Karakteristik Model Pembelajaran Fisika besaran

KATA PENGANTAR

Peningkatan pendidikan dapat dilakukan dengan reorientasi pembelajaran, yaitu dari pembelajaran dengan menyampaikan informasi menjadi pembelajaran berbasis kompetensi yang bertujuan agar siswa memiliki kecakapan. Pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan.

Sains dan teknologi merupakan bagian dari kehidupan yang tidak terpisahkan, di mana keduanya sangat mempengaruhi gaya hidup setiap manusia. Peran sains dan teknologi yang sangat penting dalam kehidupan, menuntut adanya sumber daya manusia yang kompeten dalam setiap bidang. Reorientasi pembelajaran sains ditujukan untuk mengembalikan peran sains dalam usaha mencerdaskan generasi bangsa dan menumbuhkan karakter bangsa yang mengalami degradasi nilai-nilai pendidikan. Untuk itu, mahasiswa S2 Pendidikan Sains 2010 PPs Unesa mengadakan Seminar Nasional Sains dengan tema Re-orientasi Pembelajaran Sains. Seminar Nasional Sains ditujukan kepada para pendidik (dosen dan guru), pelajar dan mahasiswa, dan praktisi pendidikan khususnya dalam bidang sains (sains murni dan terapan) sebagai pemegang peranan penting dalam mengoptimalkan pembelajaran sains sesuai tujuan sains yang sebenarnya.

Saya mewakili segenap panitia seminar mengucapkan terima kasih kepada Prof. Drs. H. Suhadi Ibnu, M.A., Ph.D. (Guru besar Universitas Negeri Malang) dan Prof. Dr. Sutarto, M.Pd. (Guru besar Universitas Negeri Jember) selaku pembicara utama, Prof. I Ketut Budayasa, Ph.D selaku direktur Pascasarjana Unesa, dan Prof. Dr. Leny Yuanita, M.Kes selaku kaprodi pendidikan sains yang telah membantu dan membimbing panitia sehingga seminar ini dapat terselenggara dengan baik. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada peserta dan pemakalah seminar yang berpartisipasi dalam mensukseskan kegiatan ini.

Surabaya, Januari 2012 Ketua Panitia

Agus Rohman, S.Pd.

SAMBUTAN DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA UNESA

Yang saya hormati,  Bapak Prof. Drs. Suhadi Ibnu, M.A., Ph.D. dari Universitas Negeri Malang sebagai

salah satu pembicara utama pada seminar ini.  Bapak Prof. Dr. Sutarto, M.Pd. dari Universitas Negeri Jember sebagai salah satu pembicara utama.  Bapak/Ibu pemakalah dan para peserta seminar

 Serta para undangan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Assala u’alaiku Wr. Wb Om Swastyastu Salam sejahtera selalu bagi kita semua.

Sebagai insan yang beragama, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya kita semua dalam keadaan sehat walafiat dapat berkumpul di Program Studi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Unversitas Negeri Surabaya untuk mengikuti Seminar Nasional Sains 2012. Namun sebelumnya saya sampaikan kepada hadirin sekalian SELAMAT PAGI dan SELAMAT DATANG di kampus Program Pascasarjana Unesa.

Hadirin yang kami hormati, Ilmu pengetahuan utamanya bidang sains dan teknologi sangat dibutuhkan oleh

umat manusia. Melalui sains, manusia mampu menjawab tantangan dalam berbagai bidang kehidupan baik pada skala lokal, nasional, regional, dan global. Dengan sains hendaknya manusia dapat lebih bermartabat dan memiliki daya kompetitif dalam persaingan yang semakin mengglobal ini.

Saya menyambut baik diselenggarakannya forum ilmiah Seminar Nasional Sains yang bertema Re-Orientasi Pembelajaran Sains ini. Melalui seminar ini, saya berharap kegiatan semacam inl dapat dijadikan sarana pembelajaran bagi mahasiswa dalam upaya menyelenggarakan event akademik dan sarana bagi para guru/dosen dan mahasiswa untuk mempublikasikan hasil penelitian ilmiahnya. Muara dan seminar ini saya harapkan akan memberikan stimulus kepada program studi lain yang berada di lingkungan Pascasarjana Unesa untuk menyelenggarakan forum ilmiah serupa. Lebih daripada itu saya mengharapkan melalui seminar ini dapat dijadikan momentum awal untuk terbitnya jumal-jurnal ilmiah sebagai barometer pencapaian akademik suatu institusi akademik.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas Sains, Program Pascasarjana Unesa telah melakukan MoU (Memorandum of Understanding) dengan salah satu Universitas di Australia dalam Program Double Degree untuk Program Magister Matematika dan Sains dengan alasan karena kedua bidang tersebut saya nilai telah memiliki tenaga pendidik yang mapan.

Hadirin yang saya hormati, Demikian sambutan singkat yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan

seminar yang bertema Re-Orientasi Pembelajaran Sains ini dapat bermanfaat dan memberikan pencerahan pengetahuan kepada kita semua. Dengan segala kerendahan hati, kami mohon maaf yang sebesar-besamya apabila ada hal yang kurang berkenan di hati para Bapak/Ibu, semuanya itu karena keterbatasan yang ada pada panitia seminar yang bertema Re-Orientasi Pembelajaran Sains ini dapat bermanfaat dan memberikan pencerahan pengetahuan kepada kita semua. Dengan segala kerendahan hati, kami mohon maaf yang sebesar-besamya apabila ada hal yang kurang berkenan di hati para Bapak/Ibu, semuanya itu karena keterbatasan yang ada pada panitia

Akhirnya dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Seminar Nasional Sains 2012 yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Sains Pascasarjana Unesa secara

resmi saya nyatakan DIBUKA ”.

Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Surabaya, Januari 2012 Direktur Program Pascasarjana Unesa,

Prof. I KETUT BUDAYASA, Ph.D

NIP. 19571204 199402 1 001

SAMBUTAN KETUA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

Assalamu ’alaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua.

Dengan penuh rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa Program Studi Pendidikan Sains Pascasarjana UNESA dapat melaksanakan Seminar Nasional Sains 2012

de ga te a Re-Orientasi Pembelajaran Sains . “e i ar i i disele ggaraka oleh Prodi Pendidikan Sains dan dikelola sepenuhnya oleh mahasiswa S-2 Pendidikan Sains.

Disamping meningkatkan atmosfer akademik Pascasarjana UNESA, Seminar Nasional ini juga memberi kesempatan kepada para peneliti dalam bidang Sains dan Pendidikan Sains untuk menyampaikan hasil penelitian yang telah dilakukannya dan mempublikasikan dalam prosiding.

Hadirin sekalian yang berbahagia Program Studi Pendidikan Sains mengucapkan terima kasih kepada yang

terhormat Prof. Drs. Suhadi Ibnu, M.A., Ph.D. dan Prof. Dr. Sutarto, M.Pd. atas kesediaannya untuk menjadi pembicara utama dalam seminar ini.

Kepada peserta seminar dari berbagai instansi antara lain sahabat-sahabat kami dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Universitas Negeri Airlangga, Universitas Sriwijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Islam Majapahit, Universitas Negeri Makassar, Universitas Lampung, Universitas Negeri Jember, IKIP PGRI Semarang, Universitas Negeri Surabaya serta para guru bidang Sains ataupun bi dang lain dan mahasiswa, kami sangat berbesar hati atas kehadiran Bapak/Ibu/Saudara dalam mensukseskan seminar ini.

Kami berharap seminar ini dapat memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah dalam bidang Sains dan

Pendidikan Sains serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Kepada semua pihak yang telah berperanserta hingga terselenggaranya Seminar Nasional ini, kami sampaikan terima kasih. Akhirnya kepada seluruh peserta seminar, saya ucapkan Selamat mengikuti seminar, semoga membawa manfaat untuk kemajuan pendidikan Indonesia.

Wassalamu ’alaikum wr. Wb.

Surabaya, Januari 2012 KaProdi Pendidikan Sains PPs UNESA

Prof. Dr. LENY YUANITA, M.Kes

NIP 195109121985032001

SUSUNAN PANITIA PELAKSANA

Advisory Committee

Prof. I Ketut Budayasa, Ph.D Prof. Dr. H. Muslimin Ibrahim, M.Pd. Prof. Dr. Siti Masithoh, M.Pd. Prof. Dr. Leny Yuanita, M.Kes.

Dr.Z.A. Imam Supardi Dr. sc.agr.Yuni Sri Rahayu Dr. Wahono Widodo

Organizing Committee Technical Committee

Agus Rohman, S.Pd. Drs. Prihadi Tribowo Armansyah Putra, S.Pd.

Mutrofin Rozaq, S.Pd. Aris Handriyan, S.Pd

Buyung Riskyanto S., S.Si Rouf Al Amin, S.Si.

Rahmawati, S.Pd. Ifa Aristia Sandra E., S.Pd.

Siti Rabiatul Adawiyah Asmaul Lutfauziah, S.Pd

Ika Nurani Dewi, S.Si Sitti Rahma Yunus, S.Pd.

M. Anas Thohir, S.Pd. Titi Laily H., S.Pd

Laras Firdaus, S.Pd M. Aqil Rusli, S.Pd.

Saidil Mursali Diana Prastika Sari, S.Pd.

Rosmiati Wike Kusuma W.,S.Si.

Darmawati Fatma Al Hamid, S.Pd

Vevy Wahyu S., S.Pd.

Sulfia,S.Pd. Indra Kusuma W., S.Si. Saiful Anam Setyaningsih

Hekrusty Mardiana, S.Pd. Dra.Christina Lestya W.

Dra. Dyah Ayu W.

Novia Ayu Sekar P., S.Si Suci Prihatiningtyas, S.Si Olly Astria Virginia, S.T

MAKALAH PEMBICARA UTAMA

MASA DEPAN PENDIDIKAN SAINS

Tantangan yang Harus Dijawab

U - 01

Sekarang dan di Masa Datang Suhadi Ibnu

Universitas Negeri Malang (UM)

ABSTRAK

In a world that is constantly changing, there is no one subject or set of subjects that will serve you for the foreseeable future, let alone for the rest of your life. The most important skill to

acquire now is learning how to learn. John Naisbitt

Kehidupan umat manusia senantiasa berubah. Perubahan ini mencakup semua aspek dengan kecepatan yang sangat tinggi, jauh melebihi yang diperkirakan sebelumnya. Perluasan cakupan dan peningkatan percepatan perubahan ini berlangsung semakin hebat setelah revolusi teknologi informasi yang berawal pada dekade 1970-80-an dari millennium yang lalu. Bakal terjadinya perubahan besar ini telah diantisipasi dengan sangat akurat oleh Alfin Toffler dengan visinya yang bertajuk The Third Waves. Sejak awal dekade tersebut umat manusia menjalani perikehidupan yang sangat berbeda dari dekade-dekade, bahkan abad-abad sebelumnya. Mulai saat itu ketersediaan dan akses terhadap informasi menjadi panglima bagi segala pemikiran, perancangan, pelaksanaan dan evaluasi/refleksi atas ke- sangkil dan mangkusan- langkah-langkah yang harus diambil dalam mengarungi kehidupan. Inilah ciri masyarakat post-modern (posmo) yang tidak lagi (hanya) mengandalkan produktivitas penyediaan barang dan jasa untuk survive dan mensejahterakan kehidupan tetapi (juga) pada kemampuan mengantisipasi apa yang bakal terjadi.

Kemampuan mengantisipasi seperti contoh yang diberikan Toffler itulah wujud kapabilitas utama manusia yang sangat diperlukan untuk survive dalam mengarungi dan meningkatkan kualitas kehidupan ke depan. Pertanyaannya sekarang, terkait dengan peran pendidikan dalam arti luas dan Pendidikan Sains khususnya, sudahkah kita--pemikir, pengembang, praktisi dan pengelola Pendidikan Sains--sadar, bersegera membenahi diri atau bahkan mungkin telah berpartisipasi di dalam perubahan itu? Jika jawabnya ‘ya’, bagus. Namun jika tidak, Pendidikan Sains akan kehilangan kekuatannya sebagai pilar penentu kehidupan di masa depan dan akan ditinggalkan orang.

Sebenarnya Pendidikan Sains memiliki modal dasar yang sangat potensial untuk menjalankan peran yang lebih kuat dan menentukan. Untuk itulah para pemikir, perancang, praktisi dan penanggungjawab pengembangan Pendidikan Sains harus bangkit, mengevaluasi kembali sosok dan keefektifan Pendidikan Sains yang saat ini diterapkan serta mengembangkan paradigma, rancangan, prosedur dan semua perangkat pendukung yang lebih compatible dengan dan responsif terhadap tuntutan kehidupan saat ini dan masa datang.

KONTEKS DAN PERMASALAHAN

Pemikiran terkait dengan masa di depan kehidupan nyata saat ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Segera setelah manusia menjalani kehidupan modern yang ditandai dengan renaissance pada sekitar abad ke 15 yang kemudian disusul dengan revolusi industri pada abad ke 18, pemikiran-pemikiran yang berfokus pada pertanyaan ‘then, what’s next?’ telah berkembang. Sebagai contoh pemikiran tentang pergeseran pola kehidupan yang telah Pemikiran terkait dengan masa di depan kehidupan nyata saat ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Segera setelah manusia menjalani kehidupan modern yang ditandai dengan renaissance pada sekitar abad ke 15 yang kemudian disusul dengan revolusi industri pada abad ke 18, pemikiran-pemikiran yang berfokus pada pertanyaan ‘then, what’s next?’ telah berkembang. Sebagai contoh pemikiran tentang pergeseran pola kehidupan yang telah

Di masa sekarang ini dan masa yang akan datang manusia harus mampu berfikir jauh ke depan melewati masanya dan mampu membuat estimasi-estimasi yang progresif dan berani agar tidak tergulung oleh gelombang perubahan yang bergerak dengan dahsyat. Ropers dan Huilman (2004) menganalisis bahwa dalam masyarakat pasca-modern, kemampuan mengantisipasi adalah unsur yang amat penting bagi ketahanan dan perkembangan masyarakat. Mereka yang tidak mampu mengantisipasi apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan tidak mempersiapkan diri dengan baik akan mengalami kesulitan dan tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Jika hal ini diterjemahkan ke dalam konteks pendidikan, termasuk pendidikan Sains, seharusnya kita tidak lagi hanya mengajarkan kepada anak-anak didik kita apa yang telah terjadi, diketahui atau ditemukan di masa lalu tetapi harus memberikan bekal kepada mereka untuk dapat mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Deskripsi hanya akan menduduki peran yang sangat minor. Apalagi di dalam realitanya para peserta didik yang saat ini duduk di bangku sekolah atau di bangku kuliah memang baru akan berperan nyata dan penting di dalam kehidupan sekitar 20 sampai

30 tahun yang akan datang. Pengetahuann deskriptif yang dipelajari saat ini akan kehilangan esensi dan manfaatnya pada masa itu. Jadi Pendidikan Sains menghadapi masalah yang sangat fundamental bagi keberlanjutan kehidupannya, power dan signifikansi perannya di masa datang tertantang untuk diwujudkan. Kita harus berbenah.

DIBUTUHKAN: PERUBAHAN DALAM PENDIDIKAN SAINS

Memperhatikan dialog pemikiran yang dipaparkan di atas tidak ada kata lain bagi para pemikir, perancang, pelaksana dan bahkan pemerhati Pendidikan Sains kecuali bahwa harus berbenah. Pembenahan yang paling mendasar harus diawali dengan membangun kembali paradigma dasar Pendidikan Sains dari paradigma yang selama ini diikuti. Dari ilmu yang mayoritas bersifat descriptive knowledge menjadi prediktif, antisipatif dan menjanjikan probabilitas yang lebih terbuka.

Jika kita perhatikan kurikulum , materi dan metode pembelajaran Sains yang ada saat ini akan dengan mudah kita menarik kesimpulan bahwa arah pendidikan Sains yang paling menonjol adalah penguasaan materi. Dirumuskan dalam bentuk apapun—tujuan (objectives) atau kompetensi (competence)—sangat mudah disimpulkan bahwa muara akhir pendidikan Sains adalah penguasaan materi Sains sebagai bidang ilmu. Contoh paling jelas adalah soal-soal UNAS pada berbagai jenjang pendidikan, SD, SLTP dan SLTA. Sangat minim petunjuk yang mengarah kepada pengembangan kemampuan pebelajar melakukan prediksi, antisipasi dan estimasi yang dikembangkan atas data. Secara umum sangat minim petunjuk bahwa siswa telah terlibat dalam ‘scientific process’ di dalam praktik pendidikan Sains. Praktik pendidikan terutama didominasi tujuan penguasaan ilmu tersebut, bukan pada pengembangan kemampuan pebelajar untuk menjadi scientist . Remidi misalnya diberikan karena siswa belum mencapai Standar Kelulusan Minimal (SKM) yang acuannya adalah penguasaan materi.

Bagaimana jika remidi penguasaan materi ini diganti dengan remidi penguasaan ketrampilan proses sains (sciencetific process skills)? Perubahan pendidikan Sains seharusnya mulai dari sini

Dua masalah penting saat ini dihadapi Pendidikan Sains. Pertama, materi ajar yang senantiasa berkembang dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tidak akan mungkin kiranya mencakup semua perkembangan baru tersebut di dalam kurikulum sekolah sampai perguruan tinggi sekalipun. Di dalam praktik pihak-pihak terkait sepertinya belum menyadari akan hal ini dan belum menyikapinya secara tepat. Yang banyak dilakukan adalah usaha untuk menampung semuanya di dalam kurikulum sekolah. Isi buku-buku pelajaran Sains semakin lama semakin sarat. Buku-bukunya semakin tebal. Banyak yang ingin memaksakan untuk memasukkan bahan-bahan baru yang dahulu belum ada tanpa pertimbangan yang matang. Belum lama berselang seorang pejabat setingkat menteri—yang tentunya tidak paham benar bagaimana pendidikan seharusnya dikelola—menyatakan di depan publik bahwa dalam waktu dekat ‘pelestarian hutan akan menjadi bagian kurikulum sekolah’. Akibat pemikiran-pemikiran parsial semacam ini bahan yang harus dipelajari anak semakin banyak, beragam dan kompleks. Konsep-konsep yang ‘jauh’ dari daya jangkau anak usia muda banyak yang sudah masuk ke dalam bahan ajar. (Salah satu buku IPA SD telah mencantumkan nama-nama Latin tulang-tulang manusia di sekitar dada dan leher dan SD kela IV diminta untuk ‘hafal’ nama dan fungsinya). Movement semacam ini sangat bertentangan dengan pemikiran ahli pendidikan Sains modern (Elementary Science) di Amerika yang menghadapi perkembangan pesat fakta dan informasi Sains saat ini justru menyatakan: ‘ …. Chilldren should experience fewer science topics each year, but they should have the opportunity to probe and explore those topics in depth. The goal is understanding—not rote learning (Neuman, 2005).

Belajar yang dipaksakan tanpa member cukup peluang anak untuk mengembangkan pemahaman akan menjadi ‘rote-learning’ (belajar hafalan) yang hasilnya hanya ingatan- ingatan. Tendensi ini mengarah pada persoalan kedua yang dihadapi Pendidikan Sains. Keinginan untuk mengembangkan kemampuan anak untuk menjadi ilmuwan atau memiliki kemampuan berfikir sebagai seorang ilmuwan yang menguasai proses sains derngan baik, tinggal impian, karena prospek pengembangannya tertutup oleh kebutuhan untuk ‘menguasai’ materi walaupun itu tidak akan banyak manfaatnya. Tidak ada lagi waktu untuk mengembangkan process-skills. Pada hal menurut John Naisbitt ‘…The most important skill to acquire now is learning how to learn’.

Kapan anak-anak kita akan belajar mengembangkan diri di dalam ketrampilan untuk belajar ini? Jika hal ini tidak dilakukan apakah anak-anak kita juga akan bisa survive di masa depan? Atau akan tenggelam bersama tenggelamnya Sains sebagai salah satu pilar penting di dalam kehidupan manusia? Sekali lagi pendidikan Sains harus berubah! Di dalam hal ini pendidikan Matematika justru sudah lebih maju. Jika dulu orang hanya mengajarkan 4+5 = 9. Sekarang jawabannya bisa bermacam-macam: 4 + 5 = 3+ 6 = 12 – 3 = 7 + 2 …dst. Dalam hal ini guru-guru matematika telah mengajarkan ‘probabilitas’ secara lebih luas danterbuka.

Paradigma Baru Pendidikan Sains

Diperlukan perubahan-perubahan drastis di dalam paradigma pendidikan Sains, yang mencakuptiga hal: materi, metode, dan cara evaluasi/acuan dasar keberhasilan siswa. Secara ringkas perubahan ini bermaksud menjadikan pendidikan Sains yang selama ini cenderung bersifat deskriptif-dogmatis menjadi lebih menantang dan member kesempatan lebih besar siswa untuk mendayagunakan kemampuan berfikir dan ketrampilan proses Sinsnya.

Materi Ajar

Apa yang seharusnya diajarkan di dalam Sains? Semua materi tyang selama ini sudah diajarkan dan semua perkembangan barunya yang akhir-akhir ini semakin deras saja kehadirannya? Jika pemikiran ini yang dianut—yang tampaknya memang itu—kita perlu merenungkan tulisan John Horgan (2005) dalam bukunya yang berjudul The End of Science (Senjakala Ilmu Pengetahuan). John Horgan di dalam hal ini mengkhawatirkan ‘kematian Sains’ karena produktivitasnya sendiri yang melampaui kewajaran. Setelah pengembangan yang habis-habisan di segala bidang Sains akan sampai pada suatu titik yang membuat orang bingung: ‘Mau ke mana lagi?’ Sains kehilangan kreativitasnya.

Ini juga yang akan dihadapi oleh pendidikan Sains dan peserta didik kita jika segala- sesuatunya telah diajarkan, dituangkan ke dalam buku teks yang semakin lama semakin sarat tetapi belum menunjukkan tanda-tanda kepuasan para pengisinya untuk terus menambahnya. Di mana peran anak didik kita untuk ikut mengembangkan ‘pengetahuannya sendiri’? Amatlah tidak bijak jika semua sudah disajikan dan tagihan hasil belajarnya hanya untuk menyebut- kembali apa yang telah dipelajari tanpa probabilitas untuk perluasannya. ‘Kematian’pendidikan Sains seperti matinya Sains itu sendiri sebagaimana dikhawatirkan John Horgan tinggal menunggu saatnya saja.

Kita harus kembali hanya mengajarkan hal-hal yang pokok: kaidah-kaidah dasar, prinsip-prinsip dasar, aturan-aturan dasar dengan contoh yang cukup secara didaktik-metodik dan tetap meingggalkan ruang untuk perluasannya oleh para peserta didik sendiri. Ini adalah sikap yang realistik. Di samping tidak mungkin mengcover semua detail materi. Perluasan, penerapan dan transfer of knowledge oleh siswa justru akan meningkatkan kemampuan siswa untuk learn-how to-learn.

Learn How to Learn

Kembali kepada pernyataan Naisbitt di atas ‘…The most important skill to acquire now is learning how to learn’, sudahkah kita memahami dan meresponnya dengan tepat? Jika kita mau jujur dengan diri kita sendiri jawaban yang akan kita berikan pastilah belum. Coba kita tengok kelas-kelas Sains kita di berbagai jenjang pendidikan dan perhatikan apakah anak-anak sudah betul-betul belajar. Ataukah mereka sekedar berada di tempat yang diniatkan sebagai tempat belajar (kelas), berusaha memahami informasi ‘scientific’ yang tersaji di hadapan mereka untuk kemudian mereproduksinya kembali pada saat dilakukan tes? Jika yang dimaksud dengan belajar adalah perolehan pengetahuan sebagaimana kebanyakan orang memaknai, mungkin jawabnya adalah ‘ya’. Tetapi jika direnungkan apa yang dikatakan Naisbitt di atas, sepertinya aktivitas pembelajarandi kelas-kelas Sains kita masih jauh dari yang diharapkan. Persoalannya menjadi lebih serius dan dalam jika dinyatakan dalam pertanyaan: ‘Sudahkah anak-anak benar-benar belajar?’. Belajar yang benar inilah yang tidak dapat kita jamin selalu terjadi dalam setiap setting pendidikan. Walaupun secara ‘formal’ kegiatan belajar itu memang ada: siswa ada di tempat belajar pada waktu yang ditentukan, ada bahan ajar, ada guru yang (mungkin) sudah menjalankan fungsi fasilitasinya dengan baik, pertanyaan yang berbunyi ‘Sudahkah anak-anak benar-benar belajar’ tersebut di atas tetap sukar untuk diiyakan. Mengapa demikian? Jika anak-anak hanya menjalani ‘ritual’ belajar tanpa benar- benar terlibat secara mental—karena berbagi alasan, terutama mengejar target materi—maka kegiatan belajar itu sebenarnya belum terjadi. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa apapun model belajar yang digunakan, apabila belum dapat merangsang siswa untuk terlibat Kembali kepada pernyataan Naisbitt di atas ‘…The most important skill to acquire now is learning how to learn’, sudahkah kita memahami dan meresponnya dengan tepat? Jika kita mau jujur dengan diri kita sendiri jawaban yang akan kita berikan pastilah belum. Coba kita tengok kelas-kelas Sains kita di berbagai jenjang pendidikan dan perhatikan apakah anak-anak sudah betul-betul belajar. Ataukah mereka sekedar berada di tempat yang diniatkan sebagai tempat belajar (kelas), berusaha memahami informasi ‘scientific’ yang tersaji di hadapan mereka untuk kemudian mereproduksinya kembali pada saat dilakukan tes? Jika yang dimaksud dengan belajar adalah perolehan pengetahuan sebagaimana kebanyakan orang memaknai, mungkin jawabnya adalah ‘ya’. Tetapi jika direnungkan apa yang dikatakan Naisbitt di atas, sepertinya aktivitas pembelajarandi kelas-kelas Sains kita masih jauh dari yang diharapkan. Persoalannya menjadi lebih serius dan dalam jika dinyatakan dalam pertanyaan: ‘Sudahkah anak-anak benar-benar belajar?’. Belajar yang benar inilah yang tidak dapat kita jamin selalu terjadi dalam setiap setting pendidikan. Walaupun secara ‘formal’ kegiatan belajar itu memang ada: siswa ada di tempat belajar pada waktu yang ditentukan, ada bahan ajar, ada guru yang (mungkin) sudah menjalankan fungsi fasilitasinya dengan baik, pertanyaan yang berbunyi ‘Sudahkah anak-anak benar-benar belajar’ tersebut di atas tetap sukar untuk diiyakan. Mengapa demikian? Jika anak-anak hanya menjalani ‘ritual’ belajar tanpa benar- benar terlibat secara mental—karena berbagi alasan, terutama mengejar target materi—maka kegiatan belajar itu sebenarnya belum terjadi. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa apapun model belajar yang digunakan, apabila belum dapat merangsang siswa untuk terlibat

Jadi, bagaimanakah ‘belajar’ yang benar? Sebenarnya usaha untuk mengembangkan kegiatan belajar yang benar di dalam pendidikan Sains—atau pendidikan dalam arti luas—sudah lama dirintis dan terus dikembangkan. Sebut tesis-tesis lama seperti ‘hierarchical learning’-nya Gagne, belajar bermakna dari Ausubel, belajar penemuan Bruner dan model belajar generatif yang dikembangkan Osborne dan Wittrock (Ibnu, 1987). Semua ‘model’ belajar tersebut berusaha menjadikan kegiatan belajar (Sains) sebagai kegiatan belajar aktual di dalam diri siswa, di mana siswa terlibat aktif secara mental dalam belajar sehingga pemahaman atas materi ajar (konsep, prinsip, hukum dan sebagainya) tidak sekedar hasil ‘peniruan’ bangunan makna yang sudah ada tetapi adalah hasil konstruksi kognitif atau proses mental siswa. Berbagai perkembangan mutakhir model belajar atau ‘setting’ pendidikan Sains yang biasa dikelompokkan ke dalam kelompok konstruktivistik-information processing models, jika dianalisis lebih dalam semuanya berupaya untuk mengembangkan proses belajar aktual yang berupa keterlibatan mental yang akan menghasilkan perubahan di dalam bangunan kognitif siswa. Ambil contoh model belajar induktif-deduktif yang berupa pemberian contoh dan bukan contoh. Walupun sederhana model ini dapat menghindarkan pemberian definisi-definisi dalam pembelajaran Sains.

Bagaimana agar aktivitas kognitif siswa mendapat kesempatan untuk berkembang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan belajar siswa yang secara otomatis akan berfungsi ketika kegiatan belajar itu berlangsung? Pertama, siswa harus mendapatkan cukup kesempatan untuk melatih dan membiasakan ‘perangkat mental’-nya untuk berperan aktif di dalam belajar. Kesempatan ini akan di diperoleh antara lain jika materi ajar masih menyisakan ruangan bagi siswa untuk ‘mengisi’ bagian-bagian tertentu yang secara taktis-strategis sengaja dihilangkan oleh perancang materi ajar agar keutuhan bangunan materi ajar dapat dikonstruksi oleh siswa. Clues semacam ini akan melatih siswa untuk belajar secara konstruktivistik. Quiz dan soal di antara paparan materi adalah juga bentuk-bentuk pengaktifan kognitif siswa yang dapat digunakan. Tentu saja model-model pembelajaranlain yang memberikan kesempatan siswa untuk berfikir—baik secara individu maupun kelompok seperti cooperative problem solving akan sangat membantu membiasakan siswa terlibat aktif secara mental dalam belajar. Di dalam konteks seperti ini melengkapi materi ajar sampai hal- hal yang terlalu rinci tidaklah bermanfaat bahkan bersifat merugikan bagi perkembangan keaktifan mental siswa. Berikan crossworld puzzle, dan jangan berikan gambar atau lukisan yang sudah jadi.

Kedua, scientific process skills harus benar-benar dilatihkan agar benar-benar dikuasai siswa. Jika ketrampilan proses ini sudah benar-benar dikuasai siswa maka setiap saat dia menghadapi bahan ajar yang memunculkan masalah yang memerlukan jawaban maka perangkat ketrampilan prosesnya akan serta-merta berfungsi: dia akan mencari data atau informasi (tambahan), melakukan inferensi atas dasar data dan informasi yang dimiliki, Kedua, scientific process skills harus benar-benar dilatihkan agar benar-benar dikuasai siswa. Jika ketrampilan proses ini sudah benar-benar dikuasai siswa maka setiap saat dia menghadapi bahan ajar yang memunculkan masalah yang memerlukan jawaban maka perangkat ketrampilan prosesnya akan serta-merta berfungsi: dia akan mencari data atau informasi (tambahan), melakukan inferensi atas dasar data dan informasi yang dimiliki,

Ketiga, kembangkan kebiasaan dan ketrampilan metakognisi pada diri siswa terkait dengan learning task yang dihadapi. Jika kebiasaan ini sudah terbentukdi dalam diri siswa maka siswa akan terbiasa merancang langkah-langkah belajar atau pengembangan skema yang akan dilalui dalam menyelesaikan learning task yang dihadapi (metakognisi awal), mempertanyakan keefektifan dan ketepatan langkah-langkah belajar yang dijalani (metakognisi proses) dan melakukan evaluasi/refleksi atas mekanisme atau proses belajar yang telah dilalui (metakognisi akhir). Kebiasaan melakukan metakognisi akan memperbaiki proses belajar siswa dari waktu ke waktu.

Dalam tataran praksis Delpech (2002) memberikan beberapa anjuran tentang belajar atau pendidikan yang dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan kapasitas kognitifnya. Di antara anjuran tersebut adalah: (1) asesmen dalam sains hendaknya memungkinkan fleksibilitas jawaban dan menuntut jawaban siswa yang lebih dari sekedar mengingat fakta, (2) sarana-prasarana pembelajaran dan laboratorium yang lengkap atau kelas Sains akan memberikan inspirasi kepada siswa dan guru, (3) utamakan pengembangan pemahaman konsep, bukan hafalan, (4) sediakan bahan pengayaan yang merepresentasikan perkembangan Sains mutakhir dan penerapannya di masyarakat, (5) batasi bahan ajar wajib pada topik-topik esensial, (6) kurangi kesan bahwa Sains lebih sulit dari non-Sains, dan (7) kembangkan lebih intensif hubungan antara Sains dan profesi berbasis Sains.

Evaluasi Kemjuan Belajar Siswa

Delpech (2002:156) menyatakan: the way that science is assessed means that students are not rewarded for thinking for themselves, or for contirbuting for their own ideas. Inilah salah satu bentuk hambatan lain yang menyebabkan anak tidak dapat benar-benar belajar Sains. Yang dimaksud oleh Delpech tersebut adalah evaluasi yang sekedar mengukur hasil akhir, tanpa memperhatikan apakah proses belajar sudah benar-benar terjadi. Di dalam konteks mengejar target kurikulum dapat dinyatakan bahwa belajar (Sains) yang benar dianggap telah terjadi. Tetapi dalam konteks learn how to learn masih jauh dari harapan.

Secara luas diketahui bahwa perhatian terhadap proses belajar masih dilakukan setengah hati. Alasannya lagi-lagi tidak cukup waktu untuk meng-cover seluruh materi kurikulum jika proses belajar dengan menerapkan ketrampilan proses Sains benar-benar dikembangkan. Lebih-lebih saat siswa sudah duduk di kelas akhir suatu jenjang sekolah dan menghadapi UNAS. Hampir seluruh waktu dan waktu tambahan yang diadakan akan digunakan untuk meningkatkan penguasaan materi ajar dan latihan soal-soal unas. Tidak lagi ada waktu untuk memperhatikan apakah proses Sains dapat berlangsung.

Jika demikian halnya evaluasi telah disikapi dan dilaksanakan dengan menyalahi hakekat evaluasi itu sendiri. Evaluasi memang dapat dipahami lewat tiga sudut pandang: (1) evaluation of learning, (2) evaluation for learning, dan (3) evaluation as learning. Pandangan pertama adalah pandangan yang selama ini biasa dikembangkan: evaluasi berfungsi mengukur apakah (proses) dan hasil belajar sudah sesuai dengan criteria yang ditetapkan. Pandangan kedua lebih berfungsi bagi guru untuk mengetahui apakah pendidikan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan yang diharapkan. Pandangan ke tiga, evaluation as learning, adalah pandangan yang akan bermuara pada peningkatan kualitas belajar siswa. Pandangan ini memang lebih Jika demikian halnya evaluasi telah disikapi dan dilaksanakan dengan menyalahi hakekat evaluasi itu sendiri. Evaluasi memang dapat dipahami lewat tiga sudut pandang: (1) evaluation of learning, (2) evaluation for learning, dan (3) evaluation as learning. Pandangan pertama adalah pandangan yang selama ini biasa dikembangkan: evaluasi berfungsi mengukur apakah (proses) dan hasil belajar sudah sesuai dengan criteria yang ditetapkan. Pandangan kedua lebih berfungsi bagi guru untuk mengetahui apakah pendidikan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan yang diharapkan. Pandangan ke tiga, evaluation as learning, adalah pandangan yang akan bermuara pada peningkatan kualitas belajar siswa. Pandangan ini memang lebih

own thinking processes. Experts describe metacognitive thinking as an internal conversation—monitoring their own understanding, predicting their performance, deciding what else they need to know, organizing and reorganizing ideas, checking for consistency between different pieces of information, and drawing analogies that help them advance

their understanding (Costa, Prologue to Heryle, Visual Tools for Constructing Knowledge)

Konteks Mutakhir Pendidikan Sains

Para pemikir posmo dalam pendidikan Sains juga menaruh perhatian pada konteks yang berkembang. Jika tiga hal yang dipaparkan di atas, yaitu materi ajar, pendekatan pembelajaran dan evaluasi adalah faktor-faktor internal yang akan menentukan kualitas pendidikan Sains ke depan, maka yang terakhir ini adalah faktor eksternal yang akan sangat menentukan bagi eksistensi dan peran pendidikan Sains di masa yang akan datang. Wacana yang diangkat mencakup aspek yang amat luas dari perubahan paradigma (pendidikan) Sains sampai isu-isu politik dan gender. Berikut beberapa contoh:

1. Dalam tataran paradigma pendidikan Sains misalnya, seorang filosof pendidikan Sains berpendapat bahwa Sains tidaklah dikendalaikan oleh fakta—sebagaimana selama ini kita yakini—tetapi oleh paradigma-paradigma yang mungkin saja berubah sewaktu- waktu sehingga persepsi kita terhadap suatu fenomena alam berubah juga.

2. Terkait dengan kurikulum pendidikan Sains, Hodson (2003) mengusulkan segera dilakukan perubahan mendasar karena kurikulum Sains yang ada saat ini sudah tidak lagi memenuhi kebutuhan, minat dan harapan. Saatnya kurikulum pendidikan Sains diarahkan kepada masalah-masalah sosio-politik karena di masa yang akan datang akan sangat dibutuhkan warga bangsa yang politically & scientifically literate, yang akan mampu berargumentasi secara logis untuk ranah politik-ekonomi global, isu-isu gender dan lingkungan. Kurikulum Sains harus mampu menghasilkan aktivis: orang- orang yang akan berjuang untuk membela hak, memperjuangkan tujuan dan keadilan.

3. Dalam aspek pedagogi, sebuah Komisi Eropa untuk Riset, Informasi dan Komunikasi merekomendasikan pergeseran dari paradigma deduktif ke yang bersifat lebih induktif (IBSE = Inquiry Based Science Education) dan terbuka. Hal ini akan memudahkan pebelajar menghubungkan fenomena-fenomena Sains dengan kehidupan nyata.

4. Sebuah isu yang tidak boleh diabaikan adalah pendidikan Sains untuk kelompok masyarakat sedang berkembang. Di dalam kaitan dengan hal ini Carlos de la Rosa merekomendasikan pengintegrasian cara-cara modern pembelajaran sains dengan pendekatan tradisional yang berkembang di dalam kultur masyarakat yang sedang berkembang tersebut.

PENUTUP

Saat untuk berbenah bagi pendidikan Sains telah tiba, agar dapat menselaraskan perkembangan kebutuhan dan penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan efisien. Tiga isu sentral—sebenarnya adalah isu klasik yang telah berkembang menjadi sangat kompleks dan multidimensi—yang harus menjadi pusat perhatian adalah kurikulum, metode atau pendekatan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Tiga faktor internal ini terkait dengan kualitas pendidikan Sains. Sementara itu untuk tetap mempertahankan eksistensi dan menyelaraskan perannya di dalam kehidupan masyarkat dan bangsa yang semakin kompleks dan penuh problem pendidikan Sains harus juga harus memberikan perhatian untuk isu-isu kontemporer seperti lingkungan, gender dan aspek social-politik pendidikan Sains.

Agar dapat menghadapi tantangan di atas guru dan pengajar (pendidikan) Sains harus terus menerus berbenah dan meningkatkan kualitasnya serta selalu tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. In the post-modern time, mentors and trainers themselves require frequent timely education to remain most up-to-date and creatively functional. Constant education of educators faces more practical challenges than education of learners (Nikkhah 2011).

RUJUKAN

Costa (UNDATED). Prologue to Heryle, Visual Tools for Constructing Knowledge Delpech, R. (2002). Why are school students bored with science? Journal of Biological

Education 36, (4), 156-157. Europe Commission for Research, Information and Communication (2007). Science Edycatuin

Now: A Renewed Pedagogy for the future of Europe. Hodson, D. (2003). Time for Action: Science Education for Alternative Future. Ontario, Can.:

Institute for Study in Education, University of Ontario. Ibnu, S (1987). Students’ Understanding of Scientific Concepts with Reference to th Concepts of

Atom and Atomic Structure. Unpublished Ph.D Thesis. Sydney: Macquarie University. Ibnu, S. (2005). Menciptakan Sinergi Antar Institusi Dalam Penelitian, Pengembangan,

Pelaksanaan Serta Assessment Pendidikan IPA Dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumberdaya Manusia Indonesia. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan IPA 2. Di Bandung 22-23 Juli.

Neuman, D.B. (1993). Experiencing Elementary Science. Belmont, C.A.: Wadswoth Publishing Co.

Nikkhah, A. 2011. Science Education of the New Millennium: Mentorship Arts for Creative Lives. Department of Animal Sciences, University of Zanjan, Zanjan, Iran.

Ropers, W. and Huilmann, A. (2004). Studies on TRiO and other Pre-college Programs. Journal of Leadership Education, 9, 1.

UNESCO (UNDATED). Process Skills Development Movement. UNESCO.

PEMBELAJARAN SECARA NOMINAL DAN FUNGSIONAL

U - 02

SEBAGAI REORIENTASI PENDIDIKAN SAINS Sutarto

Guru Besar Pendidikan Fisika Universitas Jember

Pendahuluaan

Sains secara sederhana dapat dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari tentang alam dan fenomenanya. Berpikir tentang alam sebenarnya sudah dimulai sejak lama, yaitu sejak zaman filosof, seperti: Anaxagoras, Alexander Brono, Arestoteles, dan lain, yang ketika itu sains masih bersifat “filsafat”. Ketika zaman “empiris” pembahasan tentang alam yang bersifat filsafat bergeser menjadi ilmu pengetahuan alam yang pembahasannya melalui penelaahan secara empiris, yaitu melalui proses pengukuran dan pengumpulan data, melalui eksperimen maupun dimodelkan, yang semuanya memilki prosedur baku yang dikenal dengan “prosedur ilmiah”. Adanya prosedur ilmiah ini, penelaahan tentang alam dan fenomenanya membuat sains dapat berkembang secara eksponensial dan bahkan sains dapat dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri spesifik. Melalui prosedur ilmiah tersebut, individu dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya, sehingga menjadi manusia yang cakap, terampil, dan bermoral di lingkungannya. Oleh karena itu, sains digunakan sebagai materi yang harus diberikan dalam pendidikan di sekolah.

Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai aktivitas yang sengaja diberikan pada individu atau kelompok individu dengan tujuan agar individu-individu tersebut dapat berkembang potensinya secara optimal. Arah umum pelaksanaan pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia atau membantu proses humanisasi. Artinya, pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). UNESCO memberikan arahan, bahwa secara global pendidikan harus mengarah untuk mengembangkan potensi individu-individu dengaan berprinsip pada learning to know, learning to do, learning to

be, dan learning to live together. Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memuat: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Pandangan tentang pendidikan di atas memunculkan ide sederhana, yaitu bahwa pelaksanaan pendidikan harus dapat menjadikan peserta didik (secara individu) memiliki penguasaan materi/bahan pendidikan secara teoretik, dapat memfungsikan teori-teori tersebut dalam kehidupan, dan untuk hidup yang berkepribadian di masyarakat. Selanjutnya, pelaksanaan pendidikan atau pembelajaran seperti ini dapat dikatakan sebagai pelaksanaan pendidikan atau pembelajaran yang mengarah tidak hanya pada tingkat nominal tetapi juga pada tingkat fungsional.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, maka muncullah permasalahan: bagaimanakah mengemas sains sebagai materi/bahan kurikulum pendidikan yang dapat Berdasarkan beberapa pandangan di atas, maka muncullah permasalahan: bagaimanakah mengemas sains sebagai materi/bahan kurikulum pendidikan yang dapat

Orientasi Kebutuhan Bentuk Pendidikan Sains

Indeks kualitas SDM Negara kita yang dilaporkan oleh UNDP adalah berada pada peringkat antara 100 sampai 110 dari 180 negara yang disurvei. Salah satu faktor yang diperhitungkan dalam menentukan indeks kualitas SDM tersebut adalah rata-rata lamanya mengikuti pendidikan atau proses pendidikan di sekolah. Kondisi ini sepertinya sesuai dengan keadaan riil yang terjadi di lingkungan kita. Misalnya, yang berkaitan dengan bencana/kejadian yang berhubungan dengan alam maupun peralatan (motor/mobil, kereta api, kompor, dan lain-lain) yang mengakibatkan kerugian harta-benda maupun jiwa akibat dari human error. Perlu diketahui bahwa peralatan adalah produk teknologi. Teknologi dan penggunaan teknologi selalu didasari oleh sains. Pertanyaannya adalah: “bagaimanakah hasil dan proses pembelajaran sains di sekolah?

Pengamatan di lapangan (walaupun bukan hasil penelitian) menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran sains hingga sekarang masih banyak yang menggunakan metode mengajar dengan membaca dan menghafal, berorientasi pada guru dan buku sangat tinggi, hasil pendidikan diarahkan untuk meningkatkan “status social”, dan peserta didik tidak diberi bekal untuk hidup setelah menyelesaikan pendidikannya. Keadaan ini hampir sesuai dengan pandangan pendidikan lama (sekitar abad 18) di Eropa maupun di Amerika Serikat, menurut George E. DeBoer (1991). Pertanyaannya, apakah kita akan terus seperti itu?

Hingga sekarang bahkan sampai yang akan datang sains dan teknologi untuk berbagai keperluan telah berkembang secara eksponensial. Oleh karena itu, para ilmuwan sains mengkritik dan mendesak agar sekolah mengajarkan ilmu-ilmu yang dapat bermanfaat bagi kehidupan siswa setelah meninggalkan sekolah. Menurut ilmuwan sains bahwa pelaksanaan pendidikan perlu memperhatikan pernyataan berikut:

“the true purpose of education was to prepare people to deal with these socially relevant questions – to equip them for the age in which they lived.”...” the world had changed in ways that required the development of independent judgement” (DeBoer, 1991)

Pertanyaannya, bagaimana mengemas pembelajaran sains agar peserta didik dapat memiliki kompetensi sains yang dapat bermanfaat di.lingkungan dan menyiapkan hidup mereka?

Sains pada hakekatnya merupakan proses dan produk, yang arti sederhananya adalah kumpulan ilmu pengetahuan hasil (sebagai produk) dari proses pengkajian gejala atau fenomena alam. Proses dalam sains identik dengan kegiatan ilmiah (penerapan metode ilmiah) yang meliputi: identifikasi dan merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, melakukan pengamatan, mencatat data eksperimen, uji hipotesis, dan membuat kesimpulan (Trowbridge & Bybee, 1990). Produk sains dapat berupa fakta, prosedur, konsep, prinsip, teori, atau hukum. Sains bersifat konkret dan abstrak, artinya hal yang dibahas dalam sains tidak hanya yang bersifat riil dapat diamati, atau yang dapat menempati ruang, tetapi juga yang hanya berupa dampak. Sains sebagai ilmu yang bersifat “Induktif” atau ilmu yang diperoleh berdasarkan kesimpulan dari kejadian-kejadian khusus ke kejadian umum. Sains memiliki cakupan bahasan mulai dari yang sederhana (bahasannya mudah) hingga komplek (memerlukan kombinasi bahasan). Sains memiliki cakupan bahasan yang bersifat klasik hingga modern. Klasik adalah bahasan yang berkaitan dengan permasalahan yang penyelesaiannya Sains pada hakekatnya merupakan proses dan produk, yang arti sederhananya adalah kumpulan ilmu pengetahuan hasil (sebagai produk) dari proses pengkajian gejala atau fenomena alam. Proses dalam sains identik dengan kegiatan ilmiah (penerapan metode ilmiah) yang meliputi: identifikasi dan merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, melakukan pengamatan, mencatat data eksperimen, uji hipotesis, dan membuat kesimpulan (Trowbridge & Bybee, 1990). Produk sains dapat berupa fakta, prosedur, konsep, prinsip, teori, atau hukum. Sains bersifat konkret dan abstrak, artinya hal yang dibahas dalam sains tidak hanya yang bersifat riil dapat diamati, atau yang dapat menempati ruang, tetapi juga yang hanya berupa dampak. Sains sebagai ilmu yang bersifat “Induktif” atau ilmu yang diperoleh berdasarkan kesimpulan dari kejadian-kejadian khusus ke kejadian umum. Sains memiliki cakupan bahasan mulai dari yang sederhana (bahasannya mudah) hingga komplek (memerlukan kombinasi bahasan). Sains memiliki cakupan bahasan yang bersifat klasik hingga modern. Klasik adalah bahasan yang berkaitan dengan permasalahan yang penyelesaiannya

Berdasarkan hakekat dan karakteristik sains, sebenarnya pendidikan sains di sekolah tidak hanya dapat untuk memberikan pengetahuan sains sebanyak-banyaknya, tetapi juga dapat digunakan untuk mengembangkan berbagai aspek kepribadian peserta didik seperti kemampuan berpikir logis, kreatif, jujur, teliti, disiplin, semangat untuk mandiri, maupun bekerja keras berdasarkan pemikiran serta berorientasi pada kualitas, dan tentu saja untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Dengan singkat dapat kita katakan bahwa sebenarnya pendidikan sains di sekolah dapat dijadikan wahana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kita.

Mengemas Pembelajaran Sains yang Nominal dan Fungsional

Kemasan cara atau sejumlah kegiatan yang dilengkapi dengan sarana pendukung dalam suatu sistem cara yang lebih luas untuk melaksanakan pembelajaran dikenal dengan model pembelajaran. Joyce dan Weil (1992) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat- perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan guru atau instruktur dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Model pembelajaran juga dapat dipahami sebagai: kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran materi tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Untuk itu mengemas pembelajaran sains perlu ditampilkan dalam bentuk “Model pembelajaran”