Tan sangat terbantu dengan dukungan sosial yang ia terima sehingga Tan dapat mewujudkan perubahan yang ia inginkan. Tan juga
terbantu dengan narasinya yang mengatakan bahwa dirinya layak mendapatkan kebahagiaan dan bahwa ia mampu mewujudkan kebahagiaan
tersebut, dengan bantuan orang disekitarnya. Tan tidak berhenti ketika keadaan tidak membahagiakan untuknya.
Stabilitas narasi Tan lebih kokoh dari Misa. Misa hanya tahu bahwa ada yang bisa dilakukan tetapi tidak melakukannya. Selain tahu dan
sadar akan kekerasan seksual dan haknya untuk dihargai sebagai perempuan, Tan juga merasa dapat mengandalkan dukungan sosial dari
lingkungannya. Tan juga tahu bahwa dirinya dapat berusaha mengubah keadaan. Meskipun hanya keadaan tertentu saja bukan hidupnya secara
keseluruhan.
d. Tingkat 4 ke tingkat 5
Terdapat dua kunci untuk berpindah ke tingkat 5 keberdayaan. Kedua hal tersebut adalah mampu memutus relasi kekerasan dan
menghasilkan counter atas narasi dominan yang menindas dan memandang penyintas tidak berharga.
d.1. Meninggalkan relasi yang melanggengkan kekerasan
Ketidakberdayaan tidak berhenti begitu saja ketika korban keluar dari relasi yang abusive atau keluar dari bahaya. Akan tetapi
ketidakberdayaan tersebut harus dihentikan secara sengaja oleh penyintas bila perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender
ingin benar-benar pulih dan meminimalisir kemungkinan dikorbankan ulang reviktimisasi. Narasi ketidakberdayaan yang diperlihatkan oleh
Tan memperlihatkannya “dia nggak terima kalau karirnya itu selalu
diganggu saya.” Meskipun ia tidak lagi berada dalam relasi dengan pelaku
pertama tetapi dalam relasi dengan laki-laki lain ia terus mengalami kekerasan dan terus menerimanya sebagai bagian yang wajar dari
sebuah relasi. Bahkan Tan terus mengalami kekerasan juga dari pelaku pertama meskipun tidak lagi dalam relasi dengan pelaku pertama dan
sedang dalam relasi dengan orang lain. Keberdayaan Tan yang berasal lebih dari dukungan sosial
daripada dari agensinya – yang membantunya melaksanakan dan
mengejar keinginannya dan meletakkannya di tingkat keempat – bila
tanpa internalisasi keberdayaan tidak bisa melepaskannya dari kemungkinan reviktimisasi. Hal ini merupakan kelemahan tingkat
keberdayaan berdasar pada perilaku saja dan bukan pada tingkat kesadaran.
Penyintas harus memutus relasi kekerasan bila ingin pulih. Memutus rantai kekerasan bukan hanya tentang menghentikan
kekerasan, tetapi lebih dari itu, yaitu menghentikan kekuasaan yang dimiliki pelaku atas dirinya yang menimbulkan kekerasan tersebut.
Karena perasaan berada dalam situasi yang penuh kekerasan tidak berhenti hanya karena kekerasannya berhenti Lorentzen, Nilsen,
Traeen, 2008. Penyintas harus keluar dari situasi tersebut untuk pulih. Penyintas harus memutuskan ikatan emosi dengan pelaku yang
membelenggunya. Teta mengungkapkannya sebagai jalannnya untuk mulai pulih.
“Saya bertanya-tanya, akhirnya saya tau kalo gitu
yang sakit saya sendiri, yang capek saya sendiri. Lebih baik ditutup. Saya ingin menutup semua. Ndak usah
menguras energi banyak untuk dia. Dari situ saya udah mulai menapak. Wis fokus ke saya, fokus ke anak. Jadi itu,
itu yang membuat saya waktu itu mencari diri saya.”
Hal yang sebaliknya ditunjukkan oleh Tan. Ketidakmampuan Tan untuk memutus ikatan emosi dengan pelaku menunjukkan bahwa
ketidakmampuan tersebut menyebabkan Tan rentan terus mengalami reviktimisasi oleh pelaku yang sama. Hal tersebut karena Tan tidak
dapat melihat resiko kekerasan yang mungkin bisa terjadi lagi. Keinginannya untuk terus terlibat dengan pelaku membuatnya tidak
mampu melanjutkan hidup dan mencari kebahagiaan yang diinginkannya.
Temuan ini setara dengan temuan Bargai, et. al. 2007 pada perempuan yang mengalami kekerasan fisik bahwa ketidakberdayaan
membuat perempuan enggan meninggalkan relasi yang penuh kekerasan. Tetap tidak berdaya tidak membantu pemulihan, jadi bila
ingin pulih penyintas harus meninggalkan relasi tersebut. Ketika penyintas mememutus relasi rantai kekerasan ini individu tersebut juga
mulai mengambil tanggung jawab yang tepat dan keputusan untuk
melanjutkan hidup. Perempuan tersebut akan mulai mencari jalan keluar dan mencari hal apa yang bisa dilakukannya untuk melanjutkan
hidup. Memutus
relasi kekerasan
membantu penyintas
untuk membebaskan diri dari harapan yang tidak realistis seperti pada Nia
dan Tan, resiko reviktimisasi seperti pada Tan, atau kemarahan seperti pada Teta. Bahkan Tan yang merasa belum lepas dari
relasinya dengan pelaku pun dan memang belum lepas karena masih mempunyai
harapan yang
tidak realistis
juga sebenarnya
menginginkan lepas dari relasi tersebut. “Aku yo pingin hidupku bahagia karo orang lain”
d.2. Counter narasi