melanjutkan hidup. Perempuan tersebut akan mulai mencari jalan keluar dan mencari hal apa yang bisa dilakukannya untuk melanjutkan
hidup. Memutus
relasi kekerasan
membantu penyintas
untuk membebaskan diri dari harapan yang tidak realistis seperti pada Nia
dan Tan, resiko reviktimisasi seperti pada Tan, atau kemarahan seperti pada Teta. Bahkan Tan yang merasa belum lepas dari
relasinya dengan pelaku pun dan memang belum lepas karena masih mempunyai
harapan yang
tidak realistis
juga sebenarnya
menginginkan lepas dari relasi tersebut. “Aku yo pingin hidupku bahagia karo orang lain”
d.2. Counter narasi
Penyintas yang mampu membentuk dan memilih narasi yang ia inginkan akan terbantu untuk pulih. Narasi yang ia inginkan tersebut
harus membebaskannya dari ketimpangan kuasa yang menimpanya saat penyintas mengalami kekerasan seksual. Narasi tersebut adalah
counter atas narasi dominan. Perempuan perlu beranjak dari pengalaman menyalahkan diri dan mengembangkan penjelasan
alternatif selain menyalahkan diri agar mampu pulih Cohen, 2013. Counter narasi harus merupakan keputusan penyintas,
keinginan penyintas untuk mempertanyakan narasi yang tidak adil dan membentuk narasi yang lebih adil. Komunitas dapat membantu
menguatkan atau melemahkan narasi personal yang dipilih tersebut
tetapi terbentuk atau tidaknya counter narasi tergantung pada penyintas.
Nia, Misa, Tan, dan Coral menerima narasi dominan yang diajarkan oleh budaya, bahwa perempuan atau korban adalah pihak
yang bersalah atas kekerasan seksual yang terjadi padanya dan karenanya merekalah yang harus menanggung konsekuensinya.
Perbedaannya adalah Nia bahkan tidak berusaha mempertanyakan, memaknai, atau sekedar menyadari nilai-nilai tersebut. Nia bahkan
tidak sadar bahwa dirinya adalah korban. Coral menyadari bahwa apa yang terjadi atasnya adalah kekerasan seksual, meskipun tidak berbuat
sesuatu atasnya secara langsung bahkan merasa bersalah atas kekerasan yang terjadi pada dirinya, dia berusaha “menaklukkan”
„kesalahan‟ tersebut. Coral tidak menyadari bentuk ataupun sifat nilai- nilai narasi dominan tersebut. Misa mulai menyadarinya, dia
menyadari sifat “menindas” hegemoni tersebut, menyadari kekerasan yang dialaminya, tetapi tidak ingin atau tidak mau atau merasa tidak
berdaya untuk berbuat sesuatu atasnya. Teta juga menginternalisasi narasi dominan dalam dirinya.
Narasi dominan ini terlihat ketika awalnya Teta mengejar pernikahan dengan pelaku, bahwa pernikahan adalah jalan keluar masalah
kehamilannya. Teta akhirnya mempertanyakan dan menemukan counter atas narasi ini. selain itu Teta juga melakukan counter atas
narasi dominan yang lain seperti counter atas narasi tentang
perempuan yang baik. Counter narrative yang dilakukan Teta membantunya menemukan kebahagiaan yang dicarinya.
Perilaku dapat menyelamatkan seorang perempuan dari bahaya tetapi tanpa perubahan diskursus wacana dominan yang tampak
dalam narasi dan penalaran personalnya perempuan akan terus dalam bahaya dikorbankan ulang. Hal ini terlihat dalam narasi “Coral”
“Tapi maksudnya ya aku jadi ngerasa bersalah sendiri gitu lho. Ya ampun kok bisa-bisanya
aku lagi pacaran sama dia, trus aku diginiin sama orang tu lho. Trus kayak nggak menghargai cowok
banget. Jadi apapun yang terjadi didalam hubungan kita entah itu dia yang maksudnya entah dia yang
kurang ajar sama aku, entah itu Dodi yang jadi menjauh, trus aku tu jadi nyalahin diri aku sendiri.
Jadi pokoknya apapun yang Dodi lakuin ke aku tu aku jadi ngerasa bersalah.
“O iya nggak papa dia kayak gitu soalnya kan aku pernah maksudnya pernah
ngecewain dia juga itu lho, nggak menghargai dia, jadi jatuhnya kayak gitu sih”.
Karena narasi Coral yang percaya bahwa perempuanlah yang salah atas kekerasan seksual yang terjadi padanya Coral diam dan
tidak melawan bahkan merasa bersalah ketika mengalami reviktimisasi kekerasan seksual yang sejenis yang dilakukan oleh Dodi, pacarnya.
Menyalahkan diri atas kekerasan yang dialami adalah juga salah satu cara menguatkan narasi dominan yang terinternalisasi dalam diri
penyintas. Misa yang merasa bahwa dirinya tidak berharga juga tidak
mampu melawan ketika reviktimisasi mengancamnya. Reviktimisasi
oleh suaminya, bahkan ketika Misa sudah tahu sejak pacaran bahwa suaminya tersebut bukanlah seorang yang baik untuknya, Misa tetap
tidak mampu menghindarinya. “Anehnya sejak pertama saya ketemu tu saya
udah klo dia tu nggak baik untuk saya. Dan saya udah bolak-balik pingin putus tapi nggak bisa. Nggak
tau kayak nggak berdaya ato gimana gitu. Trus akhirnya nikah sama dia, walopun saya tau dia nggak
baik buat saya.”
Misa merasa “aku sudah tidak berharga, apa yang kulakukan selanjutnya toh tidak akan mengubahnya”. Artinya narasi Misa yang
menyebabkannya tidak berdaya dan mengalami reviktimisasi. Konsep dan narasi yang dipegang oleh individu mempengaruhi
jenis pengalaman yang dimilikinya dan bagaimana individu tersebut menarasikannya McLean, Pasupathi, Pals, 2007. Dengan kata lain
konsep dan narasi hidup tertentu menyebabkan individu tersebut rentan mempunyai pengalaman tertentu, reviktimisasi adalah salah satunya.
Keperawananan adalah letak keberhargaan perempuan. Misa bahkan merasa bahwa tanpa keperawanan dirinya tidak lagi berharga
“Dan mulai saat itu, gimana sih mbak, perempuan yang merasa wis ora perawan meneh njuk
jadi, saya merasa saat itu saya njuk jadi kurang menghargai diri saya sendiri.
Bukan sekedar tidak berharga, Misa bahkan menyatakan bahwa baik tidaknya perempuan menurut norma yang ia terima ada pada
keperawanan dan kemampuannya menjaga keperawanan sampai
perempuan tersebut menikah dan berhubungan seksual dengan suaminya.
“Perempuan yang baik itu ... yang perawan dong, harus hilang keperawanannya pada saat
menikah, which is saya enggak. Bukan perempuan yang baik jadinya to?
” Coral menyatakan juga jika perempuan tersebut tidak
menghendaki hilangnya keperawanan itu atau dipaksa dan menjadi korban kekerasan seksual, tetap perempuanlah yang kemudian menjadi
“tabu”, tidak berharga, dan tidak baik. “Trus aku malu itu lho cerita sama temen aku
itu lho. Kayaknya hal kayak gitu tu tabu banget, ya orang tu pasti ngeliatnya ya
„ih dia tu korban kayak gituan
‟. Perempuan yang baik menurut aku ya gitu bukan korban kekerasan seksual.
” Keberhargaan perempuan menurut narasi dominan budaya
Indonesia ada pada keperawanan dan kemampuannya menjaganya untuk dipersembahkan pada suaminya. Ketika perempuan kehilangan
keperawanannya entah apapun alasannya kecuali pernikahan yang sah, perempuan tersebut kehilangan keberhargaannya. Tes-tes keperawanan
yang semakin marak diwacanakan oleh para pejabat, entah dalam institusi pemerintah maupun sekolah-sekolah, semakin memperkuat
pentingnya keperawanan, bukan lagi hanya dalam ranah personal tetapi bahkan secara sah dalam hal formal dan politis.
Kerangka berpikir ini yang seperti ini, yang adalah narasi dominan, bersifat hegemonic, menghalangi dan mengasingkan individu
untuk menjadi subyek atas hidupnya sendiri, serta mengurangi kemampuan mereka untuk bertindak Bamberg, 2004. Para feminis
menyebutnya sebagai the personal is political. Breakwell 2012 menyebutnya sebagai narasi archetypal atau stereotypical. Narasi
archetypal atau stereotypical dapat dibuktikan keberadaannya sepanjang dapat menyediakan kerangka interpretasi bagi narasi
individu Breakwell, 2012. Harapan peran gender, misalnya bahwa keberhargaan
perempuan ada pada keperawanannya, yang sangat sesuai dengan narasi dominan tanpa disadari apalagi dicermati tidak membantu Nia,
Coral, Misa, dan Tan. Persis karena mereka tidak melihat peran gender di luar yang sudah digariskan oleh budaya. Mereka tidak terbantu
untuk melihat bahwa ada jalan lain selain yang disetujui oleh “kebiasaan”.
Coral merasa tidak berharga – dan tidak dapat berbuat sesuatu
atas ketidakberhargaannya yang spesifik tersebut – berusaha
mengganti keberhargaannya dengan keberhargaan yang lain, prestasi. Prestasi membantunya untuk meneruskan hidupnya, tetapi tidak
melepaskannya dari ketidakberhargaan karena ia tidak menolak keberhagaan yang awal tentang perempuan dan keperawanan yang
diberikan oleh narasi dominan.
Penguatan narasi dominan dan tidak adanya counter narasi pada Nia, Coral, Misa, dan Tan melanggengkan ketidakberdayaan dan
menghambat mereka untul pulih.
Pemaknaan dikatakan oleh banyak penelitian akan membantu
individu berkembang dan meningkatkan kepuasan hidup McAdams, 2008; Pals, 2006. Akan tetapi dalam kasus perempuan penyintas
kekerasan seksual hal ini tidak selalu benar. Meskipun pemaknaan tersebut tidak lagi hanya internal
– tentang pengaruh pengalaman pada diriku
– bila tetap menguatkan narasi yang tidak adil tidak akan membantu penyintas untuk pulih. Hanya pemaknaan yang tidak
berakhir pada ketimpangan kuasa – misalnya menyalahkan diri sendiri
atas kesalahan orang lain karena perempuan selalu salah – yang
membantu pemulihan. Pemaknaan yang dilakukan oleh Tan menunjukkan bagaimana
pemaknaan yang melanggengkan ketidakberdayaan tidak membantu pemulihan. Tan yang mengatakan bahwa semua terjadi padanya karena
ia kurang dekat dengan Tuhan. Pemaknaan Tan menguatkan ketidakberdayaannya dalam mengubah keadaan.
“karena saya dulu nggak pernah deket sama yang Cipta, gitu kan bisa ya mungkin. Ya.. semua itu
kan nggak bisa ditebak, Mbak. Takdir kan, semua itu ”
McAdams 2008
mengungkapkan bahwa
pemaknaan membantu pembentukan narasi menjadi kontinyu, sehingga didapat
diri yang lebih koheren. Akan tetapi ternyata pemaknaan Tan tidak
membuatnya mampu mulai bergerak maju Tan ketika pemaknaannya adalah “semua ini karena aku kurang dekat dengan Tuhan”. Akhir
pemaknaan Tan adalah “aku” yang bersalah atas pengalaman ini.
Pemaknaan yang hanya mengenai bagaimana pengalaman mempengaruhiku juga tidak membantu pemberdayaan penyintas
meskipun membantu perasaan “menjadi lebih berharga”. Akan tetapi, bila hanya berhenti pada pemaknaan aku berubah karena pengalaman
ini tanpa ada kemampuan mengubah dunia di luar diri, pemaknaan ini justru menghentikan penyintas dari menjadi lebih berdaya. Penyintas
berubah karena pengalaman ini tetapi penyintas tidak berdaya untuk mengubah apapun. Seperti pada rasa bersalah, kendali yang penyintas
miliki bukanlah kendali yang sebenarnya. Seperti terlihat pada narasi Coral berikut
“menurut aku ini proses pendewasaan aku. Jadi aku sekarang ya nggak papa aku kayak gitu aku
jadi menurut aku aku jadi pribadi yang lebih baik itu lho, maksudnya ato yang lebih kuat dibandingin
yang lain”
Pemaknaan semacam ini adalah cara penyintas menenangkan diri sementara. Bila ingin menjadi lebih berdaya penyintas perlu
beranjak dari sekedar pengaruh pengalaman ini bagiku. Pemaknaan Coral tersebut, selain tidak membantunya melihat kemungkinan ia
membuat perubahan, juga melanggengkan ketimpangan kuasa. Pemaknaan Coral tidak mempertanyakan narasi dominan, narasi Coral
justru menguatkan narasi dominan. Meskipun Coral kuat, Coral tetap
bersalah atas kejahatan pelaku, tetap perempuan yang tidak baik, dan tetap tidak berharga.
Narasi memperlihatkan bagaimana pengetahuan yang timpang dan menimbulkan kekerasan dapat diubah menjadi pengetahuan yang
adil dan membawa pemulihan. Semuanya akan terjadi dalam autobiographical reasoning Pals, 2006. Penalaran personal tentang
bagaimana memaknai hidup dan pengalaman. Penalaran personal adalah kekuatan dan jalan menuju pemulihan. Penalaran personal ini
tampak dalam penjelasan alternatif dan pemaknaan. Teta menemukan bahwa apa yang dianggapnya sebagai solusi
sebelumnya, yang sesuai dengan narasi dominan, ternyata bukan solusi yang ideal. Teta mampu melakukan counter narasi dominan dan
menemukan bahwa dirinya menemukan kebahagiaan dalam counter narasinya tersebut. Penjelasan alternatif yang hadir sebagai counter
narrative yang memberi cara lain untuk memaknai pengalaman sekaligus membantu penyintas untuk memutus rantai kekerasan. Teta
membuktikannya dalam narasinya berikut. Perempuan yang awalnya, menurut narasi dominan, harus patuh dan pasif agar bisa dianggap baik
menjadi aktif dan berhak menentukan nasib sendiri. “Perempuan yang melakoni segala tindak
tanduk yang perempuan itu, nggak boleh ini terlalu banyak tingkah, sepeti itu, trus diajari memasak juga.
Karena ya di lingkungan saya ya nggak ada yang laki- laki. Kalo sekarang sudah berbeda jauh karena
pemikiran juga udah banyak berkembang karena ya pengaruh didikan saya. Pengalaman saya yang
membuka saya... bagaimana menjadi perempuan ya tidak harus tidak seperti yang waktu saya masih kecil...
Perempuan yang baik yang bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus ikut dan tidak mengingkari dirinya.
Ya tidak ada batas antara laki-laki dan perempuan, masalah peran kita sama dan ... suami dia bisa
menerima ... walopun laki-laki ya tetep ada egonya... perempuan dan laki-laki bisa setara
” Tema
“aku layak bahagia” adalah kebalikan dari tema “aku tidak berharga
”. Meskipun sama-sama datang dari narasi dominan, tetapi tema
“aku layak bahagia” membantu Tan untuk berusaha keluar dari hidupnya yang penuh masalah dan menimbulkan harapan baru.
Meskipun karena bentuk kebahagiaannya masih sangat sesuai dengan narasi dominan, harapan ini terlihat seperti masalah tanpa jalan keluar,
karena tidak adanya solusi lain. Penyintas perlu melihat ada solusi lain. Penjelasan lain dapat membantunya mencari solusi lain.
Ketika individu membuat counter narrative, tidak perlu setiap bagian narasi diubah. Selalu masih ada aspek-aspek tertentu dari narasi
yang bisa tetap dibiarkan mempunyai bentuknya sebagai narasi dominan, sementara bagian lain dipertanyakan dengan counter
narrative Bamberg, 2004. Penelitian ini juga menemukan hal tersebut, Teta membentuk counter narrative dalam sebagian narasinya.
Pengalihan keberhargaan ada di dalam counter narasi ini. Keberhargaan yang pasif diubah menjadi keberhargaan yang menuntut
tanggung jawab, pemaknaan, dan efikasi diri. Berbeda dengan pengalihan issue yang menutupi ketidakberhargaan dengan prestasi.
Ketidakberhargaannya masih ada, tetapi dialihkan dengan kompensasi, pengalihan keberhargaan meniadakan keberhargaan yang pasif
– bahwa perempuan berharga karena perawan
– dan menggantinya dengan yang aktif
– bahwa perempuan berharga karena hal yang tergantung padanya untuk mewujudkan
–. Penemuan ini sejalan dengan penemuan penelitian Peri 2013 pada pasien PTSD bahwa
pemulihan terjadi ketika individu mulai membentuk identitas yang ia inginkan.
Teta menunjukkan hal ini pada narasinya, Teta menyatakan bahwa ia menemukan kebahagiaannya ketika ia membantu orang lain
“pada prinsipnya sih bisa melakukan sesuatu yang bermakna, membahagiakan orang lain, karena
dengan itu otomatis ada perasaan puas. Itu sangat membantu saya, sangat membantu untuk terus
mengobati luka, karena luka itu kan tidak bisa mulus seperti sedia kala, mesti ada bekas.”
Pengalihan keberhargaan ini adalah bentuk counter atas narasi dominan. Narasi dominan yang mengajarkan bahwa keberhargaan
perempuan ada pada keperawanan dan suami, dipertanyakan dan dicarikan penjelasan alternatifnya. Penjelasan alternatif Teta menjawab
pertanyaan tentang keberhargaan, kebermaknaan, dan kebahagiaan. Bila penyintas tidak membuat penjelasan alternatif maka ia akan terus
merasa tidak berharga karena penyintas tidak berdaya sama sekali atas keberhargaan yang telah direbut darinya.
Keberhargaan perempuan yang pasif dan tak dapat diusahakan atau tidak memampukan penyintas menjadi agen atas keberhargaan
tersebut tidak membantu pemulihan. Keperawanan misalnya atau bahwa perempuan tidak pernah terlibat secara seksual dengan laki-laki.
Coral yang menyatakan dengan gamblang bahwa perempuan hanya baik ketika tidak pernah secara seksual terlibat dengan laki-laki,
meskipun keterlibatan tersebut tidak diinginkannya, tidak terbantu pulih dengan narasi identitas ini.
“perempuan yang baik menurut aku ya gitu bukan
korban kekerasan
seksual, bener-bener
perempuan yang baik menurut aku. Karena bener- bener masih ya perempuan yang polos, lugu
” Pemulihan ternyata sejalan dengan adanya tema agency dalam plot
narasi penyintas. Penyintas yang merasa bahwa ia bukanlah agen atas hidupnya sendiri terhambat untuk pulih, dalam kasus ini Nia, Coral, Misa,
dan Tan. Sedangkan penyintas yang merasa berdaya atas hidupnya sendiri – dalam penelitian ini Teta – akan mampu merumuskan kebahagiaan bagi
dirinya dan terbantu untuk pulih. Hanya ketika penyintas adalah agen atas hidupnya plot narasinya dapat menjadi progresif. Akan tetapi harus diingat
bahwa keberdayaan dalam penelitian ini bukanlah nilai mutlak – berdaya
atau tidak berdaya sama sekali –, tingkatan keberdayaan lebih berupa
continuum daripada dikotomi.
2.
NARASI KOMUNITAS
Narasi komunitas seperti narasi budaya akan memberikan kerangka bagi interpretasi penalaran personal. Narasi komunitas akan membantu
atau menghalangi terbentuknya counter atas narasi dominan. Narasi komunitas yang membantu adalah narasi komunitas yang menumbuhkan
kesadaran akan keadilan sebagai hak setiap orang. Narasi tersebut adalah tandingan atas narasi dominan yang tidak adil dan membuat perempuan
terlatih menerima ketidakadilan sebagai bagian hidupnya. Narasi dominan yang melatih perempuan menerima ketidakadilan ini terlihat Coral berikut
“trus kayak menerima itu ya udah nggak papa,
maksudnya bagian dari masa lalu aku.” Narasi komunitas terssebut dapat berwujud dukungan sosial, pengakuan
eksternal atas kekerasan yang terjadi, atau nilai bersama. Komunitas dapat juga menjadi tempat aman yang dapat menjadi
tempat berlindung bagi penyintas. Tempat aman dapat memunculkan tema perlindungan bagi penyintas seperti yang ditemukan oleh Draucker 2003.
Sebagai tempat aman, komunitas dapat membantu penyintas menemukan pemulihan. Akan tetapi ternyata tidak semua penyintas menemukan
komunitas yang dapat berfungsi sebagai tempat aman. Hanya Tan dan Teta yang menemukan komunitas yang dapat melindungi. Bahkan Misa dan
Coral menemukan bahwa komunitas adalah tempat yang menawarkan penolakan bukan perlindungan.
Tan merasakan adanya dukungan sosial dan perhatian atas apa yang dialaminya dari keluarga dan orang lain. Persepsi ini sangat
membantunya untuk terus memperjuangkan haknya tetapi tidak membantunya untuk menc
ari jalan lain yang tidak “wajar” atau yang tidak sesuai narasi dominan. Selama kaum tertindas masih tidak menghargai
diri, mereka segan untuk melawan dan memiliki kepercayaan yang berlebihan dan „magis‟ atas kekuasaan kaum penindas Freire, 2000. Tan
sungguh percaya hal ini, Tan percaya bahwa pelaku dapat melakukan banyak hal yang akan akan membuatnya lebih sengsara. Meskipun Tan
dapat memaksa pelaku melakukan banyak hal yang tidak diinginkan pelaku, Tan nyaris tidak menghargai usahanya, bahkan menganggap
bahwa menuntut haknya adalah kesalahan karena menyusahkan pelaku. Akan tetapi meskipun Tan didukung oleh komunitas dan orang
disekitarnya untuk membuat counter narasi tetapi Tan tetap tidak membentuk counter narasi. Counter narasi harus pertama berawal dari
penyintas kemudian dikuatkan oleh narasi komunitas dan bukan sebaliknya.
“aku digondheli sama Mbak Sandi itu, nggak boleh. Mbak Tan, nggak boleh. Pokoke jangan nikah siri.
... Ngono kuwi, terus akhire, yawis, aku terus akhire yowis udah nikah, Mbak. Udah akhirnya saya nikah siri
” Pengakuan eksternal diperlukan oleh seluruh level keberdayaan.
Penyintas memerlukan individu di luar dirinya untuk menyatakan padanya bahwa pengalaman kekerasannya benar dialaminya dan perasaannya atas
pengalaman tersebut valid. Hal ini terlihat nyata pada narasi Coral. “Aku seneng banget sih kayak ini lho, ya ampun
dia teman yang sesungguhnya buat aku. Mereka cuman angguk-
angguk doang tapi aku butuh itu ternyata” Penyintas lain kecuali Nia
– karena Nia bahkan belum mengakui pengalamannya secara internal, Nia belum menyadari bahwa ia mengalami
kekerasan seksual – juga menyatakan kebutuhan mereka untuk pengakuan
pengalaman lewat dukungan sosial. Dukungan sosial memberi perasaan diterima dan dihormati sebagai individu sehingga membantu pemulihan
terutama dalam pengalaman yang “be
rat
” Myers, 2010, h 550, Turner, 1981.
Nilai yang terdapat dalam narasi komunitas dapat mendukung narasi baru yang sedang dibentuk oleh penyintas. Setiap orang
membutuhkan narasi komunitas untuk mendukung kisah personalnya, terutama ia yang sedang menyusun kisahnya yang baru saja diubah.
Karena sulit untuk menjaga perubahan narasi tanpa dukungan kolektif yang disediakan oleh narasi komunitas disekitar individu Rappaport,
1995. Narasi Teta menunjukkannya, ia melakukan perubahan narasi bersama dengan komunitas barunya.
Dalam narasi dominan
F. Identitas Narasi yang Membantu dan Tidak Membantu Pemulihan