Studi kasus lesbian dalam Mixed Orientation Marriage

(1)

STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Tiara Dewantari

129114004

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI

STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE

Disusun Oleh : Tiara Dewantari NIM : 129114004

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing,


(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Tiara Dewantari

NIM : 129114004

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji pada tanggal 12 Januari 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Penguji Tanda Tangan

Penguji 1 : Dr. Tjipto Susana, M. Si. ____________ Penguji 2 : C. Siswa Widyatmoko, M. Psi., Psi. ____________ Penguji 3 : M. L. Anantasari, M. Si. ____________

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,


(4)

iv

Ia menyanyikan sajak tentang hidup yang adalah

toples sejuta rasa.

Maka ujarnya,

tidak mungkin mengartikan bahagia sebagai sekedar

senang dan terbang saja.

Tuhan menciptakan semarak hidup gono gini gitu,

sejatinya agar dunia menjadi tidak semembosankan itu.

Untuk papa dan mamaku.. Untuk kakak dan adikku.. Untuk kamu..


(5)

v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 12 Januari 2017 Peneliti,


(6)

vi

STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE Tiara Dewantari

ABSTRAK

Heteroseksisme menyebabkan banyak homoseksual, termasuk lesbian, memilih menikah dengan lawan jenis dan menjalani mixed orientation marriage untuk terhindar dari stigma negatif dan diskriminasi. Meskipun demikian, kebanyakan pernikahan tersebut ternyata mengalami kegagalan dan tidak bertahan lebih dari tiga tahun lamanya. Ketika ditemukan adanya lesbian yang mampu membina pernikahan sampai memasuki fase stabil dengan lawan jenis, hal tersebut menjadi suatu kasus yang unik karena sangat jarang terjadi. Studi kasus eksploratif dilakukan terhadap dua orang lesbian yang sedang menjalani pernikahan dengan lawan jenis dengan usia pernikahan lebih dari tiga tahun. Penilitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dasar yang menyeluruh mengenai kehidupan individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur, kemudian data dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mixed orientation marriage membawa individu lesbian dalam situasi yang sangat kompleks dan problematik. Selain banyak mengalami emosi negatif, individu terus menerus dihadapkan pada konflik di dalam diri maupun konflik dengan suami dan lingkungan sekitar. Meskipun pernikahan telah berlangsung cukup lama, individu lesbian di dalam penilitian ini tetap memiliki keinginan untuk bercerai dan sedang memikirkan cara untuk berpisah dari pasangan tanpa memunculkan kecurigaan terkait orientasi homoseksual yang mereka miliki.


(7)

vii

CASE STUDY : LESBIAN IN MIXED ORIENTATION MARRIAGE Tiara Dewantari

ABSTRACT

Heterosexism causes many homosexuals, including lesbian, chose to marry the opposite sex and undergo mixed orientation marriage to avoid the negative stigma and discrimination. However, most of the marriage turned out to be a failure and do not last more than three years. It becomes a unique case when there is lesbian who’ve been able to foster a long term marriage with the opposite sex. Explorative case study conducted on two lesbians who are undergoing more than three years marriage with the opposite sex. This research aims to get a thorough basic overview about the lives of lesbians who are involved in mixed orientation marriage. Qualitative data collection is done by using a semi-structured interview method, then analyzed using content analysis method. The results showed that the mixed orientation marriage takes lesbian to a very complex and problematic situation. Besides experiencing a lot of negative emotions, lesbian constantly faced with the conflict within herself or conflict with their husbands. Although the marriage has been aged more than three years and lasts long enough, lesbians in this research still has the will to divorce. Both individuals were figuring out how to separate from their partner without raises suspicions related to their homosexual orientation.


(8)

viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Tiara Dewantari

NIM : 129114004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“STUDI KASUS : LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 12 Januari 2017

Yang menyatakan,


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Kasus : Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage” sebagai syarat untuk memperolah gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan, bimbingan dan bantuan dalam bentuk apapun dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Tjipto Susana selaku dosen pembimbing, terimakasih atas kesabaran ibu dalam membimbing serta memberi saran, nasihat dan semangat kepada saya.

2. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi, terimakasih karena sudah memberikan pengetahuan, pelajaran dan pengalaman berharga selama saya menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.

3. Kedua narasumber yang dengan sangat terbuka mau berbagi cerita hidup dan pelajaran yang berharga kepada saya.

4. Mama, papa, Mbak Nicki dan Rhaka yang tidak pernah lelah memperhatikan, mendoakan dan mendukung dengan caranya masing-masing.

5. David, teman menulis cerita. Terima kasih karena selalu sabar menghadapi hujan dan matahari. Terimakasih karena selalu percaya dan tak pernah lelah mengingatkan bahwa saya bisa.


(10)

x

6. Dara, Rien, Rikjan, PP, Shela, Radit, Cuki, Narissa, Cia, Tiffa, Raras, Mbak Tata, Rezky, Milo, Lava dan semua teman-teman lain yang menemani perjalanan kuliah, mulai dari semester awal hingga saat-saat akhir berjuang menyelesaikan skripsi. Terimakasih karena telah memberi warna dan menjadi tawa dan semangat.

7. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatasan, kekurangan dan kesalahan yang peneliti lakukan dalam menyusun tulisan ini. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan membantu orang lain. Terimakasih.

Yogyakarta, 12 Januari 2017


(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Lesbian ... 13

1. Definisi dan Label Gender ... 13


(12)

xii

3. Ibu Lesbian ... 18

4. Lesbian di dalam Masyarakat... 23

B. Relasi Interpersonal ... 26

1. Bentuk Relasi Interpersonal ... 26

2. Komunikasi dalam Relasi Interpersonal ... 26

3. Konflik dalam Relasi Interpersonal ... 28

C. Mixed Orientation Marriage ... 30

1. Kontinum Mixed Orientation Marriage ... 31

2. Alasan Individu Homoseksual Menikah Secara Heteroseksual ... 34

3. Bentuk Mixed Orientation Marriage ... 36

4. Penyesuaian Pernikahan dalam Mixed Orientation Marriage ... 38

5. Individu Heteroseksual dalam Mixed Orientation Marriage ... 42

D. Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage ... 44

E. Kerangka Penelitian ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 49

B. Fokus Penelitian ... 50

C. Subjek Penelitian ... 51

D. Prosedur Penelitian ... 51

E. Metode Pengumpulan Data... 52

F. Analisis Data ... 56


(13)

xiii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian ... 59

B. Pelaksanaan Penelitian ... 60

C. Hasil Penelitian ... 62

1. Kesadaran Akan Orientasi Homoseksual ... 62

2. Menyembunyikan Orientasi Homoseksual ... 65

3. Motif Menikah ... 67

4. Relasi Dengan Suami ... 69

a. Relasi Emosional ... 69

b. Relasi Seksual ... 71

5. Konflik Dengan Suami ... 73

6. Kehadiran Anak ... 77

7. Dampak Pernikahan ... 80

a. Perasaan dan Pikiran Negatif Diri ... 80

b. Perasaan Terhadap Orang Lain ... 82

c. Konflik Intrapersonal ... 83

d. Relasi Sosial ... 85

e. Relasi Homoseksual ... 87

8. Strategi Coping ... 89

9. Persiapan / Visi Masa Depan ... 90

D. Pembahasan ... 93


(14)

xiv BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 109

B. Kontribusi Penelitian ... 110

C. Keterbatasan Penelitian ... 111

D. Saran ... 112

1. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 112

2. Bagi Individu Lesbian ... 113

3. Bagi Psikolog dan Konselor ... 114

4. Bagi Orangtua dan Calon Orangtua ... 114

5. Bagi Komunitas LGBT ... 115

DAFTAR PUSTAKA ...xvii


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Guideline Pertanyaan Wawancara ... 53 Tabel 2. Ringkasan Kegiatan Pengambilan Data Penelitian ... 61 Tabel 3. Data Demografis Subjek ... 62


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informed Consent ... xxii

Lampiran 2 Koding Subjek I ... xxiii

Lampiran 3 Koding Subjek II ... xxiv


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Salah satu ciri dan tugas perkembangan makhluk hidup adalah melakukan reproduksi. Makhluk hidup, termasuk manusia, harus melakukan prokreasi untuk melanjutkan keturunan dan mempertahankan spesies (Guntur, 2015). Reproduksi hanya dapat terjadi apabila dilakukan oleh manusia yang berlainan jenis kelamin. Pelaku seks sesama jenis tidak akan dapat memiliki keturunan biologis sehingga tidak dapat melanjutkan keturunan spesies. Oleh sebab itu, kehadiran homoseksualitas membawa sebuah dilema tersendiri. Fakta bahwa homoseksual tidak dapat melakukan prokreasi membawa masyarakat pada sebuah anggapan bahwa homoseksualitas merupakan penyimpangan yang merugikan. Stigma bahwa homoseksual merupakan hal yang tidak normal ini diperkuat oleh pandangan yang dikemukakan oleh bidang kesehatan mental Freudian, dimana dikatakan bahwa homoseksual terbentuk oleh terhambatnya perkembangan psikoseksual yang normal (Ben-Ari, 2001). Apalagi, tiga agama terbesar di dunia, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam, memandang homoseksual sebagai sebuah dosa (Ben-Ari, 2001).

Alasan-alasan tersebut menyebabkan terbentuknya ideologi heteroseksisme. Heteroseksisme merupakan sebuah sistem ideologi yang menyangkal, menilai buruk dan menstigmatisasi segala bentuk non-heteroseksual, baik dalam perilaku, identitas, relasi mupun komunitas (Herek dalam Ben-Ari,


(18)

2001). Dalam masyarakat global, termasuk Indonesia, homoseksual dianggap menyalahi aturan perkawinan, karena berlaku hukum bahwa seseorang harus berpasangan dengan lawan jenisnya, bukan dengan sesama jenis. Heteroseksisme menyebabkan homoseksual berada pada kondisi yang sulit dan seringkali menjadi objek diskriminasi. Penolakan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual tersebar di seluruh dunia (Rahardjo, 2007). Menurut Kitzinger (dalam Rahardjo, 2007), sekitar 92% kaum gay dan lesbian di Amerika melaporkan bahwa dirinya menjadi target ancaman dan kekerasan dari kaum anti gay. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Tomsen (dalam Rahardjo, 2007) menunjukkan bahwa pembunuhan oleh banyak orang tak dikenal yang terjadi di New South Wales, Australia, biasanya dilatarbelakangi oleh adanya homophobia. Kondisi seperti tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Fakta penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh Arus Pelangi terhadap komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) menunjukkan bahwa 89.3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gendernya (Arus Pelangi, 2015). Selain diskriminasi dan marginalisasi di lingkungan sosial, di beberapa daerah seperti Aceh dan Sumatera Selatan, aktivitas homoseksual dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal dan pelakunya bisa dikenakan denda dan dihukum penjara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengeluarkan fatwa yang menyerukan berbagai hukuman, dari cambuk hingga hukuman mati, untuk kaum homoseksual pada 3 Maret 2015 (Wibowo, 2015).


(19)

Oleh karena begitu banyaknya penolakan dan konsekuensi negatif yang harus ditanggung, maka, di banyak negara, tidak sedikit homoseksual yang ragu mengungkapkan identitas seksualnya. Banyak sekali pertimbangan yang dipikirkan untuk mengungkapkan orientasi homoseksual pada masyarakat, khususnya lingkungan sekitar. Pada beberapa kasus, pengungkapan identitas LGBT yang dimiliki oleh individu kepada orang lain dapat memberikan banyak keuntungan kesehatan mental (Ragins dalam Legate, Ryan & Weinstein, 2012). Beberapa hal baik tersebut adalah terbentuknya self-esteem karena dikenal dan dicintai apa adanya, berkurangnya stres karena menyembunyikan bagian penting dari identitas diri, membangun relasi yang lebih akrab dan tulus dan lain sebagainya (National Sexual Violence Resource Center & Pennsylvania Coalition Against Rape, 2012b). Namun pada kasus lain, di budaya yang tidak ramah homoseksual seperti Indonesia, pengungkapan identitas bisa menjadi sebuah bencana dengan berbagai risiko. Individu LGBT harus siap dengan berbagai macam bentuk stigmatisasi, penilaian negatif serta perasaan ditolak yang mengikuti pengungkapan atas orientasi seksual mereka (Legate et al, 2012). US Department of Health and Human Services (dalam National Sexual Violence Resource Center & Pennsylvania Coalition Against Rape, 2012a) menemukan bahwa isu terkait lingkungan personal, keluarga dan penerimaan sosial akan orientasi seksual memberikan beban tersendiri terhadap kesehatan mental dan keamanan personal dari individu yang diidentifikasi sebagai lesbian, gay dan biseksual. Penelitian Banks (dalam National Sexual Violence Resource Center & Pennsylvania Coalition Against Rape, 2012a) juga menemukan bahwa


(20)

homophobia yang harus dihadapi individu-individu tersebut cenderung membuat mereka memiliki usia harapan hidup yang lebih rendah serta harus berhadapan dengan masalah kesehatan dan masalah sosial yang lebih tinggi daripada populasi umum.

Situasi yang kompleks semacam ini membuat kebanyakan homoseksual mengembangkan bicultural identity (Santrock, 1999). Secara lebih jauh dikatakan oleh Santrock (1999) bahwa bicultural identity adalah identitas dua dunia di mana kaum homoseksual tidak mengubah orientasi seksualnya dan tetap menjadi gay dan lesbian, terkadang menjalani kehidupan sebagai gay dan lesbian secara sembunyi-sembunyi namun juga hidup dan bersosialisasi seperti orang biasa tanpa masyarakat mengetahui bahwa sesungguhnya mereka adalah homoseksual. Salah satu cara yang digunakan oleh homoseksual untuk menyamarkan identitas homoseksual yang mereka miliki adalah dengan menikah. Menikah membuat mereka tampak seperti orang kebanyakan.

Banyak homoseksual menikah secara heteroseksual untuk menyembunyikan identitas orientasi seks mereka. Bagi gay dan lesbian yang sudah terbuka pada keluarganyapun tekanan untuk menikah masih ada, karena homoseksualitas dianggap sebagai penyakit yang diharapkan “sembuh” dengan menikah (Oetomo, 2003). Tidak ada literatur yang memberikan estimasi akurat mengenai prevalensi homoseksual yang menikah secara heteroseksual. Menurut Buxton (dalam Alessi, 2008), ada setidaknya satu hingga dua juta pria gay, wanita lesbian, pria dan wanita biseksual di Amerika Serikat yang menikah dengan lawan jenisnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wyers (1987) menyimpulkan bahwa


(21)

20% gay kulit putih dan 13% gay kulit hitam memutuskan menikah dengan perempuan. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lesbian yang menikah, dimana didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa 35% lesbian kulit putih dan 47% lesbian kulit hitam terlibat dalam mixed orientation marriage (Wyers, 1987). Mixed orientation marriage merupakan hubungan dimana satu partner mengalami ketertarikan sesama jenis dan diidentifikasi sebagai gay, lesbian atau biseksual, sedangkan satu partner yang lain diidentifikasi sebagai heterosekual tanpa ketertarikan sesama jenis (Buxton dalam Tornello & Patterson, 2011).

Mixed orientation marriage memberikan banyak sekali dampak negatif bagi individu-individu yang terlibat di dalamnya. Homoseksual akan merasakan cemas dan bersalah sepanjang hidup mereka apabila mereka menyembunyikan homoseksualitas yang mereka miliki dari orang-orang terdekatnya, terutama dari pasangan hidup dan anak-anak mereka (Binger dalam Ben-Ari & Adler, 2010). Kecenderungan memendam kebenaran membuat konflik ekspresi emosi dan hal ini bisa menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan stres serta bisa membangkitkan gangguan mental (Pennebaker dalam Ben-Ari & Adler, 2010). Meskipun demikian, coming out atau mengungkapkan identitas orientasi seksual yang mereka milikipun bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dan merupakan hal yang penuh tekanan. Setelah orientasi homoseksual terungkap, keberlanjutan pernikahan menjadi terancam. Beberapa pasangan yang memilih untuk bertahan akan mengalami banyak masalah dan cenderung pesimis terhadap masa depan mereka (Coleman dalam Ben-Ari & Adler, 2010). Parents, Families and Friends


(22)

of Lesbians and Gays (PFLAG, 1994) menjelaskan beberapa masalah tersebut misalnya adalah kesulitan individu heteroseksual dalam membangun kembali kepercayaan, kurangnya hubungan seksual, serta munculnya negativitas dari orang-orang di sekitar mereka. Perasaan sakit dan terluka serta pergolakan emosi secara konstan dan terus menerus akan dialami oleh individu homoseksual maupun individu heteroseksual dan anak-anak mereka setelah mengetahui bahwa salah satu orangtua dan pasangan mereka merupakan seorang homoseksual (Wyers, 1987).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian (Kort, 2006). Selain itu, Buxton (dalam Hernandez, Schwenke & Wilson, 2011) mengatakan bahwa hanya ada 15% mixed orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari tiga tahun. Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian dengan laki-laki cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan perempuan. Selain itu, prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya (Wyers, 1987). Laki-laki gay yang menikah dengan perempuan cenderung lebih mampu mempertahankan pernikahan mereka dan memiliki tingkat kebahagiaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan lesbian yang menikah dengan laki-laki (Bell & Weinberg dalam Nichols, 2004). Hal ini barangkali disebabkan ketidaksetaraan gender yang masih sering diterapkan dalam pernikahan-pernikahan tradisional. Kebanyakan perempuan dalam relasi heteroseksual memiliki power yang sangat sedikit daripada yang dimiliki suami atau kekasihnya. Ketidaksetaraan power ini


(23)

termanifestasi pada saat satu individu memiliki lebih banyak suara dalam relasi atau dalam sebuah keputusan tertentu yang harus dibuat sebagai pasangan (Caldwell & Peplau, 1984). Hal ini tentu sangat berkebalikan dengan ketika perempuan menjalani relasi dengan sesama perempuan. Pasangan lesbian benar-benar menghargai kesetaraan dalam relasi personal yang mereka bangun (Peplau dalam Peplau & Amaro, 1982). Alasan lain yang mempengaruhi perbedaan nuansa mixed orientation marriage pada gay dan lesbian adalah kecenderungan lesbian untuk menikah karena terpaksa. Dalam budaya patriarkal, perempuan cenderung kurang memiliki kebebasan personal dalam menjalani hidup sesuai dengan yang mereka inginkan. Perempuan memiliki lebih sedikit pilihan dalam menjalankan hidup dibandingkan laki-laki, termasuk dalam hal membuka diri sebagai seorang homoseksual (Nichols, 2004).

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, peneliti mengambil kesimpulan bahwa adalah hal yang jarang terjadi ketika individu lesbian mampu membina pernikahan sampai memasuki fase stabil dengan suaminya. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan studi eksploratif terhadap individu tersebut dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian studi kasus melibatkan studi terhadap sebuah isu yang dieksplorasi melalui satu atau lebih kasus dalam sebuah sistem yang saling berkaitan (Creswell, 2007). Peneliti mengumpulkan data yang detail dan mendalam serta melibatkan banyak sumber informasi, baik melalui observasi, wawancara maupun materi audiovisual, dokumen dan laporan (Creswell, 2007). Peneliti secara spesifik menggunakan studi kasus intrinsik, dimana peneliti fokus pada kasus yang telah dipilih karena kasus tersebut


(24)

merepresentasikan sebuah situasi yang unik dan tidak biasa. Dalam hal ini, peneliti memfokuskan penelitian pada individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage yang mencakup beberapa dimensi, yaitu motif yang mendasari pernikahan, relasi dengan suami, konflik interpersonal dan intrapersonal yang dialami beserta penyelesaiannya, dampak psikologis dan rencana serta harapan individu terhadap pernikahannya. Peneliti tidak menjadikan suami sebagai fokus penelitian karena dalam hal ini suami tidak mengetahui orientasi homoseksual yang dimiliki istrinya. Berdasarkan penelitian, kebanyakan individu memang tidak menyadari bahwa pasangannya memiliki orientasi homoseksual atau biseksual ketika mereka pertama kali menikah (Buxton & Schwartz, 2004). Meskipun suami mengetahui mengenai hal inipun, tidak banyak informasi yang bisa didapatkan sebab laki-laki cenderung tidak mau membahas mixed orientation marriage yang mereka jalani. Mereka cenderung merasa direndahkan dan jatuh harga dirinya ketika pasangannya lebih memilih relasi seksual dengan sesama jenis (Kort, 2006).

Konsep mixed orientation marriage merupakan sebuah konsep yang masih belum banyak dikenal sehingga penelitian mengenai hal inipun masih sangat jarang dilakukan. Sejauh ini, kebanyakan penelitian yang sudah ada cenderung menyoroti dinamika psikologis pada individu heteroseksual di dalam mixed orientation marriage. Berdasarkan penelitian, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa seorang istri akan mengalami ambiguous loss saat mengetahui bahwa suaminya adalah seorang homoseksual, sehingga akan mengalami tahap-tahap kesadaran, kebingungan, pre-okupasi, keputus-asaan, merasa bertanggungjawab


(25)

atas kesejahteraan anak dan pasangan, disorientasi dan keyakinan spiritual menjadi semakin kuat namun juga saling tumpang tindih satu sama lain, kemudian masuk ke tahap yang terakhir yaitu bangkit dari keterpurukan (Hernandez & Wilson, 2007). Penelitian lain mengenai mixed orientation marriage berfokus pada alasan seorang homoseksual memilih untuk terlibat dalam pernikahan heteroseksual. Higgins (dalam Wolkomir, 2009) menemukan bahwa ada beberapa hal yang membuat homoseksual memilih untuk menikah dengan lawan jenis, yaitu usaha untuk menjadi normal, keinginan untuk memiliki keluarga, penolakan diri atas identitas homoseksual yang dimiliki, pencarian akan penerimaan serta karena percaya bahwa menikah merupakan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Kelebihan penelitian “Studi Kasus : Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage” dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian ini mampu memberikan gambaran dasar yang lebih menyeluruh mengenai kehidupan individu lesbian yang menikah secara heteroseksual. Dengan hal ini, masalah-masalah terkait individu lesbian dalam mixed orientation marriage diharapkan bisa diselesaikan secara lebih kontekstual sehingga dampak negatif yang telah dipaparkan sebelumnya bisa lebih diminimalisir. Selain itu, hasil penelitian bisa menjadi referensi dan pembelajaran bagi banyak individu lesbian yang menikah secara heteroseksual maupun bagi terapis-terapis pernikahan.


(26)

B. Rumusan Masalah

Sebagian besar mixed orientation marriage, khususnya lesbian yang menikah dengan laki-laki, cenderung berujung pada perceraian. Meskipun begitu, terdapat sebuah kasus dimana individu lesbian mampu membina pernikahan sampai memasuki fase stabil dengan suaminya. Kasus ini merupakan sebuah kasus yang unik dan menarik untuk dibahas sehingga peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah kehidupan pernikahan yang dijalani oleh lesbian yang terlibat mixed orientation marriage?”. Dari pertanyaan tersebut, peneliti mengembangkan beberapa sub-pertanyaan penelitian, yaitu :

1. Apa yang menjadi motif yang mendasari individu lesbian untuk menikah dengan lawan jenis?

2. Bagaimanakah relasi individu dengan suaminya dalam kehidupan sehari-hari?

3. Apa saja konflik intrapersonal dan interpersonal yang harus dihadapi individu lesbian selama menjalani mixed orientation marriage? Bagaimana cara yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut?

4. Apa dampak yang dialami individu lesbian selama menjalani mixed orientation marriage?

5. Bagaimana relasi individu dengan anak-anaknya? Apakah dampak kehadiran anak bagi relasi dengan suami dan bagi diri individu?


(27)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dasar yang menyeluruh mengenai individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage, yang dijelaskan dalam beberapa dimensi, yaitu motif yang mendasari pernikahan, relasi dengan suami, konflik interpersonal dan intrapersonal yang dialami beserta penyelesaiannya, dampak psikologis dan rencana serta harapan individu terhadap pernikahannya.

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini, manfaat yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut : 1. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini diharapkan menjadi sumber literatur terkait individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage dan bisa menjadi informasi tambahan bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan topik serupa.

2. Bagi Individu Lesbian

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sebuah pembelajaran dan media dalam mengevaluasi kehidupan bagi individu-individu lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage.

3. Bagi Psikolog dan Konselor

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi bagi psikolog dan konselor dalam memberikan terapi dan konseling pernikahan ketika dihadapkan pada klien dengan kondisi serupa.


(28)

4. Bagi Masyarakat Luas

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kehidupan pernikahan heteroseksual yang dijalani oleh individu lesbian.


(29)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Lesbian

1. Definisi dan Label Gender

Lesbian merupakan perempuan yang mencintai perempuan, baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya secara homoseksual (Agustina dalam Yuwono, 2013). Homoseksual yaitu ketertarikan seseorang secara seksual terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama (Supratiknya dalam Mastuti, Winarno & Hastuti, 2012).

Pada kelompok lesbian, terdapat label gender yang dibedakan berdasarkan pola sikap, perilaku dan gaya berpakaian, misalnya butch, femme dan butch/femme (Tan dalam Setya, 2013).

a. Butch yaitu lesbian yang merepresentasikan gender maskulin, bertingkahlaku dan berpenampilan seperti seorang laki-laki.

b. Femme yaitu lesbian yang berpenampilan dan berpakaian feminim, bertingkahlaku lembut layaknya perempuan pada umumnya.

c. Andro atau androgyne atau butch/femme adalah perpaduan penampilan antara butch dan femme. Mereka menghadirkan sifat maskulin dan feminin secara bersamaan dalam kadar yang relatif sama, atau menghadirkan dua hal tersebut secara bergantian.


(30)

Seiring dengan label ini, ada gradasi label gender lesbian dalam komunitas lesbian, misalnya adalah "soft butch" dan "stone butch" (Agustine dalam Setya, 2013).

a. "Soft butch" adalah lesbian yang merepresentasikan spektrum maskulin, namun tetap memiliki beberapa kualitas feminim.

b. “Stone butch” digambarkan lebih maskulin dalam cara berpakaian maupun potongan rambutnya. Mereka mengenakan pakaian laki-laki, terkadang membebat dadanya agar terlihat lebih rata dan menggunakan sesuatu di dalam pakaian dalamnya sehingga menciptakan kesan berpenis.

Studi kualitatif yang dilakukan oleh Levitt dan Hiestand (dalam Walker, Golub, Bimbi & Parsons, 2012) mengeksplorasi pengalaman lesbian butch. Levitt dan Hiestand (dalam Walker et al, 2012) menemukan bahwa lesbian butch merasa orang lain mengharapkan mereka "menjadi tangguh, menjadi pemimpin, mengurus dan melindungi orang lain, tidak menangis, tidak berkencan dengan sesama butch, menjadi dominan secara seksual, dan mengurus tugas-tugas yang sebenarnya merupakan tanggung jawab laki-laki”. Beberapa butch merasa bahwa stereotipe tersebut akurat, namun beberapa merasa bahwa ada stereotipe yang tidak mewakili identitas butch mereka (Levitt & Hiestand dalam Walker et al, 2012).

Dalam sebuah penelitian yang saling melengkapi, Levitt, Gerrish, dan Hiestand (dalam Walker et al, 2012) mengeksplorasi pengalaman lesbian femme. Lesbian femme menjelaskan bahwa stereotipe yang mengatakan


(31)

lesbian femme hanya memiliki relasi romantis dengan butch dan hanya terlibat dalam "kegiatan feminin" cenderung tidak akurat dan membatasi identitas mereka. Femme memang cenderung tertarik dengan butch, akan tetapi mereka tetap terbuka pada jenis kencan lainnya, misalnya femme-femme. Mereka merasa bahwa relasi romantik didasarkan pada daya tarik kepribadian dan perilaku, bukan label gender lesbian (Levitt et al dalam Walker et al, 2012).

2. Relasi Lesbian

Para peneliti berpendapat bahwa orientasi seksual perempuan dan relasi lesbian memiliki mekanisme dan manifestasi yang unik (Chiver, Rieger, Latty & Bailey dalam Diamond, 2013). Kurdek (dalam O’Neill, Hamer & Dixon, 2012) mendeskripsikan relasi lesbian sebagai relasi yang lebih empatik, egaliter dan memuaskan dibandingkan dengan relasi heteroseksual.

Pasangan lesbian cenderung membagi tugas rumah tangga dan tugas bayar-membayar secara adil dan setara (Patterson, Suffin & Fulcher dalam O’Neill et al, 2012). Chafetz (dalam Caldwell & Peplau, 1984) mengemukakan bahwa relasi lesbian menolak peran seks tradisional dan kesetaraan lebih mudah diterapkan pada pasangan sesama perempuan dibandingkan pada pasangan laki-laki-perempuan maupun pada pasangan sesama laki-laki. Hal ini hampir sama dengan pendapat Kelly (dalam Caldwell & Peplau, 1984) bahwa relasi percintaan antara sesama wanita cenderung lebih bebas dari faktor ketidaksetaraan. Barnhart (dalam Caldwell & Peplau, 1984) menemukan bahwa pasangan lesbian cenderung menilai tinggi kesetaraan dalam relasi personal mereka. Perempuan dalam relasi dengan


(32)

kesetaraan power melaporkan memiliki kepuasan personal dan kedekatan yang lebih tinggi, serta mampu mengantisipasi lebih banyak masalah di dalam relasi mereka.

Relasi di antara perempuan lesbian cenderung eksklusif secara seksual. Hal ini cenderung berbeda jauh jika dibandingkan dengan relasi di antara laki-laki gay. Data American Couples yang didapatkan oleh Philip Blumstein dan Pepper Schwartz (dalam Peplau dan Ghavami, 2009) membuktikan hal ini. Hanya ada 36% laki-laki gay yang berpendapat bahwa relasi seksual monogami merupakan sesuatu yang penting. Jumlah ini sangat sedikit bila dibandingkan dengan presentase pada lesbian (71%), suami heteroseksual (75%) dan istri heteroseksual (84%). Dalam perilaku aktualpun hanya sedikit lesbian (28%), suami heteroseksual (26%) dan istri heteroseksual (21%) yang terlibat dalam seks di luar relasi terikat, dibandingkan dengan 82% gay yang melakukan hal serupa. Kesetiaan seksual berelasi positif dengan kepuasan relasi bagi lesbian dan pasangan heteroseksual, namun tidak bagi gay.

Meskipun beberapa peneliti menemukan bahwa relasi lesbian cenderung lebih memuaskan dibandingkan dengan jenis relasi lain, terdapat penelitian yang menemukan hal yang sebaliknya. Kepuasan pada relasi lesbian tidak berbeda dengan kepuasan pada relasi gay dan relasi heteroseksual. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang jauh lebih mempermudah pasangan lesbian mencapai kepuasan dibandingkan dengan pasangan lain, yaitu :


(33)

a. Kesetaraan keterlibatan

Individu lesbian yang terlibat dalam relasi sesama jenis cenderung memiliki afeksi dan komitmen yang sama besar satu sama lain. Hal ini memperkuat cinta di antara mereka dan membuat kepuasan relasi cenderung meningkat (Blau dalam Peplau, Padesky & Hamilton, 1982). b. Kesetaraan power

Studi etnografis pada komunitas lesbian di California (Wolf dalam Peplau et al, 1982) dan Oregon (Barnhart dalam Peplau et al, 1982) menemukan bahwa banyak pasangan lesbian menerapkan kesetaraan power di dalam relasi mereka dan menolak dominasi salah satu partner saja.

c. Kesamaan karakteristik individu

Orang cenderung sangat tertarik satu sama lain jika mereka memiliki kesamaan sikap dan karakteristik demografi (Berscheid & Walster dalam Peplau et al, 1982). Meskipun demikian, beberapa peneliti menemukan bahwa "kesamaan" merupakan hal yang kurang diperhatikan dalam relasi lesbian karena "identitas lesbian" menjadi pertimbangan yang paling penting. Cotton (dalam Peplau et al, 1982) bahkan berspekulasi bahwa lesbian cenderung memilih pasangan yang berbeda dari diri mereka dalam hal karakteristik sosial dan ekonomi. Kurdek (1994) menemukan bahwa secara umum, terdapat enam kelompok area konflik yang sering muncul dalam relasi romantik, yaitu power, isu sosial, kekurangan personal, ketidakpercayaan, intimasi dan jarak


(34)

personal. Pada pasangan heteroseksual, konflik mengenai isu sosial cenderung lebih sering muncul dibandingkan pada pasangan homoseksual. Sebagai kelompok yang sering mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sosial, pasangan homoseksual biasanya memiliki sudut pandang yang sama dan cocok satu sama lain mengenai isu-isu kontroversial. Oleh sebab itu, konflik di antara pasangan ini jarang terjadi. Sedangkan, pada pasangan homoseksual, baik lesbian maupun gay, konflik ketidakpercayaan cenderung lebih sering muncul dibandingkan pada pasangan heteroseksual. Konflik ketidakpercayaan ini muncul karena mantan pasangan cenderung menetap pada jaringan pertemanan atau komunitas pada homoseksual. Hal ini tentu rentan menimbulkan kecemburuan dan kemarahan. Terlepas dari kedua konflik yang telah disebutkan sebelumnya, pasangan heteroseksual dan homoseksual cenderung tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam empat konflik lainnya, yaitu power, kekurangan personal, intimasi dan jarak personal.

3. Ibu Lesbian

Survei skala besar pada komunitas lesbian di Amerika Serikat menemukan bahwa sekitar satu dari lima lesbian merupakan seorang ibu (Bryant dalam Tasker, 2005). Hasil penelitian Patterson (dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002) menunjukkan bahwa ibu lesbian yang memiliki anak sebelum coming-out berbeda dari ibu lesbian yang memiliki anak setelah coming-out. Wanita yang memiliki anak setelah coming-out biasanya memiliki anak dari hasil inseminasi dan donor sperma, adopsi atau sebagai akibat dari relasi dengan pasangan wanita yang memiliki anak. Ibu lesbian yang memiliki


(35)

anak setelah coming-out cenderung mulai mempertanyakan orientasi seksual mereka saat masih bersekolah. Di awal usia 20-an tahun, mereka cenderung telah memiliki pengalaman seksual dengan wanita lain dan mulai mengidentifikasi diri sebagai seorang lesbian. Dibutuhkan beberapa tahun lagi untuk memberitahu orang lain, termasuk anggota keluarga, bahwa mereka adalah lesbian. Sebagai orang dewasa, kelompok ini telah coming-out bertahun-tahun lebih lama dan telah memiliki proporsi pengalaman seksual dengan sesama jenis yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok ibu lesbian yang memiliki anak sebelum coming-out (Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002).

Sebagian besar (lebih dari 90%) dari wanita yang memiliki anak sebelum coming-out telah resmi menikah dengan seorang pria dan memiliki anak dalam konteks perkawinan atau relasi dengan seorang pria. Mereka berada di awal 20-an ketika mereka pertama kali mempertanyakan orientasi seksual mereka dan di akhir 20-an, mereka memiliki pengalaman seksual pertama mereka dengan wanita lain. Mereka berada di awal 30-an ketika pertama kali menganggap diri mereka sebagai lesbian dan mengungkapkannya ke orang lain, termasuk anggota keluarga. Ibu yang memiliki anak sebelum coming-out memulai proses coming-out sekitar 7-12 tahun lebih lama dibandingkan wanita yang memiliki anak setelah coming-out dan sekitar 6 - 8 tahun lebih lama daripada wanita yang tidak memiliki anak. Memiliki anak-anak mungkin telah menunda proses coming-out. Wanita yang memiliki anak-anak sebelum coming-out lebih berkonflik atau memiliki lebih banyak kesulitan


(36)

dalam coming-out, terkait peran sebagai seorang ibu yang melekat pada diri mereka, dibandingkan dengan wanita lesbian yang tidak memiliki anak (Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002).

Meskipun demikian, ibu-ibu yang memiliki anak sebelum coming-out melaporkan mengalami serangan verbal dan fisik dalam tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak setelah coming-out. Pernikahan sebelumnya atau hubungan dengan laki-laki akan melindungi ibu lesbian dari kelompok anti lesbian karena mereka cenderung tampak konvesional sehingga menjadi kurang diperhatikan. Akan tetapi, di sisi lain, wanita lesbian yang masih menikah dengan laki-laki, atau mereka yang masih kontak dengan mantan pasangan pria karena hak asuh bersama, sering dibuat merasa tak diinginkan di komunitas lesbian (Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002).

Sebuah studi longitudinal keluarga homoparental di Amerika (Gartrell dalam Greenbaum, 2014) menunjukkan bahwa mayoritas ibu lesbian tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan seksualitas mereka di tempat kerja dan dengan pekerja di tempat penitipan anak ketika anak-anak mereka masih kecil. Akan tetapi, mereka cenderung kurang bersedia untuk coming-out ketika anak-anak telah berusia 10 tahun ke atas. Perubahan ini menunjukkan meningkatnya kekhawatiran ibu apabila anak mereka harus berhadapan dengan homophobia. Orangtua sangat memperhatikan kesejahteraan psikologis anak-anak mereka. Untuk melindungi anak-anak mereka dari penolakan dunia yang berpotensi homophobic, orangtua kadang-kadang


(37)

memilih menyembunyikan orientasi seksual mereka (Weeks dalam Greenbaum, 2014).

Hal lain yang membuat perempuan-perempuan lesbian menyembunyikan status orientasi seksual mereka adalah karena 30% dari perempuan tersebut melaporkan terancam kehilangan hak asuh anak setelah bercerai dengan suami (Morris et al, 2002). Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa dibesarkan oleh ibu lesbian akan meningkatkan permasalahan psikologis anak karena anak akan harus berhadapan dengan diskriminasi dan intimidasi dari teman sebaya terkait orientasi seksual ibu mereka (Golombok, Perry, Burston, et al, 2003). Selain itu, pengadilan kebanyakan berfokus pada ketidakstabilan mental lesbian yang dirasa membuat lesbian kurang cocok menjadi ibu (Allen & Burrell dalam Morris et al, 2002). Pengadilan juga menganggap bahwa ibu lesbian akan mempengaruhi pengembangan peran gender dan orientasi seksual anak-anak mereka. Anak-anak cenderung akan terlibat dalam perilaku gender yang tidak pantas dan tumbuh menjadi gay atau lesbian sendiri (Falk dalam Morris et al, 2002).

Anggapan pengadilan itu sendiri didukung oleh hasil penelitian Buxton dan Schwartz (2004) yang mengemukakan bahwa anak akan mengalami proses yang panjang dan mengalami kebingungan dalam memahami perubahan orientasi seksual orang tua mereka (apakah mereka masih orang yang sama atau tidak), perubahan kehidupan sosial serta kecenderungan coming-out yang harus mereka lakukan sebagai anak dari seorang gay, lesbian


(38)

atau biseksual. Selain itu, mayoritas anak hasil mixed orientation marriage harus berhadapan dengan isu perceraian, termasuk di dalamnya separation anxiety, ketakutan diabaikan, dan terbaginya rasa kesetiaan. Ketika anak tersebut berusia remaja ketika orangtua melakukan coming-out, hal ini akan sangat membingungkan bagi mereka karena orangtua sedang berhadapan dengan isu seksualitas, identitas dan integritas yang saat itu juga sedang dihadapi oleh mereka. Keharusan menyimpan rahasia keluarga, merasa malu dan tertekan, serta ketidakinginan menjadi berbeda juga dapat menghambat anak dalam mengembangkan relasi yang sehat.

Meskipun demikian, terdapat penelitian-penelitian lain yang menemukan hasil berbeda. Hasil penelitian Golombok et al (2003) menunjukkan bahwa anak dengan ibu lesbian tidak menunjukkan kelainan psikologis yang lebih tinggi dan tidak mengalami lebih banyak kesulitan dalam membangun relasi sebaya apabila dibandingkan dengan anak dari orangtua heteroseksual. Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan oleh ibu lesbian mengalami kebingungan identitas dan peran gender. Bahkan, anak-anak tersebut malah cenderung mampu untuk berfungsi dengan baik sebagai seorang individu dewasa dan tetap mampu menjaga relasi yang positif dengan orangtua (Tasker & Golombok dalam Golombok et al, 2003). Hasil penelitian ini menjadi sebuah senjata bagi lesbian dan gay untuk memperjuangkan hak asuh anak mereka.


(39)

4. Lesbian di dalam Masyarakat

Sampai pada tahun 1973, homoseksualitas masih ada di DSM dan terdaftar sebagai sebuah kelainan seksual. Namun, di tahun yang sama, Nomenclature Committee dari American Psychiatric Association, di bawah tekanan dari para professional dan kelompok aktivis, merekomendasikan dieliminasinya kategori “homoseksualitas” dan substitusi dari “gangguan orientasi seksual”. Perubahan ini akhirnya disepakati, meskipun dengan diiringi protes dari beberapa psikiatris yang masih beranggapan bahwa homoseksualitas merefleksikan fiksasi dari tahapan awal perkembangan psikoseksual (Kring, Johnson, Davidson & Neale, 2012).

Meskipun secara ilmiah homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai sebuah abnormalitas, homoseksual, termasuk lesbian di dalamnya, masih sering mendapatkan prasangka dan diskriminasi. Prasangka dan diskriminasi yang diterima oleh homoseksual ini disebabkan oleh adanya ideologi heteroseksisme yang telah ditanamkan sejak dini dan dibentuk dalam beberapa tingkatan. Heteroseksisme merupakan sebuah sistem ideologi yang menyangkal, menilai buruk dan menstigmatisasi segala bentuk non-heteroseksual, baik dalam perilaku, identitas, relasi maupun komunitas (Herek dalam Ben-Ari, 2001).

Penolakan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual, termasuk lesbian, tersebar di seluruh dunia (Rahardjo, 2007). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2013b), empat dari sepuluh orang (39%) mengaku pernah ditolak oleh keluarga atau teman terdekat mereka


(40)

dikarenakan orientasi seksual yang dimiliki. 29% mengatakan bahwa mereka pernah merasa tidak diterima di beberapa tempat dan 21% mengungkapkan bahwa mereka pernah diperlakukan tidak adil oleh orang lain. Enam dari sepuluh orang (58%) bahkan mengaku sering diejek dan menjadi bahan olokan. Menurut Kitzinger (dalam Rahardjo, 2007), sekitar 92% kaum gay dan lesbian di Amerika melaporkan bahwa dirinya menjadi target ancaman dan kekerasan dari kaum anti gay. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Tomsen (dalam Rahardjo, 2007) menunjukkan bahwa pembunuhan oleh banyak orang tak dikenal yang terjadi di New South Wales, Australia, biasanya dilatarbelakangi oleh adanya homophobia. Kondisi seperti tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Fakta penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh Arus Pelangi terhadap komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) menunjukkan bahwa 89.3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gendernya (Arus Pelangi, 2015). Selain diskriminasi dan marginalisasi di lingkungan sosial, di beberapa daerah seperti Aceh dan Sumatera Selatan, aktivitas homoseksual dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal dan pelakunya bisa dikenakan denda dan dihukum penjara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengeluarkan fatwa yang menyerukan berbagai hukuman, dari cambuk hingga hukuman mati, untuk kaum homoseksual pada 3 Maret 2015 (Wibowo, 2015).

Penelitian menemukan bahwa sikap masyarakat terhadap laki-laki gay secara signifikan lebih negatif dibandingkan terhadap lesbian (Berkman &


(41)

Zinberg dalam Ellis, Kitzinger & Wilkinson, 2003). Temuan ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap homoseksualitas laki-laki mungkin menjadi komponen yang lebih pokok daripada penolakan terhadap homoseksualitas secara umum (Herek dalam Kerns & Fine, 1994). Homoseksualitas laki-laki dirasa sangat tidak menyenangkan untuk laki-laki heteroseksual karena mengancam hak sosial dan superioritas yang dimiliki laki-laki. Dalam konteks sikap terhadap individu homoseksual, laki-laki heteroseksual menganggap laki-laki gay lebih menyimpang dari peran gender tradisional jika dibandingkan dengan lesbian. Hasil penelitian serupa didapatkan oleh Pinel (dalam Gottschalk, 2008). Perempuan lesbian cenderung lebih jarang mendapatkan stigma apabila dibandingkan dengan laki-laki gay. Mereka cenderung lebih sering didiskriminasi atas statusnya sebagai seorang “wanita” daripada sebagai seorang “lesbian”.

Prasangka dan diskriminasi memberikan dampak terhadap individu, baik secara sosial maupun personal (American Psychological Association, diakses 31 Mei 2016). Pada derajat sosial, prasangka dan diskriminasi terhadap gay, lesbian dan biseksual terefleksikan pada stereotipe yang muncul setiap hari. Stereotipe ini muncul tanpa bukti yang nyata dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk memperlakukan gay, lesbian dan biseksual secara tidak setara, misalnya diskriminasi dalam pekerjaan dan pelayanan sosial. Pada derajat individual, prasangka dan diskriminasi tersebut juga memberikan konsekuensi negatif, terutama ketika individu tersebut menolak orientasi seksual yang mereka miliki. Walaupun individu lesbian, gay dan


(42)

biseksual belajar untuk menghadapi stigma sosial terhadap orientasi seksual mereka, pola dari prasangka dan diskriminasi memberikan efek negatif yang sangat serius terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis.

B. Relasi Interpersonal

1. Bentuk Relasi Interpersonal

Relasi interpersonal adalah hubungan saling mempengaruhi antara satu orang dengan orang yang lain. Relasi interpersonal dapat dibagi menjadi dua kategori apabila didasarkan pada tingkat kedalaman atau keintiman, yaitu hubungan biasa dan hubungan akrab atau intim. Hubungan biasa merupakan hubungan yang sama sekali tidak dalam atau impersonal atau ritual, sedangkan hubungan akrab atau intim ditandai dengan pengungkapan diri (self-disclosure). Selain itu, pada relasi akrab, pola interaksi berlangsung dalam jangka waktu yang lama, di mana salah satu partner memberikan pengaruh yang sangat kuat dan berkala bagi partner yang lain (Gross, 2015).

2. Komunikasi dalam Relasi Interpersonal

Dalam sebuah relasi, terjadi komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain atau pasangan secara langsung, baik verbal atau nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi adalah komunikasi diadik (dyadic communication) yang melibatkan hanya dua orang, seperti suami-istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana dalam Indahyani, 2013).


(43)

Komunikasi antar pribadi tidak hanya digunakan untuk memulai suatu hubungan baru dengan orang lain, tapi juga untuk mempertahankan hubungan baik yang telah terjalin (Indahyani, 2013). Peneliti relasi telah sepakat bahwa komunikasi merupakan faktor tunggal yang paling mempengaruhi kesuksesan dan kepuasan pernikahan (Stuart dalam Nartey, 2014), kestabilan relasi (Sarwatay & Divatia, 2016), serta meningkatkan keharmonisan, kohesi dan perkembangan menyeluruh di keluarga (Britten & Britten dalam Nartey, 2013). Sistem relasi dapat berfungsi dengan sukses ketika informasi penting secara regular dibicarakan bersama (Olson & Defrain dalam Nartey, 2013).

Dalam sebuah relasi, kurangnya komunikasi antar individu membuat mereka tidak dapat bertukar pikiran, serta tidak akan dapat memahami dan mengerti perasaan masing-masing. Kesalahpahaman akan terjadi bila komunikasi tidak berjalan dengan baik dan lancar sehingga dapat menimbulkan konflik dan ketidaknyamanan di dalam rumah tangga yang muncul akibat berbagai macam masalah (Rachmadani, 2013). Padahal, dua individu tidak akan bisa berjalan bersama tanpa disertai adanya persetujuan dan penyelesaian konflik yang efektif di antara keduanya. Menurut Odukoya (dalam Nartey, 2013) salah satu cara untuk membangun persetujuan di relasi adalah melalui komunikasi yang aktif yang melibatkan tiga aspek, yaitu apa yang akan diungkapkan (pilihan kata), bagaimana cara mengungkapkan (sikap, bahasa tubuh dan nada) dan kapan mengungkapkannya. Ketiga faktor itu harus dipertimbangkan secara matang dalam melakukan komunikasi (Nartey, 2013).


(44)

3. Konflik dalam Relasi Interpersonal

Segal dan Jaffe (dalam Brandenberger, 2007) mengungkapkan bahwa ketidaksetujuan pasti muncul dalam relasi intim. Dua orang tidak mungkin akan selalu memiliki kebutuhan, opini dan harapan yang sama. Lebih jauh, Guerrero, Andersen dan Afifi (dalam Brandenberger, 2007) mengungkapkan bahwa relasi dekat yang tanpa disertai konflik sangat jarang ditemui, bahkan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang tidak mungkin ada. Pada kenyataannya, relasi yang memuaskan biasanya didapatkan sebagai hasil dari diskusi dan kompromi atas ketidaksetujuan yang terjadi. Secara sukses menyesuaikan perbedaan-perbedaan yang ada akan membuat relasi semakin tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, pasangan yang mengaku tidak puas akan relasinya cenderung meminimalisir atau menghindari konflik.

Guerrero et al. (dalam Brandenberger, 2007) mendefinisikan konflik sebagai bentuk ketidaksetujuan dan ketidakcocokan antara dua individu yang saling tergantung satu sama lain. Konflik memainkan peranan yang cukup penting dalam sebuah relasi, tidak hanya mempengaruhi durasi, namun juga mempengaruhi kualitas dan kepuasan relasi. Wood (dalam Brandenberger, 2007) berpendapat bahwa konflik juga berdampak pada dinamika di antara pasangan dengan cara memaksa mereka untuk saling bernegosiasi dan berkompromi satu sama lain.

Pada hampir semua jenis relasi, konflik selalu muncul secara berkala sebanyak 1-2 konflik per bulan hingga 1-3 konflik per minggu (Brandenberger, 2007). Guerrero et al. (dalam Brandenberger, 2007)


(45)

mengatakan bahwa konflik ini biasa terjadi berkaitan dengan pembagian tugas rumah tangga, kecemberuan, keposesifan, uang, relasi sosial dan anak. Pekerjaan bisa pula menjadi konflik ketika hal itu menyebabkan berkurangnya dukungan pasangan dan sedikitnya waktu untuk keluarga (Cinamon dalam Brandenberger, 2007). Sebagai tambahan, individu yang mengeluh pasangannya tidak memiliki cukup banyak waktu untuknya kemungkinan besar akan terlibat pada kegiatan yang menunjukkan ketidaksetiaan emosi dan seksual (Guerrero et al. dalam Brandenberger, 2007). Selain masalah-masalah tersebut di atas, seks juga merupakan salah satu hal yang menyebabkan munculnya konflik di relasi. Gallagher (2013) mengungkapkan bahwa hal ini bisa terjadi ketika :

a. Salah satu partner merasa tidak puas akan frekuensi hubungan seksual. b. Salah satu partner menjadikan ketiadaan seks sebagai senjata untuk

menghukum pasangannya.

c. Tidak ada hubungan seksual dalam relasi dikarenakan tidak adanya kepercayaan, kenyamanan dan intimasi serta adanya kebencian dan kemarahan. Hal ini juga bisa terjadi karena isu medis atau penuaan. d. Salah satu partner terlalu sibuk atau terlalu lelah untuk melakukan

seks.

e. Salah satu partner kecanduan menonton porno sehingga pasangannya merasa tergantikan.


(46)

f. Salah satu partner tidak menyukai seks dengan pasangannya karena hal yang diinginkan tidak didapatkan serta tidak adanya variasi gaya dan konten dalam hubungan seksual.

g. Salah satu partner melakukan perselingkuhan.

C. Mixed Orientation Marriage

Nugroho (2007) berpendapat bahwa ideologi heteroseksisme berpengaruh sangat besar terhadap keputusan gay untuk menikah secara heteroseksual. Banyak homoseks menikah secara heteroseks untuk menyembunyikan identitas orientasi seks mereka. Cara ini ditempuh karena menjadi satu-satunya cara bagi gay dan lesbian agar bisa diterima dan menjadi bagian masyarakat Indonesia yang utuh. Bagi gay yang sudah terbuka pada keluarganya pun tekanan untuk menikah masih ada, karena homoseksualitas dianggap sebagai penyakit yang diharapkan “sembuh” dengan menikah (Oetomo, 2003).

Tidak ada literatur yang memberikan estimasi akurat mengenai prevelansi homoseksual yang menikah secara heteroseksual. Peplau dan Amaro (1982) mengungkapkan bahwa 25% lesbian menikah secara heteroseksual. Ross (dalam Tornello & Patterson, 2011) mengestimasikan ada sekitar 10% hingga 20% laki-laki gay yang pernah menikah dalam satu waktu di hidup mereka. Menurut Buxton (dalam Alessi, 2008), ada setidaknya satu hingga dua juta pria gay, wanita lesbian, pria dan wanita biseksual di Amerika Serikat yang terlibat dalam mixed orientation marriage.

Mixed orientation marriage merupakan hubungan dimana satu partner mengalami ketertarikan sesama jenis dan diidentifikasi sebagai gay, lesbian atau


(47)

biseksual, sedangkan satu partner yang lain diidentifikasi sebagai heteroseksual tanpa ketertarikan sesama jenis (Buxton dalam Tornello & Patterson, 2011).

1. Kontinum Mixed Orientation Marriage

Penelitian Ben-Ari dan Adler (2010) terhadap 13 laki-laki homoseksual yang menikah secara heteroseksual menunjukkan bahwa mixed orientation marriage dapat dijelaskan dalam sebuah kontinum yang bergerak antara dua kutub, splitting dan integrating.

a. Splitting

Dalam splitting, partisipan membagi kehidupan mereka menjadi dua bagian yang sangat terpisah satu sama lain. Mereka menganggap bahwa pernikahan heteroseksual dan hubungan homoseksual adalah dua hal yang tidak bisa berjalan berdampingan. Memisahkan keduanya adalah satu-satunya cara supaya kedua hubungan bisa terus berlanjut. Dengan menjadikan homoseksualitas sebagai sesuatu yang terpinggirkan dan terbatas, mereka mampu menyelamatkan hubungan pernikahan mereka. Splitting terjadi dalam tiga level, yaitu :

1) Emotional splitting

Semua partisipan mempersepsikan bahwa hubungan mereka dengan istri sangat berbeda dengan hubungan mereka dengan sesama laki-laki. Hubungan dengan laki-laki hanyalah bentuk rangsangan dan pemenuhan fantasi, sedangkan hubungan dengan istri melibatkan emosi, cinta dan apresiasi.


(48)

2) Cognitive splitting

Bentuk keterpisahan ini termanifestasi dalam berbagai cara, termasuk meminimalisasi homoseksualitas dan artinya, melihat homoseksualitas sebagai fase yang temporer atau sementara, serta hanya merupakan objektifikasi dari orientasi seksual.

3) Behavioral splitting

Beberapa indikasi dari behavioral splitting adalah membatasi hubungan seksual hanya pada tempat tertentu saja, mendefinisikan hubungan hanya sebatas seksual saja serta membersihkan tubuh dengan seksama dan hati-hati setelah hubungan seksual sesama jenis, sebelum kembali pernikahan heteroseksual yang normal. Hal-hal ini berkontribusi dalam persepsi bahwa hubungan homoseksual adalah hal yang tidak berkaitan dengan apapun di dunia familiar.

b. Integrating

Selain orang-orang yang memilih menjalani hidup dengan cara di atas, ada beberapa orang lain yang memutuskan untuk mengintegrasikan pernikahan heteroseksual dan hubungan homoseksual. Integrasi ini adalah bentuk ideal yang diinginkan, dimana seseorang tidak harus melepaskan atau menomorduakan salah satu di antaranya. Proses integrasi ini menantang konsep normatif yang mengatakan bahwa homoseksual tidak bisa terlibat dalam pernikahan heteroseksual. Ada potensi keharmonisan dan kemungkinan berdampingan dari dua dunia ini. Realisasi dari satu sistem hubungan tidak selalu menghalangi kelanjutan hubungan yang lain.


(49)

Menurut individu homoseksual di dalam mixed orientation marriage, pengenalan terhadap orientasi homoseksual tidak mengganggu kebenaran dari keseluruhan pernikahan. Mereka masih menganggap pernikahan mereka berharga, ingin menjaga hubungan emosional mendalam yang selama ini sudah terbangun dan menghargai masa lalu mereka bersama (Wolkomir, 2009).

Meskipun begitu, karena kebanyakan individu straight merasa bahwa homoseksualitas merupakan bawaan sejak lahir, sifat yang abadi dan orang-orang menjadi gay atau lesbian secara eksklusif, mereka merasa bahwa seks heteroseksual adalah hal yang tidak mungkin dan tidak bisa menjadi bagian dari pernikahan mereka sama sekali (Wolkomir, 2009). Wolkomir (2009) mengungkapkan bahwa untuk memperbaiki bagian dari pernikahan mereka yang “rusak”, mereka mencoba untuk menjaga bagian baik dari pernikahan tersebut, yaitu dengan memisahkan antara cinta dan seks. Mereka percaya bahwa seks tidak berhubungan sama sekali dengan cinta. Hasilnya, mereka tidak lagi memasukkan seks ke dalam bagian keintiman emosi di pernikahan mereka dan melanjutkan hubungan mereka sebagai orangtua bagi anak-anak mereka dan teman bagi satu sama lain. Keintiman fisik dilakukan dengan orang lain di luar relasi. Dengan menjalin hubungan seksual yang terpisah, pasangan-pasangan menjadi mampu mengakomodasikan homoseksualitas yang mereka miliki sembari tetap merasa bahwa pernikahan mereka baik-baik saja.


(50)

2. Alasan Individu Homoseksual Menikah Secara Heteroseksual

Ross (dalam Tornello & Patterson, 2011) menemukan bahwa alasan yang paling sering muncul mengenai kenapa seorang laki-laki gay memutuskan untuk memasuki pernikahan heteroseksual adalah keinginan mereka akan penerimaan sosial, tekanan dari keluarga dan teman, rasa cinta dan afeksi terhadap pasangan serta keinginan untuk memiliki anak. Hasil yang ditemukan ini sama dengan hasil penelitian Saghair dan Robins (dalam Tornello & Patterson, 2011).

Pearcey (dalam Tornello & Patterson, 2011) melaporkan bahwa alasan utama seorang homoseksual menikah secara heteroseksual adalah tekanan dari sosial dan keluarga serta keinginan mereka untuk menjadi “normal”. Isay (dalam Alessi, 2008) menyatakan bahwa kebanyakan pria gay memutuskan menikah karena mereka tidak mampu menerima orientasi seksual yang mereka miliki. Alasan lain yang membuat seorang homoseksual menikah secara heteroseksual adalah karena individu tersebut tidak menyadari status orientasi seksual mereka sampai setelah mereka menikah. Scott dan Ortiz (dalam Alessi, 2008) mengungkapkan bahwa terdapat dua kelompok motivasi pria homoseksual menikah dengan wanita, yaitu :

a. Menikah sebagai solusi

Berkaitan dengan keinginan menyembunyikan, menolak, menyembuhkan dan berkompensasi dengan orientasi seksual yang mereka miliki (Scott & Ortiz dalam Alessi, 2008). Masyarakat menganggap homoseksual (termasuk lesbian) berlaku tidak sesuai dengan norma – norma yang


(51)

berlaku sehingga masyarakat selalu menyisihkan mereka dengan tidak sebagaimana mestinya. Dengan perlakuan masyarakat yang selalu menyisihkan para homoseksual, para pelaku homoseksual sering melakukan tindakan - tindakan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Contohnya, mereka sering melakukan sandiwara untuk mendapatkan pengakuan yang baik di tengah – tengah masyarakat, sehingga masyarakat akan tetap mengganggap mereka sebagaimana semestinya, walaupun sebenarnya, jauh di dalam diri mereka, mereka adalah seorang homoseksual (Optistasari, 2013).

b. Peran seks yang konservatif

Berkaitan dengan keyakinan yang dipelajari individu sejak kecil, bahwa menikah dengan perempuan adalah hal yang memang seharusnya dilakukan. Biasanya saat menikah, individu belum menyadari orientasi homoseksual yang mereka miliki (Scott & Ortiz dalam Alessi, 2008). Pada penelitian Bozzett (dalam Tornello & Patterson, 2011) yang terdiri dari sampel 18 partisipan, hanya satu orang yang sudah mengidentifikasi diri mereka sebagai gay sebelum pernikahan. 15 sisanya tidak menyadari ketertarikan sesama jenis yang mereka miliki sebelum pernikahan. Selain itu, Wyers (dalam Tornello & Patterson, 2011) menemukan bahwa hampir 70% partisipan melaporkan bahwa mereka baru menyadari diri mereka gay saat mereka sudah menikah, namun hanya 12% di antaranya yang mengungkapkan informasi ini kepada istri mereka.


(52)

3. Bentuk Mixed Orientation Marriage

Coleman (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) mengatakan bahwa pada prinsipnya, ada dua bentuk mixed-orientation marriage, yaitu pernikahan di mana pasangan straight menyadari orientasi seksual suami/istrinya, atau sebaliknya, tidak mengetahui sama sekali. Sangat penting untuk dicatat bahwa kesadaran ini bentuknya sangat dinamis dan bisa berubah seiring dengan waktu.

Pernikahan yang sukses sangat jarang terjadi pada pasangan di mana seseorang tidak mengetahui orientasi seksual suami atau istrinya. Meskipun begitu, Berger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) menemukan bahwa ada beberapa laki-laki yang melaporkan bahwa ia memiliki relasi pernikahan yang memuaskan. Kurangnya kesadaran pasangan dan anak adalah variabel mediator yang berkontribusi besar bagi persepsi akan kesuksesan pernikahan. Penyembunyian yang dimainkan oleh homoseksual memegang peranan yang sangat penting.

Akan tetapi, Binger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) mengindikasikan bahwa banyak dari individu-individu ini yang merasa bersalah dan cemas. Perasaan bersalah berasal dari gaya hidup mereka yang tidak “asli” dan dari penyembunyian itu sendiri. Kecemasan yang dirasakan berasosiasi dengan ketakutan antara penemuan atau pengetahuan yang tidak direncanakan mengenai orientasi homoseksual mereka. Kecenderungan memendam kebenaran ini membuat konflik ekspresi emosi dan hal ini bisa menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan stres. Berdasarkan teori inhibisi, ekspresi


(53)

emosi dan berbagi aspek personal dengan orang lain melalui keterbukaan adalah hal yang penting untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Kombinasi antara proses yang menyebabkan stres ini (penyembunyian identitas orientasi seksual) mampu membangkitkan masalah kesehatan mental (Pennebaker dalam Ben-Ari &Adler, 2010).

Pada istri yang mengetahui tentang orientasi seksual suaminya, keterbukaan homoseksualitas bisa terjadi pada tahap hubungan pernikahan yang berbeda-beda (Ben-Ari & Adler, 2010). Beberapa pria memilih untuk terbuka sebelum pernikahan terjalin, namun beberapa yang lain membuka diri di tengah-tengah pernikahan. Semua partisipan dalam sebuah survey di Amerika melaporkan depresi yang lebih dari satu bulan lamanya sebelum mereka akhirnya memutuskan coming out kepada istri mereka. Mereka juga melaporkan bahwa mereka segan setelah menyaksikan kemarahan dan luka yang dialami oleh istri mereka. Laki-laki merasa takut kehilangan hubungan dengan keluarga dan teman-teman mereka setelah mereka coming out. Hal ini dipersulit dengan ketidakpastian tentang bagaimana mereka harus beradaptasi dengan identitas baru mereka.

Coleman (dalam Ben-Ari & Adler, 2010) mengatakan bahwa bagi mereka yang memutuskan untuk mempertahankan pernikahan, homoseksualitas bisa menjadi sumber tekanan dan konflik, serta memunculkan perasaan pesimis mengenai masa depan pernikahan tersebut. Masalah lain yang muncul dalam pernikahan ini, yaitu penolakan terhadap kontak seksual dan hubungan penuh


(54)

afeksi yang dibangun oleh individu homoseksual dengan orang lain di luar pernikahan.

4. Penyesuaian Pernikahan dalam Mixed Orientation Marriage

Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam mixed orientation marriage, terdapat beberapa penyesuaian yang bisa dilakukan (Ross, 1971), yaitu :

a. Perpisahan

Wolkomir (2009) menemukan bahwa coming out kepada suami / istri membuat beberapa pasangan merasa kebingungan mengenai cara menjalankan pernikahan ketika salah satu di antara mereka adalah homoseksual. Untuk membuat keputusan, individu biasanya memberatkan pada kekuatan pernikahan yang telah mereka jalani sebelumnya dan cinta bagi pasangan. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa pernikahan mereka sangat kuat sebab mereka telah membesarkan anak bersama-sama, berbagi dukungan emosi dan selalu hidup penuh dengan kesenangan, pertemanan dan cinta. Akan tetapi, setelah mengetahui bahwa pasangan mereka homoseksual, mereka tidak mampu menyesuaikan kondisi mereka dengan bagaimana kondisi pernikahan seharusnya. Bagi mereka, hasrat seksual adalah satu aspek penting dalam pernikahan. Tanpa identitas gender yang benar, pernikahan tidak bisa menjadi sempurna. Dengan kata lain, kebanyakan individu merasa bahwa pernikahan mereka tidak dapat dipertahankan karena mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan model


(55)

dasar heteroseksualitas dan gender. Sebagai hasilnya, perceraian adalah satu-satunya resolusi yang terpikirkan.

b. Platonic marriage

Konflik seksual barangkali akan terselesaikan dengan sendirinya karena individu-individu yang terlibat tidak terlalu peduli dengan aktivitas seksual mereka di dalam pernikahan. Hal ini mungkin terjadi karena mereka memiliki kesibukan dan ketertarikan lain (anak, pekerjaan, dll). Pernikahan jenis ini biasanya terjadi pada pasangan heteroseksual yang cenderung ignorant, dan mereka yang hanya bertemu sesekali saja, misalnya satu kali dalam satu bulan.

c. The double standard

Pada beberapa kasus, individu homoseksual berhasil menjalin hubungan di luar pernikahan tanpa sepengetahuan pasangannya, sambil tetap menjaga dan mempertahankan pernikahan heteroseksual yang ia miliki.

d. Innovative marriage

Dalam hal ini, pasangan homoseksual berhasil membujuk suami atau istri mereka untuk ikut dalam hubungan di luar pernikahan. Untuk melakukannya, suami dan istri membangun dua kategori yang berbeda dari cinta (heteroseksual dan homoseksual) yang dilakukan secara berdampingan. Wolkomir (2009) mengutarakan bahwa beberapa pasangan tidak melihat hasrat homoseksual mampu menghapuskan kemungkinan keintiman fisik heteroseksual. Saat mereka melihat dorongan homoseksual sebagai bagian tetap dari diri seseorang yang harus diakomodasi, mereka


(56)

juga percaya bahwa hal tersebut bisa tetap berdampingan dengan dorongan heteroseksual, tanpa menomorduakan salah satu di antaranya. Sebagai hasilnya, pernikahan yang bernilai dan kehidupan seksual mampu dijalankan bersamaan dengan urusan homoseksual.

Penyesuaian-penyesuaian seperti tersebut di atas, berdasarkan hasil penelitian, merupakan solusi yang buruk untuk mengatasi konflik homoseksualitas dalam pernikahan heteroseksual. Dampak dari perpisahan dan perceraian sangatlah buruk, tidak hanya bagi pasangan suami istri, tetapi juga bagi anak-anak mereka. Bahkan, anak-anak seringkali merasa bahwa perceraian orangtua jauh lebih sulit dialami daripada saat mereka menemukan bahwa orangtua mereka adalah seorang gay atau lesbian (Kort, 2006). Platonic marriage cenderung diikuti oleh adanya ketidakpuasan pada pernikahan. The double standard memberikan kerugian yang besar terhadap pasangan heteroseksual. Kecemburuan, agresi dan kemarahan individu tersebut ketika mengetahui bahwa pasangannya berselingkuh akan menjadi bumerang bagi orang-orang yang mulanya menikmati relasi di luar pernikahan. Innovative marriage merupakan cara yang paling tidak merugikan. Akan tetapi, cara tersebut hanya berhasil pada kondisi tertentu saja, yaitu ketika pihak homoseksual memiliki sexual versatility (keanekaragaman kepandaian seksual) dan ketika pasangan heteroseksualnya memiliki pikiran yang terbuka. Selain itu, Ben-Ari dan Adler (2010) memberikan beberapa syarat lain pula, yaitu :


(57)

b. Menyusun kontrak dan peraturan yang jelas dan dinamis bagi kedua belah pihak. Kontrak dan peraturan ini terutama adalah mengenai praktik dan aktivitas homoseksual pasangan yang dilakukan di luar pernikahan.

c. Kedua belah pihak menerima orientasi homoseksual yang berdiri di tengah-tengah pernikahan mereka.

d. Memenuhi hasrat seksual pasangan. Hal ini disebabkan sebuah penelitian menemukan bahwa rasa pemenuhan ini dapat terproyeksi secara positif pada hubungannya dengan istri/suami. Selain itu, penelitian lain menjelaskan bahwa rasa pemenuhan dan kepuasan hubungan homoseksual berkontribusi besar bagi kepuasan pernikahan.

e. Cinta sebagai motif paling kuat untuk mempertahankan pernikahan adalah dasar yang penting dalam sebuah keintegrasian.

f. Persepsi bahwa mixed-orientation marriage adalah suatu hal yang unik, bukan hal yang “tidak normal” karena tidak sesuai dengan susunan pernikahan yang konservatif.

Pernikahan heteroseksual bagi pria gay merupakan situasi yang penuh dengan konflik. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Buxton (dalam Alessi, 2008), 59% pria gay yang menikah secara heteroseksual memutuskan untuk mengikuti konseling dan terapi untuk membantu mereka menghadapi konflik pernikahan. Alessi (2008) mengatakan bahwa tidak semua pria homoseksual yang menikah datang mengikuti terapi karena mereka ingin keluar dari pernikahan. Ada alasan lain yang mendorong mereka untuk ikut menjalani terapi. Dalam dua kasus klinis yang diteliti olehnya, dua pasien gay


(58)

memutuskan untuk mengikuti terapi karena mereka perlu menghadapi duka dan kehilangan yang cukup besar akibat tidak mampu menjalani tipikal hidup yang umum dimimpikan semua orang. Meskipun begitu, dua pria ini memutuskan untuk mempertahankan pernikahan mereka.

Ada beberapa faktor yang membuat homoseksual memilih bertahan dalam pernikahan heteroseksual, misalnya cinta dan afeksi terhadap pasangan satu sama lain. Pernikahan tersebut memuaskan kebutuhan mereka akan relasi, kesetaraan dan kepemilikan, serta membuat mereka merasa “normal” (Blass & Blatt dalam Alessi, 2008). Selain itu, ketakutan akan kesepian dan ketergantungan mereka selama ini juga membuat mereka tetap tinggal pada pernikahan. Bagaimanapun juga, istrilah yang selama ini telah memberi cinta tak bersyarat dan dukungan penuh (Kort, 2006).

5. Individu Heteroseksual dalam Mixed Orientation Marriage

Individu heteroseksual mengalami banyak tekanan dan stress ketika terlibat dalam mixed orientation marriage. Mereka merasakan suatu bentuk kehilangan yang berupa gelombang naik turun (maju mundur) yang disebut dengan ambiguous loss (Hernandez & Wilson, 2007). Hernandez dan Wilson (2007) menemukan bahwa individu-individu yang mengalami ambiguous loss akan melewati tahap-tahap berikut : (a) kesadaran akan adanya ketidaksesuaian emosi dan seksual dengan pasangan, (b) kebingungan dan merasa gagal karena berpikir bahwa perilaku merekalah yang menyebabkan ketidakcocokan ini, (c) secara bersamaan merasakan kelegaan dan ketakutan akan implikasi dari coming out yang dilakukan oleh pasangan mereka, (d)


(59)

keputusasaan saat mereka tidak mampu menemukan solusi lain selain perceraian dan perpisahan, (e) mempertimbangkan kesejahteraan anak mereka setelah mengetahui bahwa orangtua mereka adalah homoseksual, (f) disorientasi saat mereka menilai dampak pengalaman ini pada diri mereka sendiri, (g) kekacauan spiritual saat mereka menguji ulang keyakinan religius yang selama ini mereka miliki, dan (h) mendefinisikan ulang diri mereka dan menegosiasikan kembali rencana hidup ke depan setelah mengalami dan menyelesaiakan isu kehilangan ini.

Auerback dan Moser (1987) menemukan bahwa ada kebutuhan yang sama yang dimiliki oleh perempuan-perempuan yang memiliki suami gay. Mereka memiliki kebutuhan yang cukup besar untuk bertemu dengan teman dan rekan yang memiliki kondisi yang sama dengan mereka. Hal ini membuat mereka tidak lagi merasa sendirian. Mereka juga memiliki kebutuhan untuk membangun model konstruktif dalam menghadapi situasi mereka saat ini. Mereka butuh membicarakan pengalaman mereka, mencari informasi dan memahami homoseksualitas. Hal tersebut kemungkinan besar dapat dipenuh dalam support group. Kelompok ini ternyata juga cukup membantu partisipan-partisipannya dalam menyelesaikan isu-isu pernikahan dan membuat perubahan positif dalam hidup mereka. Kelompok untuk istri dari pria gay atau biseksual merupakan terapi intervensi yang efektif bagi masalah yang muncul akibat proses coming out yang dilakukan suami.


(60)

D. Lesbian dalam Mixed Orientation Marriage

Perempuan lesbian, ketika dibandingkan dengan laki-laki gay, cenderung menyadari dan berperilaku sesuai orientasi seksual yang mereka miliki pada usia yang lebih tua. Dibandingkan dengan laki-laki gay, ada lebih banyak perempuan lesbian yang pernah melakukan seks dengan lawan jenis, bahkan menikah secara heteroseksual (Bell & Weinberg dalam Nichols, 2004). Peplau dan Amaro (1982) mengungkapkan bahwa 25% lesbian menikah secara heteroseksual. Studi yang dilakukan oleh Gottschalk (2008) menemukan bahwa 40,5% lesbian pernah menikah dengan laki-laki. Penelitian lain menemukan bahwa 35% lesbian kulit putih dan 47% lesbian kulit hitam sedang dalam relasi pernikahan dengan lawan jenis (Wyers, 1987).

80% mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian (Kort, 2006). Selain itu, Buxton (dalam Hernandez et al, 2011) mengatakan bahwa hanya ada 15% mixed orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari tiga tahun. Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian dengan laki-laki cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan perempuan. Selain itu, prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya. Hal ini disebabkan karena perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung tidak bahagia di dalam pernikahan mereka (Wyers, 1987).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi ketidakbahagiaan tersebut, yaitu : 1. Lesbian cenderung menikah dengan laki-laki karena suatu


(61)

keterbatasan untuk menjalani hidup sesuai dengan yang mereka inginkan. Perempuan memiliki lebih sedikit pilihan hidup dibandingkan dengan laki-laki, termasuk pilihan untuk hidup secara terbuka sebagai seorang homoseksual (Nichols, 2004).

2. Caldwell dan Peplau (1984) mengungkapkan bahwa ketidaksetaraan gender masih sering diterapkan pada pernikahan heteroseksual yang tradisional. Dalam relasi heteroseksual, perempuan seringkali memiliki power atau kekuatan yang jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan kekasih atau suami mereka. Power didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku pasangannya. Ketidaksetaraan power ini termanifestasi ketika seseorang memiliki lebih banyak suara dibandingkan pasangannya mengenai relasi mereka maupun mengenai pengambilan keputusan tertentu.

3. Lesbian cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual mereka ketika harus menikah dengan lawan jenis. Beberapa lesbian mengaku tidak mampu mencapai orgasme saat berhubungan seksual dengan suaminya (Jay & Young dalam Peplau & Amaro, 1982). Hal ini barangkali disebabkan oleh perbedaan nilai emosional yang diterapkan perempuan dalam hubungan seksual mereka. Lesbian mengemukakan, dibandingkan dengan laki-laki, seks dengan sesama perempuan cenderung lebih lembut, lebih intim, lebih perhatian, lebih menyenangkan, lebih bervariasi dan lebih tidak agresif (Schaefer dalam Peplau & Amaro, 1982).


(62)

Hasil-hasil penelitian yang menunjukkan kecilnya tingkat kesuksesan pernikahan dan banyaknya faktor yang mempengaruhi ketidakbahagiaan lesbian dalam mixed orientation marriage membuat lesbian yang mampu menjalin pernikahan heteroseksual selama lebih dari tiga tahun menjadi sebuah kasus yang sangat unik dan jarang terjadi. Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan studi eksploratif terhadap individu tersebut dengan menggunakan pendekatan studi kasus.

E. Kerangka Penelitian

Heteroseksisme dan penolakan terhadap homoseksualitas memaksa homoseksual, termasuk lesbian, untuk menyembunyikan identitas orientasi seksualnya. Salah satu cara yang banyak dilakukan adalah dengan menikahi lawan jenisnya. Meskipun demikian, memutuskan untuk menikah bukan berarti terlepas dari masalah. Banyaknya konflik-konflik di dalam diri maupun konflik-konflik dengan pasangan membuat pernikahan tersebut seringkali didominasi dengan ketidakbahagiaan, ketidakpuasan dan akhirnya berakhir dengan perceraian.

80% mixed orientation marriage berakhir dengan perceraian dan hanya ada 15% mixed orientation marriage yang mampu bertahan dalam durasi lebih dari tiga tahun. Jika dilakukan perbandingan, usia pernikahan perempuan lesbian dengan laki-laki cenderung jauh lebih singkat daripada laki-laki gay dengan perempuan. Selain itu, prevalensi perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki gay yang bercerai dari istrinya. Hal ini dikarenakan perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung tidak bahagia dalam pernikahan mereka. Maka, dapat terlihat bahwa


(63)

lesbian yang mampu menjalin pernikahan heteroseksual selama lebih dari tiga tahun adalah sebuah kasus yang sangat jarang terjadi sehingga peneliti tertarik untuk melakukan studi eksploratif terhadap individu tersebut dengan menggunakan pendekatan studi kasus.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mendapatkan data yang menyeluruh, detail dan mendalam. Peneliti akan mengungkap kehidupan pernikahan yang dijalani oleh lesbian yang terlibat mixed orientation marriage. Gambaran yang utuh atas kehidupan pernikahan yang dijalani oleh lesbian yang terlibat mixed orientation marriage tidak dapat dicapai hanya dengan melihat fase hidup saat ini, tetapi juga perlu dipahami mengenai latar belakang dan motif yang mendasari pernikahan, hingga rencana dan harapan individu lesbian terhadap pernikahannya. Peneliti akan melihat perjalanan hidup sebelum menikah serta gambaran kondisi keluarga, komunitas dan masyarakat. Pemahaman akan hal-hal tersebut akan membawa kita pada kajian penelitian pertama, yaitu alasan yang mendasari subjek untuk menikah. Setelah hal tersebut didapatkan, peneliti kemudian berpindah pada kajian selanjutnya, yaitu kehidupan sehari-hari subjek saat ini. Hal ini akan terbagi menjadi beberapa subtopik, yaitu relasi individu lesbian dengan suaminya, konflik intrapersonal dan interpersonal, cara menyelesaikan konflik-konflik tersebut, serta dampak psikologis yang dirasakan setelah menikah dengan lawan jenis. Terakhir, studi akan ditutup dengan pengungkapan atas pandangan individu lesbian terhadap pernikahannya di masa yang akan datang. Hal tersebut akan dituangkan dalam pemaparan atas tujuan, rencana dan harapan yang individu lesbian lekatkan pada pernikahannya.


(64)

Peneliti berharap bahwa hasil penelitian mampu menjadi sebuah referensi dan pembelajaran, baik bagi individu-individu yang terlibat dalam masalah serupa, maupun bagi terapis-terapis pernikahan. Selain itu, dengan mengetahui gambaran secara menyeluruh kehidupan lesbian dalam mixed orientation marriage, diharapkan masalah-masalah terkait hal ini bisa diselesaikan secara lebih konteksual.


(1)

3

157 Malas mengalah sehingga hal-hal kecil saja bisa membuat bertengkar.

Sebab konflik

Konflik interpersonal dengan suami 179 Saat suami mengajak bicara sedangkan D masih merasa malas, D cenderung

akan menjawab sinis dan hal ini memicu konflik kembali. 259

266 748

Bertengkar karena suami melakukan hubungan seksual saat D tidak sadar Semakin marah karena hubungan seksual tersebut membuatnya hamil ketika ia tidak siap memiliki anak kedua.

Suami melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama. 281

291

Menggugurkan kandungannya karena tidak bisa menerima keadaan Suami marah saat D menggugurkan kandungan

436 792

Tidak memiliki alasan apa-apa untuk menggugat cerai suami

Suami tidak mau bercerai karena tidak mau dianggap laki-laki gagal dan karena menyadari adanya dampak tertentu ke anak-anak

160 Adu mulut dan saling membantah satu sama lain saat bertengkar

Akibat konflik 167 Tidak ada kekerasan fisik saat bertengkar

173 Saling diam saat sedang bertengkar

174 Baik dengan sendirinya tanpa ada yang meminta maaf duluan

Penyelesaian konflik 172 Tidak ada yang mau mengalah duluan

809 Setelah bertengkar, suami lama kelamaan akan berpura-pura tidak terjadi apa-apa (pertengkaran) di antara mereka

325 Relasi dengan anak biasa saja dan tidak ada yang aneh

Relasi dengan anak

Kehadiran anak 334 Dekat dengan anak-anak

404 Selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. 411 Orientasi seksual tidak mempengaruhi cintanya terhadap anak-anak. 444 Suami memperlakukan anak dengan baik

328 Anak merupakan pelarian agar tidak terlalu fokus pada masalah

Dampak kehadiran anak 331, 370 Anak merupakan penghibur saat sedang marah, capek dan down


(2)

4 339 Semenjak ada anak harus pintar mengontrol emosi

347 357

Menutupi pertengkarannya dengan suami dari anak-anak.

Tidak mau pertengkaran dengan suami membawa dampak buruk bagi anak-anak

420 Harus menangis sembunyi-sembunyi karena tidak ingin anak menjadi sedih setelah melihatnya menangis

263 Merasa bahwa perlakuan suami sangatlah tidak adil.

Perasaan negatif diri

Dampak pernikahan 316 Pernikahan membuat tertekan karena harus melakukan dan berhadapan dengan

sesuatu yang membuat tidak nyaman

379 Merasa lelah, muak dan jenuh harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan keluarga.

503 Kasihan dengan mantan pacarnya karena ia pasti merasa sangat sakit hati dan

tertekan. Perasaan terhadap orang

lain 545 Kasihan dan tidak tega dengan orang yang menjadi pasangannya.

387 Ingin meninggalkan kehidupan saat ini dan mulai membahagiakan diri sendiri, tapi merasa harus bertanggungjawab akan anak-anak.

Konflik intrapersonal 617 Ingin bercerai dari suami supaya bebas dan bisa membahagiakan diri sendiri,

tapi ragu karena memikirkan masa depan anaknya dan juga tidak yakin bahwa setelahnya ia bisa bebas dari paksaan orangtua.

428 Tidak memiliki teman bercerita semenjak menikah

Relasi sosial 557 Jauh dari teman-teman komunitas.

562 Merasa takut, tidak diterima, selalu dijudge dan tidak dimengerti ketika bercerita ke teman-teman komunitas mengenai pernikahannya.

582 Menjadi pribadi yang cuek, jutek dan tidak peduli pada orang lain selain orang-orang yang dia sayang


(3)

5

496 Putus dengan pacar karena pacar merasa cemburu dan tidak tahan dengan kondisi D yang sudah menikah.

534 Harus mempertimbangkan banyak hal apabila ingin menjalin relasi baru dengan orang di luar pernikahan.

542 Pernikahan dan anak yang masih kecil membuat sulit membangun relasi di luar pernikahan.

515 Relasi sesama jenis menjadi sangat berisiko karena D bisa diceraikan dan kehilangan anak-anaknya apabila sampai ketahuan.

696 Pernikahan membuatnya menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh Sifat personal 417 Menangis saat sedang merasa capek, muak dan jenuh.

Strategi coping Strategi coping 456 Menyibukkan diri dengan membaca, bekerja dan fokus pada anak-anak untuk

mengalihkan perhatian dari emosi negatif yang dirasakan

203 Tidak dapat melakukan apapun dan tidak mendapat dukungan darimanapun karena budaya mengatakan istri harus menurut dan melayani suami.

636 Menjalani hidup apa adanya sembari memikirkan cara (alasan) untuk meminta cerai

Usaha

Orientasi masa depan 646 Berusaha berdamai dengan keadaan

654 Mempersiapkan anak menjadi kuat menghadapi perceraian.

656 Memberi pengertian kepada anak tentang keadaan yang sebenarnya.

480 Ingin memberitahu anak-anak mengenai orientasi seksualnya saat mereka

sudah besar. Rencana

483 Ingin anak-anak memiliki wawasan yang luas, berpikiran terbuka, bisa toleransi dan tidak diskriminasi.

Harapan 666 Berharap LGBT diterima, tidak didiskriminasi dan tidak dibedakan dari orang

pada umumnya sehingga tidak ada lagi paksaan untuk menikah yang akan mengorbankan banyak orang.


(4)

xxv

LAMPIRAN 4


(5)

LEMBAR PERNYATAAN TELAH MELAKSANAKAN

MEMBER CHECKING

Dengan ini, saya, Tiara Dewantari selaku peneliti yang melakukan penelitian terkait lesbian yang terlibat dalam mixed orientation marriage telah mendapatkan informasi seputar kehidupan dan pengalaman dari informan yang bersangkutan. Saya telah mengkomunikasikan kembali hasil yang saya dapatkan dari penelitian ini kepada informan. Hal ini dilakukan agar saya selaku peneliti benar-benar memuat hasil penelitian yang sebenarnya tanpa adanya tambahan dan pengurangan atau manipulasi data.

Dengan demikian, peneliti telah memuat hasil penelitian berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan.

Yogyakarta, 2016

Mengetahui,

Informan Peneliti


(6)