Tingkat 1 ke tingkat 2 TEMA NARASI IDENTITAS

Draucker 2003 juga ditemukan dalam penelitian ini, tetapi ternyata tidak seluruhnya begitu saja membantu pemulihan. Maka, peneliti menyusun tema dan plot kisah-kisah diatas yang berakibat positif dan tidak berakibat positif pada keberdayaan dan pemulihan mereka beserta hal yang membantu kisah personal tersebut yaitu narasi komunitas. Jadi, pada bagian pertama akan dibahas tema identitas dalam narasi per tingkat keberdayaan kemudian akan dipaparkan mengenai narasi komunitas.

1. TEMA NARASI IDENTITAS

Berikut adalah tema narasi identitas yang membantu dan tidak membantu pemulihan pada setiap tingkat keberdayaan:

a. Tingkat 1 ke tingkat 2

Pengetahuan dan kesadaran dibutuhkan penyintas untuk berpindah dari tingkat 1 keberdayaan ke tingkat 2. Pengetahuan mengenai kekerasan yang telah terjadi pada dirinya serta pengakuan internal bahwa telah terjadi kekerasan tersebut terhadap dirinya oleh pelaku. Tanpa pengetahuan tidak mungkin ada kesadaran atau pengakuan. Penyintas perlu tahu bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah kekerasan seksual dan bahwa kekerasan tersebut adalah sesuatu yang abnormal dan salah. Artinya penyintas menyadari dan mengakui sifat dari pengalaman kekerasan tersebut dan mengakuinya secara internal. Nia tidak pernah tahu atau sadar bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual dari pacarnya Kalong ketika Nia “disandera” di rumah pelaku dan dipaksa berhubungan seksual. Menurut Nia tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Karena kekurangsadaran ini maka Nia tidak berdaya mengubah keadaan. Seseorang tidak mungkin mengubah keadaan tanpa adanya kesadaran bahwa ada sesuatu yang perlu diubah. Hal ini juga yang menyebabkan plot narasinya menjadi regresif. Nia hanya bisa menerima keadaan demi keadaan dan masalah demi masalah yang terus menderanya tanpa ada daya untuk mengubahnya. Agar mampu berpindah dari narasi regresif menjadi stabil Nia harus dapat setidaknya “mengapung” dalam masalahnya bukannya semakin tenggelam. Plot narasi Coral stabil karena Coral mampu mengalihkan perhatiannya dari masalah dengan prestasi sehingga Coral tidak terus terbelenggu dalam masalah seperti Nia. Ketika penyintas merasa bahwa ia tidak dapat mengubah keadaan, bahwa keadaan sekarang sudah cukup baginya, tanpa ada keinginan atau kemampuan untuk membuatnya lebih baik, penyintas akan merasa semakin tidak berdaya. Hal tersebut akan semakin tidak membantu pemulihan jika keadaan yang “cukup” tersebut terjadi karena ketidaksengajaan dan bukan karena penyintas melakukan sesuatu yaitu tanpa penyintas sebagai agen perubahan nasibnya sendiri. Seperti Nia, yang hanya bisa menerima keadaan tanpa ada perasaan bahwa ia mampu merubah keadaan. “yang penting aku ikut suami. Suami juga menafkahi aku. Aku yang penting gak ikut sama orang tua...yang penting sekarang Aron udah tau kalo bapake itu di Ngawi...Tapi kalo memang bapake itu disana nggak ngakui juga nggak papa yang penting dia tau itu bapake...yang penting Aron sekarang udah tau kalo bener-bener itu aku tu ibuke bukan mbahe. Bukan mbakyune, dulu kan bilangnya mbak” Semua keadaan “yang penting” diatas terjadi bukan karena Nia melakukan sesuatu tapi karena “tidak sengaja” sesuatu terjadi dan itu sesuai dengan kondisi “cukup” bagi Nia. Tanpa kesadaran Nia akan selalu tidak berdaya dan tidak tertarik untuk membuat perubahan atas hidup dan relasi- relasinya. Coral yang mengetahui dan menyadari bahwa telah terjadi kekerasan seksual atas hidupnya terbantu dengan kesadarannya ini untuk mengetahui bahwa ada yang salah dengan kejadian tersebut. Meskipun Coral tidak melakukan sesuatu atas hal tersebut tetapi setidaknya Coral tahu bahwa sesuatu perlu berubah. Ketika perubahan terjadi secara tidak sengaja bagi Coral – pelaku pergi dari rumahnya – Coral sudah merasa perubahan tersebut cukup baginya dan Coral menginginkan perubahan tersebut meski bukan ia yang mengusahakan perubahannya. Oleh karena hal tersebut Coral lebih berdaya dari Nia karena Nia bahkan tidak menginginkan perubahan apapun, Nia hanya menerima perubahan. Meskipun demikian baik Nia, Coral, maupun Misa masih mempunyai ciri yang biasanya dimiliki oleh penyintas di tingkat pertama keberdayaan, yaitu penyangkalan pengalaman, meskipun pada derajat yang berbeda. Menjadi lebih berdaya tidak berarti bahwa seluruh ciri di tingkat sebelumnya hilang sama sekali. Ciri tersebut akan berangsur- angsur menghilang dengan menguatnya keberdayaan. Penyangkalan, mati rasa – beberapa pengalaman traumatis tidak dapat dirangkai dalam narasi identitas karena narator dan mungkin pendengar tidak memiliki asumsi, nilai, konstruk kognitif, dan kategori yang dibutuhkan untuk membuat kisah tersebut jadi masuk akal McAdams, 2008. McAdams 2008 menyatakan ada dua cara memproses pengalaman yang tidak menyenangkan. Pertama dengan mengurangi atau menghilangkan pengalaman tersebut. Cara kedua adalah dengan memberinya makna. Nia, Coral, dan Misa memilih secara sadar atau tidak sadar dengan mengerdilkan pengalamannya. Nia dengan ”tapi aku ra papa ” tapi aku baik-baik saja, Coral dengan “lebih banyak senengnya sih ”, dan Misa “aku mati rasa, nggak punya motivasi atau keinginan”. Individu yang tidak mampu mengungkapkan emosi, baik positif ataupun negatif lebih tidak mampu memproses ingatannya akan trauma daripada mereka yang bisa Jaeger, 2014. Individu yang terlibat sepenuhnya dengan proses narasi pengalaman sulitnya, pengertian dan hidupnya akan bertransformasi menjadi lebih dewasa, berdaya tahan, dan puas dengan hidupnya Pals, 2006. Jadi, mereka yang menyangkal pengalamannya tidak akan terbantu mengatasi pengalaman negatifnya untuk lebih puas dengan hidupnya. b. Tingkat 2 ke tingkat 3 “Aku tahu bahwa ada yang bisa kulakukan” adalah narasi kunci untuk berpindah dari tingkat 2 ke tingkat 3. Karena memiliki narasi tersebut penyintas dapat melihat kemungkinan yang sebelumnya tak terlihat dan membuat rencana. Coral mengatakan dia tidak akan melak ukan sesuatu bila diberi kesempatan “berbuat sesuatu”, apapun itu. Tidak berada dekat dengan pelaku sudah cukup bagi dia. Coral merasa tidak mampu melakukan sesuatu. Individu memproduksi narasi pengalaman yang memperlihatkan peran mereka atau ketiadaan peran mereka dalam membentuk pengalaman-pengalaman tersebut Murray, 2008. Narasi memperlihatkan ketidakberdayaan atau keberdayaan mereka. Murray 2008 menyatakan ketika individu tidak dapat ambil bagian dalam menentukan hidupnya, individu tersebut menderita. Pengetahuan dan kesadaran bahwa ada yang salah dalam kondisi tersebut membantunya lebih berdaya. Akan tetapi ketika Coral berhenti disana dan tidak ingin mengubah keadaan, Coral tidak akan lebih berdaya daripada “sekedar tahu” dan sekedar mampu menamai kejadian yang terjadi padanya. Apalagi ketika Coral merasa bahwa berpikir bahwa keadaan yang salah terssebut adalah kesalahannya, tanggung jawabnya. Menyalahkan diri sendiri untuk kesalahan orang lain bukan hanya tidak membantu pemulihan, melainkan justru menghalangi pemulihan. Karena ketika individu merasa bersalah tetapi tidak mampu melihat cara mengontrol peristiwa negatif tersebut dan tidak bisa bertanggung jawab atasnya maka rasa bersalah ini justru akan semakin membuatnya tidak berdaya dan pasif. Ketika Coral menyalahkan diri sendiri atas kekerasan yang dilakukan pelaku, ia sedang melucuti kebenaran dari dirinya. Kebenaran bahwa dirinya tidak bersalah atas kejahatan pelaku. Kebenaran bahwa dirinya tidak meminta kejahatan tersebut terjadi pada dirinya. Saat Coral mengatakan ia yang bersalah atas kejahatan pelaku, Coral sedang menyatakan bahwa ia bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak dapat ia kendalikan dan hal ini akan membuatnya semakin merasa tidak berdaya. Tuval-Masiach, et. al. 2004 menyatakan salah satu faktor yang krusial untuk mencipta coping yang efektif lewat narasi adalah evaluasi diri yakni efikasi, derajat kontrol, merasa bertanggung jawab, aktif atau pasif. Semakin sebuah narasi mendukung efikasi dirinya, meningkatkan kontrolnya atas pengalaman dan tanggung jawab, dan membuatnya secara aktif terlibat sebagai agen dalam pengalamannya tersebut dan sesudahnya, semakin efektif copingnya. Jadi, menyalahkan diri sendiri secara tidak tepat atas perbuatan orang lain akan menghalangi individu mengatasi pegalaman tersebut. Pengambilan kendali atas hidup akan mempercepat pengembalian rasa berdaya atas hidup Tuval-Masiach, et. al., 2004, tetapi tidak banyak berarti selama belum ada perubahan diskursus dalam narasi. Karena citra- dirinya tetap tidak lebih baik dan kendali yang dimilikinya bukan atas peristiwa yang yang tidak menyenangkan tersebut Tuval-Masiach, et. al., 2004. Seperti terlihat pada Coral “Tapi maksudnya ya aku jadi ngerasa bersalah sendiri gitu lho.” Rasa bersalahnya tidak membawa dampak positif bagi dirinya. Ketika Coral bukan hanya menganggap bahwa kejadian tersebut adalah kesalahannya tetapi juga sekaligus menganggap bahwa pengalaman tersebut tabu, Coral tidak bisa menjadi lebih berdaya. Tabunya pengalaman yang sebenarnya tidak diinginkannya membuat Coral tidak berdaya. Perbuatan pelaku tersebut juga dianggap merupakan tanggung jawab korban. Korban semakin tidak berdaya karena tidak mampu berbuat sesuatu atas akibat dan penyebab kejahatan orang lain tersebut. Seperti Coral yang malu pada pengalaman yang tidak bisa ia kendalikan “aku malu itu lho cerita sama temen aku itu lho. Kayaknya hal kayak gitu tu tabu banget, ya orang tu pasti ngeliatnya ya „ih dia tu korban kayak gituan‟” Misa mengatakan bahwa ia ingin mengubah situasinya, secara internal maupun eksternal. Meskipun Misa belum melaksanakannya, setidaknya Misa mampu melihat bahwa ada yang perlu berubah dan ada yang mungkin bisa dilakukan terhadap situasi tersebut. Stabilitas plot Coral berpijak pada kemampuannya untuk mencari keberhargaan di tempat lain meskipun di sisi lain yaitu dalam identitas gendernya – identitas yang sangat penting bagi manusia – Coral tetap merasa tidak berharga. Stabilitas Coral sangat rapuh, karena bila Coral tak lagi mampu berprestasi hancurlah dirinya. Plot narasi Coral dapat dengan mudah tergelincir menjadi regresif. Berbeda dengan Misa, stabilitas plot Misa sedikit lebih kokoh. Misa mengerti bahwa ada yang salah dalam relasinya yang didalamnya terdapat kekerasan dan bahwa ia mempunyai pilihan untuk mengubah keadaan, juga dalam identitas gendernya. Meskipun Misa merasa tidak baik sebagai perempuan karena tidak perawan, tetapi ia juga sadar secara kognitif bahwa berharga atau tidaknya perempuan bukan hanya bergantung pada yang fisik dan pasif tersebut. “buat saya ya yang penting itu di niatannya itu di hatinya, dia punya niat jahat ato nggak gitu lho. Hatinya baik ato nggak gitu lho. ... Na itu yang saya pelajari, jangan nilai orang dari apa yang kita lihat gitu lho, orang yang kelihatannya jahat belum tentu jahat. Orang yang kelihatannya baik pun orang yang kayak mbak-mbak berjilbab pun mereka belum tentu baik. Jadinya cover itu nggak penting buat saya.”

c. Tingkat 3 ke tingkat 4