ibunya. Ketika Misa mulai mengerti apa yang terjadi pada dirinya, ia merasa tidak berharga karena sudah tidak “perawan” lagi.
Semua partisipan dibesarkan dalam keluarga yang di dalamnya terdapat kekerasan terhadap perempuan.
C. ANALISIS DATA DAN HASIL
Berikut adalah identitas dalam narasi setiap partisipan:
1. Nia, tingkat pertama keberdayaan
a. Menyerah dan kalah
Nia sering mengatakan sesuatu yang dia akui sebagai tidak menyenangkan tetapi kemudian menutupnya dengan
“tapi aku ra papa
”. Nia membiarkan orang lain membuat keputusan atas hidup dan masa depannya. Seperti ketika Nia diam dan tidak bertanya kepada
ayahnya ketika dilarang untuk menikah dengan Kalong meskipun memang Kalong tidak pernah menceraikan istrinya atau mengajak Nia
menikah secara resmi, hanya ada janji dari Kalong serta menganggap bahwa larangan dari ayahnyalah alasan ia tidak menikah dengan
Kalong. Tanpa adanya usaha untuk mengubah keadaan atau bahkan
usaha untuk memahami atau sekedar mengkonfirmasi keadaan tersebut untuk meyakinkan bahwa hal tersebut bukan hanya imajinasi atau
persepsinya saja, Nia “terpaksa” menerima keadaan yang tidak
menyenangkan tersebut dan menelan kekalahannya. Kekalahan ini tanpak nyata dalam petikan narasi Nia berikut
“rasanya dari kecil aku kaya dibedakakan dari adik oleh orang tua. Banyak yang cerita kayaknya saya
tu disia-siakan. Banyak yang cerita waktu aku masih kecil, berapa bulan aku udah ditinggal sama orang tua,
udah pergi. Udah besar, banyak yang cerita pokoknya, kalo adik dibelikan b
aju yang bagus, kalo aku yang ya… sewajarnya. Tapi aku nggak merasa dibedakan ya juga
nggak. Wong itu juga orang tuaku. Ya masa kecil emang pedih. Sedih banyak kesedihan. Sudah berkeluarga ya
keluarga kadang-kadang ya ada kesedihan, ya ada senengnya. Tapi kadang-kadang orang tua kok kadang-
kadang masih membedakan antara anak satu sama yang lain tu. Pokoknya aku rasanya tu aku masih dibedakan.
Tapi aku gak papa, yang penting aku ikut suami. Suami juga menafkahi aku. Aku yang penting gak ikut
sama orang tua.
” Nia menyatakan pasrah menerima hal-hal yang terjadi dalam
hidupnya tanpa usaha untuk mengubah atau memperbaikinya. Ketika menceritakan tentang kemungkinan bahwa pelaku sebenarnya tidak
pernah peduli dengan anaknya atau dirinya, Nia mengatakan
“sepintas pernah kepikiran kayak gitu, tapi aku udah ya udah yang dulu ya yang dulu, ya biarin.
” Jawabannya ini menunjukkan bahwa kekalahannya yang
membuatnya mengatakan “ya udah, biarin” kemudian menerima tanpa bertanya atau berusaha lebih lanjut.
Ke- ”rapapa”-an dan ke-“ya udah biarin”-an Nia adalah cara
Nia menyatakan ketidakberdayaannya mengubah keadaan dan kekalahannya. Ketika peneliti bertanya apakah dalam hidup Nia
merasa selalu kalah, Nia dengan segera menjawab “Ya”. Ketika dikonfirmasi mengenai usahanya untuk memperjuangkan apa yang ia
inginkan atau setidaknya mempertanyakan keputusan orang lain atas hidupnya Nia mengatakan “nggak pernah tanya” dan “ya udah,
biarin ”. Nia menyatakan dirinya benar-benar tidak berdaya dalam
responnya tersebut.
b. Penyangkalan pengalaman