktor penting dalam kesehatan individu (Munandar, 2001). Sutherland & Cooper (1990) menyatakan bahwa masalah dalam hubungan dengan orang lain adalah faktor stres kerja yang paling potensial diantara faktor – faktor yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan dalam menjalin hubungan interpersonal yang dimiliki oleh perawat dapat menunjukkan tinggi rendahnya tingkat stres kerja yang dialami.

Salah satu faktor yang mendukung terjalinnya hubungan interpersonal yang baik adalah ketrampilan komunikasi interpersonal yang baik.


(25)

Keefektifan hubungan antar pribadi ditentukan oleh ketrampilan individu untuk mengkomunikasikan secara jelas informasi yang ingin disampaikan, menciptakan kesan tertentu atau mempengaruhi orang lain (Supratiknya, 1995). Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melihat lebih jauh tentang ketrampilan komunikasi interpersonal yang berkaitan dengan stres kerja, khususnya pada perawat di rumah sakit.

Johnson (dalam Supratiknya, 1995) merumuskan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi dua arah yang berlangsung apabila pengirim pesan cukup leluasa mendapatkan umpan balik dari penerima yang menangkap pesan yang dikirimnya. Komunikasi interpersonal memudahkan terjadinya saling pemahaman dalam komunikasi dan selanjutnya sangat menolong dalam mengembangkan suatu relasi yang memuaskan bagi kedua belah pihak serta kerja sama yang efektif.

Ketrampilan berkomunikasi memiliki lima landasan dasar yaitu kemampuan untuk saling memahami, mengkomunikasikan pikiran/ perasaan secara jelas dan tepat, saling menolong, dan mampu memecahkan konflik secara konstruktif (Supratiknya, 1995). Komunikasi yang akrab, hangat, dan produktif dengan orang lain dapat dikembangkan dan dipelihara dengan ketrampilan berkomunikasi yang baik.

Proses ketrampilan komunikasi interpersonal dalam keperawatan dapat dilakukan antara perawat/ teman sekerja, perawat/ dokter, perawat/ supervisor, dan perawat/ pasien. Dalam penelitian ini, ketrampilan komunikasi interpersonal dibatasi yaitu ketrampilan komunikasi perawat


(26)

6

dengan pasien. Ketrampilan komunikasi interpersonal antara perawat dengan pasien yang baik nampak pada kemampuan perawat untuk memberikan pelayanan kepada pasien, yang terdiri dari keramahan perawat, perhatian perawat, kesopanan perawat, kesabaran, dan ketulusan perawat (Supratiknya, 1995).

Dari uraian di atas, nampak adanya hubungan yang negatif antara ketrampilan komunikasi interpersonal dengan pasien dan stres kerja perawat melalui variabel mediator hubungan interpersonal. Dengan adanya latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk menguji signifikansi hubungan negatif antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan negatif yang signifikan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat.


(27)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Memberi informasi kajian teoritis dan menambah pengetahuan di bidang psikologi klinis dan psikologi industri mengenai hubungan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti tentang ketrampilan komunikasi interpersonal dan stres kerja, penelitian ini memberikan informasi dan pengetahuan tentang sumbangan ketrampilan komunikasi interpersonal terhadap stres kerja. b. Bagi perawat, penelitian ini memiliki sumbangan pemahaman

mengenai pentingnya faktor ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja perawat, sehingga perawat lebih dapat mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal yang dimiliki untuk menghadapi stres.

c. Bagi pihak rumah sakit, dapat mengetahui pentingnya tingkat ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien, sehingga dapat menjadi fasilitator yang dapat meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien sebagai salah satu upaya pencegahan stres kerja pada perawat.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perawat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perawat berasal dari kata rawat yang berarti pelihara atau urus. Jadi kata perawat berarti orang yang memelihara atau mengurus. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (dalam Dewi,2002), perawat adalah orang yang menyeselesaikan pendidikan dasar , memenuhi syarat, dan kepadanya diberi wewenang oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan perawatan yang bermutu dan penuh tanggung jawab. Jadi untuk dapat menjadi seorang perawat harus menjalani pendidikan dasar perawat, yaitu program pendidikan terencana yang memberikan landasan yang luas dan mendasar untuk melaksanakan tugas keperawatan yang efektif.

Perawat merupakan seorang tenaga kesehatan yang melakukan fungsi keperawatan pada pelayanan kesehatan (Smet, 1994). Priharjo (1995), mengungkapkan bahwa fungsi keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan secara umum dalam bentuk biologi, psikologi, sosial, dan spiritual yang komprehensif yang ditujukan kepada individu sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia.

Menurut Gunarsa (1995), perawat adalah seseorang yang telah dipersiapkan melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan


(29)

menyembuhkan orang sakit, usaha rehabilitasi, dan pencegahan penyakit yang dilaksanakan secara mandiri atau dibawah pengawasan supervisi, dokter atau suster kepala. Seorang perawat mendedikasikan dirinya pada pekerjaannya didasari oleh beberapa hal, antara lain: minat terhadap orang lain, derajat sensitivitas, menghargai hubungan dan memiliki sikap terhadap mereka yang berkedudukan tinggi. Gunarsa (1995), mengungkapkan bahwa seorang perawat dalam hubungannya dengan pekerjaan dan lingkungan sosialnya perlu mendalami beberapa sifat yang harus dimilikinya, yaitu antara lain: sehat, penampilan menarik, jujur, sportif, rendah hati, empati, dapat dipercaya, pandai bergaul, pandai menimbang perasaan, dan memiliki sikap sopan santun.

Perawat sebagai salah satu tokoh penting dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar. Tugas utama perawat adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada orang yang dalam keadaan fisik dan mental yang lemah serta kepada mereka yang membutuhkan. Menurut Bouwhuizen (1995), tugas dari pekerjaan perawat adalah untuk memberikan pertolongan (yang dilandasi keahlian) kepada orang yang sedang mengalami gangguan fisik dan kejiwaan serta dalam proses penyembuhan sehingga nantinya mereka dapat hidup mandiri dengan keterbatasan yang mereka miliki.

Henderson (dalam Priharjo,1995) mengungkapkan fungsi perawat adalah membantu individu baik sakit maupun sehat dalam beraktivitas supaya sembuh atau mempertahankan kesehatannya secara mandiri. Praktik


(30)

10

keperawatan meliputi empat area, yaitu; peningkatan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pemulihan kesehatan, dan perawatan orang menjelang ajal ( Koizer dalam Priharjo,1995).

Menurut Lloyd (dalam Krismi Diah, 2002), dalam menjalankan tugasnya seorang perawat mempunyai tanggung jawab yang besar, yaitu;

a. Legal Responsibilities, bertanggung jawab sesuai dengan hukum yang berlaku.

b. Etical Responsibilities, bertanggung jawab terhadap kode etik profesi. c. Moral Responsibilities, tanggung jawab moral (misalnya pada kasus

aborsi dan euthanasia ).

d. Contractual Responsibilities, memenuhi kontrak kepada organisasi tempat bekerja sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.

e. Personal Responsibilities, tanggung jawab sebagai individu misalnya membantu dan menyelamatkan pasien sehingga dapat memunculkan perasaan positif ketika melakukannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perawat adalah seorang yang telah dipersiapkan melalui pendidikan khusus serta diberi wewenang oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan perawatan yang bermutu dan bertanggung jawab serta merawat orang sakit maupun orang sehat dengan penuh kasih sayang yang dilaksanakan secara mandiri atau dibawah pengawasan dokter sehingga orang tersebut dapat mempertahankan kesehatannya. Perawat bertanggungjawab pada kesembuhan, kesehatan dan


(31)

kesejahteraan pasien, dan bertanggungjawab pada instansi di mana ia mengabdikan dirinya.

B. Stres Kerja Perawat 1. Pengertian Stres Kerja

Tokoh yang pertama kali meneliti tentang stres adalah Hans Selye, ia mengungkapkan bahwa stres adalah suatu respon tubuh yang tidak spesifik ketika seseorang berhadapan dengan sumber – sumber stres (Landy & Conte,2004). Dalam Munandar (2001), Selye mengungkapkan bahwa ketika organisme berhadapan dengan stressor, dia akan mendorong dirinya sendiri untuk melakukan tindakan. Usaha ini diatur oleh kelenjar adrenal yang menaikkan aktifitas sistem saraf simpatetik. Tanpa memperhatikan penyebab, individu akan merespon dengan pola reaksi yang tidak spesifik (non spesific response). Disebut respon non spesifik karena respon tersebut dapat berupa respon fisik ataupun respon psikologis.

Sarafino (1990) mendefinisikan stres sebagai kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan adanya persepsi jarak antara tuntutan – tuntutan lingkungan dan situasi dengan sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial dalam diri individu. Sama halnya dengan Sarafino, Sutherland & Cooper (1990) mendefinisikan stres sebagai akibat ketidakseimbangan antara


(32)

12

tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan untuk menemukan tuntutan tersebut.

Dalam penelitian sekarang ini, stres sering didasarkan pada asumsi bahwa stres adalah hasil dari ketidaksesuaian antara individu (kepribadian, bakat, dan kecakapan) dengan lingkungannya yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif. Stres biasanya nampak dari gejala – gejala dan tanda – tanda faal, perilaku, psikologikal, dan somatik ( Fincham & Rhodes dalam Munandar, 2001).

Pada definisi stres yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas dapat dilihat bahwa para ahli mengacu kepada pendekatan stres sebagai respon. Pendekatan stres sebagai respon, memandang stres sebagai variabel akibat. Stres dipandang sebagai suatu respon yang muncul dari dalam diri individu.

Secara umum stres dapat disimpulkan sebagai kondisi yang mengancam, menekan dan tidak menyenangkan dalam diri individu yang dapat mengakibatkan reaksi perubahan fisik, psikologis, dan tingkah laku.

Dalam dunia kerja, sering timbul berbagai masalah sehubungan dengan stres dan kondisi – kondisi yang dapat memicu munculnya stres. Stres yang disebabkan oleh faktor lingkungan pekerjaan biasa disebut dengan stres kerja.

Robbins (2005) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi dinamis yang terjadi ketika seseorang dihadapkan pada sebuah peluang, kendala


(33)

atau tuntutan yang tidak seimbang dalam pekerjaan. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan munculnya ketidakpastian yang dirasakan seseorang dalam kehidupan kerjanya. Beehr dan Newman (dalam Luthans, 2005) menyatakan bahwa stres kerja adalah respon individu dalam menyesuaikan diri terhadap situasi eksternal yang menyebabkan penyimpangan fisik, psikis, dan prilaku individu yang berpartisipasi dalam suatu organisasi.

Menurut Riggio (2002), stres kerja adalah suatu reaksi fisiologis dan/atau psikologis terhadap suatu peristiwa yang dirasa mengancam atau membebani. Peristiwa yang mengancam dan membebani tersebut kemudian biasa disebut sebagai stressor kerja. Definisi stres kerja juga dikemukakan oleh Karasek (dalam Landy & Conte,2004), yaitu stres pada pekerjaan terjadi karena tuntutan pekerjaan yang terlalu tinggi dan fungsi kontrol yang rendah. Beban pekerjaan yang tinggi juga dapat menyebabkan stres kerja. Fungsi kontrol yang dimaksud adalah kombinasi antara otonomi dalam pekerjaan dan keleluasaan dalam menggunakan kemampuan yang berbeda.

French dkk (dalam Riggio, 2002) mengemukaan bahwa stres dalam pekerjaan muncul karena adanya ketidaksesuaian antara individu dengan lingkungannya. Jadi kesesuaian antara individu dengan lingkungan akan mempengaruhi jumlah stres yang dialami. Seseorang dikatakan memiliki kesesuaian yang baik dengan lingkungan apabila kemampuan dan keahliannya sesuai dengan persyaratan pekerjaan dan lingkungan


(34)

14

kerjanya. Menurut Landy dan Conte (2004), tingkat stres yang diterima seseorang dipengaruhi oleh bagaimana persepsi terhadap tuntutan pekerjaan yang dibuat oleh lingkungan dan persepsi terhadap kemampuan orang itu untuk mengatasi tuntutan tersebut. Hal ini berarti tuntutan pekerjaan yang melebihi kemampuan individu akan menyebabkan kondisi yang penuh stres sehingga akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis, dan tingkah laku seseorang.

Dari uraian mengenai beberapa definisi stres kerja di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah suatu reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku yang muncul karena stressor dalam pekerjaan yang dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada kesehatan seseorang.

2. Sumber Stres Kerja

Menurut Sarafino (1990), beberapa hal yang dapat meningkatkan stres kerja antara lain disebabkan oleh lingkungan fisik, kurangnya kontrol, kurangnya hubungan interpersonal, dan kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja.

Sumber stres kerja menurut Sutherland & Cooper (1990) berasal dari pekerjaan itu sendiri dan dari interaksi lingkungan sosial, yaitu antara lain;

a). Stressor yang ada dalam pekerjaan itu sendiri, meliputi; beban kerja dan fasilitas kerja yang kurang.


(35)

b). Konflik peran : peran dalam pekerjaan yang tidak jelas dan tanggungjawab yang tidak jelas.

c). Masalah dalam hubungan dengan orang lain adalah stressor yang potensial, seperti hubungan dengan atasan, rekan sejawat, dan hubungan atasan – bawahan.

d). Perkembangan karir; promosi jabatan dan keselamatan kerja.

e). Iklim dan struktur organisasi,seperti; ada peraturan pembatasan perilaku dan budaya dalam organisasi.

f). Adanya konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga.

Sumber stres kerja menurut Hardjana (1994) yaitu antara lain; tuntutan kerja, kerja yang penuh tanggung jawab, lingkungan fisik kerja, rasa kurang memiliki pengendalian diri, hubungan antar manusia, pengakuan dan penghargaan, dan keamanan kerja. Sumber stres kerja tersebut bila tidak diperhatikan dan dilakukan pencegahan akan potensial memunculkan stres kerja pada karyawan.

Yuzalita (1995) mengemukakan bahwa perselisihan di lingkungan kerja, rasa jenuh, rasa bersalah, perasaan diperlakukan tidak adil, dan ketidakpastian atas sistem kenaikan pangkat merupakan kondisi yang dapat memicu pekerja untuk berada dalam keadaan stres. Luthans (2005) mengungkapkan bahwa tempat kerja yang penuh atau padat, ramai, kurang privacy, suhu ruang yang tidak tepat, bau yang tidak sedap, dan pencahayaan yang kurang memadai merupakan sumber stres yang potensial. Selain itu peralatan kerja yang kurang memadai, tugas yang


(36)

16

menuntut kehati – hatian dan ketelitian, dan tingkat keamanan yang kurang juga dapat mengakibatkan stres kerja.

Dari uraian di atas penulis menarik kesimpulan bahwa sumber stres kerja antara lain adalah; beban kerja, hubungan interpersonal, konflik peran, perkembangan karir, iklim dan struktur organisasi, adanya konflik antara tuntutan pekerjaan dengan tuntutan keluarga.

3. Faktor – Faktor Stres Kerja

Stres kerja yang dialami masing – masing individu berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Taylor (1995) mengelompokkan faktor penyebab stres antara lain; faktor biologis, psikologis, dan sosial. Faktor biologis yaitu faktor penyebab stres yang berasal dari keadaan fisiologis individu, meliputi; kesehatan, kelelahan, kurang gizi, dan cacat tubuh. Faktor psikologis berasal dari keadaan psikis individu yang mengalami hambatan misalnya individu yang memiliki pola pikir irasional lebih rentan terhadap stres daripada individu yang memiliki pola pikir rasional. Faktor sosial yaitu penyebab stres yang berhubungan dengan keadaan lingkungan, seperti kepadatan, kebisingan, dan tekanan ekonomi.

Hardjana (2003) menjelaskan bahwa faktor penyebab stres yang dialami oleh seseorang berasal dari 3 faktor antara lain: faktor individu, keluarga, dan lingkungan. Lingkungan yang dapat menjadi sumber stres pada seseorang adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan pekerjaan.


(37)

Landy dan Conte (2004) membagi faktor stres kerja menjadi dua bagian, yaitu fisik dan psikis.

a. Fisik

Stresor fisik berasal dari lingkungan fisik seorang pekerja. Hal ini berkaitan dengan tugas – tugas yang diterima oleh pekerja, misalnya banyaknya pekerjaan, jam kerja yang harus dipenuhi dan sebagainya. Selain itu juga berupa kondisi lingkungan yang mengelilingi seorang pekerja misalnya suara bising, ruang kerja sempit, dan sirkulasi udara buruk akan memudahkan pekerja rentan terhadap stres.

b. Psikis, terdiri dari ;

1). Kurangnya fungsi kontrol

Seseorang yang tidak mampu melakukan kontrol terhadap pekerjaannya akan lebih mudah mengalami stres (www.vtaide.com,2006).

2). Konflik interpersonal

Konflik interpersonal merupakan interaksi negatif antara karyawan dengan rekan sejawat, supervisor ataupun klien. Dampak dari konflik interpersonal adalah gangguan kesehatan, ketidakpuasan kerja, dan stres kerja (Landy dan Conte,2004).

3). Ketaksaan peran

Peran yang ambigu, konflik peran, dan peran yang overload merupakan stresor yang potensial.


(38)

18

4). Emotional Labor

Emotional labor adalah pekerjaan yang bergerak dibidang pelayanan (Statt, 1994). Emotional labor memicu munculnya stres ketika seseorang harus menunjukkan emosi tertentu yang berlawanan dengan apa yang sedang dirasakannya (Landy dan Conte, 2004)

Munandar (2001) menyatakan bahwa stres yang dialami oleh individu ditentukan oleh individu itu sendiri, sejauh mana ia melihat situasi yang ia alami penuh stres. Reaksi – reaksi psikologis, fisiologis, dan reaksi perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individu, yang mencakup ciri – ciri kepribadian yang khusus dan pola – pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai, pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan, dan kecakapan. Dapat disimpulkan bahwa faktor dalam diri individu memiliki peranan penting dalam menanggapi situasi stressfull. Faktor ini menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap stress.

Robbins (2005) menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan munculnya stres kerja dibedakan menjadi 3 faktor yaitu;

a. Faktor lingkungan, meliputi;

1.) Ketidakpastian ekonomi ; dapat berupa naik turunnya nilai mata uang, naik turunnya harga barang, dan terjadinya krisis ekonomi.


(39)

2.) Ketidakpastian politik ; misalnya sering terjadi kerusuhan, perpecahan suku bangsa, dan situasi pemerintahan yang tidak jelas.

3.) Ketidakpastian teknologi ; dapat berupa kemajuan teknologi yang sangat pesat yang muncul dengan berbagai inovasi baru, teknologi komputer, dan otomatisasi yang menyebabkan karyawan dituntut lebih terampil dan berpengalaman.

b. Faktor Organisasional

1.) Kondisi intrinsik tugas; tuntutan tugas, karakteristik tugas, pelaksanaan tugas, dan hubungan antara satu tugas dengan tugas yang lain.

2.) Karakteristik peran; ketidakjelasan peran dan konflik peran.

3.) Karakteristik lingkungan sosial; dalam organisasi tugas dan peran antara individu yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Hal ini membentuk pola hubungan interpersonal dalam organisasi. Apabila hubungan interpersonal dalam organisasi tidak terjalin dengan baik akan berpotensi memunculkan stres.

4.) Iklim organisasi; budaya organisasi, sistem penggajian, disiplin kerja, struktur organisasi, dan proses pengambilan keputusan. 5.) Karakteristik fisik lingkungan kerja; ventilasi, suhu, penerangan,

peralatan kerja, tingkat keamanan, dan tugas yang menuntut ketelitian dan kehati – hatian.


(40)

20

c. Faktor Individual

1.) Kepribadian ; orang yang memiliki tipe kepribadian A dicirikan sebagai individu yang semangat kompetisinya tinggi dan disiplin yang tinggi sehingga cenderung mudah mengalami stres.

2.) Persepsi individu ; hal ini menyebabkan perbedaan individu dalam merespon stresor yang dihadapi.

3.) Pengalaman kerja ; individu yang sudah memiliki pengalaman kerja yang lama akan lebih tahan terhadap stres karena sudah memiliki bentuk mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi stres.

4.) Locus of control ; individu yang memiliki locus of control eksternal lebih mudah mengalami stres daripada individu yang memiliki locus of contol internal.

Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa tingkat stres kerja pada individu dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari: persepsi individu, locus of control, kepribadian, usia, jenis kelamin, dan strategi cooping individu. Sementara faktor eksternal terdiri dari: dukungan sosial, pengalaman kerja, pendidikan, dan hubungan interpersonal. Dalam penelitian ini faktor penyebab stres dilihat dari faktor ekternal khususnya hubungan interpersonal sebagai salah satu faktor penyebab stres.


(41)

4. Indikator Stres Kerja

Indikator stres kerja pada individu dapat dibagi menjadi tiga kategori umum meliputi; gejala fisiologis, gejala psikologis, dan gejala prilaku (Luthans, 2005; Robbins,2005), yaitu:

a. Gejala Fisiologis

Gejala fisiologis yaitu dengan munculnya berbagai macam keluhan – keluhan fisik seperti gatal – gatal dikulit, rambut rontok, nyeri lambung, berkeringat, dan tubuh panas dingin. Stres dapat mengakibatkan gangguan metabolisme dalam tubuh, meningkatnya tekanan darah, peningkatan kadar gula darah, meningkatnya laju detak jantung, gangguan pernafasan, menimbulkan serangan sakit kepala, dan bahkan menyebabkan timbulnya serangan jantung.

b. Gejala Psikologis

Gejala psikologis yang muncul sebagai akibat dari stres antara lain menimbulkan ketegangan, mudah marah, perasaan terbebani, ketidaktenangan, kecemasan, kebosanan, dan suka menunda – nunda pekerjaan. Semua ini dapat mempengaruhi suasana hati dan keadaan emosi lain yang berkaitan erat dengan prestasi kerja, ketidaksukaan pada pengawas, gangguan konsentrasi, dan keputusasaan.

c. Gejala Perilaku

Gejala prilaku dikaitkan dengan stres mencakup gangguan komunikasi dalam pekerjaan, perubahan dalam produktivitas, absen, tingkat keluarnya karyawan, mudah terkena kecelakaan, perubahan dalam


(42)

22

kebiasaan makan, meningkatnya kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, penyalahgunaan obat, bicara cepat, gelisah, dan gangguan tidur. Luthans (2005) menemukan bahwa stres menimbulkan dampak yang kuat pada tindakan – tindakan agresif seperti sabotase, agresi interpersonal, permusuhan dan berbagai macam keluhan. Hal ini berkaitan dengan performansi kerja yang rendah, tingkat harga diri yang rendah, kebencian, dan kemarahan.

Menurut Hardjana (1994), gejala stres kerja yang muncul pada individu menyerang segala segi dalam diri individu. Manusia merupakan suatu kesatuan antara jiwa dan badan. Maka gejala stres yang muncul juga menyerang kedua kesatuan dalam diri manusia tersebut. Gejala stres ditemukan dalam segala segi individu yang penting meliputi: fisik, emosi, intelektual, dan interpersonal.

Gejala – gejala stres menurut Hardjana (1994) dijelaskan sebagai berikut ;

a. Gejala fisik dapat berupa sakit kepala, pusing, tidur tidak teratur, sakit punggung, gangguan pencernaan, gatal – gatal pada kulit, ketegangan otot, tekanan darah tinggi/ serangan jantung, berubah selera makan, dan terlalu banyak mengeluarkan keringat.

b. Gejala emosional yang dirasakan dapat berupa gelisah, cemas, sedih, depresi, berubah – ubah mood, mudah marah, gugup, terlalu peka, dan mudah bermusuhan.


(43)

c. Gejala intelek dapat dirasakan dari gejala – gejalanya yaitu susah konsentrasi, sulit membuat keputusan, mudah lupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, produktivitas dan prestasi kerja menurun, banyak melakukan kekeliruan dalam bekerja, dan kehilangan rasa humor yang sehat.

d. Gejala interpersonal yang dirasakan akan mempengaruhi hubungan dengan orang lain. Gejala – gejala interpersonal yang dialami adalah kehilangan kepercayaan pada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain, mudah membatalkan janji, suka menyerang atau mencari kesalahan orang lain dan bersikap terlalu tertutup pada orang lain.

Dari uraian diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa indikator stres kerja yang muncul pada individu meliputi antara lain; gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala tingkah laku.

5. Stres Kerja Perawat

Perawat adalah seorang yang telah dipersiapkan melalui pendidikan dasar serta diberi wewenang oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan perawatan yang bermutu dan bertanggung jawab. Perawat sebagai tokoh utama dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar.

Tugas utama perawat adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada orang yang dalam keadaan fisik dan mental yang lemah serta kepada mereka yang membutuhkan.Perawat juga bertugas merawat orang


(44)

24

sakit maupun orang sehat dengan penuh kasih sayang yang dilaksanakan secara mandiri atau dibawah pengawasan dokter sehingga orang tersebut dapat mempertahankan kesehatannya.

Perawat cenderung memiliki stres kerja yang tinggi hal ini disebabkan oleh tugas keperawatan itu sendiri dan lingkungan kerjanya. Tugas perawat secara umum memberikan pelayanan perawatan kepada pasien. Pusat perhatian perawat saat ini menitikberatkan pada hubungan antara perawat dengan pasien sebagai individu aktif sehingga sangat memperhatikan aspek psikososialnya. Disamping itu, status dan otoritas perawat berkembang tidak hanya menjadi pembantu dokter, tetapi bertanggung jawab untuk mengambil keputusan dalam praktik keperawatan (Corbett, dalam Ellis, 1995)

Sarafino (1990) menjelaskan bahwa beberapa kondisi menyebabkan pekerjaan perawat menjadi sangat menekan. Kondisi tersebut adalah tanggungjawab atas kehidupan dan kesehatan orang lain, beban kerja yang berat, keharusan untuk berhubungan dengan masalah kehidupan dan kematian, dan gambaran tentang konsekuensi yang berat yang harus ditanggung bila melakukan kesalahan.

Menurut Gray-Toff dan Anderson (dalam Abraham Charles & Shanley E,1997), stres kerja pada perawat dipengaruhi oleh faktor organisasional yang terdiri dari; ketegangan peran, hubungan interpersonal (dengan teman sekerja, dengan dokter/ supervisor, dan dengan pasien), jenis kepemimpinan organisasi, dan tuntutan pekerjaan.


(45)

Berdasarkan hasil penelitian para ahli ditemukan lima sumber stres kerja perawat sesuai dengan tingkat kepentinggannya (Abraham dan Shanley, 1997) yaitu ;

a. Beban kerja yang berlebih ; misalnya terlalu banyak merawat pasien, tidak bisa membantu teman sekerja karena keterbatasan waktu.

b. Kesulitan menjalin hubungan ; kurangnya komunikasi dengan staf lain, kesulitan berkomunikasi dengan pasien, kesulitan menjalin kerjasama dengan supervisor dan staf lain.

c. Kesulitan dalam merawat pasien kritis ; misalnya tidak dapat menggunakan peralatan baru, kesulitan mengelola prosedur yang baru. d. Kesulitan dalam pengobatan/ perawatan pasien ; tidak memahami

kebutuhan sosial dan emosional pasien, menghadapi pasien atau keluarga pasien yang tidak bisa diajak kerjasama.

e. Gagal dalam merawat pasien ; gagal merawat pasien, pasien meninggal selama dirawat.

Akibat – akibat stres yang muncul pada diri seseorang dapat terlihat dalam berbagai macam cara. Seseorang yang mengalami stres yang tinggi dapat menderita tekanan darah tinggi, tukak lambung, mudah marah, sulit membuat keputusan, hilang selera makan, rawan kecelakaan karena berkurangnya konsentrasi dan lain – lain. Semua ini dapat dibagi menjadi tiga kategori umum meliputi; gangguan pada fisik, gangguan psikologis, gangguan tingkah laku (Luthans, 2005). Gejala – gejala yang


(46)

26

muncul tersebut dapat mengganggu perawat dalam membantu proses penyembuhan dan perawatan pasien.

C. Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat dengan Pasien 1. Pengertian Ketrampilan Komunikasi Interpersonal

De Vito (1997) mengungkapkan pendapatnya bahwa dari semua pengetahuan dan ketrampilan, pengetahuan dan ketrampilan komunikasi termasuk yang paling penting dan berguna. Melalui komunikasi seseorang dapat berbicara, mengenal, mengevaluasi, meyakinkan diri sendiri, mempertimbangkan berbagai keputusan yang diambil, dan menyiapkan pesan yang akan disampaikan kepada orang lain. Melalui komunikasi antar pribadi seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain, mengenal orang lain, dan mengungkapkan diri kepada orang lain.

Komunikasi berasal dari bahasa latin ”communication” yang berarti pertukaran pikiran. Jadi komunikasi oleh sebagian orang dianggap sebagai proses pemberitahuan dari satu pihak ke pihak lain, yang dapat berupa rencana – rancana, instruksi, petunjuk, dan sarana. Muhammad (2000) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah pertukaran pesan verbal maupun non verbal antara si pengirim dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku. Pengirim pesan dapat berupa individu, kelompok maupun suatu organisasi demikian juga dengan si penerima pesan. Proses komunikasi berlangsung melalui tahapan – tahapan tertentu dan berkesinambungan, berubah – ubah dan tidak berakhir. Proses


(47)

komunikasi merupakan proses yang timbal balik karena si pengirim dan si penerima saling mempengaruhi.

Dalam suatu organisasi komunikasi mempunyai arti penting. Salah satu bentuk komunikasi yang digunakan dalam organisasi adalah komunikasi interpersonal. Rogers (dalam Liliweri, 1991) mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara dua atau lebih pribadi.

Komunikasi interpersonal merupakan pengiriman informasi atau pesan oleh seseorang dan diterima oleh orang lain dan mendapatkan umpan balik secara langsung (De Vito, 1997). Muhammad (2000) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi antara seseorang dengan sekurangnya seorang yang lain atau antara dua orang secara langsung dan mendapatkan umpan balik. Komunikasi interpersonal membentuk suatu hubungan dengan orang lain. Hubungan tersebut bisa menjadi hubungan yang intim, percakapan sosial, interograsi, dan wawancara.

Johnson (dalam Supratiknya, 1995) merumuskan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi dua arah yang berlangsung apabila pengirim pesan cukup leluasa mendapatkan umpan balik dari penerima yang menangkap pesan yang dikirimnya. Komunikasi interpersonal memudahkan terjadinya saling pemahaman dalam komunikasi dan


(48)

28

selanjutnya sangat menolong dalam mengembangkan suatu relasi yang memuaskan bagi kedua belah pihak serta kerja sama yang efektif.

Ketrampilan komunikasi tidak serta merta ada sejak kita dilahirkan, oleh karena itu untuk dapat memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik perlu proses pembelajaran dan pelatihan. Memiliki ketrampilan dalam berkomunikasi sangat penting artinya untuk menjaga kelangsungan komunikasi kita dengan orang lain. Seperti ketrampilan – ketrampilan yang lainnya, ketrampilan komunikasi dapat dipelajari dengan kiat – kiat tertentu (Johnson dalam Supratiknya, 1995).

Ketrampilan komunikasi interpersonal sangat penting dimiliki agar terwujud komunikasi yang efektif. Ketrampilan komunikasi interpersonal adalah tingkat dimana perilaku kita dalam komunikasi interpersonal sesuai dengan situasi dan membantu kita mencapai tujuan komunikasi interpersonal yang kita lakukan dengan orang lain ( Hardjana, 2003). Johnson (dalam Supratiknya, 1995) mengungkapkan bahwa ketrampilan dasar berkomunikasi sangat dibutuhkan untuk dapat memulai, mengembangkan dan memelihara komunikasi yang produktif, hangat dan akrab dengan orang lain.

Kemampuan seseorang untuk mengirim pesan secara efektif disebut ketrampilan komunikasi interpersonal. Ketrampilan komunikasi interpersonal meliputi banyak hal, seperti kemampuan untuk memahami individu yang diajak bicara dan memahami cara mengirimkan pesan secara efektif (De Vito, 1997).


(49)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketrampilan komunikasi interpersonal adalah tingkat kemampuan seseorang untuk melakukan proses pengiriman pesan antara minimal satu orang dengan orang lain dan terjadi secara langsung, dengan efek umpan balik secara langsung. Dalam proses komunikasi ini prilaku individu disesuaikan dengan situasi dan dapat mencapai tujuan komunikasi interpersonal.

2. Komponen Dasar Komunikasi Interpersonal

Menurut De Vito (1997), komponen komunikasi interpersonal dapat dibedakan menjadi beberapa komponen, yaitu antara lain ;

a. Pengirim dan Penerima Pesan

Istilah pengirim dan penerima pesan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan untuk menegaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam komunikasi adalah sumber (pengirim) sekaligus penerima. b. Kodifikasi dan dekodifikasi

Kodifikasi diartikan sebagai tindakan menghasilkan pesan, misalnya berbicara atau menulis. Sedangkan dekodifikasi mengacu pada proses untuk mengerti dan memahami pesan yang diterima dari pihak lain, misalnya mendengarkan atau membaca.

c. Kompetensi

Kemampuan seseorang untuk mengirim pesan secara efektif disebut kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal meliputi banyak


(50)

30

hal, seperti kemampuan untuk memahami individu yang diajak bicara, memahami cara mengirimkan pesan secara efektif.

d. Pesan

Pesan adalah segala sesuatu yang ingin disampaikan kepada pihak lain. Pesan ini bisa berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, dan himbauan yang disampaikan baik secara langsung tatap muka maupun tidak langsung. Dalam komponen ini juga mengacu pada umpan balik, yaitu respon terhadap pesan yang diterima dari pengirim pesan.

e. Saluran

Saluran adalah jalan yang dilalui oleh pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Saluran yang biasa dalam komunikasi adalah gelombang suara yang dapat kita dengar.

f. Noise atau Gangguan

Gangguan ini mengacu pada hal – hal yang mengganggu proses komunikasi, sehingga terdapat perbedaan persepsi antara pesan yang dikirim dengan pesan yang diterima.

g. Konteks

Terbagi menjadi tiga hal, yaitu ;

1.) Dimensi fisik, yaitu lingkungan dimana proses komunikasi terjadi.

2.) Dimensi temporal, yaitu mencakup hitungan waktu disaat proses komunikasi terjadi.


(51)

3.) Dimensi sosial psikologis, yaitu didalamnya termasuk status sosial antara komunikan dan komunikator dan norma masyarakat yang berlaku.

h. Efek

Efek komunikasi dirasakan oleh pihak – pihak yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut, biasanya bersifat personal.

i. Etika

Etika dalam komunikasi terkait dengan falsafah hidup setiap individu, sehingga sukar untuk menyarankan pedoman yang berlaku bagi semua orang. Dapat dikatakan bahwa komunikasi yang etis adalah bila menjamin kebebasan seseorang dalam memilih dengan memberikan dasar informasi yang akurat.

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Interpersonal Lunandi (1994) menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal, yaitu ;

a. Citra diri

Gambaran setiap individu mengenai dirinya sendiri sangat mempengaruhi bagi cara individu berbicara, menjadi penyaring bagi apa yang dilihat, dan penilaiannya terhadap segala yang berlangsung di sekitarnya. Citra diri menentukan persepsi dan ekspresi seseorang. Bila seseorang memiliki citra diri positif , ia akan lebih terbuka dan


(52)

32

menghargai perbedaan dengan orang lain sehingga komunikasi akan terasa lebih menyenangkan.

b. Citra pihak lain

Orang lain memiliki gambaran tersendiri tentang diri seseorang dan dengan gambaran tersebut mereka berkomunikasi. Citra dari pihak lain memiliki perpaduan yang kuat untuk menentukan gaya dan ciri seseorang ketika berkomunikasi.

c. Lingkungan fisik

Setiap tempat memiliki norma tersendiri yang harus dihormati. Lingkungan fisik memberikan batasan manusia untuk berperilaku. Seseorang mungkin akan lebih banyak berbisik ketika berada ditempat ibadah atau di rumah sakit dan lebih suka berteriak ketika di rumah sendiri.

d. Lingkungan sosial

Untuk mencapai komunikasi yang efektif, seseorang harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan dimana ia berada dan membedakan lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lain.

e. Kondisi

Seseorang tidak selamanya berada dalam kondisi yang sehat. Seseorang secara fisik kadang merasa letih dan lesu. Selain itu kondisi emosional seseorang juga sangat mempengaruhi proses komunikasi.


(53)

f. Bahasa tubuh

Bahasa tubuh dapat menjadi medium pesan yang dikirimkan. Melalui gerakan tubuh, tatapan mata, ekspresi wajah, kecepatan, dan volume suara orang lain menafsirkan pesan apa yang ingin dikirimkan lawan bicara. Komunikasi yang efektif haruslah disertai dengan bahasa tubuh yang positif dan tepat.

4. Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat dengan Pasien

Komunikasi biasa terjadi antara dua orang atau sekelompok orang dan terjadi dalam keperawatan profesional, misalnya; perawat/pasien, perawat/perawat, atau perawat/dokter/personalia. Ellis (1999) mengungkapkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan fokus dari hubungan perawat dengan pasien yang menggunakan bahasa verbal maupun unsur – unsur lain yang berkaitan.

Ketrampilan komunikasi interpersonal perawat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien. Komunikasi interpersonal perawat dengan pasien yaitu proses komunikasi antara perawat dan pasien yang terjadi secara langsung dan mendapat umpan balik secara langsung pula. Melalui proses komunikasi interpersonal, keduanya berinteraksi dan dapat menjadi penerima maupun pengirim pesan. Penerima pesan secara aktif terlibat dalam proses komunikasi dan memberikan umpan balik secara langsung.


(54)

34

Ketrampilan komunikasi interpersonal yaitu tingkat kemampuan seseorang untuk mengirim dan menerima pesan secara efektif. Ketrampilan komunikasi interpersonal meliputi kemampuan untuk memahami individu yang diajak bicara dan memahami cara mengirimkan pesan secara efektif (De Vito,1997).

Ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien adalah tingkat kemampuan perawat dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien yang terdiri dari keramahan, perhatian, kesopanan, kesabaran, dan ketulusan (libunair@indo.net.id).

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ketrampilan komunikasi interpersonal perawat adalah tingkat kemampuan perawat dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien yang terdiri dari keramahan, perhatian, kesopanan, kesabaran, dan ketulusan sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara perawat dengan pasien.

5. Indikator Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat dengan Pasien

Menurut Kariyoso (1994), ada beberapa sikap perawat yang dapat mendukung terciptanya komunikasi yang efektif dengan pasien. Sikap – sikap yang mencerminkan ketrampilan komunikasi interpersonal yang harus dimiliki perawat yaitu:


(55)

a. Sikap terbuka

Pembukaan diri adalah mengungkapkan tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan dan berguna untuk dimasa kini.

b. Muka manis

Tugas perawat adalah membantu perawatan pasien yang menderita penyakit. Keadaan dalam diri pasien yang sakit tentunya menimbulkan berbagai perasaan negatif dan bahkan tekanan jiwa dalam diri pasien.

Perawat sedapat mungkin membantu pasien dengan memberikan hiburan agar perasaan pasien menjadi nyaman dan tenang. Dalam hal ini perawat yang berperanan dalam menumbuhkan perasaan positif dalam diri pasien yaitu dengan penampilan yang menarik dan menunjukkan bahasa non verbal yang positif.

c. Saling percaya

Perlu adanya kepercayaan dari keluarga pasien, pasien itu sendiri, teman sekerja, dokter, dan supervisor untuk melakukan tugas perawatan. Lebih dari itu harus ada kepercayaan akan diri sendiri akan ketulusan hati dan itikad baik perawat.


(56)

36

d. Rendah hati

Seorang perawat harus dapat meninggalkan kesan pada orang lain melalui perbuatan dan tindakannya bukan karena ucapan yang memuji dirinya sendiri.

e. Dapat menjadi pendengar yang baik

Seorang perawat selain harus memiliki ketrampilan komunikasi yang baik, dalam menjalin hubungan dengan pasien juga harus memiliki ketrampilan yang baik untuk mendengarkan. Perlu adanya usaha untuk menghormati dan menghargai pasien serta dengan teman sekerja maupun atasan.

Menurut Johnson (dalam Supratiknya,1997), ada beberapa ketrampilan dasar dalam berkomunikasi dengan orang lain, yaitu; pembukaan diri, mampu mendengarkan lawan bicara, mampu mengkomunikasikan gagasan atau ide dengan baik, penerimaan terhadap orang lain dan mampu memecahkan konflik antarpribadi.

Menurut De Vito (1997) komunikasi interpersonal yang efektif dapat terwujud apabila disertai beberapa kemampuan, yaitu:

a. Keterbukaan yang terdiri dari 3 aspek, yaitu:

1. Keinginan untuk berinteraksi terbuka dengan orang lain, yaitu kesediaan pelaku komunikasi untuk memberikan informasi – informasi tentang dirinya kepada orang lain.

2. Keinginan untuk menanggapi secara jujur semua stimuli yang datang. Keterbukaan dalam hal ini ditunjukkan dengan merespon


(57)

secara spontan dengan memberikan umpan balik terhadap pesan dari orang lain

3. Kesediaan untuk mengungkapkan sikap, perasaan dan pendapat yang dimiliki secara jelas. Keterbukaan dalam hal ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengkomunikasikan secara jelas sikap, perasaan dan pendapat yang dimiliki tentang suatu hal. b. Empati, yaitu merasakan dan memahami dalam cara yang sama

dengan apa yang dirasakan oleh orang lain tanpa kehilangan identitas diri. Melalui empati kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti orang lain merasakan. Keakuratan empati meliputi sensitivitas untuk merasakan kejadian – kejadian saat tidak mampu mengerti tanda – tanda yang diucapkan ketika komunikasi berlangsung.

c. Dukungan baik yang terucap maupun yang tidak terucapkan seperti senyuman dan anggukan kepala. Menurut Gibb (dalam De Vito,1997) menyatakan bahwa dukungan kepada orang lain dalam komunikasi interpersonal dapat dinyatakan melalui sikap ;

1. Deskripsi, jika seseorang dihadapkan pada situasi komunikasi yang deskripsi maka ia akan bebas mengungkapkan sikap, perasaan, dan pikiran.

2. Provisionalism, adalah kemampuan seseorang untuk berfikir secara terbuka, mau menerima pandangan orang lain yang berbeda dengan pandangannya.


(58)

38

d. Kepositifan yang terdiri dari 3 aspek, yaitu:

1. Komunikasi interpersonal akan berhasil apabila terdapat perhatian yang positif terhadap diri seseorang.

2. Komunikasi interpersonal akan terpelihara baik bila suatu perasaan positif terhadap orang lain dikomunikasikan.

3. Perasaan positif dalam situasi komunikasi interpersonal sangat bermanfaat untuk pengefektifan kerjasama.

f. Kesamaan pribadi bertujuan agar masing – masing pihak yang berkomunikasi merasa dihargai dan dihormati sebagai manusia yang mempunyai sesuatu yang penting untuk dikontribusikan kepada orang lain.

Dari uraian tersebut diatas, penulis memilih beberapa indikator ketrampilan komunikasi interpersonal perawat-pasien yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;

a. Empati; merasakan dan memahami dengan cara menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang lain.

b. Kemampuan untuk mendengarkan; perawat mampu menanggapi dengan tepat dan mampu memdengarkan keluhan – keluhan pasien serta memahami penderitaan pasien.

c. Membangun keterbukaan; perawat mampu terlibat dalam perbincangan dengan pasien dan tidak menutup diri dengan memberikan informasi yang menunjang kesembuhan pasien.


(59)

d. Membangun kepercayaan sehingga dapat membangun kerjasama dan penghargaan positif pada pasien.

e. Rendah hati; seorang perawat harus dapat meninggalkan kesan pada orang lain melalui perbuatan dan tindakannya bukan karena ucapan yang memuji dirinya sendiri.

D. Hubungan Antara Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat Dengan Pasien Dan Stres Kerja Perawat Di Rumah Sakit

Perawat sebagai praktisi kesehatan sangat rentan terhadap stres. Hal ini disebabkan oleh banyak sumber stres. Sumber stres perawat bisa berupa beban kerja yang terlalu berat maupun kegagalan perawat dalam melakukan proses penyembuhan dan pelayanan pasien.

Perawat cenderung memiliki tingkat stres yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh tugas keperawatan itu sendiri dan lingkungan kerjanya. Berbagai ketegangan yang terjadi dan dialami dalam lingkungan kerjanya dapat menimbulkan berbagai macam gejala stres, antara lain; tekanan darah naik, kecemasan, ketidakmampuan berkonsentrasi, gangguan prilaku dan lain – lain (Robbins,2005). Dalam profesi kesehatan khususnya perawat hal tersebut sangat mengganggu karena tanggungjawab mereka yang sangat besar pada kehidupan pasiennya. Maka stres pada perawat perlu diperhatikan dan dilakukan usaha pencegahan.

Robbins (2005) mengungkapkan bahwa faktor organisasional yang mempengaruhi stres kerja antara lain adanya konflik interpersonal. Menurut


(60)

40

Gray-Toff dan Anderson (dalam Abraham Charles & Shanley E,1997), stres kerja pada perawat dipengaruhi oleh faktor organisasional yang terdiri dari; ketegangan peran, hubungan interpersonal (dengan teman sekerja, dengan dokter/ supervisor, dan dengan pasien), jenis kepemimpinan organisasi dan tuntutan pekerjaan. Nampak bahwa hubungan interpersonal atau relasi dengan orang lain yang baik adalah faktor penting yang menyebabkan seseorang supaya tidak mudah mengalami stres.

Menurut Johnson (dalam Supraktinya, 1995) keefektifan hubungan interpersonal ditentukan oleh ketrampilan individu dalam mengkomunikasikan secara jelas informasi yang ingin disampaikan. Jelas bahwa ketrampilan komunikasi interpersonal adalah faktor penting dalam menjalin hubungan interpersonal.

Hubungan interpersonal yang terjalin dengan baik dapat membentuk citra diri seseorang. Seseorang yang memiliki citra diri positif dapat memahami diri sendiri, baik kelebihan maupun kelemahannya serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri sehingga mampu mengatasi masalah. Citra diri positif dapat menumbuhkan keyakinan untuk menyelesaikan segala masalah. Keyakinan tersebut disebut efikasi diri. Efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai tipe – tipe performansi yang telah direncanakan (Bandura,1986). Menurut Bandura (1986), individu yang memiliki efikasi diri tinggi cenderung lebih toleran terhadap tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan atau ketegangan.


(61)

Perawat adalah tenaga kesehatan yang intens dan lama berinteraksi dengan pasien. Mutu pelayanan di rumah sakit sangat ditentukan oleh kinerja perawat. Suatu hubungan yang harmonis antara perawat dengan pasien sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan dan keselamatan pasien. Oleh karena itu, ketrampilan komunikasi interpersonal antara perawat dengan pasien yang efektif sangat diperlukan untuk menjalin hubungan yang harmonis antara perawat dengan pasiennya dan untuk meminimalkan munculnya stres kerja pada perawat agar tercapai tujuan mutu pelayanan dalam rumah sakit.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang negatif antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dan stres kerja pada perawat. Ketrampilan komunikasi intepersonal perawat yang baik akan meminimalkan resiko stres kerja pada perawat, dan sebaliknya ketrampilan komunikasi interpersonal perawat yang buruk akan menimbulkan stres kerja yang tinggi pada perawat. Hubungan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dan stres kerja perawat dapat dilihat dengan jelas dalam skema dibawah ini.


(62)

Skema 2.1 Hubungan antara Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat dan Stres Kerja Perawat

PERAWAT

TUGAS PERAWAT

U Menjalankan pesanan dokter

U Menjalankan intervensi keperawatan

U Bertanggungjawab terhadap pasien STRESSOR KEPERAWATAN

U Beban kerja (overload & underload)

U Konflik peran

U Kegagalan merawat pasien

U Kesulitan merawat pasien kritis

Dampak Positif Hubungan Interpersonal

•Relasi/ interaksi yang baik akan berpengaruh pada mood perawat. •Citra diri perawat positif Efikasi diri

perawat tinggi : keyakinan perawat atas kemampuannya menanggulangi stressor. •Menpermudah pemecahan masalah :

dengan berelasi maka dapat mengatasi konflik bersama.

Ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan

pasien tinggi

Hubungan Interpersonal perawat dengan

pasien tinggi

STRES KERJA RENDAH


(63)

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja pada perawat.


(64)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional yaitu penelitian yang bertujuan untuk mencari suatu hubungan dari dua variabel. Sesuai dengan sifatnya, penelitian ini ingin mencari hubungan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dan stres kerja perawat.

B. Identifikasi Variable Penelitian

Variabel – variabel yang diidentifikasi dalam penelitian ini yaitu antara lain:

1. Variabel Bebas : Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat 2. Variabel Tergantung : Stres Kerja Perawat

C. Definisi Operasional 1. Stres Kerja Perawat

Stres kerja merupakan suatu reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku yang muncul akibat ketegangan, ketidaknyamanan, dan adanya kondisi mengancam yang dirasakan dalam diri individu karena adanya ketidakseimbangan antara kemampuan individu dengan tuntutan pekerjaan. Dalam penelitian ini, stres kerja perawat diukur dengan menggunakan skala pengukuran stres kerja. Skala stres kerja


(65)

ditunjukkan oleh gejala - gejala stres kerja yang muncul pada individu. Gejala stres ditentukan dalam berbagai aspek penting meliputi: gangguan fisik, gangguan psikologis, dan gangguan tingkah laku. Tingkat stres diungkap dengan skor total skala, semakin tinggi skor total skala maka semakin tinggi tingkat stres kerja dan semakin rendah skor total skala maka semakin rendah tingkat stres kerjanya. 2. Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat dengan Pasien

Ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien adalah tingkat kemampuan perawat untuk berkomunikasi dengan pasien secara efektif. Dalam penelitian ini, ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dilihat dengan menggunakan skala pengukuran ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien. Skala ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dibatasi dengan beberapa indikator yaitu; empati, kemampuan untuk mendengarkan pasien, membangun keterbukaan, mampu membangun kepercayaan dan kerendahan hati. Ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien yang baik dapat diungkap dengan skor total skala, semakin tinggi skor total skala maka semakin tinggi ketrampilan komunikasi interpersonalnya dan semakin rendah skor total skala maka semakin rendah ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien.


(66)

46

D. Subyek

Karakteristik subjek perawat yang akan diambil sebagai subjek penelitian ditentukan dengan beberapa persyaratan. Dengan kriteria sebagai berikut;

1. Dilihat dari lamanya bekerja, subjek yang akan diteliti bekerja minimal 1 tahun. Batasan ini dibuat dengan asumsi bahwa perawat yang telah bekerja minimal 1 tahun telah dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaannya, selain itu perawat telah memahami bidang pekerjaannya. 2. Berjenis kelamin wanita, karena reaksi – reaksi hormonal perempuan

terhadap sejumlah stressor lebih tinggi dari pada laki-laki (Smet,1994). Oleh karena itu, peneliti ingin mengontrol sifat dan karakter subyek penelitian dengan kontrol jenis kelaminnya.

3. Berusia antara 18 – 40 tahun, batasan usia ini adalah usia produktif individu pada umumnya.

Subyek penelitian dalam penelitian ini yang sesuai dengan karakteristik diatas akan diambil dari sejumlah perawat yang bekerja di RSU Palang Biru Kutoarjo dan RSUD Saras Husada Purworejo. Pemilihan kedua rumah sakit tersebut berdasarkan pada pertimbangan bahwa dengan mengambil dua kelompok subjek dari latar belakang organisasi yang berbeda maka hasil penelitian akan lebih representatif dan lebih dapat digeneralisasikan. Persamaan perawat dari kedua rumah sakit yang diambil sebagai subjek adalah perawat yang memberikan pelayanan medis pada pasien. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.


(67)

E. Prosedur Penelitian

1. Membuat skala penelitian yang terdiri dari skala ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dengan skala stres kerja perawat untuk diuji coba pada kelompok subjek yang memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok subjek penelitian.

2. Melakukan uji kesahihan item dan reliabilitas skala untuk mendapatkan item yang sahih dan skala yang reliabel.

3. Menentukan subjek penelitian dan mengukur tingkat ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan tingkat stres kerja perawat dengan cara mengisi skala yang sudah reliabel dan lolos seleksi. 4. Menganalisis data yang masuk menggunakan korelasi Product Moment

dari Pearson.

5. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis.

F. Metode Pengumpulan Data 1. Skala Stres Kerja Perawat

Skala stres kerja perawat bertujuan untuk mengungkap tingkat stres kerja yang dialami oleh perawat di rumah sakit. Metode penyusunan skala yang digunakan adalah Summated Rating dengan menggunakan skala Likert, yang telah dimodifikasi menjadi 4 kategori jawaban dan menyatakan frekuensi yaitu amat sering (AS), sering (S), jarang (J), dan amat jarang (AJ). Dimana butir pertanyaannya terdiri atas pertanyaan favorable dan unfavorable. Peneliti hanya menyediakan empat alternatif


(68)

48

jawaban dengan maksud untuk menghindari bias yang terjadi apabila diberikan lima alternatif jawaban dengan adanya pilihan tengah. Ini didasarkan pada pendapat Hadi (1991) yang mengatakan walaupun pilihan tengah dapat berarti netral atau kadang – kadang namun ditemukan bahwa subjek memiliki kecenderungan untuk memilih jawaban ditengah (central tendency effect).

Setiap jawaban pada setiap item di skor dengan nilai kategori jawaban. Nilai jawaban diberi bobot 1 sampai 4. Item – item favorable, jawaban amat sering (AS) = 4 , sering (S) = 3, jarang (J) = 2, amat jarang (AJ) = 1. Item – item unfavorable, jawaban amat sering (AS) = 1 , sering (S) = 2, jarang (J) = 3, amat jarang (AJ) = 4.

Skor total subjek pada skala ini adalah penjumlahan seluruh skor setiap item. Semakin tinggi skor total subjek, maka semakin tinggi stres kerja yang dialami perawat. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor total subjek maka tingkat stres kerjanya rendah.

Berikut ini adalah tabel spesifikasi skala stres kerja dengan nomor – nomor item skala untuk uji coba.

Tabel 3.1

Tabel Indikator dan DistribusiSkala Stres Kerja untuk Item Uji Coba

Nomor item Jumlah item Indikator

Favorable Unfavorable Fav Unfav

Total Item

(%) a.Gangguan fisik

1. Sakit kepala/ pusing 2. Sulit tidur (insomnia) 3. Tekanan darah tinggi 4. Gangguan pernafasan

3 32 13 49 33 2 43 19 1 1 1 1 1 1 1 1


(69)

5. Detak jantung meningkat

6. Kelewat berkeringat 7. Sakit punggung 8. Ketegangan otot 9. Gangguan pencernakan 10. Kehilangan energi b. Gangguan psikologis

1. Gelisah/ cemas/ gugup 2. merasa tertekan. 3. sensitif berlebihan 4. Mudah marah 5. kebosanan 6. merasa bingung 7. lelah secara mental 8. daya konsentrasi turun

9. turunnya semangat hidup

10.ketidakpuasan kerja c. Gangguan tingkah laku

1. gangguan pola makan 2. penggunakan

obat-obatan

3. Menunda pekerjaan 4. menghindari pekerjaan 5. menurunnya prestasi 6. meningkatnya absensi

7. kualitas hubungan interpersonal menurun

8. spontanitas menurun 9. menurunnya kreativitas.

52 58 46 10 37 25 38 23 44 41 34 26 17 50 5 31 27,42 48 21 29 15 9 30 54 6 22 28 16 40 7 55 8 53 14 11 4 56 47 20 35 1 12,57 18 51 59 45 39 60 24 36 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 20 (33,3%) 20 (33,3%) 20 (33,3%)

Total 30 30 60

(100%)

2. Skala Ketrampilan Komunikasi Interpersonal Perawat

Skala ini bertujuan untuk mengungkap tingkat ketrampilan komunikasi interpersonal yang dimiliki oleh perawat di rumah sakit. Metode penyusunan skala yang digunakan adalah metode Summated Rating dengan menggunakan skala Likert, yang telah dimodifikasi


(70)

50

menjadi 4 kategori jawaban yaitu sangat sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Dimana butir pertanyaannya terdiri atas pernyataan favorable dan unfavorable. Peneliti hanya menyediakan empat alternatif jawaban dengan maksud untuk menghindari bias yang terjadi apabila diberikan lima alternatif jawaban dengan adanya pilihan tengah. Ini didasarkan pada pendapat Hadi (1991) yang mengatakan walaupun pilihan tengah dapat berarti netral atau kadang – kadang namun ditemukan bahwa subjek memiliki kecenderungan untuk memilih jawaban ditengah (central tendency effect).

Setiap jawaban pada setiap item di skor dengan nilai kategori jawaban. Nilai jawaban diberi bobot 1 sampai 4. Item – item favorable, jawaban sangat sesuai (SS) = 4 , sesuai (S) = 3, tidak sesuai (TS) = 2, sangat tidak sesuai (STS) = 1. Item – item unfavorable, jawaban sangat sesuai (SS) = 1 , sesuai (S) = 2, tidak sesuai (TS) = 3, sangat tidak sesuai (STS) = 4.

Skor total subjek pada skala ini adalah penjumlahan seluruh skor setiap item. Semakin tinggi skor total subjek, maka semakin tinggi ketrampilan komunikasi perawat. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor total subjek maka ketrampilan komunikasinya rendah. Berikut ini adalah tabel spesifikasi skala ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan nomor – nomor item skala untuk uji coba.

Skala ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan pada tabel 3.2.


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap perawat di RSU Palang Biru Kutoarjo dan RSUD Saras Husada Purworejo, dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dan stres kerja perawat sebesar -0,461 dengan signifikansi 0,000. Ketrampilan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien memberikan sumbangan sebesar 2,12% terhadap rendahnya stress kerja perawat.

B. Saran

Penelitian ini masih memiliki kekurangsempurnaan. Kekurangan penelitian adalah pengambilan subjek yang hanya diambil dari jenis rumah sakit umum sehingga hasilnya kurang representatif dipergunakan pada semua rumah sakit di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti memberikan beberapa saran bagi rumah sakit, perawat dan bagi peneliti selanjutnya.

1. Bagi Rumah Sakit

Melihat pentingnya faktor ketrampilan komunikasi interpersonal perawat terhadap stres kerja pada perawat seperti yang telah diungkap dalam penelitian ini, maka disarankan bagi pihak rumah sakit untuk ;


(2)

a. Diharapkan dapat memperhatikan dan menjadi fasilitator para perawat untuk meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal sebagai salah satu upaya pencegahan stres kerja pada perawat. b. Pihak rumah sakit dapat membentuk suatu wadah dengan program

mengatasi stres di tempat kerja bagi perawat. 2. Bagi Perawat

Demikian juga halnya bagi para perawat, melihat arti penting ketrampilan komunikasi interpersonal perawat-pasien terhadap tinggi rendahnya tingkat stres kerja pada perawat seperti yang telah diungkap dalam penelitian ini, maka disarankan perawat hendaknya mempelajari dan melatih ketrampilan komunikasi interpersonal dengan pasien agar terjalin hubungan interpersonal yang hangat dengan pasien, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit.

3. Bagi Peneliti

Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang sama atau melanjutkan penelitian tentang stres kerja pada perawat disarankan untuk;

a. Mengambil sampel pada populasi yang lebih besar dengan melibatkan beberapa rumah sakit umum negeri maupun swasta di Indonesia dan melibatkan jenis – jenis rumah sakit khusus.

b. Lebih membatasi karakteristik subjek lagi dengan karakter status perkawinan, hal ini disebabkan karena ada indikasi bahwa peran ganda wanita mempengaruhi stres kerja dan juga pembatasan


(3)

terhadap pendidikan terakhir perawat karena tingkat pendidikan turut mempengaruhi reaksi seseorang terhadap stresor.

c. Peneliti yang ingin meneliti tentang stres kerja perawat diharapkan dapat melihat berbagai faktor lain yang mempengaruhi stres kerja perawat seperti beban kerja, kesulitan menjalin hubungan (dengan teman sekerja, dengan dokter/supervisor, dengan kelurga), dan kegagalan dalam merawat pasien.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abraham Charles & Shanley E. 1997. Psikologi Sosial untuk Perawat. Jakarta: EGC.

Azwar, S. 2000. Reabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 1999.Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cooper,C.L.,et all.2001. Organizational Stress: A Review and Critique of Theory,

Research, and Application. California : Sage Publication.Inc.

Dewi,R.S. 2003. Perbedaan Tingkat Stres Kerja Antara Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Sleman dan Perawat Rumah Sakit Jiwa Pakem Sleman

Yogyakarta. Skripsi ( tidak diterbitkan ). Yogyakarta: Fakultas

Psikologi. Universitas Sanata Dharma.

De Vito,J.A.1997. The Interpersonal Communication. New York: Hapers Collins College.

Ellis,B.R., Gates.J.R., & Kenworthy Neil. 1999. Komunikasi Interpersonal dalam

Perawatan. Jakarta: EGC.

Gunarsa, D. Singgih.1995.Psikologi Perawatan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hadi,S.1991. Metodologi Penelitian I. Yogyakarta: Yayasan Penerbit

Hardjana. A.M. 2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Jogjakarta: Kanisius.

Hardjana. A.M.1994. Stres Tanpa Distres: Seni Mengolah Stres. Jogjakarta: Kanisius.

Harnanti,R.R.S.1995. Kebutuhan – Kebutuhan Psikologis (Needs) Perawat dan

Pelayanan Perawatan di Rumah Sakit. Skripsi (tidak diterbitkan).

Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Hasanah,Z.2000. Intensi Prososial dan Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah

Sakit Umum PKU Muhamadiah Yogyakarta. Skripsi (tidak

diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.


(5)

Inayati, A.1996. Perbedaan Tingkat Stres Kerja pada Perawat yang

Berketabahan antara Tipe Perilaku A dan B. Skripsi (tidak

diterbitkan).Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Kariyoso. 1994. Pengantar Komunikasi Bagi Siswa Perawat. Jakarta: EGC. Krismi Diah,A.2002. Hubungan Antara Efikasi Diri dan Kecemasan Menghadapi

Tugas Keperawatan pada Mahasiswa Akademi Perawat Tahun III di

Akademi Perawat Betesdha Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan).

Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Landy, F.J. and Conte,J.M. 2004. Work In The 21st Century: An Introduction To

Industrial and Organizational Psychology. New York: McGraw Hill

Company.

Liliweri, M.S.1994. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Lunandi,A.G. 1994. Komunikasi Mengena: Meningkatkan Efektivitas Komunikasi

Antar Pribadi. Yogyakarta. Kanisius.

Luthans,F.(2005). Organizational Behavior. Singapore: McGraw Hill Company. Messer,D.,and Meldrum,C.1999. Psichology for Nurse and Health Care

Professionas. London: Prentice Hall/ Harvester Wheatsheaf.

Muhammad, Arni.2000. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Munandar,A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press. Priharjo, R. 1995. Praktik Keperawatan Profesional: Konsep Dasar dan Hukum.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Rini,J.F.2002. Stres Kerja. Http///www.e-psikologi.com

Riggio,R.E.2001. Introduction To Industrial or Organizational Psychology. New Jersey: Scott Foresman Co.

Robbins,S.P.2005. Organizational Behavior. Singapore: Mc Graw Hill. Co

Sarafino,E.P. 1990. Health Psychology: Biosychosocial Interactions. Singapore: John Wiley and Sons, Inc.

Smither,D.R. 1994. The Psychology of Work on Human Performanc. New York: Haper Collins College Publishers, Inc.


(6)

Smett.1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Statt,D.A.1994. Psychology and The World of Work. New Jersey: New York

University Press.

Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta: Kanisius.

Sutherland, V.J. & C.L. Cooper.1990. Sources of Workstress. Dalam Hurrel., Joseph J., Laurece R., Murphy., Steven L. Sauter., Cary L. Cooper., editors, Occupational Stress. New York: Taylor & Francis.

Taylor. 1995. Health Psychology. Singapore: Mc Graw Hill Companies, Inc. Yuzalita,H. (2006). Identifikasi Variabel – Variabel yang Berpengaruh Terhadap

Stres Kerja pada Manager Tingkat Menengah dengan Pola Perilaku

Tipe A dan B. Hhtp:///digilib.it.itb.ac.id

Hhtp:///www.vtaide.com Hhtp:///buletin.melsa.ned.id