1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
WHO menyatakan satu dari tiga perempuan akan mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh pasangan laki-laki mereka Boseley,
2013. Angka ini jauh diatas prevalensi kekerasan seksual pada laki-laki menurut Centers for Desease Control and Prevention yaitu satu diantara tujuh
puluh satu Rabin, 2012. Kekerasan perempuan yang dilaporkan di Indonesia juga semakin meningkat. Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap
perempuan KTP naik sebesar 29,4 pada tahun 2013 yaitu sebanyak 279.600 kasus dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 216.156 kasus
Osman, 2014. Selain itu LBH APIK Lembaga Bantuan Hukum untuk perempuan Jakarta pada tahun 2013 menangani kasus KTP sebanyak 992
kasus, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 600 kasus Mulia, 2014. Bukan sekedar angka yang memprihatinkan dalam kekerasan seksual
terhadap perempuan. Akan tetapi alasan di balik terus terjadinya kekerasan tersebut. Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kekerasan yang
berbasis gender. Kekerasan yang berbasis pada anggapan bahwa laki-laki mempunyai hak untuk mengontrol perempuan bahkan lewat kekerasan
Walker, 1989. Walker mengatakan informasi yang signifikan mengenai dampak kekerasan akan bisa dikumpulkan bila penelitian lebih sensitif gender.
Penelitian Kristyanti 2004 menunjukkan bahwa banyak perempuan bertahan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan terhadap mereka. Namun,
mereka tidak mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi tersebut. Hal ini terjadi bukan karena mereka nyaman dengan kekerasan yang terjadi
pada mereka, melainkan karena mereka mempunyai persepsi bahwa mereka tidak berdaya mengubah situasi tersebut Kristyanti, 2004.
Ketidakberdayaan yang dipersepsi oleh perempuan-perempuan tersebut bukanlah “kodrat”, melainkan sebuah ketidakberdayaan yang dipelajari. Ilmu
psikologi mengenalnya sebagai learned helplessness LH atau Walker 1984 menyebutnya sebagai battered women syndrome. Battered Women Syndrome
BWS adalah keadaan mental dan emosi perilaku perempuan yang mengalami kekerasan dari pasangannya. Menurut Walker perempuan dengan
BWS belajar tidak berdaya dan mentolerir rasa sakit karena kekerasan yang terus menerus dialaminya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perempuan belajar
tidak berdaya karena dikelilingi oleh pengetahuan yang diskriminatif yang mengajarinya menerima kekerasan sebagai kodrat perempuan. Pengetahuan
yang diinternalisasi oleh para penyintas ini ikut membentuk narasi diri mereka. Pengetahuan ini biasanya termuat dalam budaya.
Filosofi Jawa, misalnya, mengatakan bahwa tempat perempuan adalah kasur, sumur, dan dapur. Kita juga dapat melihat pengetahuan semacam ini
dalam syair lagu populer yang ditulis oleh Ahmad Dhani bahwa “Hawa
tercipta di dunia untuk menemani sa ng Adam“. Dengar juga kata Harry Roesli
bahwa perempuan “hanya penghias jambangan”, “sudah puas lalu di tendang”,
“sekuntum kembang.. begitu dia layu langsung dibuang”. Kata-kata mereka ini bukan temuan otentik mereka, pengetahuan ini telah ada dan beredar sejak
lama sebagai budaya. Pengetahuan semacam ini mempunyai dasar pada ketimpangan kekuasaan power antara laki-laki dan perempuan. Budaya yang
didominasi oleh nilai laki-laki yang meningkatkan kemungkinan perempuan mengembangkan learned helplessness ketika mengalami kekerasan Bargai,
Ben-Shakar, Shalev, 2007. Learned helplessness adalah tanggapan yang sering ditemukan dan
cenderung dapat diramalkan pada perempuan penyintas kekerasan Bargai, et. al. 2007. Narasi yang berpusat pada laki-laki meningkatkan ketidakberdayaan
pada perempuan Bargai, et al., 2007. Narasi yang berdasar pada stereotip gender akan menyebabkan individu menyalahkan korban ketidakadilan
Capezza Arriaga, 2008. Hanya individu yang sadar akan adanya ketidakadilan dan dapat meregulasi diri dengan baik yang mampu tidak
menyalahkan korban Loseman van den Bos, 2012. Padahal, bila masyarakat terus menyalahkan korban, bukannya pelaku, maka masyarakat
juga akan memandang bahwa kekerasan adalah hal yang bisa diterima sehingga perempuan akan lebih sulit mencari keadilan Capezza Arriaga,
2008. Maka pertama perlu diketahui benar sejauh mana narasi para penyintas itu mengandung ketidakberdayaan, berpusat pada laki-laki, dan stereotip
gender. Pengetahuan yang dimiliki oleh individu akan berpengaruh dalam
pembentukan narasi personal. Sedangkan narasi personal akan memberikan
makna dan identitas bagi hidup seseorang McAdams, 2006. Cerita yang dikisahkan akan membentuk sejarah bersama yang dibagikan McAdams,
2006. Maka narasi adalah identitas: identitas personal dan identitas bersama. Cerita membantu individu untuk menata pikiran McAdams, 2006.
Perbedaan tema narasi dibentuk oleh perbedaan pengalaman dan persepsi individu. Narasi adalah mekanisme adaptasi pengalaman yang menyakitkan
dan pemaknaan pengalaman tersebut Freer, Whitt-Woosley, Sprang, 2010. Penyintas kekerasaan mempunyai tema-tema narasi yang khas Freer, et.al.,
2010, Draucker, 2003, Anderson Hiersteiner, 2008. Kekhasannya tergantung pada pemaknaan personal dan seberapa jauh pemulihan telah
terjadi. Oleh karena narasi yang utuh dan berkesinambungan adalah penanda mental well-being Freer, et. al., 2010, maka narasi dapat digunakan untuk
mengakses seberapa jauh pemulihan telah terjadi dan dapat pula memprediksi seberapa jauh pemulihan dibutuhkan.
Narasi yang diakses dalam penelitian ini adalah narasi identitas. Narasi identitas adalah cara individu menggunakan narasi untuk mengembangkan dan
mempertahankan rasa sebagai pribadi yang utuh dan tujuan personal di tengah semua pengalaman sepanjang hidup Kerr, Crowe, Oades, 2013.
Terdapat dua cara menarasikan pengalaman negatif McAdams, 2008. Cara pertama adalah dengan mengabaikannya dan cara kedua adalah dengan
memberinya makna. Persepsi yang terbentuk dari trauma bila dibiarkan tanpa usaha pemulihan akan mengganggu individu dalam menghadapi dan
merencanakan hidup selanjutnya Freer, et. al., 2010. Sebaliknya, pemaknaan
menghasilkan kematangan psikologis dan pertumbuhan ego Pals, 2006. Oleh karena itu, perlu diketahui konstruksi narasi yang akan membantu korban
menjadi penyintas. Perempuan masih terus berusaha merahasiakan kekerasan yang terjadi
padanya. Kekerasan yang dirahasiakan biasanya akan terus berlanjut Walker,1989. Masalahnya budaya mengajarkan untuk menyimpan tabu.
Membicarakan kekerasan seksual yang terjadi pada diri sendiri adalah tabu Cohen, 2013. Korban takut pada konfrontasi dan belajar merahasiakannya
untuk melindungi diri dari pelaku sekaligus dari dunia luar Walker, 1989. Kisah hidup yang diceritakan biasanya yang sesuai dengan narasi
dominan, yang mengabadikan kekuasaan yang timpang. Sebaliknya, kisah yang tidak sesuai dengan narasi dominan tersebut tetap tak terungkap
Draucker, 2003. Draucker menyatakan bahwa cerita yang tak terungkap ini, yang adalah narasi non dominan, mampu mengkritisi narasi dominan dan
membantu membuka kemungkinan untuk mengkonstruksi narasi hidup yang lebih baik.
Bermacam narasi bersaing di dalam komunitas untuk diterima dan mendominasi McAdams, 2008. Jadi, kisah yang terus disimpan dan tidak
dibagikan, baik karena tidak sesuai dengan narasi dominan maupun karena dianggap tidak cukup penting, tidak akan menjadi bagian dari narasi karena
tidak pernah diterima. Keduanya adalah narasi non dominan atau Bamberg dan Andrews 2004 menyebutnya sebagai counter narrative. Ketika ada
sebuah pengalaman yang mengubah hidup tetapi tidak menjadi bagian narasi
disinilah terdapat keterpecahan individu McAdams, 2008; Tuval-Mashiach, Freedman, Bargai, Boker, Hadar, Shalev, 2004. Sebaliknya, individu yang
mulai memasukkan kisah personalnya ke dalam cerita hidupnya, narasi hidupnya akan lebih utuh dan koheren McLean and Fourier, 2008; Pals,
2006. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ketika pemulihan mulai terjadi, narasi pun mulai utuh.
Maka, penelitian yang mengupas tentang narasi para penyintas ini mutlak diperlukan Draucker, 2003 agar penanganannya pun dapat
direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Narasi para penyintas tersebut akan mengantarkan pada pemahaman tentang bagaimana individu yang telah
mengalami kekerasan dapat mengalami dan memilih pemulihan serta membuat perubahan yang penting dalam hidup mereka Draucker, 2003.
Sehingga dapat dikembangkan penanganan yang berdasar pada cara pandang terapi feminis yang percaya bahwa manusia adalah ahli atas diri dan
pengalamannya sendiri Gerard, 1994. Narasi adalah kekuatan. Pendekatan narasi akan memperlihatkan
bagaimana kekuatan penyintas dikembangkan bukan hanya tentang rasa sakit melainkan juga tentang daya lenting dan kekuatan Cohen, 2013. Beberapa
penelitian tentang kekhasan narasi penyintas telah dilaksanakan Draucker, 2003; Freer, et. al., 2010; Anderson Hiersteiner, 2008, akan tetapi
penelitian-penelitian tersebut belum mengungkap narasi seperti apa yang membantu penyintas untuk pulih dan narasi apa yang tidak membantu. Belum
pula terdapat penelitian yang menunjukkan perubahan narasi apa yang perlu terjadi agar pemulihan lebih mungkin terjadi.
Penelitian Draucker 2003 hanya menunjukkan tentang tema narasi yang khas yang dimiliki oleh individu yang pernah mengalami kekerasan
seksual. Akan tetapi tanpa penjelasan pada tahap mana tema tersebut muncul dan sejauh mana tema tersebut mendukung pemulihan penyintas. Draucker
menggunakan metode narasi dalam penelitiannya seperti juga penelitian ini. Akan tetapi tanpa menyelidiki sejauh mana konteks narasi dominan
mempengaruhi narasi penyintas beserta pemulihannya. Penelitian Freer, et. al. 2010 menemukan ciri narasi traumatik tanpa
menunjukkan tema yang menunjukkan narasi yang koheren sebagai penanda pemulihan. Freer tidak menunjukkan tema narasi yang mengakibatkan
koherensi. Sedangkan Anderson dan Hiersteiner 2008 menunjukkan pemulihan yang telah ditempuh oleh penyintas tetapi tidak menunjukkan
tahapan yang dilalui oleh para penyintas untuk pulih. Tahapan tersebut penting untuk menunjukkan seberapa jauh pemulihan yang menjadi dasar pemilihan
partisipan diwujudkan dalam narasi sehingga jauhnya pemulihan dapat dilihat. Penelitian Anderson dan Hiersteiner seperti halnya penelitian Draucker 2003
tidak melibatkan konteks budaya dalam pemulihan dan tema narasi yang ditemukan pada penyintas. Penelitian ini akan melihat konteks dan efeknya
pada narasi penyintas dan pemulihannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat narasi identitas perempuan yang
mengalami kekerasan seksual dengan beberapa tingkat keberdayaan. Hal
tersebut dilakukan agar dapat menemukan narasi yang membantu atau tidak membantu perempuan penyintas menjalani proses pemulihan. Sehingga
akhirnya dapat ditemukan langkah penting apa yang harus diambil atau dilakukan atau justru harus dihindari bila menginginkan pemulihan dan
menghindari reviktimisasi.
B. Rumusan Masalah