Jalan menuju pemulihan: narasi perempuan penyintas kekerasan seksual.

(1)

JALAN MENUJU PEMULIHAN:

NARASI PEREMPUAN PENYINTAS KEKERASAN SEKSUAL Benedicta Herlina Widiastuti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan narasi dan tema narasi perempuan penyintas kekerasan seksual yang menunjukkan proses pemulihan. Narasi memampukan individu untuk menggambarkan, menjelaskan, dan mengevaluasi penjelasan mereka sendiri. Narasi adalah cara manusia memahami dunia, membawa keteraturan ke dalam dunia yang kacau dan mendefinisikan diri secara unik atau interpretasi terorganisir peristiwa-peristiwa yang dialami individu tersebut. Tidak semua tema yang khas penyintas akan dapat membantu penyintas berjalan menuju pemulihan. Jalan menuju pemulihan melibatkan koherensi, stabilitas sekaligus perubahan tema. Narasi yang membantu tersebut harus ditemukan oleh penyintas bila ia ingin pulih. Pulih bagi penyintas artinya perubahan dari kisah hidup yang penuh dengan masalah menjadi kisah yang berdasar pada kekuatan dan mampu membuat perubahan yang fundamental atas hidup mereka. Penelitian ini mengartikulasikan jalan menuju pemulihan yang digunakan oleh penyintas. Wawancara semi terstruktur dilaksanakan terhadap lima perempuan penyintas kekerasan seksual. Kemudian data dianalisa dengan analisa narasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk pulih penyintas perlu pengetahuan dan kesadaran bahwa telah terjadi kekerasan terhadap penyintas tetapi ada yang bisa penyintas lakukan untuk mengubah keadaan. Penyintas juga harus mampu melaksanakan apa yang diinginkannya. Kemudian, penyintas perlu memutus relasi kekerasan tersebut dan menghasilkan counter atas narasi dominan yang menindas dan memandang penyintas tidak berharga. Komunitas dapat membantu pemulihan dengan membantu penyintas memperoleh dukungan sosial dan mendukung penyintas membentuk counter narasi. Counter narasi yang perlu dibentuk dan alasannya didiskusikan dalam penelitian ini.

Kata kunci : narasi identitas, pemulihan, penyintas, kekerasan seksual, counter narasi


(2)

PATH TO HEALING: IDENTITY NARRATIVE OF WOMEN WHO EXPERIENCED SEXUAL ABUSE

Benedicta Herlina Widiastuti ABSTRACT

This study aimed to describe narratives and narrative themes of women who were abused sexually which shows healing process. Narrative enables individuals to describe, explain and evaluate their own explanation. It is through narrative individual can understand the world, bring a sense of order to the seeming disorder world, and define self as being distinct from others. Narrative is an organized interpretatons of a sequence of events. Not every unique theme of survivors brings healing. Path to healing require coherence, stability, and theme changes. The helpful narrative should be found by survivors who desire healing. Healing means shifts from problem-saturated life strories to strength based ones and make fundamental changes in theis life courses. This study articulate path to healing the survivors got through.semi-structured interrviews were conducted towards five survivors. The data, then, analized with narrative analysis. The result shows that to heal survivor need to know and be aware that she experienced sexual abuse and she can do things to change her situation. Survivor need to execute her wishes to change her conditions. Then she have to end relations which promote the abuse and produce her counter narrative towards dominant narative which oppresed and degraded her. Community can help to promote healing by providing social support and encouraging survivors to produce their counter narratives. Which counter narratives need to be produced and why is discussed. Keywords: narrative identity, healing, survivor, sexual abuse, counter narrative


(3)

JALAN MENUJU PEMULIHAN: NARASI PEREMPUAN

PENYINTAS KEKERASAN SEKSUAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Benedicta Herlina Widiastuti NIM: 119114162

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2015


(4)

(5)

(6)

iv

Kita toh harus diterjang badai

agar bisa sepenuhnya terlibat dalam bahasa laut


(7)

v

I want to touch their beautiful souls,

because my freedom is bound with theirs

because it is...

by touching their pain i am healed

by watching them healed i am alive

by knowing that they’re alive i know that

i’ve shared what Live is giving me abundantly


(8)

(9)

vii

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan narasi dan tema narasi perempuan penyintas kekerasan seksual yang menunjukkan proses pemulihan. Narasi memampukan individu untuk menggambarkan, menjelaskan, dan mengevaluasi penjelasan mereka sendiri. Narasi adalah cara manusia memahami dunia, membawa keteraturan ke dalam dunia yang kacau dan mendefinisikan diri secara unik atau interpretasi terorganisir peristiwa-peristiwa yang dialami individu tersebut. Tidak semua tema yang khas penyintas akan dapat membantu penyintas berjalan menuju pemulihan. Jalan menuju pemulihan melibatkan koherensi, stabilitas sekaligus perubahan tema. Narasi yang membantu tersebut harus ditemukan oleh penyintas bila ia ingin pulih. Pulih bagi penyintas artinya perubahan dari kisah hidup yang penuh dengan masalah menjadi kisah yang berdasar pada kekuatan dan mampu membuat perubahan yang fundamental atas hidup mereka. Penelitian ini mengartikulasikan jalan menuju pemulihan yang digunakan oleh penyintas. Wawancara semi terstruktur dilaksanakan terhadap lima perempuan penyintas kekerasan seksual. Kemudian data dianalisa dengan analisa narasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk pulih penyintas perlu pengetahuan dan kesadaran bahwa telah terjadi kekerasan terhadap penyintas tetapi ada yang bisa penyintas lakukan untuk mengubah keadaan. Penyintas juga harus mampu melaksanakan apa yang diinginkannya. Kemudian, penyintas perlu memutus relasi kekerasan tersebut dan menghasilkan counter atas narasi dominan yang menindas dan memandang penyintas tidak berharga. Komunitas dapat membantu pemulihan dengan membantu penyintas memperoleh dukungan sosial dan mendukung penyintas membentuk counter narasi. Counter narasi yang perlu dibentuk dan alasannya didiskusikan dalam penelitian ini.

Kata kunci : narasi identitas, pemulihan, penyintas, kekerasan seksual, counter narasi


(10)

viii

PATH TO HEALING: IDENTITY NARRATIVE OF WOMEN WHO EXPERIENCED SEXUAL ABUSE

Benedicta Herlina Widiastuti ABSTRACT

This study aimed to describe narratives and narrative themes of women who were abused sexually which shows healing process. Narrative enables individuals to describe, explain and evaluate their own explanation. It is through narrative individual can understand the world, bring a sense of order to the seeming disorder world, and define self as being distinct from others. Narrative is an organized interpretatons of a sequence of events. Not every unique theme of survivors brings healing. Path to healing require coherence, stability, and theme changes. The helpful narrative should be found by survivors who desire healing. Healing means shifts from problem-saturated life strories to strength based ones and make fundamental changes in theis life courses. This study articulate path to healing the survivors got through.semi-structured interrviews were conducted towards five survivors. The data, then, analized with narrative analysis. The result shows that to heal survivor need to know and be aware that she experienced sexual abuse and she can do things to change her situation. Survivor need to execute her wishes to change her conditions. Then she have to end relations which promote the abuse and produce her counter narrative towards dominant narative which oppresed and degraded her. Community can help to promote healing by providing social support and encouraging survivors to produce their counter narratives. Which counter narratives need to be produced and why is discussed. Keywords: narrative identity, healing, survivor, sexual abuse, counter narrative


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Ketika penulis berjumpa dengan para penyintas, tersirat kedukaan yang dalam pada setiap gerak. Penulis merasa tidak mampu berdiam diri menghadapinya. Dan saat yang mampu dilakukan penulis adalah membuat sebuah penelitian untuk melengkapi pendidikan penulis yang memang ingin penulis peruntukkan bagi kemanusiaan, maka karya inilah yang menjadi pilihan.

Setelah seluruh excitement dan kegairahan panjang dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis ingin mengucapkan puji syukur dan terima kasih kepada:

1. Sang Sumber Kehidupan dan Penyembuh segala luka, yang telah memanggil penulis ikut bekerjasama melaksanakan kecintaan ini. 2. Para penyintas, baik yang menjadi partisipan maupun yang telah

bertemu dan membagikan hidup yang kaya kepada penulis.

3. Dr. Tjipto Susana, teman seperjalanan yang selalu menantang penulis untuk terus tumbuh dan berkembang.

4. Bu Ratri, Bu Dewi, Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni, dan teman-teman di sekretariat Fakultas Psikologi USD yang selalu membantu, menemani, dan menyemangati dengan pertanyaan-pertanyaannya yang menggelitik.

5. Ibu, Bapak, Mbul, & Jumok, you are my strength when I was weak, you are my eyes when I couldn’t see.

6. Sahabat-sahabat FCJ: Srs. Clare Hand, Marion Dooley, Katherine Mary O’Flynn, Judith Routier, Margaret O’Donohue, Rachel, Wina,


(13)

xi

Irene, Agnes Sam, Agnes Dini, Anouska, Nikki Angels, kalian yang membantuku berani mengambil jalan ini.

7. Agnes, Uciel, Siti eh Tuti , Ruth, Dicky, yang setia direpotkan oleh penulis. Upahmu besar di surga.

8. Sartika, mbak Rina, mbak Indiah, Rara, bu Tanti, pak Sabar, dan teman-teman di divisi pendampingan Rifka Annisa yang selalu ikut mendukung dan bertukar pendapat tentang penelitian ini dan tentang hidup sebagai teman seperjalanan penyintas.

9. Untuk semua kehidupan yang telah meninggalkan jejak kaki dalam kehidupan penulis.

Sebagai sebuah usaha untuk terlibat dalam kemanusiaan, tulisan ini pasti masih perlu menjadi lebih baik. Oleh karena itu, penulis akan menerima dengan senang hati saran dan kritik yang membangun bagi penelitian ini.

Yogyakarta, 24 Mei 2015 Benedicta Herlina Widiastuti


(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10


(15)

xiii

1. Definisi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan ... 10

2. Jenis-jenis Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan ... 12

3. Penyintas ... 16

4. Dampak Kekerasan Seksual ... 17

5. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan ... 19

6. Hambatan Mengakses Keadilan Dan Pemulihan Bagi Perempuan Penyintas Kekerasan Seksual ... 20

B. Narasi ... 20

1. Definisi Narasi ... 20

2. Kekhasan narasi perempuan penyintas kekerasan seksual ... 23

3. Narasi dan reviktimisasi ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

A. Strategi Penelitian ... 28

B. Jenis Penelitian ... 30

C. Fokus Penelitian ... 31

D. Partisipan Penelitian ... 31

E. Instrumen Penelitian ... 34

F. Prosedur Pengumpulan Data ... 34

G. Metode Analisis Data ... 36

H. Kredibilitas Penelitian ... 37


(16)

xiv

A. Pelaksanaan Penelitian ... 39

B. Profil Partisipan ... 42

1. Partisipan Pertama ... 42

2. Partisipan Kedua ... 44

3. Partisipan Ketiga ... 45

4. Partisipan Keempat ... 46

5. Partisipan Kelima ... 47

C. Analisa Data dan Hasil ... 48

D. Jalan Menuju Pemulihan ... 65

E. Pembahasan ... 70

1. Tema Narasi Identitas ... 71

2. Narasi Komunitas ... 94

F. Identitas Narasi yang Membantu dan Tidak Membantu Pemulihan .... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Kontribusi Penelitian ... 100

C. Kelemahan Penelitian ... 100

D. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan narasi identitas Nia ... 65

Gambar 2. Bagan narasi identitas Coral ... 66

Gambar 3. Bagan narasi identitas Misa... 67

Gambar 4. Bagan narasi identitas Tan ... 68

Gambar 5. Bagan narasi identitas Teta ... 69

Gambar 6. Bagan narasi identitas penyintas yang membantu dan tidak membantu pemulihan ... 98


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 110 Lampiran 2. Narasi Partisipan ... 112 Lampiran 3. Contoh Analisa Tema Coral ... 144


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

WHO menyatakan satu dari tiga perempuan akan mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh pasangan laki-laki mereka (Boseley, 2013). Angka ini jauh diatas prevalensi kekerasan seksual pada laki-laki menurut Centers for Desease Control and Prevention yaitu satu diantara tujuh puluh satu (Rabin, 2012). Kekerasan perempuan yang dilaporkan di Indonesia juga semakin meningkat. Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan (KTP) naik sebesar 29,4% pada tahun 2013 yaitu sebanyak 279.600 kasus dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 216.156 kasus (Osman, 2014). Selain itu LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum untuk perempuan) Jakarta pada tahun 2013 menangani kasus KTP sebanyak 992 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 600 kasus (Mulia, 2014).

Bukan sekedar angka yang memprihatinkan dalam kekerasan seksual terhadap perempuan. Akan tetapi alasan di balik terus terjadinya kekerasan tersebut. Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kekerasan yang berbasis gender. Kekerasan yang berbasis pada anggapan bahwa laki-laki mempunyai hak untuk mengontrol perempuan bahkan lewat kekerasan (Walker, 1989). Walker mengatakan informasi yang signifikan mengenai dampak kekerasan akan bisa dikumpulkan bila penelitian lebih sensitif gender.


(20)

Penelitian Kristyanti (2004) menunjukkan bahwa banyak perempuan bertahan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan terhadap mereka. Namun, mereka tidak mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi tersebut. Hal ini terjadi bukan karena mereka nyaman dengan kekerasan yang terjadi pada mereka, melainkan karena mereka mempunyai persepsi bahwa mereka tidak berdaya mengubah situasi tersebut (Kristyanti, 2004).

Ketidakberdayaan yang dipersepsi oleh perempuan-perempuan tersebut

bukanlah “kodrat”, melainkan sebuah ketidakberdayaan yang dipelajari. Ilmu psikologi mengenalnya sebagai learned helplessness (LH) atau Walker (1984) menyebutnya sebagai battered women syndrome. Battered Women Syndrome (BWS) adalah keadaan mental dan emosi perilaku perempuan yang mengalami kekerasan dari pasangannya. Menurut Walker perempuan dengan BWS belajar tidak berdaya dan mentolerir rasa sakit karena kekerasan yang terus menerus dialaminya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perempuan belajar tidak berdaya karena dikelilingi oleh pengetahuan yang diskriminatif yang mengajarinya menerima kekerasan sebagai kodrat perempuan. Pengetahuan yang diinternalisasi oleh para penyintas ini ikut membentuk narasi diri mereka. Pengetahuan ini biasanya termuat dalam budaya.

Filosofi Jawa, misalnya, mengatakan bahwa tempat perempuan adalah kasur, sumur, dan dapur. Kita juga dapat melihat pengetahuan semacam ini dalam syair lagu populer yang ditulis oleh Ahmad Dhani bahwa “Hawa tercipta di dunia untuk menemani sang Adam“. Dengar juga kata Harry Roesli


(21)

“sekuntum kembang.. begitu dia layu langsung dibuang”. Kata-kata mereka ini bukan temuan otentik mereka, pengetahuan ini telah ada dan beredar sejak lama sebagai budaya. Pengetahuan semacam ini mempunyai dasar pada ketimpangan kekuasaan (power) antara laki-laki dan perempuan. Budaya yang didominasi oleh nilai laki-laki yang meningkatkan kemungkinan perempuan mengembangkan learned helplessness ketika mengalami kekerasan (Bargai, Ben-Shakar, Shalev, 2007).

Learned helplessness adalah tanggapan yang sering ditemukan dan cenderung dapat diramalkan pada perempuan penyintas kekerasan (Bargai, et. al. 2007). Narasi yang berpusat pada laki-laki meningkatkan ketidakberdayaan pada perempuan (Bargai, et al., 2007). Narasi yang berdasar pada stereotip gender akan menyebabkan individu menyalahkan korban ketidakadilan (Capezza & Arriaga, 2008). Hanya individu yang sadar akan adanya ketidakadilan dan dapat meregulasi diri dengan baik yang mampu tidak menyalahkan korban (Loseman & van den Bos, 2012). Padahal, bila masyarakat terus menyalahkan korban, bukannya pelaku, maka masyarakat juga akan memandang bahwa kekerasan adalah hal yang bisa diterima sehingga perempuan akan lebih sulit mencari keadilan (Capezza & Arriaga, 2008). Maka pertama perlu diketahui benar sejauh mana narasi para penyintas itu mengandung ketidakberdayaan, berpusat pada laki-laki, dan stereotip gender.

Pengetahuan yang dimiliki oleh individu akan berpengaruh dalam pembentukan narasi personal. Sedangkan narasi personal akan memberikan


(22)

makna dan identitas bagi hidup seseorang (McAdams, 2006). Cerita yang dikisahkan akan membentuk sejarah bersama yang dibagikan (McAdams, 2006). Maka narasi adalah identitas: identitas personal dan identitas bersama.

Cerita membantu individu untuk menata pikiran (McAdams, 2006). Perbedaan tema narasi dibentuk oleh perbedaan pengalaman dan persepsi individu. Narasi adalah mekanisme adaptasi pengalaman yang menyakitkan dan pemaknaan pengalaman tersebut (Freer, Whitt-Woosley, & Sprang, 2010). Penyintas kekerasaan mempunyai tema-tema narasi yang khas (Freer, et.al., 2010, Draucker, 2003, Anderson & Hiersteiner, 2008). Kekhasannya tergantung pada pemaknaan personal dan seberapa jauh pemulihan telah terjadi. Oleh karena narasi yang utuh dan berkesinambungan adalah penanda mental well-being (Freer, et. al., 2010), maka narasi dapat digunakan untuk mengakses seberapa jauh pemulihan telah terjadi dan dapat pula memprediksi seberapa jauh pemulihan dibutuhkan.

Narasi yang diakses dalam penelitian ini adalah narasi identitas. Narasi identitas adalah cara individu menggunakan narasi untuk mengembangkan dan mempertahankan rasa sebagai pribadi yang utuh dan tujuan personal di tengah semua pengalaman sepanjang hidup (Kerr, Crowe, & Oades, 2013).

Terdapat dua cara menarasikan pengalaman negatif (McAdams, 2008). Cara pertama adalah dengan mengabaikannya dan cara kedua adalah dengan memberinya makna. Persepsi yang terbentuk dari trauma bila dibiarkan tanpa usaha pemulihan akan mengganggu individu dalam menghadapi dan merencanakan hidup selanjutnya (Freer, et. al., 2010). Sebaliknya, pemaknaan


(23)

menghasilkan kematangan psikologis dan pertumbuhan ego (Pals, 2006). Oleh karena itu, perlu diketahui konstruksi narasi yang akan membantu korban menjadi penyintas.

Perempuan masih terus berusaha merahasiakan kekerasan yang terjadi padanya. Kekerasan yang dirahasiakan (biasanya) akan terus berlanjut (Walker,1989). Masalahnya budaya mengajarkan untuk menyimpan tabu. Membicarakan kekerasan seksual yang terjadi pada diri sendiri adalah tabu (Cohen, 2013). Korban takut pada konfrontasi dan belajar merahasiakannya untuk melindungi diri dari pelaku sekaligus dari dunia luar (Walker, 1989).

Kisah hidup yang diceritakan biasanya yang sesuai dengan narasi dominan, yang mengabadikan kekuasaan yang timpang. Sebaliknya, kisah yang tidak sesuai dengan narasi dominan tersebut tetap tak terungkap (Draucker, 2003). Draucker menyatakan bahwa cerita yang tak terungkap ini, yang adalah narasi non dominan, mampu mengkritisi narasi dominan dan membantu membuka kemungkinan untuk mengkonstruksi narasi hidup yang lebih baik.

Bermacam narasi bersaing di dalam komunitas untuk diterima dan mendominasi (McAdams, 2008). Jadi, kisah yang terus disimpan dan tidak dibagikan, baik karena tidak sesuai dengan narasi dominan maupun karena dianggap tidak cukup penting, tidak akan menjadi bagian dari narasi karena tidak pernah diterima. Keduanya adalah narasi non dominan atau Bamberg dan Andrews (2004) menyebutnya sebagai counter narrative. Ketika ada sebuah pengalaman yang mengubah hidup tetapi tidak menjadi bagian narasi


(24)

disinilah terdapat keterpecahan individu (McAdams, 2008; Tuval-Mashiach, Freedman, Bargai, Boker, Hadar, & Shalev, 2004). Sebaliknya, individu yang mulai memasukkan kisah personalnya ke dalam cerita hidupnya, narasi hidupnya akan lebih utuh dan koheren (McLean and Fourier, 2008; Pals, 2006). Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ketika pemulihan mulai terjadi, narasi pun mulai utuh.

Maka, penelitian yang mengupas tentang narasi para penyintas ini mutlak diperlukan (Draucker, 2003) agar penanganannya pun dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Narasi para penyintas tersebut akan mengantarkan pada pemahaman tentang bagaimana individu yang telah mengalami kekerasan dapat mengalami dan memilih pemulihan serta membuat perubahan yang penting dalam hidup mereka (Draucker, 2003). Sehingga dapat dikembangkan penanganan yang berdasar pada cara pandang terapi feminis yang percaya bahwa manusia adalah ahli atas diri dan pengalamannya sendiri (Gerard, 1994).

Narasi adalah kekuatan. Pendekatan narasi akan memperlihatkan bagaimana kekuatan penyintas dikembangkan bukan hanya tentang rasa sakit melainkan juga tentang daya lenting dan kekuatan (Cohen, 2013). Beberapa penelitian tentang kekhasan narasi penyintas telah dilaksanakan (Draucker, 2003; Freer, et. al., 2010; Anderson & Hiersteiner, 2008), akan tetapi penelitian-penelitian tersebut belum mengungkap narasi seperti apa yang membantu penyintas untuk pulih dan narasi apa yang tidak membantu. Belum


(25)

pula terdapat penelitian yang menunjukkan perubahan narasi apa yang perlu terjadi agar pemulihan lebih mungkin terjadi.

Penelitian Draucker (2003) hanya menunjukkan tentang tema narasi yang khas yang dimiliki oleh individu yang pernah mengalami kekerasan seksual. Akan tetapi tanpa penjelasan pada tahap mana tema tersebut muncul dan sejauh mana tema tersebut mendukung pemulihan penyintas. Draucker menggunakan metode narasi dalam penelitiannya seperti juga penelitian ini. Akan tetapi tanpa menyelidiki sejauh mana konteks narasi dominan mempengaruhi narasi penyintas beserta pemulihannya.

Penelitian Freer, et. al. (2010) menemukan ciri narasi traumatik tanpa menunjukkan tema yang menunjukkan narasi yang koheren sebagai penanda pemulihan. Freer tidak menunjukkan tema narasi yang mengakibatkan koherensi. Sedangkan Anderson dan Hiersteiner (2008) menunjukkan pemulihan yang telah ditempuh oleh penyintas tetapi tidak menunjukkan tahapan yang dilalui oleh para penyintas untuk pulih. Tahapan tersebut penting untuk menunjukkan seberapa jauh pemulihan yang menjadi dasar pemilihan partisipan diwujudkan dalam narasi sehingga jauhnya pemulihan dapat dilihat. Penelitian Anderson dan Hiersteiner seperti halnya penelitian Draucker (2003) tidak melibatkan konteks budaya dalam pemulihan dan tema narasi yang ditemukan pada penyintas. Penelitian ini akan melihat konteks dan efeknya pada narasi penyintas dan pemulihannya.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat narasi identitas perempuan yang mengalami kekerasan seksual dengan beberapa tingkat keberdayaan. Hal


(26)

tersebut dilakukan agar dapat menemukan narasi yang membantu atau tidak membantu perempuan penyintas menjalani proses pemulihan. Sehingga akhirnya dapat ditemukan langkah penting apa yang harus diambil atau dilakukan atau justru harus dihindari bila menginginkan pemulihan dan menghindari reviktimisasi.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah perempuan penyintas kekerasan seksual mengintegrasikan kekerasan yang dialami dan jalan keluar yang diambil dalam narasi hidup mereka?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan narasi perempuan penyintas kekerasan seksual kemudian membuat pola narasi yang menunjukkan tahap menuju pemulihan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang narasi perempuan penyintas kekerasan seksual.

b. Hasil penelitian ini dapat menunjukkan narasi yang membantu proses pemulihan dan narasi yang tidak membantu proses pemulihan


(27)

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pegangan bagi para pemerhati kekerasan seksual dalam menjalankan dan mengevaluasi program bagi penyintas kekerasan seksual.

b. Hasil penelitian ini dapat memberdayakan perempuan dan para pemerhati masalah kekerasan seksual terutama yang dialami perempuan dengan cara bercermin dari pengalaman para penyintas. c. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para pembuat

kebijakan dalam membuat program pemberdayaan perempuan, tindak pencegahan, dan tindak pemulihan bagi penyintas kekerasan berbasis gender.

d. Hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada para pekerja pemulihan kekerasan seksual mengenai seberapa jauh dan arah pemulihan yang masih dibutuhkan oleh penyintas.


(28)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN 1. Definisi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pasal 1 adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender. Akibat kekerasan tersebut adalah kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis. Kekerasan tersebut termasuk ancaman terjadinya perbuatan kekerasan, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.

Kekerasan seksual menurut American Psychological Asociation (APA, 2007) adalah pelanggaran atau ekploitasi seksual. Tindakan seksual apapun yang tidak diinginkan dan dianggap menyerang. Penetrasi seksual termasuk pemaksaan vaginal, oral, dan anal. Kekerasan seksual menurut Inter-Agency Standing Committee (2005) adalah tindakan seksual apapun yang tidak diinginkan oleh korban. Kekerasan seksual bisa juga berupa percobaan untuk melakukan kegiatan seksual, kata-kata atau cumbuan seksual yang tidak diinginkan. Perdagangan seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan, ancaman atau paksaan fisik, oleh siapapun, apapun


(29)

hubungannya dengan si korban, di manapun juga termasuk kekerasan seksual.

Kekerasan seksual terhadap perempuan menurut Komnas Perempuan (2013) adalah:

a. Sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis gender

b. Tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya

c. Tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi ataupun kontak fisik

Definisi kekerasan yang digunakan dalam penelitian ini kontekstual sekaligus universal. Kontekstual dalam arti dalam relasi khusus antara penyintas dan pelaku hubungan seksual yang terjadi melibatkan pemaksaan, bujuk rayu, penipuan, manipulasi, atau ketidakmampuan memberikan persetujuan ketika tindakan seksual dilakukan. Sedangkan pemaksaan, ancaman, dan manipulasi adalah hal


(30)

yang secara universal diterima sebagai ciri kekerasan. Definisi yang dipilih dalam penelitian ini menunjukkan universalitas serta kontekstualitas penelitian.

2. Jenis-Jenis Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Berikut adalah jenis dan definisi keempat belas jenis kekerasan seksual berdasar definisi dari Komnas Perempuan (2013):

a. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.

b. Pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak


(31)

nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

c. Eksploitasi seksual merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan yang berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas pada memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari eksploitasi seksual terhadap orang lain.Termasuk di dalamnya adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan.

d. Perbudakan seksual adalah sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada “hak kepemilikan” terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi ketika perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk perkosaan oleh penyekapnya.

e. Intimidasi atau serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman atau percobaan perkosaan adalah tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan dan intimidasi seksual disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, pesan singkat, email, dan lain-lain.


(32)

f. Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama mencakup berbagai tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya melalui kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya.

g. Pemaksaan aborsi adalah pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. h. Penghukuman bernuansa seksual adalah cara menghukum yang

menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang termasuk dalam penyiksaan. Termasuk dalam penghukuman tidak manusiawi adalah hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.

i. Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan kawin gantung adalah situasi dimana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri, termasuk di dalamnya situasi ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang ia inginkan atau dengan orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan mengurangi beban ekonomi keluarga maupun tujuan lainnya.


(33)

Termasuk tekanan bagi perempuan korban perkosaan untuk menikahi pelaku perkosaan terhadap dirinya.

j. Prostitusi paksa merujuk pada situasi dimana perempuan dikondisikan dengan tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Pengondisian ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk dapat melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan hutang, atau ancaman kekerasan.

k. Pemaksaan kehamilan, yaitu ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak ia kehendaki akibat adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.

l. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan merujuk pada kebiasaan berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat, kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan.

m. Pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi, yaitu pemaksaan penggunaan alat-alat kontrasepsi bagi perempuan untuk mencegah reproduksi, atau pemaksaan penuh organ seksual perempuan untuk berhenti bereproduksi sama sekali, sehingga merebut hak seksualitas perempuan serta reproduksinya.


(34)

n. Perkosaan adalah serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau pun benda-benda lainnya. Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. Perkosaan menurut APA (2007) adalah penetrasi seksual yang dipaksakan dan tidak diinginkan oleh individu yang mengalami.

Empat jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan pada Komnas Perempuan tahun 2012 adalah perkosaan dan pencabulan (1620), percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan perdagangan manusia untuk tujuan seksual (403).

3. Penyintas

Penyintas adalah orang yang bertahan hidup (KBBI, 2011) setelah

terjadinya sebuah peristiwa (Webster’s Comprehensive Dictionary, 1996).

Menurut APA (2007) penyintas adalah orang yang bertahan hidup dan mempunyai ciri hidup tertentu sesudah sembuh dari penyakit yang mematikan atau sesudah mengalami pengalaman hidup yang traumatis.


(35)

Jurnal Perempuan (2011) mengartikan penyintas sebagai orang yang selamat dari peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat berbahaya. Kekerasan seksual termasuk dalam peristiwa yang sangat berbahaya karena dapat membuat korbannya trauma dan mengalami guncangan psikologis yang cukup besar, sebagaimana seseorang yang mengalami bencana.

4. Dampak Kekerasan Seksual

Banyak penelitian telah dilakukan untuk melihat dan menelaah dampak kekerasan seksual pada penyintas. Tiga dampak psikologis yang utama adalah gangguan kesehatan mental, intergenerational transmission of violence (penularan kekerasan antar generasi), dan reviktimisasi. Psikopatologi atau gangguan kesehatan mental adalah akibat paling umum pada korban kekerasan seksual (Molnar, Buka, & Kessler, 2001; Walker, 1989; Mullen, Martin, Anderson, Romans, & Peterherbison, 1993; Nash, Hulsey, Sexton, Harralson, & Lambert, 1993; Putnam, 2003). Posttraumatic Stress Disorder dan depresi paling banyak ditemukan di antara penyintas (misalnya Bargai, et. al., 2007; Browne & Finkelhor, 1986; Deblinger, Mannarino, Cohen, Runyon, & Steer, 2011; Hopton & Huta, 2013; Molnar, et. al., 2001; Putnam, 2003; Smucker, Dancu, Foa, & Niederee, 1995). Finkelhor & Browne (1985) menyatakan traumatic sexualization, perasaan dikhianati, stigmatisasi, dan ketidakberdayaan adalah inti dari dampak kekerasan seksual. Traumatic sexualization adalah


(36)

proses ketika seksualitas anak (termasuk perasaan dan perilaku seksual) dibentuk secara tidak patut dan tidak benar secara perkembangan dan secara hubungan interpersonal akibat dari kekerasan seksual.

Penyalahgunaan substansi juga terlihat sebagai dampak kekerasan seksual (Browne & Finkelhor, 1986; Molnar, et. al. 2001; Mullen, et. al. 1993; Putnam, 2003). Disosiasi tertangkap dalam beberapa penelitian (misalnya Briere & Runtz, 1987; Nash, et. al. 1993). Briere dan Runtz (1987) dan Browne dan Finkelhor (1986) melaporkan adanya masalah gangguan seksual dan maladjustment seksual pada penyintas. Briere dan Runtz (1987) menemukan gangguan tidur, ketegangan, kemarahan, dan reviktimisasi (kemungkinan korban kembali mengalami kekerasan serta disalahkan atas kekerasan yang terjadi padanya) terlihat sebagai dampak kekerasan seksual. Browne dan Finkelhor (1986) melaporkan ketakutan, kecemasan, depresi, permusuhan, agresi, perilaku yang merusak diri sendiri, perasaan terisolasi dan stigma, self-esteem yang rendah, dan kesulitan mempercayai orang lain terlihat pada para penyintas. Kecenderungan bunuh diri juga terekam oleh Briere dan Runtz (1987) dan Mullen, et. al. (1993). Molnar, et. al. (2001) menyatakan bahwa gangguan suasana hati dan kecemasan juga termasuk dampak kekerasan seksual.

Intergenerational transmission of violence dapat berupa kerentanan pada perempuan dan kerentanan untuk menjadi pelaku pada laki-laki yang pernah menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam keluarga (Alexander, Moore, & Alexander III, 1991; Widom, 1989). Dampak yang


(37)

lain adalah reviktimisasi. Reviktimisasi adalah akibat jangka panjang yang sering dialami oleh perempuan penyintas kekerasan berbasis gender, terutama bila mereka mengalami kekerasan ketika masa anak-anak (Fiorillo, Papa, and Follette, 2013; Littleton & Grills-Taquechel, 2011; Matlow & DePrince, 2013; Messman-Moore & Long, 2000; Widom, Czaja, and Dutton, 2008). Reviktimisasi adalah kekerasan yang kembali dialami oleh perempuan penyintas kekerasan seksual.

5. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Norma budaya yang diskriminatif adalah situasi yang mendorong adanya kekerasan seksual (Morrow & Smith, 1995). Akar kekerasan seksual terhadap perempuan adalah persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban (Komnas Perempuan, 2013). Walker (1989) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh laki-laki yang (secara sosial dan budaya) percaya bahwa laki-laki berhak mengontrol hidup perempuan, bahkan lewat kekerasan.

Perempuan disalahkan atas kekerasan seksual yang dialaminya (misalnya Briere & Runtz, 1987; De Judicibus & McCabe, 2001; Komnas Perempuan 2013). Bahkan perempuan penyintas sendiri menyalahkan dirinya atas kekerasan yang telah dialaminya (misalnya Summit, 1983; Wolfe, Sas, & Wekerle, 1994). Beberapa menganggap bahwa kekerasan seksual tersebut adalah hal yang wajar dialami oleh perempuan.


(38)

6. Hambatan Mengakses Keadilan Dan Pemulihan Bagi Perempuan Penyintas Kekerasan Seksual

Empat faktor penentu perempuan korban perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan menurut Komnas Perempuan (2013), yaitu faktor personal, sosial budaya, hukum, dan politik. Keempat faktor ini saling berkaitan dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Pada penelitian ini hanya akan dibahas hambatan dari faktor personal saja, yaitu keadaan psikologis korban, sebagai hal yang relevan.

Rasa bersalah dan perasaan tidak setia adalah emosi yang menghalangi perempuan meninggalkan relasi kekerasan bahkan ketika perempuan tersebut mempunyai kesempatan (Dunn & Powell-Williams, 2007). Perempuan yang mengalami kekerasan lebih cenderung untuk lekat pada pelaku (Widom, et. al., 2008), sehingga karena adanya kelekatan emosional penyintas tidak bersedia mengungkapkan kekerasan yang dialami. Padahal kekerasan yang tidak diungkap akan cenderung terulang.

B. Narasi

1. Definisi Narasi

Narasi adalah pemaknaan terorganisir mengenai kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup narator (Murray, 2008). Narasi sebagai identitas memberikan kepada individu hidup yang unik dan bermakna secara budaya (McAdams, 2006). Narasi ini terbuat dari kenangan-kenangan


(39)

emosional yang signifikan bagi individu tersebut yang diinterpretasikaan ke dalam makna personal dan diintegrasikan ke tema dan pola yang lebih luas yang merangkai kisah hidup sebagai kesatuan (McAdams dalam Pals, 2006). McAdams (2008) menyatakan narasi identitas adalah kisah tentang diri yang diinternalisasi, berkembang, dan terintegrasi. Narasi yang mengintegrasikan masa lalu yang direkonstruksi dan masa depan yang dibayangkan ke dalam kesatuan yang dapat menggambarkan keutuhan, tujuan, dan makna. Narasi identitas adalah cara individu menggunakan narasi untuk mengembangkan dan mempertahankan rasa sebagai pribadi yang utuh dan tujuan personal di tengah semua pengalaman sepanjang hidup (Kerr, Crowe, & Oades, 2013).

Narasi memberi tempat bagi individu untuk berefleksi, menafsirkan, dan memberi makna pengalaman (Angus & Kagan, 20013). Sifat narasi yang mampu memberi makna ini dapat membantu proses pemulihan dan pengintegrasian serta pemaknaan ulang seluruh pengalaman. Sehingga pemaknaan ulang pengalaman yang terlihat dalam narasi akan menyediakan persepsi dan cara pandang yang baru yang memberdayakan untuk pemulihan (Kerr, et al. 2013). Arah pemulihan inilah yang akan terlihat dari narasi para penyintas kekerasan.

Narasi adalah cara sekaligus hasil, jalan sekaligus tujuan. Orang yang sejahtera dapat dilihat dari narasinya. Narasi juga dapat menjadi cara untuk memperoleh kepribadian yang lebih koheren (Breakwell, 2012, p. 403; McAdams, 1993, p.31). Individu yang sehat mampu membentuk dan


(40)

menjaga narasi diri yang koheren, bermakna, dan dinamis (Tuval-Mashiach, et. al., 2004). Pendekatan naratif percaya bahwa individu mempunyai kemampuan, ketrampilan, dan nilai yang dapat membantu mereka menghadapi masalah dalam hidup mereka. (Dulwich Centre Publications). Narasi bukan sekedar “susunan peristiwa”, melainkan lebih merupakan pemaknaan personal (McAdams, 1993). Menurut McAdams

Stories mend us when we are broken, heal when we are sick, and even move us toward psychological fulfilment and maturity”.

Narasi komunitas membentuk dan mempengaruhi narasi personal individu (dan sebaliknya) (Rappaport, 1995). Budaya menyediakan tema, gambar, dan plot bagi konstruksi psikososial identitas naratif (McAdams, 2006). Oleh karena itu, penelitian yang berusaha mengungkap identitas naratif harus dilakukan di dalam serta memperhatikan konteks atau komunitas yang terkait. Lewat analisis narasi kita dapat mulai mengerti mengenai, baik narator maupun dunia di sekitarnya (Murray, 2008). Menurut Murray, narasi tidak diciptakan dalam ruang hampa, tetapi dibentuk dan diwujudkan dalam konteks sosial tertentu. Narasi memampukan narator berintegrasi dan bertindak aktif dalam dunia sosialnya.

Narasi adalah pusat bagi pemaknaan hidup individu (Murray, 2008). Murray menyatakan bahwa narasi bukan sekedar cara memandang dunia, melainkan cara merekonstruksi dunia dan individu hidup lewat narasi yang dibagikan oleh orang lain dan diri sendiri. Narasi adalah cara


(41)

manusia merekonstruksi kenyataan. Freer, et. al. (2010) menyatakan bahwa narasi menyediakan tempat bagi individu untuk memberi makna secara adaptif bagi kekerasan interpersonal, sekaligus cara untuk mengalami koherensi narasi agar tetap merasakan kesejahteraan mental (mental well being). Tema dalam narasi memprediksi perkembangan diri yang optimal yang terlihat dalam gabungan kedewasaan dan kepuasan hidup (Pals, 2006).

Kejadian yang sebenarnya bukanlah hal yang terpenting (bagi individu dan kesejahteraannya), yang penting adalah bagaimana kejadian tersebut dimaknai secara personal dalam konstruksi narasi individu tersebut (Tuval-Mashiach, et. al. 2004). Pengalaman yang sulit, yang merupakan tantangan bagi identitas dan aspek tak terelakkan dari kedewasaan, adalah bagian yang sangat penting dalam narasi yang akan memperlihatkan bagaimana seseorang berkembang dalam hidupnya (Pals, 2006).

2. Kekhasan narasi perempuan penyintas kekerasan seksual

Penelitian Draucker (2003) pada para penyintas kekerasan seksual menemukan bahwa penyintas kekerasan seksual mempunyai tema narasi yang khas, yaitu kisah pemberontakan, pembebasan, tempat aman, kebangkitan, determinasi, dan menjadi penyelamat bagi orang lain. Kisah pemberontakan terjadi ketika korban tidak lagi mau menerima perlakuan yang tidak adil yang dialaminya. Pembebasan terjadi ketika korban


(42)

melepaskan diri dari penderitaan dan batasan yang diterima saat berada dalam relasi yang tidak sehat. Tempat aman adalah pengalaman perempuan penyintas yang mempunyai aktivitas atau tempat dia berlindung dari dunia yang menindasnya. Kebangkitan adalah perasaan

kembali kepada “hidup”, sering berupa perasaan spiritual. Determinasi

terjadi ketika penyintas mampu mencapai sebuah prestasi. Pengalaman menjadi penyelamat bagi orang lain terjadi ketika penyintas merasa mampu membantu korban lain untuk keluar dari penderitaannya.

Penelitian Draucker ini bertujuan untuk menunjukkan tema narasi yang khas pada penyintas tetapi tidak menunjukkan seberapa jauh mereka telah mengalami pemulihan. Sehingga penelitian ini tidak melihat pemulihan sebagai syarat kekhasan tema narasi. Syarat kekhasan narasi tersebut didapat dari pengalaman kekerasan seksual. Sehingga karena pemulihan bukan syarat maka tema narasi penelitian Draucker tersebut tidak dapat menunjukkan kekhasan tema narasi sebagai akibat dari pemulihan. Selain itu konteks tempat narasi penyintas juga tidak dijelaskan dalam penelitian Draucker.

Tidak menghargai diri adalah sifat kaum tertindas yang berasal dari internalisasi pendapat para penindas tentang diri mereka. Hampir tidak

pernah mereka menyadari bahwa mereka sebenarnya juga “mengetahui”

sesuatu (Freire, 2000). Ketidakberdayaan adalah salah satu tema narasi yang sangat sering terlihat digunakan oleh para penyintas.


(43)

Keterpecahan diri dan ketidaksadaran bahwa kekerasan yang mereka alami adalah hal yang abnormal juga sering ditemukan sebagai tema narasi penyintas kekerasan (Freer, et. al., 2010). Keterpecahan ini dapat berupa perasaan bahwa hidupnya hancur dan berubah ke arah yang buruk sesudah mengalami kekerasan, menghindari ingatan akan adanya trauma secara perilaku (penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, melukai diri sendiri dan keinginan ata percobaan bunuh diri) dan psikologis (disosiasi, mematirasakan diri sendiri, dan melupakan serta mengingkari pernah terjadi kekerasan). Penelitian Freer tersebut serupa dengan penelitian Draucker (2010) yang tidak meletakkan syarat pemulihan sebagai salah satu syarat kekhasan narasi. Syarat kekhasan narasi adalah pengalaman traumatik. Metode penelitian Freer yang menyelidiki koherensi narasi tetapi tidak menelisik tema yang muncul pada penyintas tidak dapat memperlihatkan bagaimana tema narasi tertentu bisa menyebabkan koherensi.

Sedangkan penelitian Anderson dan Hiersteiner (2008) mulai meneliti pemulihan sebagai syarat kekhasan narasi. Pemaknaan oleh penyintas mempunyai pengaruh penting dalam pemulihan individu yang mengalami kekerasan seksual (Anderson & Hiersteiner, 2008). Akan tetapi pnelitian ini belum menunjukkan tahapan yang dijalani oleh penyintas dalam pemulihan. Kekhasan narasi terlihat dari perbedaan struktur dan content terlihat dari latar narasi, plot, karakter, scene, images, dan tema


(44)

(McAdams, 2008). Plot dan titik tempat narasi individu berubah arah belum dipaparkan oleh penelitian Anderson dan Hiersteiner.

Tidak semua tema yang khas penyintas akan dapat membantu penyintas berjalan menuju pemulihan. Jalan menuju pemulihan melibatkan koherensi, stabilitas sekaligus perubahan tema (McAdams, 2008; Pals, 2006; McLean & Fourier, 2008). Narasi yang membantu tersebut harus ditemukan oleh penyintas bila ia ingin pulih. Pulih bagi penyintas artinya perubahan dari kisah hidup yang penuh dengan masalah menjadi kisah yang berdasar pada kekuatan (Anderson & Hiersteiner, 2008) dan mampu membuat perubahan yang fundamental atas hidup mereka (Draucker, 2003). Pulih juga berciri semakin kecilnya dampak negatif kekerasan bagi penyintas.

3. Narasi dan reviktimisasi

Ketika seseorang mempunyai konsep dan narasi hidup tertentu menyebabkan individu tersebut rentan untuk mempunyai pengalaman tertentu yang pada gilirannya akan kembali mempengaruhi narasi (McLean, Pasupathi, & Pals, 2007). Jadi, narasi tertentu perempuan penyintas kekerasan berbasis gender dapat meletakkan individu ke dalam lebih tingginya kemungkinan ia mengalami reviktimisasi. Sikap, nilai, dan perilaku maladaptif yang dikembangkan oleh penyintas meningkatkan kemungkinan reviktimisasi pada perempuan penyintas kekerasan seksual (Messman-Moore & Long, 2000). Messman-Moore dan Long menyatakan


(45)

perilaku seksual yang tidak tepat, penerimaan atas mitos kekerasan seksual (misalnya bahwa korban juga menginginkan), dan stereotipe peran-seksual adalah hal yang dikembangkan penyintas yang menyebabkan penyintas rentan mengalami reviktimisasi.


(46)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. STRATEGI PENELITIAN

Penelitian narasi perempuan penyintas kekerasan digunakan dalam penelitian ini. Penelitian narasi berusaha memahami identitas individu dan bagaimana proses individu tersebut memahami dunianya dalam dunia yang lebih luas (Murray, 2003). Murray mengatakan bahwa kisah tentang diri yang diceritakan oleh individu membentuk identitas personal dan identitas sosialnya. Penelitian ini menelisik tentang bagaimana individu kisah hidup partisipan dan tema yang diciptakannya yang menghubungkan pengalaman-pengalamannya serta cara partisipan memahami dan memaknai hidupnya (Cresswell, 2007).

Narasi adalah pusat bagi pemakanaan hidup individu (Murray, 2008). Murray menyatakan bahwa narasi bukan sekedar cara memandang dunia tetapi lewat narasi individu merekonstruksinya dan individu hidup lewat narasi yang dibagikan oleh orang lain dan diri sendiri. Narasi adalah cara individu merekonstruksi kenyataan.

Analisis narasi menceritakan kembali kisah partisipan secara kronologis sekaligus menunjukan elemen-elemen kunci seperti plot, nilai individu, konteks, dan interaksi sosial (Creswell, 2007; Murray, 2008; Parker, 2005). Peristiwa tidak terjadi begitu saja tetapi mempunyai alasan, anteseden, dan konsekuensinya dalam narasi (Murray, 2008). Analisis narasi mencakup


(47)

beberapa ide dasar (Parker, 2005) – yang sesuai tujuan penelitian ini – yaitu mengembalikan agensi pada narator, kisah diceritakan dalam cara pandang tertentu, kisah adalah hasil interpretasi narator sebagai agen, narasi selalu ada dalam konteks. Menurut Parker partisipan adalah penulis kisah dan co-researcher.

Ketika budaya membentuk gender sebagai strategi kebudayaan untuk memastikan bahwa pihak yang mempunyai kekuasaan terus berkuasa maka penelitian ini digunakan sebagai strategi kebudayaan tandingan. Oleh karena sikap tidak mengambil tindakan dan tetap “netral” dalam situasi yang buruk artinya membiarkan ketidakadilan terus berlangsung (Poerwandari, 2010) maka perspektif feminis diambil dalam penelitian ini sebagai sikap peneliti.

Penelitian narasi memungkinkan peneliti untuk menggunakan perspektif tertentu, seperti bagaimana individu dihalangi atau dibantu oleh struktur sosial atau lensa feminis untuk melaporkan kisah perempuan (Creswell, 2007). Penelitian kualitatif feminis sangat baik untuk digunakan dalam meneliti tentang kehidupan perempuan dalam relasi sosial yang mendorong transformasi sosial (Olesen, 2005). Menurut Olesen pengetahuan mempunyai “lokasi sosial” lokasi bawah atau marjinal – yang adalah tempat perempuan dalam “lokasi sosial” – adalah tempat yang baik untuk memulai.

Budaya yang meletakkan perempuan ke posisi subordinat harus dipertimbangkan secara khusus dalam penelitian kekerasan terhadap perempuan. Bagaimana setiap anggota masyarakat dalam hal ini terutama keluarga dan komunitas terdekat penyintas telah menciptakan nilai dan


(48)

baik-buruk penyintas sebagai perempuan harus diperhatikan dengan seksama dalam penelitian perempuan. Oleh karena itu penelitian narasi dengan paradigma feminis dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini.

B. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan narasi dan tema narasi yang membantu perempuan penyintas kekerasan seksual untuk pulih. Narasi memampukan individu untuk menggambarkan, menjelaskan, dan mengevaluasi penjelasan mereka sendiri (Breakwell, 2012). Narasi adalah cara manusia memahami dunia, membawa keteraturan ke dalam dunia yang kacau dan mendefinisikan diri secara unik (Murray, 2008). Murray menyatakan narasi dapat didefinisikan sebagai interpretasi terorganisir peristiwa-peristiwa yang dialami individu tersebut.

Narasi perempuan penyintas kekerasan seksual ini adalah perilaku yang berbasis gender. Gender-related behavior adalah perilaku yang tergantung konteks atau context dependent (Judicibus and McCabe, 2001). Oleh karena itu, penelitian ini harus dilaksanakan dengan memperhatikan konteks sehingga paradigma yang tepat digunakan adalah paradigma berpikir kualitatif. Berdasarkan tujuan penelitian maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian narasi.


(49)

C. FOKUS PENELITIAN

Fokus penelitian ini adalah proses pemulihan tang terlihat dari tema narasi partisipan penelitian. Narasi yang akan menjadi pusat perhatian penelitian ini adalah kecenderungan menyalahkan diri atas kekerasan yang dialami, ketidakberdayaan, dan pemulihan. Narasi yang diperoleh akan dianalisa untuk melihat jenis tema narasi seperti apakah yang akan membawa narator pada pemulihan dan menghindarkannya dari reviktimisasi atau mendorongnya pada reviktimisasi. Kecenderungan menyalahkan korban adalah salah satu akibat kekerasan terhadap perempuan yang menyebabkan perempuan sulit mendapatkan pemulihan (Briere & Runtz, 1987; Komnas Perempuan, 2013). Kecenderungan korban mengalami kembali kekerasan oleh pelaku yang berbeda atau dikenal dengan istilah reviktimisasi membuat penyintas tak henti-hentinya menjadi korban meski sudah berhasil lepas dari pelaku pertama yang melakukan kekerasan seksual terhadapnya (Messman-Moore & Long, 2000). Peneliti berharap dapat melihat dan menamai tema narasi diri pada partisipan.

D. PARTISIPAN PENELITIAN

Partisipan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria pertama adalah partisipan adalah para penyintas kekerasan seksual Penyintas dalam penelitian ini berarti mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual. Menurut Rifka Annisa, sebuah lembaga layanan perempuan, pemulihan hanya mungkin terjadi ketika kekerasan yang dialami


(50)

penyintas telah dapat ditangani paling tidak secara praktis. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil partisipan yang telah keluar dari relasi yang mengandung kekerasan tersebut untuk memastikan bahwa penanganan kekerasan secara praktis telah dilampaui.

Partisipan berusia 20 tahun ke atas. Usia tersebut dipilih karena penyintas yang telah dewasa dapat mengakses sumber daya dalam diri maupun di luar diri mereka yang mampu membantu mereka mendapat kekuatan yang melampaui kekuatan individu yang sekedar bertahan hidup (Anderson & Hiersteiner, 2008). McAdams (1993) menyatakan bahwa bahwa narasi mulai dibentuk pada waktu remaja dan mulai mendapat bentuknya ketika individu menginjak usia dewasa awal sekitar 20 tahun. Oleh karena itu, usia 20 tahun dipilih agar didapatkan narasi yang cukup matang dan dapat menunjukkan arah pemulihan yang sesuai dengan tujuan penelitian ini.

Terdapat stratifikasi atau tingkatan dalam pemilihan partisipan (Poerwandari, 2005). Partisipan dipilih agar memenuhi tingkat keberdayaan tertentu, sesuai dengan yang selama ini diamati oleh Rifka Annisa terdapat pada penyintas. Tingkatan keberdayaan ini terdiri dari lima level. Level pertama ketika penyintas bahkan tidak tahu bahwa dirinya adalah korban kekerasan seksual atau tidak tahu bahwa yang dilakukan oleh pelaku terhadap dirinya adalah kekerasan seksual. Penyintas berada di level kedua ketika dirinya tahu bahwa dia mengalami kekerasan seksual tetapi tidak tahu harus berbuat apa atau tidak berdaya untuk melakukan sesuatu terhadap keadaan ini. Ketika penyintas mampu membuat rencana untuk kondisi dan hidupnya,


(51)

penyintas telah berada di level ketiga. Level keempat adalah kondisi ketika penyintas telah mampu melaksanakan rencana tersebut. Saat penyintas telah melaksanakan rencanakan, bertanggung jawab atas rencana tersebut, dan mampu menolong orang lain yang berada dalam situasi yang kurang lebih sama dengan dirinya, penyintas telah berada di level kelima keberdayaan. Poerwandari (2005) menyatakan stratifikasi dimaksudkan agar data yang diperoleh beragam dan mewakili bermacam data sehingga mendekati theoretical closure atau jenuh.

Partisipan berasal dari bermacam kelompok penyintas kekerasan. Kelima partisipan tidak mengenal satu sama lain dan tidak berasal dari satu komunitas. Peneliti menawarkan secara terbuka kepada sembilan komunitas penyintas bahwa peneliti akan mengadakan penelitian tentang perempuan penyintas kekerasan seksual. Komunitas penyintas terdiri dari empat komunitas berdasar lembaga layanan, satu komunitas berdasar tempat tinggal penyintas, dua komunitas berdasar lembaga pendidikan, dan dua komunitas online. Peneliti datang ke tempat pertemuan atau menulis di mailing list komunitas untuk mengumumkan penelitian yang akan dilaksanakan. Dua puluh lima penyintas menyatakan ingin terlibat sebagai partisipan dalam penelitian tersebut. Peneliti kemudian berbincang-bincang dengan para penyintas tersebut untuk membicarakan hal-hal mengenai penelitian yang ingin diketahui oleh penyintas lebih lanjut dan menentukan siapa saja yang memenuhi syarat penelitian. Hasil pembicaraan menghasilkan sembilan orang memenuhi syarat penelitian. Enam belas orang yang tidak terpilih


(52)

mendapatkan penjelasan mengenai kekerasan seksual. Peneliti juga menawarkan kepada mereka yang tidak terpilih bila mereka mempunyai pertanyaan tentang kekerasan seksual dan rujukan proses pemulihan kekerasan. Sembilan penyintas yang terpilih ditawari untuk terlibat lebih lanjut dan menandatangani informed consent. Wawancara lanjutan dilaksanakan kepada sembilan perempuan tersebut untuk menentukan tingkat keberdayaan. Lima perempuan penyintas kemudian dipilih oleh peneliti.

E. INSTRUMEN PENELITIAN

Data narasi didapat dari wawancara mendalam semi terstruktur secara personal. Penelitian ini berusaha mempertimbangkan faktor sosial yang ada karena analisa terhadap narasi tidak boleh melupakan faktor sosial partisipan agar tetap berada di dalam konteks (Riessman, 2003).

Wawancara semi terstruktur digunakan untuk mendapatkan cerita secara personal. Dua pertanyaan utama yang ditanyakan kepada partisipan adalah kisah hidup penyintas yang akan menyingkap narasi identitasnya dan pengalaman kekerasan seksual yang dialami oleh partisipan tetapi bukan secara kronologis melainkan mengikuti alur cerita partisipan.

F. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

Peneliti melaksanakan beberapa tahapan penelitian narasi untuk mengumpulkan data, yaitu:


(53)

1. Peneliti mencari dan menentukan partisipan yang mengalami kekerasan seksual dan bersedia membagikannya kepada peneliti secara personal. Penentuan partisipan juga melibatkan pengamatan yang berfungsi untuk menentukan tingkat keberdayaan partisipan.

2. Pembahasan dan penandatanganan informed consent. Informed consent berisi identitas peneliti, tujuan penelitian, partisipan penelitian, metode pengambilan data, hak dan kewajiban partisipan, metode penyimpanan data, kerahasiaan data, tanggung jawab peneliti, dan penanggung jawab penelitian. Peneliti tidak bertanya mengenai detil kekerasan seksual. Peneliti juga membicarakan bahwa partisipan berhak membicarakan apapun yang diinginkan sebanyak atau sesedikit yang partisipan inginkan sejauh partisipan merasa nyaman. Partisipan juga berhak menghentikan wawancara bila merasa tidak menginginkannya lagi atau merasa tidak nyaman.

3. Melakukan wawancara dengan masing-masing partisipan. Wawancara dilakukan sesuai dengan prosedur wawancara penyintas perkosaan menurut Campbell, Adams, Wasco, Ahrens, dan Sefl (2009) agar efek wawancara tersebut membantu pemulihan. Meskipun partisipan adalah penyintas yang telah selesai penanganan kasusnya, telah bercerita mengenai masalahnya lebih dari dua kali, dan tidak ditanyai mengenai detil kekerasan seksual yang dialaminya, serta sesuai panduan wawancara yang memulihkan, pada akhir wawancara peneliti tetap bertanya kepada partisipan mengenai pengalaman wawancara dan ada tidaknya dampak


(54)

dari wawancara. Bila terdapat efek negatif maka akan dibicarakan dengan konselor atau kelompok pendukung masing-masing partisipan.

4. Membuat transkrip narasi.

5. Melakukan member checking agar frase-frase yang diolah maknanya, yang diperoleh dari wawancara, tidak meleset dari pemaknaan personal partisipan.

G. METODE ANALISIS DATA

Data yang diperoleh dianalisa dengan analisa narasi. Analisa narasi terdiri dari dua tahapan besar berikut (Murray, 2008):

1. Fase deskriptif, meliputi:

a. Analisa plot atau struktur narasi untuk menentukan bagian awal-tengah-akhir.

b. Menemukan sub-plot yang ada dalam setiap bagian.

c. Menentukan tema keseluruhan narasi dan tema khusus yang terlihat dalam setiap penggal narasi. Penentuan tema ini dilakukan dengan coding, yaitu:

i. Open coding atau kategorisasi tema dari wawancara. Data yang diperoleh dianalisa dan ditemukan temanya.

ii. Axial coding atau menghubungkan antara tema yang telah ditemukan. Tema-tema yang telah ada ditemukan keterkaitannya kemudian dikelompokkan berdasarkan kemiripan.


(55)

iii. Selective coding. Tema yang telah dihubungkan disaring dan dipilih berdasarkan tema penelitian ini, yaitu pengalaman perempuan penyintas kekerasan seksual, serta untuk menemukan fitur khas perempuan penyintas yang membantu atau tidak membantu penyintas untuk pulih.

2. Fase interpretif, meliputi:

a. Menghubungkan tema yang telah diperoleh dengan literatur yang lebih luas.

b. Menemukan elemen narasi yang khas dan bagaimana elemen-elemen tersebut dihubungkan oleh narator.

c. Menentukan tema utama dan nilai-nilai yang mendasari pembentukan narasi tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan cara menghubungkan narasi dengan konteks.

Setelah kedua fase tersebut diselesaikan, narasi kemudian diceritakan ulang dalam urutan kronologis dan tema (Creswell, 2007).

H. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2005). Menurut Poerwandari, agar dapat memotret kompleksitas tersebut penelitian harus menjamin bahwa subyek diidentifikasikan dan dideskripsikan dengan akurat. Hal tersebut dilakukan dalam penelitian ini dengan dua cara yaitu member checking dan


(56)

triangulasi. Member checking dilaksanakan dengan menanyakan kepada partisipan tentang kesesuaian tema yang ditemukan oleh peneliti dengan pemaknaan partisipan. Triangulasi yang dilaksanakan adalah triangulasi data, interpretasi, dan metode. Trianggulasi data dilaksanakan dengan menguji data dari informan dan membandingkannya dengan data yang didapat dari keluarga atau komunitas informan. Triangulasi peneliti dilaksanakan dengan jalan menguji hasil data dan analisa data dengan dosen pembimbing dan beberapa ahli lain. Triangulasi metode didapatkan dengan cara diskusi kelompok dan observasi. Pengujian juga dilaksanakan untuk memastikan bahwa analisa data dilaksanakan dengan mengedepankan kesesuaian dengan data mentah yang diperoleh peneliti. Akan tetapi data yang digunakan dan dianalisis dalam penelitian ini tetap data hasil wawancara karena penelitian ini meneliti narasi penyintas.

Data yang diperoleh dari partisipan juga dilihat kesesuaiannya dengan hasil wawancara partisipan tersebut antar waktu. Cara ini meminimalisir kemungkinan bahwa cara wawancara, suasana, situasi, uratan, serta pertanyaan wawancara mempengaruhi hasil wawancara.


(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN PENELITIAN

Pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan dengan cara wawancara. Sebelum wawancara formal dilaksanakan, peneliti telah beberapa kali berhubungan dan berbicara dengan partisipan. Wawancara formal pertama dilaksanakan untuk menemukan tingkat keberdayaaan sekaligus menjelaskan dengan lebih detil gambaran penelitian dan penandatanganan informed consent. Awalnya peneliti mewawancarai sembilan partisipan, tetapi karena empat partisipan memiliki tingkat keberdayaan yang sama dengan narasi yang mirip maka data dari tiga partisipan tidak disertakan dalam pembahasan hasil ini. Data yang disertakan hanya data dari satu partisipan yang peneliti anggap paling mewakili keempat data tersebut. Dua partisipan yang memiliki tingkat keberdayaan yang sama juga dipilih salah satu. Berikut adalah urutan pelaksanaan wawancara yang dilakukan:

Tabel 1

Pelaksanaan Wawancara

Waktu Kegiatan*) Tempat*) Catatan

30 Juli 2014 Wawancara pertama Nia

Rumah Nia, DIY


(58)

Waktu Kegiatan*) Tempat*) Catatan 11 Agustus 2014 Wawancara

kedua Nia

Rumah Nia, DIY

7 Maret 2015 Wawancara ketiga Nia

Rumah Nia, DIY

5 Nopember 2014 Wawancara pertama Coral

Universitas Swasta, DIY

12 Nopember 2014 Wawancara kedua Coral

Universitas Swasta, DIY 10 Maret 2015 Wawancara

ketiga Coral

Universitas Swasta, DIY 22 Oktober 2014 Wawancara

pertama Teta

LSM DIY

14 Nopember 2014 Wawancara kedua Teta

Wawancara

dilaksanakan lewat telpon karena partisipan ada di luar propinsi DIY 15 Nopember 2014 Wawancara

pertama Tan

Rumah Tan, DIY

23 Nopember 2014 Wawancara kedua Tan

Rumah makan, DIY


(59)

Waktu Kegiatan*) Tempat*) Catatan 5 Desember 2014 Wawancara

pertama Misa

Rumah makan, DIY

9 Desember 2014 Wawancara kedua Misa

Rumah makan, DIY

12 Maret 2015 Konfirmasi Misa

LSM DIY

*)

Semua nama yang disertakan adalah nama samaran. Tempat tidak disertakan dengan rinci, untuk menjaga kerahasiaan partisipan

Ketika wawancara pertama dilaksanakan, partisipan menandatangani informed consent. Peneliti memberikan informasi dalam informed consent yang berkaitan dengan tujuan, prosedur, tanggung jawab peneliti, dan kerahasiaan. Peneliti juga menekankan hak partisipan untuk berhenti kapanpun partisipan inginkan, untuk menjawab hanya pertanyaan yang ingin ia jawab, dan memperhatikan kenyamanan partisipan. Peneliti tidak bertanya mengenai detil kekerasan seksual yang dialami oleh partisipan. Seluruh cara wawancara dan respon yang diberikan oleh peneliti mengikuti panduan wawancara untuk penyintas perkosaan menurut Campbell, et. al (2009) agar

tidak terjadi “perkosaan kedua” atau dikorbankan untuk kepentingan orang

lain (Campbell, et. al, 2001).

Pada akhir wawancara peneliti menanyakan pengalaman wawancara dari persepsi partisipan serta kemungkinan efek perasaan negatif atas diri partisipan. Semua partisipan merasa diterima dan nyaman selama wawancara


(60)

berlangsung. Bahkan Nia yang hampir di sepanjang wawancara menangis, merasa sangat diterima dan bersyukur atas kesempatan menceritakan kisahnya. Hal ini terjadi karena menceritakan kisah hidup (story telling) adalah cara yang efektif untuk pemberdayaan karena dapat mendukung perkembangan dan kematangan psikologis, membantu penyembuhan hidup, serta memulihkan keutuhan kemanusiaan (McAdams, 1993; Williams, Labonte, O‟Brien, 2003). Penceritaan narasi identitas dalam budaya adalah praktek yang memberdayakan (Williams, et. al., 2003).

B. PROFIL PARTISIPAN 1. Partisipan Pertama

Nia berada pada tingkat pertama keberdayaan, artinya Nia tidak mengerti bahwa ia mengalami kekerasan seksual. Berusia 34 tahun, Nia mempunyai tiga orang anak. Hidup dan dibesarkan di sebuah desa yang kekerasan seksual adalah hal yang sangat mudah ditemui, tetapi sangat jarang disadari. Sepanjang wawancara kisah hidupnya, Nia terus menangis, hanya berhenti beberapa saat untuk mengambil napas. Ketika diwawancara, dua anaknya yang kecil selalu berada di sekitar rumah. Anaknya berusia tiga belas, empat, dan dua tahun. Nia sekarang menikah dengan seorang petani yang adalah ayah dari dua anaknya.

Meskipun keluarganya adalah keluarga Katholik, ayahnya mempunyai relasi seksual dengan lebih dari satu perempuan dan relasi tersebut diketahui oleh semua anggota keluarga bahkan tetangga dan


(61)

sebagian besar warga desa. “Istri” yang kedua adalah korban kekerasan

seksual ayahnya yang kemudian hidup sebagai partner seksual tetap ayahnya. Tidak jelas bagi Nia apakah ayahnya menikah secara legal atau tidak dengan perempuan tersebut, tetapi yang jelas dari relasi tersebut paling tidak perempuan tersebut telah hamil sebanyak empat kali dan pernah dipaksa menggugurkan bayinya.

Nia mengalami ekploitasi seksual ketika berelasi dengan pacarnya yang karena relasi tersebut memberi Nia anak pertamanya. Nia dipaksa tinggal dengan pelaku dan berhubungan seksual dengan pelaku. Pertama kali berelasi dengan pelaku Nia tidak tahu karena pelaku tidak mengaku bahwa pelaku telah mempunyai istri dan anak. Ketika Nia mengetahui bahwa pelaku telah mempunyai istri (hal itu terjadi ketika Nia ada di rumah pelaku), Nia menolak untuk berhubungan kembali dengan pelaku dan ingin pulang ke rumahnya. Akan tetapi pelaku menahan Nia tinggal. di rumahnya, memaksanya berhubungan seksual dengan mengatakan bahwa pelaku akan menceraikan istrinya dan menikahinya.

Nia akhirnya pergi dari rumah pelaku setelah ayah dan adiknya

datang “menyelamatkannya”. Sesampai di tempat tinggal Nia, Nia

bertanya apakah ia boleh menikah dengan pelaku tetapi ayahnya melarangnya. Selain janji yang diucapkan ketika menahan Nia untuk tinggal dirumah pelaku, pelaku tidak pernah meminta Nia untuk menikah secara resmi. Pelaku tahu bahwa Nia hamil dan mulai hamil ketika Nia dipaksa tinggal di rumah pelaku. Namun, setelah Nia diambil paksa oleh


(62)

ayah dan adiknya dari rumah pelaku, pelaku tidak pernah lagi menghubungi, mengirim kabar, atau menjawab surat yang pernah dikirimkan oleh Nia ketika akan melahirkan anak mereka.

2. Partisipan kedua

Coral, mahasiswa sebuah universitas swasta di Yogyakarta, berada di tingkat keberdayaan kedua ketika wawancara berlangsung. Tingkat kedua berarti Coral mengetahui bahwa ia mengalami kekerasan seksual tetapi tidak melakukan apapun atau tidak tahu harus melakukan apa atas kekerasan tersebut. Lahir di Jakarta 22 tahun yang lalu, anak ketiga dari empat bersaudara ini selalu terlihat ceria, meskipun sempat sedikit menangis ketika wawancara. Saat ini Coral mempunyai seorang pacar laki-laki.

Dia mengalami kekerasan seksual bukan hanya dari satu orang tetapi dari dua orang berbeda pada saat yang bersamaan meskipun keduanya tidak saling mengenal. Coral mengalami perkosaan dari satu pelaku dan pelecehan seksual dari pelaku yang lain. Pelaku satu tinggal di rumah Coral selama sekitar setahun. Pelaku kedua adalah pacar Coral saat itu. Ketika Coral berusaha menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya dari salah satu pelaku yang tinggal bersama di rumah orang tuanya, anggota keluarganya tidak berusaha menolong atau melakukan hal yang mungkin dapat mengubah situasi yang memungkinkan kekerasan kembali terulang. Coral mengatakan yang ia inginkan hanyalah tidak lagi bertemu dengan pelaku pertama bahkan jika ia mempunyai kesempatan


(63)

untuk melakukan “sesuatu” untuk kasus tersebut, ia mengatakan ia tidak akan melakukan apapun.

3. Partisipan ketiga

Teta, berada di tingkat keberdayaan kelima, berarti Teta mengetahui bahwa ia mengalami kekerasan seksual, mengetahui opsi yang bisa dilakukan atas kekerasan tersebut, mampu merencanakan dan melaksanakan rencana bagi hidupnya selanjutnya, serta mampu menggunakan kekuatannya untuk melanjutkan hidup dan beranjak dari kekerasan yang dia alami. Teta bekerja di sebuah LSM dan terlibat banyak dalam komunitasnya sebagai relawan. Teta tinggal di Jawa Timur dengan suami dan kedua anaknya.

Anak pertama Teta adalah akibat dari kekerasan seksual yang dialaminya. Teta diperkosa oleh temannya ketika duduk di kelas 2 SMA. Teta mengaku diancam, dipaksa, dirayu, dan dijanjikan akan dinikahi ketika pelaku memaksanya berhubungan seksual. Sebagai akibat dari kekerasan seksual tersebut Teta hamil kemudian dipaksa mengundurkan diri dari sekolah. Ketika kekerasan seksual terjadi padanya sekitar 17 tahun yang lalu, Teta merasa tidak berdaya mengubah situasi yang terjadi padanya atau bahkan mempunyai pilihan respon yang bisa diambil. Setelah Teta memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan pelaku, Teta mulai menata diri, menikah, kemudian menyelesaikan pendidikan di level perguruan tinggi.


(64)

4. Partisipan keempat

Partisipan keempat adalah Tan, seorang ibu dua anak. Tan berada di tingkat empat keberdayaan, artinya Tan mengerti bahwa ia mengalami kekerasan seksual, mampu membuat rencana, dan dapat melaksanakan rencana tersebut. Bekerja di sebuah katering setiap hari tidak membuat kebutuhannya tercukupi, biasanya kakaknya yang ikut memenuhi kebutuhan hariannya dan anak-anaknya.

Tan mengalami kekersan seksual dari pelaku yang awalnya adalah pacarnya (Bobi). Tan berada dalam relasi yang penuh kekerasan selama bertahun-tahun meskipun ia selalu melaporkan kekerasan yang dialaminya ke polisi. Pelaku membujuk Tan dengan pernikahan ketika meminta hubungan seksual. Ketika Tan meminta pernikahan tersebut, pelaku menolak. Tan melaporkannya ke polisi karena ia hamil. Tan akhirnya menikah dengan pelaku walaupun kemudian ditinggalkan oleh pelaku lalu dicerai. Pelaku datang kembali ke dalam kehidupannya dengan alasan ingin mengunjungi anaknya. Akan tetapi ternyata kemudian pelaku memperkosa Tan berkali-kali hingga Tan hamil untuk kedua kalinya. Tan kembali melaporkannya ke polisi. Selain kekerasaan seksual Tan juga mengalami kekerasan fisik, psikologis, dan ekonomi. Tan mengalami pelecehan, perkosaan, dan eksploitasi seksual. Meskipun demikian Tan selalu berharap pelaku kembali ke hidup Tan, menyesali perbuatannya, dan kembali membangun relasi yang baik dengan Tan.


(1)

46

47

48

49

50

51

151

152

153

154

155

156

157

158

159

160

161

162

163

164

165

166

167

ya trus sosok ayah yang biasa apa

sih walaupun emang papa sakit

gitu kan tapi kan misalnya kalo

ada sosok ayah tu beda tu lho.

Jadi eee apa ya… jadi pengambilan keputusan.

Trus aku tuh sambil nangis nangis

gitu, trus mamaku cuman bilang

Ya, sabar ya..., mama masih

butuh bantuan dia, kamu yang

sabar. Nanti kalo itu mama akan

bilang sama dia, tapi kamu

bantuin mama juga, untuk untuk

maksudnya nggak mengangkat

masalah ini. Kamu bantuin mama

juga untuk ngertiin. Ya sabar biar

soalnya mama masih butuh

bantuan dia gitu lah” makanya diminta untuk mengerti. Trus

akhirnya ya udah mamaku juga

aku juga nggak bisa bantuin

apa-apa lagi itu lho, selain emang

sabar trus ngertiin kondisi

Perempuan terlatih

untuk menerima

ketidakadilan – tanpa dukungan


(2)

168

169

170

171

172

173

174

175

215

216

217

218

219

220

221

222

223

224

225

226

227

228

229

mamaku gitu. Trus ya udah habis

itu si Torinya tetep main ke

rumah tanpa rasa bersalah. Aku

trus o ya udah mamaku butuh

bantuan aku jadinya ya udahlah

aku bantuin gitu kan. Jadinya dia

terus sering datang ke rumah

gitu-gitu.

Jadi, habis itu dia intensif ke

rumah, dia sering tidur di rumah

juga, maksudnya karena dia

nganterin mamaku kemana-mana

buat ngurusin ini kan. Trus

kadang tu pulangnya sampe

malem, trus pagi tu harus nyari

orang lagi gitu-gitu. Jadi waktu

itu pokoknya sering deh kayak

gitu terus malem tu sering ada di

rumah. Pokoknya kalo kondisi

memungkinkan entah itu kakakku

lagi di kamar ato kakakku belum

pulang ato kendisi rumah sepi tu

dia pasti melakukan hal yang

Tidak berdaya

menghindari

reviktimisasi


(3)

230

231

318

319

320

321

322

323

324

325

326

327

328

329

330

331

332

333

334

335

336

337

338

sama tu lho kayak pokoknya

makin parah tu lho.

Jadi Tori tu pergi dari rumah itu,

jadi kakaku ni sebeeel banget

sana yang namanya Tori ini,

kakakku yang cewek, pokokna

sensi sebel. Pokoknya kalo ada

dia tu jutek setengah mampus

gitu, trus aku nggak tau kenapa tu

lho tapi dia pergi tapi dia pergi

dari rumah kalo nggak salah

karena kita satu keluarga itu

bener-bener yang nyuekin dia,

bener-bener nggak ngomong itu

lho kalo ada dia. Trus dia ngerasa

kalo ini “ya sudah kalo dia udah nggak dibutuhkan lagi di rumah,

orang-orang udah benci sama

saya” gitu trus dia pergi. Aku nggak tau dia perginya kemana

tapi dianterin sama mamaku sama

adikku trus diturunin di tengah

jalan gitu. Soalnya itu, aku nggak

Kekerasan “tidak sengaja” (bukan atas keagenan

penyintas)

berhenti


(4)

339

340

341

342

353

354

355

356

357

358

359

360

361

362

363

364

365

366

367

368

369

370

371

tau cerita spesifiknya sih tapi dia

soalnya aku lagi disini trus mama

cerita “Iya Tori udah nggak di rumah kok”. Udah

Waktu dia nglakuin itu aku nggak

mikir apa-apa, cuman ya

pokoknya gimana aku bisa lepas

tu lho, makanya aku mukulin, trus

entah itu nonjokin, entah itu

ngancem dia ada kakak ato mama

gitu. Cuman pikiran tu kayak gitu

aja cuman gimana buat lepas itu

lho kayak gitu nggak ada pikiran

lain.

Perempuan yang baik kalo

mamaku sih sering bilang,

dilayanin tu lho kalo ada cowok,

entah suami ataupun pacar,

maksudnya ya dilayanin gitu

diladenin. Katanya gitu,

perempuan yang baik tu kayak

gitu.

Trus perempuan yang baik

Harapan peran

gender sesuai narasi

dominan (363-383)

Pengalamanku tabu

Hanya bisa

berusaha lepas

dari bahaya satu

ke bahaya

selanjutnya tanpa

bisa mencegah


(5)

372

373

374

375

376

377

378

379

380

381

382

383

384

385

386

387

388

389

390

391

392

393

394

menurut aku ya gitu bukan korban kekerasan seksual,

bener-bener perempuan yang baik

menurut aku. Karena bener-bener

masih ya perempuan yang polos,

lugu, jadi perempuan yang baik

ya gitu sih.

O perempuan yang baik itu bisa

mengatasi bisa mengatasi o gini,

perempuan yang baik itu bisa termotivasi dengan masalah yang dihadapi.

Ya jadi dia (Dodi) itu orangnya

reaktif banget kalo menurut aku.

Jadi itu cerita awal, trus dia

bener-bener, dia udah bawa besi

itu lho. Pingin nonjokin, pingin...

pokoknya udah pingin

ngapa-ngapain dia itu lho. Trus aku

bilang nggak usah nggak usah,

jadi aku nggak suka tu lho kalo

ada orang yang kayak gitu. Jadi

sebenernya aku cuman pingin

maka aku tidak

berharga (371-378)

Harapan peran

gender sesuai narasi

dominan (384-399)

Berdasar definisi

perempuan yang

baik dari Coral,

Coral bukanlah

perempuan yang

baik (371-378)

Dasar narasi

prestasi sebagai

kompensasi

keburukan


(6)

395

396

397

398

399

400

533

534

535

536

537

538

539

540

541

didengerin gitu. Bener-bener

didengerin, ini aku kayak gini ni

lho posisinya kayak gitu. Tapi

dia, ya nggak tau sih ini reaktif

ato wajar menurut cowok, tapi dia

bener-bener kayak gitu pokoknya

(Pernah ngecewain Dodi)

Ngecewainnya menurut aku ya

aku nggak menghargai dia

sebagai cowok. Karena aku

ngerasa tu karena aku diperlakuin

kayak gitu sama orang lain ya,

jadi menurut aku aku nggak

menghargai dia, aku nggak tau

kira-kira kayak gitu.

Merasa bersalah

atas kekerasan

seksual yang terjadi

karena perempuan

yang salah – narasi dominan (533-541)

Menginginkan

dukungan sosial