Dalam narasi dominan
D. JALAN MENUJU PEMULIHAN
Pola tema narasi identitas penyintas pada setiap tingkat keberdayaan dalah sebagai berikut: 1.
Nia, tingkat pertama
Gambar 1. Bagan narasi identitas Nia, penyintas tingkat keberdayaan pertama
Kekerasan Seksual
Tidak sadar akan kekerasan
yang dialami Tidak diakui secara internal
penyangkalan pengalaman dan diri
Melanjutkan relasi
kekerasan Reinforcing
narasi dominan
Tidak diakui secara eksternal tekanan untuk tidak
mengungkap pengalaman
Dalam narasi dominan
2. Coral, tingkat kedua
Gambar 2. Bagan narasi identitas Coral, penyintas tingkat keberdayaan kedua
Kekerasan Seksual
Sadar akan kekerasan
yang dialami Tidak diakui secara internal
penyangkalan pengalaman
Melanjutkan relasi
kekerasan Reinforcing
narasi dominan
Tidak diakui secara eksternal tekanan untuk tidak
mengungkap pengalaman
Dalam narasi dominan
3. Misa, tingkat ketiga
Gambar 3. Bagan narasi identitas Misa, penyintas tingkat keberdayaan ketiga
Kekerasan Seksual
Sadar akan kekerasan
yang dialami
Diakui secara internal Melanjutkan
relasi kekerasan
Reinforcing narasi
dominan
Tidak diakui secara eksternal tekanan untuk tidak
mengungkap pengalaman
Dalam narasi dominan
4. Tan, tingkat keempat
Gambar 4. Bagan narasi identitas Tan, penyintas tingkat keberdayaan keempat
Kekerasan Seksual
Sadar akan kekerasan
yang dialami
Pengakuan internal Melanjutkan
relasi kekerasan
Reinforcing narasi
dominan Pengakuan eksternal
dukungan sosial
5. Teta, tingkat kelima
Gambar 5. Bagan narasi identitas Teta, penyintas tingkat keberdayaan kelima
Sadar akan kekerasan
yang dialami Pengakuan internal
Memutus relasi
kekerasan Narasi
dominan Penjelasan
alternatif lewat
counter narrative
Pengakuan eksternal dukungan sosial
Dibantu dengan
narasi komunitas
E. PEMBAHASAN
“Pada prinsipnya sih bisa melakukan sesuatu yang bermakna, membahagiakan orang lain, karena dengan itu
otomatis ada perasaan puas. Itu sangat membantu saya, sangat membantu untuk terus mengobati luka.
” Teta “Gimana caranya sekarang aku biar jadi pribadi
yang berguna aja Coral
Aku yo pingin hidupku bahagia karo orang lain ”
Tan Menjadi bermakna, berharga dan bahagia adalah pemulihan di mata
para penyintas kekerasan seksual yang merupakan partisipan dari penelitian ini. Hasil ini sejalan hasil penelitian yang lain. Misalnya dalam penelitian
yang dilakukan oleh Anderson dan Hiersteiner 2008, pulih bagi penyintas artinya perubahan dari kisah hidup yang penuh dengan masalah menjadi kisah
yang berdasar pada kekuatan dan mampu membuat perubahan yang fundamental atas hidup mereka Draucker, 2003. Seperti yang diungkapkan
Misa. Misa tidak ingin terus melakukan kesalahan yang sama dan hidup terus dalam masalah. Hal ini berarti penyintas harus menemukan kekuatan mereka
dan percaya mereka mampu membuat perubahan yang lebih baik. Mampu belajar dari pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut juga menjadi
cirinya. Beberapa kisah lebih baik dari kisah yang lain secara psikologis,
berdasar nilai dan norma, serta secara moral McAdams, 2008. Data akan dikategorikan dalam tingkat yang sama dengan Rifka Annisa karena ternyata
stratifikasi sesuai meskipun akan ada beberapa kritik atas tingkat keberdayaan tersebut. Tema-tema yang khas penyintas seperti yang ditemukan oleh
Draucker 2003 juga ditemukan dalam penelitian ini, tetapi ternyata tidak seluruhnya begitu saja membantu pemulihan. Maka, peneliti menyusun tema
dan plot kisah-kisah diatas yang berakibat positif dan tidak berakibat positif pada keberdayaan dan pemulihan mereka beserta hal yang membantu kisah
personal tersebut yaitu narasi komunitas. Jadi, pada bagian pertama akan dibahas tema identitas dalam narasi per tingkat keberdayaan kemudian akan
dipaparkan mengenai narasi komunitas.
1. TEMA NARASI IDENTITAS
Berikut adalah tema narasi identitas yang membantu dan tidak membantu pemulihan pada setiap tingkat keberdayaan:
a. Tingkat 1 ke tingkat 2
Pengetahuan dan kesadaran dibutuhkan penyintas untuk berpindah dari tingkat 1 keberdayaan ke tingkat 2. Pengetahuan mengenai kekerasan
yang telah terjadi pada dirinya serta pengakuan internal bahwa telah terjadi kekerasan tersebut terhadap dirinya oleh pelaku. Tanpa pengetahuan tidak
mungkin ada kesadaran atau pengakuan. Penyintas perlu tahu bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah kekerasan seksual dan bahwa kekerasan
tersebut adalah sesuatu yang abnormal dan salah. Artinya penyintas menyadari dan mengakui sifat dari pengalaman kekerasan tersebut dan
mengakuinya secara internal. Nia tidak pernah tahu atau sadar bahwa dirinya mengalami
kekerasan seksual dari pacarnya Kalong ketika Nia “disandera” di rumah pelaku dan dipaksa berhubungan seksual. Menurut Nia tidak ada yang
salah dengan hal tersebut. Karena kekurangsadaran ini maka Nia tidak berdaya mengubah keadaan. Seseorang tidak mungkin mengubah keadaan
tanpa adanya kesadaran bahwa ada sesuatu yang perlu diubah. Hal ini juga yang menyebabkan plot narasinya menjadi regresif.
Nia hanya bisa menerima keadaan demi keadaan dan masalah demi masalah yang terus menderanya tanpa ada daya untuk mengubahnya. Agar
mampu berpindah dari narasi regresif menjadi stabil Nia harus dapat setidaknya “mengapung” dalam masalahnya bukannya semakin
tenggelam. Plot narasi Coral stabil karena Coral mampu mengalihkan perhatiannya dari masalah dengan prestasi sehingga Coral tidak terus
terbelenggu dalam masalah seperti Nia. Ketika penyintas merasa bahwa ia tidak dapat mengubah keadaan,
bahwa keadaan sekarang sudah cukup baginya, tanpa ada keinginan atau kemampuan untuk membuatnya lebih baik, penyintas akan merasa
semakin tidak berdaya. Hal tersebut akan semakin tidak membantu pemulihan jika keadaan yang “cukup” tersebut terjadi karena
ketidaksengajaan dan bukan karena penyintas melakukan sesuatu yaitu tanpa penyintas sebagai agen perubahan nasibnya sendiri. Seperti Nia,
yang hanya bisa menerima keadaan tanpa ada perasaan bahwa ia mampu merubah keadaan.
“yang penting aku ikut suami. Suami juga menafkahi aku. Aku yang penting gak ikut sama orang tua...yang penting
sekarang Aron udah tau kalo bapake itu di Ngawi...Tapi kalo memang bapake itu disana nggak ngakui juga nggak
papa yang penting dia tau itu bapake...yang penting Aron
sekarang udah tau kalo bener-bener itu aku tu ibuke bukan mbahe. Bukan mbakyune, dulu kan bilangnya mbak”
Semua keadaan “yang penting” diatas terjadi bukan karena Nia melakukan
sesuatu tapi karena “tidak sengaja” sesuatu terjadi dan itu sesuai dengan kondisi “cukup” bagi Nia. Tanpa kesadaran Nia akan selalu tidak berdaya
dan tidak tertarik untuk membuat perubahan atas hidup dan relasi- relasinya.
Coral yang mengetahui dan menyadari bahwa telah terjadi kekerasan seksual atas hidupnya terbantu dengan kesadarannya ini untuk
mengetahui bahwa ada yang salah dengan kejadian tersebut. Meskipun Coral tidak melakukan sesuatu atas hal tersebut tetapi setidaknya Coral
tahu bahwa sesuatu perlu berubah. Ketika perubahan terjadi secara tidak sengaja bagi Coral
– pelaku pergi dari rumahnya – Coral sudah merasa perubahan tersebut cukup baginya dan Coral menginginkan perubahan
tersebut meski bukan ia yang mengusahakan perubahannya. Oleh karena hal tersebut Coral lebih berdaya dari Nia karena Nia bahkan tidak
menginginkan perubahan apapun, Nia hanya menerima perubahan. Meskipun demikian baik Nia, Coral, maupun Misa masih
mempunyai ciri yang biasanya dimiliki oleh penyintas di tingkat pertama keberdayaan, yaitu penyangkalan pengalaman, meskipun pada derajat
yang berbeda. Menjadi lebih berdaya tidak berarti bahwa seluruh ciri di tingkat sebelumnya hilang sama sekali. Ciri tersebut akan berangsur-
angsur menghilang dengan menguatnya keberdayaan.
Penyangkalan, mati rasa
– beberapa pengalaman traumatis tidak dapat dirangkai dalam narasi identitas karena narator dan mungkin
pendengar tidak memiliki asumsi, nilai, konstruk kognitif, dan kategori yang dibutuhkan untuk membuat kisah tersebut jadi masuk akal
McAdams, 2008. McAdams 2008 menyatakan ada dua cara memproses
pengalaman yang tidak menyenangkan. Pertama dengan mengurangi atau menghilangkan pengalaman tersebut. Cara kedua adalah dengan
memberinya makna. Nia, Coral, dan Misa memilih secara sadar atau tidak sadar dengan mengerdilkan pengalamannya. Nia dengan ”tapi aku ra
papa ” tapi aku baik-baik saja, Coral dengan “lebih banyak senengnya
sih ”, dan Misa “aku mati rasa, nggak punya motivasi atau keinginan”.
Individu yang tidak mampu mengungkapkan emosi, baik positif ataupun negatif lebih tidak mampu memproses ingatannya akan trauma daripada
mereka yang bisa Jaeger, 2014. Individu yang terlibat sepenuhnya dengan proses narasi
pengalaman sulitnya, pengertian dan hidupnya akan bertransformasi menjadi lebih dewasa, berdaya tahan, dan puas dengan hidupnya Pals,
2006. Jadi, mereka yang menyangkal pengalamannya tidak akan terbantu
mengatasi pengalaman negatifnya untuk lebih puas dengan hidupnya. b.
Tingkat 2 ke tingkat 3
“Aku tahu bahwa ada yang bisa kulakukan” adalah narasi kunci untuk berpindah dari tingkat 2 ke tingkat 3. Karena memiliki narasi
tersebut penyintas dapat melihat kemungkinan yang sebelumnya tak terlihat dan membuat rencana. Coral mengatakan dia tidak akan
melak ukan sesuatu bila diberi kesempatan “berbuat sesuatu”, apapun itu.
Tidak berada dekat dengan pelaku sudah cukup bagi dia. Coral merasa tidak mampu melakukan sesuatu. Individu memproduksi narasi
pengalaman yang memperlihatkan peran mereka atau ketiadaan peran mereka dalam membentuk pengalaman-pengalaman tersebut Murray,
2008. Narasi memperlihatkan ketidakberdayaan atau keberdayaan mereka. Murray 2008 menyatakan ketika individu tidak dapat ambil
bagian dalam menentukan hidupnya, individu tersebut menderita. Pengetahuan dan kesadaran bahwa ada yang salah dalam kondisi
tersebut membantunya lebih berdaya. Akan tetapi ketika Coral berhenti disana dan tidak ingin mengubah keadaan, Coral tidak akan lebih berdaya
daripada “sekedar tahu” dan sekedar mampu menamai kejadian yang terjadi padanya. Apalagi ketika Coral merasa bahwa berpikir bahwa
keadaan yang salah terssebut adalah kesalahannya, tanggung jawabnya.
Menyalahkan diri sendiri untuk kesalahan orang lain bukan
hanya tidak membantu pemulihan, melainkan justru menghalangi pemulihan. Karena ketika individu merasa bersalah tetapi tidak mampu
melihat cara mengontrol peristiwa negatif tersebut dan tidak bisa bertanggung jawab atasnya maka rasa bersalah ini justru akan semakin
membuatnya tidak berdaya dan pasif.
Ketika Coral menyalahkan diri sendiri atas kekerasan yang dilakukan pelaku, ia sedang melucuti kebenaran dari dirinya. Kebenaran
bahwa dirinya tidak bersalah atas kejahatan pelaku. Kebenaran bahwa dirinya tidak meminta kejahatan tersebut terjadi pada dirinya. Saat Coral
mengatakan ia yang bersalah atas kejahatan pelaku, Coral sedang menyatakan bahwa ia bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak dapat ia
kendalikan dan hal ini akan membuatnya semakin merasa tidak berdaya. Tuval-Masiach, et. al. 2004 menyatakan salah satu faktor yang
krusial untuk mencipta coping yang efektif lewat narasi adalah evaluasi diri yakni efikasi, derajat kontrol, merasa bertanggung jawab, aktif atau
pasif. Semakin sebuah narasi mendukung efikasi dirinya, meningkatkan kontrolnya atas pengalaman dan tanggung jawab, dan membuatnya secara
aktif terlibat sebagai agen dalam pengalamannya tersebut dan sesudahnya, semakin efektif copingnya. Jadi, menyalahkan diri sendiri secara tidak
tepat atas perbuatan orang lain akan menghalangi individu mengatasi pegalaman tersebut.
Pengambilan kendali atas hidup akan mempercepat pengembalian rasa berdaya atas hidup Tuval-Masiach, et. al., 2004, tetapi tidak banyak
berarti selama belum ada perubahan diskursus dalam narasi. Karena citra- dirinya tetap tidak lebih baik dan kendali yang dimilikinya bukan atas
peristiwa yang yang tidak menyenangkan tersebut Tuval-Masiach, et. al., 2004. Seperti terlihat pada Coral
“Tapi maksudnya ya aku jadi ngerasa
bersalah sendiri gitu lho.” Rasa bersalahnya tidak membawa dampak positif bagi dirinya.
Ketika Coral bukan hanya menganggap bahwa kejadian tersebut adalah kesalahannya tetapi juga sekaligus menganggap bahwa pengalaman
tersebut tabu, Coral tidak bisa menjadi lebih berdaya. Tabunya pengalaman yang sebenarnya tidak diinginkannya membuat Coral tidak
berdaya. Perbuatan pelaku tersebut juga dianggap merupakan tanggung jawab korban. Korban semakin tidak berdaya karena tidak mampu berbuat
sesuatu atas akibat dan penyebab kejahatan orang lain tersebut. Seperti Coral yang malu pada pengalaman yang tidak bisa ia kendalikan
“aku malu itu lho cerita sama temen aku itu lho. Kayaknya hal kayak gitu tu tabu banget, ya orang tu pasti
ngeliatnya ya „ih dia tu korban kayak gituan‟” Misa mengatakan bahwa ia ingin mengubah situasinya, secara
internal maupun eksternal. Meskipun Misa belum melaksanakannya, setidaknya Misa mampu melihat bahwa ada yang perlu berubah dan ada
yang mungkin bisa dilakukan terhadap situasi tersebut. Stabilitas plot Coral berpijak pada kemampuannya untuk mencari
keberhargaan di tempat lain meskipun di sisi lain yaitu dalam identitas gendernya
– identitas yang sangat penting bagi manusia – Coral tetap merasa tidak berharga. Stabilitas Coral sangat rapuh, karena bila Coral tak
lagi mampu berprestasi hancurlah dirinya. Plot narasi Coral dapat dengan mudah tergelincir menjadi regresif. Berbeda dengan Misa, stabilitas plot
Misa sedikit lebih kokoh. Misa mengerti bahwa ada yang salah dalam
relasinya yang didalamnya terdapat kekerasan dan bahwa ia mempunyai pilihan untuk mengubah keadaan, juga dalam identitas gendernya.
Meskipun Misa merasa tidak baik sebagai perempuan karena tidak perawan, tetapi ia juga sadar secara kognitif bahwa berharga atau
tidaknya perempuan bukan hanya bergantung pada yang fisik dan pasif tersebut.
“buat saya ya yang penting itu di niatannya itu di
hatinya, dia punya niat jahat ato nggak gitu lho. Hatinya baik ato nggak gitu lho. ... Na itu yang saya pelajari,
jangan nilai orang dari apa yang kita lihat gitu lho, orang yang kelihatannya jahat belum tentu jahat. Orang yang
kelihatannya baik pun orang yang kayak mbak-mbak berjilbab pun mereka belum tentu baik. Jadinya cover itu
nggak penting buat saya.”
c. Tingkat 3 ke tingkat 4
Mampu mengeksekusi rencana dan perubahan yang diinginkan adalah kunci tingkat keberdayaan selanjutnya. Keinginan untuk berubah
saja belum cukup, harus ada tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan perubahan tersebut. Melaksanakan rencana sering tetapi tidak selalu
membutuhkan pengakuan eksternal dan dukungan sosial. Misa menyangkal kebutuhannya untuk didukung dan diakui
pengalamannya oleh orang lain dengan cara tidak membagikannya kepada
orang lain dan lari dari situasi yang tidak mengenakkan.
“Pada saat itu kan ibu saya ngidupin keluarga sendiri kan, jadinya eee... saya merasa nggak ada
tempat untuk, nggak ada tempat untuk, nggak nggak nggak nyaman gitu lho. Di rumah nggak nyaman, saya
di rumah nggak nyaman, mau keluar rumah juga mama marah-marah. Kamu tu anak perempuan nggak
boleh keluar malem-malem, bla bla bla. Padahal saya di rumah udah kaya neraka. Ibu saya tu selalu bilang
yang “Mama tu dah banyak masalah kamu nggak boleh nambahin masalahnya Mama”. Itu mungkin
mengapa saya sampai sekarang kalo ada apa-apa cenderung dipendem gitu lho, gak cerita sama orang-
orang.
Misa merasa mempunyai saudara yang mempunyai banyak masalah. Kakaknya yang terlibat dan mempunyai masalah dengan narkoba
sehingga berkali-kali direhabilitasi, tetapi tidak juga menyelesaikan masalahnya. Adiknya yang tidak mampu mandiri. Ibunya yang ditinggal
selingkuh oleh suami dan merasa bahwa dirinya mempunyai masalah lebih dari yang mampu ia pecahkan. Semua hal tersebut membuat Misa
menyangkal kebutuhannya untuk juga menerima dukungan dari keluarga sekaligus memaksanya “bersahabat” dengan semua keadaan yang “tidak
mengenakkan ”.
“Jadinya saya merasa perhatian mama itu sudah cukup, sudah cukup kesita gitu lho, buat kakak, buat adik.
Jadi saya ya semakin mendem gitu lho. Sampe SD SMP SMA itu saya masih bisa me... me... istilahnya me...
menyimpan apa ya maksude, menerima, eee bukan menerima sih, bersahabat dengan semua itu, gitu lho.
Semua keadaan yang tidak mengenakkan itu.
” Ketika Misa merasa tidak mampu membuat perubahan atas diri
seperti yang diinginkannya tetapi juga tidak dapat mengakses bantuan dari lingkungan maka keberdayaannya tidak terbantu pun pemulihannya. Misa
lebih memilih bersahabat dengan ketidakenakan daripada mengeksekusi perubahan yang diinginkannya.
Tan sangat terbantu dengan dukungan sosial yang ia terima sehingga Tan dapat mewujudkan perubahan yang ia inginkan. Tan juga
terbantu dengan narasinya yang mengatakan bahwa dirinya layak mendapatkan kebahagiaan dan bahwa ia mampu mewujudkan kebahagiaan
tersebut, dengan bantuan orang disekitarnya. Tan tidak berhenti ketika keadaan tidak membahagiakan untuknya.
Stabilitas narasi Tan lebih kokoh dari Misa. Misa hanya tahu bahwa ada yang bisa dilakukan tetapi tidak melakukannya. Selain tahu dan
sadar akan kekerasan seksual dan haknya untuk dihargai sebagai perempuan, Tan juga merasa dapat mengandalkan dukungan sosial dari
lingkungannya. Tan juga tahu bahwa dirinya dapat berusaha mengubah keadaan. Meskipun hanya keadaan tertentu saja bukan hidupnya secara
keseluruhan.
d. Tingkat 4 ke tingkat 5
Terdapat dua kunci untuk berpindah ke tingkat 5 keberdayaan. Kedua hal tersebut adalah mampu memutus relasi kekerasan dan
menghasilkan counter atas narasi dominan yang menindas dan memandang penyintas tidak berharga.
d.1. Meninggalkan relasi yang melanggengkan kekerasan
Ketidakberdayaan tidak berhenti begitu saja ketika korban keluar dari relasi yang abusive atau keluar dari bahaya. Akan tetapi
ketidakberdayaan tersebut harus dihentikan secara sengaja oleh penyintas bila perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender
ingin benar-benar pulih dan meminimalisir kemungkinan dikorbankan ulang reviktimisasi. Narasi ketidakberdayaan yang diperlihatkan oleh
Tan memperlihatkannya “dia nggak terima kalau karirnya itu selalu
diganggu saya.” Meskipun ia tidak lagi berada dalam relasi dengan pelaku
pertama tetapi dalam relasi dengan laki-laki lain ia terus mengalami kekerasan dan terus menerimanya sebagai bagian yang wajar dari
sebuah relasi. Bahkan Tan terus mengalami kekerasan juga dari pelaku pertama meskipun tidak lagi dalam relasi dengan pelaku pertama dan
sedang dalam relasi dengan orang lain. Keberdayaan Tan yang berasal lebih dari dukungan sosial
daripada dari agensinya – yang membantunya melaksanakan dan
mengejar keinginannya dan meletakkannya di tingkat keempat – bila
tanpa internalisasi keberdayaan tidak bisa melepaskannya dari kemungkinan reviktimisasi. Hal ini merupakan kelemahan tingkat
keberdayaan berdasar pada perilaku saja dan bukan pada tingkat kesadaran.
Penyintas harus memutus relasi kekerasan bila ingin pulih. Memutus rantai kekerasan bukan hanya tentang menghentikan
kekerasan, tetapi lebih dari itu, yaitu menghentikan kekuasaan yang dimiliki pelaku atas dirinya yang menimbulkan kekerasan tersebut.
Karena perasaan berada dalam situasi yang penuh kekerasan tidak berhenti hanya karena kekerasannya berhenti Lorentzen, Nilsen,
Traeen, 2008. Penyintas harus keluar dari situasi tersebut untuk pulih. Penyintas harus memutuskan ikatan emosi dengan pelaku yang
membelenggunya. Teta mengungkapkannya sebagai jalannnya untuk mulai pulih.
“Saya bertanya-tanya, akhirnya saya tau kalo gitu
yang sakit saya sendiri, yang capek saya sendiri. Lebih baik ditutup. Saya ingin menutup semua. Ndak usah
menguras energi banyak untuk dia. Dari situ saya udah mulai menapak. Wis fokus ke saya, fokus ke anak. Jadi itu,
itu yang membuat saya waktu itu mencari diri saya.”
Hal yang sebaliknya ditunjukkan oleh Tan. Ketidakmampuan Tan untuk memutus ikatan emosi dengan pelaku menunjukkan bahwa
ketidakmampuan tersebut menyebabkan Tan rentan terus mengalami reviktimisasi oleh pelaku yang sama. Hal tersebut karena Tan tidak
dapat melihat resiko kekerasan yang mungkin bisa terjadi lagi. Keinginannya untuk terus terlibat dengan pelaku membuatnya tidak
mampu melanjutkan hidup dan mencari kebahagiaan yang diinginkannya.
Temuan ini setara dengan temuan Bargai, et. al. 2007 pada perempuan yang mengalami kekerasan fisik bahwa ketidakberdayaan
membuat perempuan enggan meninggalkan relasi yang penuh kekerasan. Tetap tidak berdaya tidak membantu pemulihan, jadi bila
ingin pulih penyintas harus meninggalkan relasi tersebut. Ketika penyintas mememutus relasi rantai kekerasan ini individu tersebut juga
mulai mengambil tanggung jawab yang tepat dan keputusan untuk
melanjutkan hidup. Perempuan tersebut akan mulai mencari jalan keluar dan mencari hal apa yang bisa dilakukannya untuk melanjutkan
hidup. Memutus
relasi kekerasan
membantu penyintas
untuk membebaskan diri dari harapan yang tidak realistis seperti pada Nia
dan Tan, resiko reviktimisasi seperti pada Tan, atau kemarahan seperti pada Teta. Bahkan Tan yang merasa belum lepas dari
relasinya dengan pelaku pun dan memang belum lepas karena masih mempunyai
harapan yang
tidak realistis
juga sebenarnya
menginginkan lepas dari relasi tersebut. “Aku yo pingin hidupku bahagia karo orang lain”
d.2. Counter narasi
Penyintas yang mampu membentuk dan memilih narasi yang ia inginkan akan terbantu untuk pulih. Narasi yang ia inginkan tersebut
harus membebaskannya dari ketimpangan kuasa yang menimpanya saat penyintas mengalami kekerasan seksual. Narasi tersebut adalah
counter atas narasi dominan. Perempuan perlu beranjak dari pengalaman menyalahkan diri dan mengembangkan penjelasan
alternatif selain menyalahkan diri agar mampu pulih Cohen, 2013. Counter narasi harus merupakan keputusan penyintas,
keinginan penyintas untuk mempertanyakan narasi yang tidak adil dan membentuk narasi yang lebih adil. Komunitas dapat membantu
menguatkan atau melemahkan narasi personal yang dipilih tersebut
tetapi terbentuk atau tidaknya counter narasi tergantung pada penyintas.
Nia, Misa, Tan, dan Coral menerima narasi dominan yang diajarkan oleh budaya, bahwa perempuan atau korban adalah pihak
yang bersalah atas kekerasan seksual yang terjadi padanya dan karenanya merekalah yang harus menanggung konsekuensinya.
Perbedaannya adalah Nia bahkan tidak berusaha mempertanyakan, memaknai, atau sekedar menyadari nilai-nilai tersebut. Nia bahkan
tidak sadar bahwa dirinya adalah korban. Coral menyadari bahwa apa yang terjadi atasnya adalah kekerasan seksual, meskipun tidak berbuat
sesuatu atasnya secara langsung bahkan merasa bersalah atas kekerasan yang terjadi pada dirinya, dia berusaha “menaklukkan”
„kesalahan‟ tersebut. Coral tidak menyadari bentuk ataupun sifat nilai- nilai narasi dominan tersebut. Misa mulai menyadarinya, dia
menyadari sifat “menindas” hegemoni tersebut, menyadari kekerasan yang dialaminya, tetapi tidak ingin atau tidak mau atau merasa tidak
berdaya untuk berbuat sesuatu atasnya. Teta juga menginternalisasi narasi dominan dalam dirinya.
Narasi dominan ini terlihat ketika awalnya Teta mengejar pernikahan dengan pelaku, bahwa pernikahan adalah jalan keluar masalah
kehamilannya. Teta akhirnya mempertanyakan dan menemukan counter atas narasi ini. selain itu Teta juga melakukan counter atas
narasi dominan yang lain seperti counter atas narasi tentang
perempuan yang baik. Counter narrative yang dilakukan Teta membantunya menemukan kebahagiaan yang dicarinya.
Perilaku dapat menyelamatkan seorang perempuan dari bahaya tetapi tanpa perubahan diskursus wacana dominan yang tampak
dalam narasi dan penalaran personalnya perempuan akan terus dalam bahaya dikorbankan ulang. Hal ini terlihat dalam narasi “Coral”
“Tapi maksudnya ya aku jadi ngerasa bersalah sendiri gitu lho. Ya ampun kok bisa-bisanya
aku lagi pacaran sama dia, trus aku diginiin sama orang tu lho. Trus kayak nggak menghargai cowok
banget. Jadi apapun yang terjadi didalam hubungan kita entah itu dia yang maksudnya entah dia yang
kurang ajar sama aku, entah itu Dodi yang jadi menjauh, trus aku tu jadi nyalahin diri aku sendiri.
Jadi pokoknya apapun yang Dodi lakuin ke aku tu aku jadi ngerasa bersalah.
“O iya nggak papa dia kayak gitu soalnya kan aku pernah maksudnya pernah
ngecewain dia juga itu lho, nggak menghargai dia, jadi jatuhnya kayak gitu sih”.
Karena narasi Coral yang percaya bahwa perempuanlah yang salah atas kekerasan seksual yang terjadi padanya Coral diam dan
tidak melawan bahkan merasa bersalah ketika mengalami reviktimisasi kekerasan seksual yang sejenis yang dilakukan oleh Dodi, pacarnya.
Menyalahkan diri atas kekerasan yang dialami adalah juga salah satu cara menguatkan narasi dominan yang terinternalisasi dalam diri
penyintas. Misa yang merasa bahwa dirinya tidak berharga juga tidak
mampu melawan ketika reviktimisasi mengancamnya. Reviktimisasi
oleh suaminya, bahkan ketika Misa sudah tahu sejak pacaran bahwa suaminya tersebut bukanlah seorang yang baik untuknya, Misa tetap
tidak mampu menghindarinya. “Anehnya sejak pertama saya ketemu tu saya
udah klo dia tu nggak baik untuk saya. Dan saya udah bolak-balik pingin putus tapi nggak bisa. Nggak
tau kayak nggak berdaya ato gimana gitu. Trus akhirnya nikah sama dia, walopun saya tau dia nggak
baik buat saya.”
Misa merasa “aku sudah tidak berharga, apa yang kulakukan selanjutnya toh tidak akan mengubahnya”. Artinya narasi Misa yang
menyebabkannya tidak berdaya dan mengalami reviktimisasi. Konsep dan narasi yang dipegang oleh individu mempengaruhi
jenis pengalaman yang dimilikinya dan bagaimana individu tersebut menarasikannya McLean, Pasupathi, Pals, 2007. Dengan kata lain
konsep dan narasi hidup tertentu menyebabkan individu tersebut rentan mempunyai pengalaman tertentu, reviktimisasi adalah salah satunya.
Keperawananan adalah letak keberhargaan perempuan. Misa bahkan merasa bahwa tanpa keperawanan dirinya tidak lagi berharga
“Dan mulai saat itu, gimana sih mbak, perempuan yang merasa wis ora perawan meneh njuk
jadi, saya merasa saat itu saya njuk jadi kurang menghargai diri saya sendiri.
Bukan sekedar tidak berharga, Misa bahkan menyatakan bahwa baik tidaknya perempuan menurut norma yang ia terima ada pada
keperawanan dan kemampuannya menjaga keperawanan sampai
perempuan tersebut menikah dan berhubungan seksual dengan suaminya.
“Perempuan yang baik itu ... yang perawan dong, harus hilang keperawanannya pada saat
menikah, which is saya enggak. Bukan perempuan yang baik jadinya to?
” Coral menyatakan juga jika perempuan tersebut tidak
menghendaki hilangnya keperawanan itu atau dipaksa dan menjadi korban kekerasan seksual, tetap perempuanlah yang kemudian menjadi
“tabu”, tidak berharga, dan tidak baik. “Trus aku malu itu lho cerita sama temen aku
itu lho. Kayaknya hal kayak gitu tu tabu banget, ya orang tu pasti ngeliatnya ya
„ih dia tu korban kayak gituan
‟. Perempuan yang baik menurut aku ya gitu bukan korban kekerasan seksual.
” Keberhargaan perempuan menurut narasi dominan budaya
Indonesia ada pada keperawanan dan kemampuannya menjaganya untuk dipersembahkan pada suaminya. Ketika perempuan kehilangan
keperawanannya entah apapun alasannya kecuali pernikahan yang sah, perempuan tersebut kehilangan keberhargaannya. Tes-tes keperawanan
yang semakin marak diwacanakan oleh para pejabat, entah dalam institusi pemerintah maupun sekolah-sekolah, semakin memperkuat
pentingnya keperawanan, bukan lagi hanya dalam ranah personal tetapi bahkan secara sah dalam hal formal dan politis.
Kerangka berpikir ini yang seperti ini, yang adalah narasi dominan, bersifat hegemonic, menghalangi dan mengasingkan individu
untuk menjadi subyek atas hidupnya sendiri, serta mengurangi kemampuan mereka untuk bertindak Bamberg, 2004. Para feminis
menyebutnya sebagai the personal is political. Breakwell 2012 menyebutnya sebagai narasi archetypal atau stereotypical. Narasi
archetypal atau stereotypical dapat dibuktikan keberadaannya sepanjang dapat menyediakan kerangka interpretasi bagi narasi
individu Breakwell, 2012. Harapan peran gender, misalnya bahwa keberhargaan
perempuan ada pada keperawanannya, yang sangat sesuai dengan narasi dominan tanpa disadari apalagi dicermati tidak membantu Nia,
Coral, Misa, dan Tan. Persis karena mereka tidak melihat peran gender di luar yang sudah digariskan oleh budaya. Mereka tidak terbantu
untuk melihat bahwa ada jalan lain selain yang disetujui oleh “kebiasaan”.
Coral merasa tidak berharga – dan tidak dapat berbuat sesuatu
atas ketidakberhargaannya yang spesifik tersebut – berusaha
mengganti keberhargaannya dengan keberhargaan yang lain, prestasi. Prestasi membantunya untuk meneruskan hidupnya, tetapi tidak
melepaskannya dari ketidakberhargaan karena ia tidak menolak keberhagaan yang awal tentang perempuan dan keperawanan yang
diberikan oleh narasi dominan.
Penguatan narasi dominan dan tidak adanya counter narasi pada Nia, Coral, Misa, dan Tan melanggengkan ketidakberdayaan dan
menghambat mereka untul pulih.
Pemaknaan dikatakan oleh banyak penelitian akan membantu
individu berkembang dan meningkatkan kepuasan hidup McAdams, 2008; Pals, 2006. Akan tetapi dalam kasus perempuan penyintas
kekerasan seksual hal ini tidak selalu benar. Meskipun pemaknaan tersebut tidak lagi hanya internal
– tentang pengaruh pengalaman pada diriku
– bila tetap menguatkan narasi yang tidak adil tidak akan membantu penyintas untuk pulih. Hanya pemaknaan yang tidak
berakhir pada ketimpangan kuasa – misalnya menyalahkan diri sendiri
atas kesalahan orang lain karena perempuan selalu salah – yang
membantu pemulihan. Pemaknaan yang dilakukan oleh Tan menunjukkan bagaimana
pemaknaan yang melanggengkan ketidakberdayaan tidak membantu pemulihan. Tan yang mengatakan bahwa semua terjadi padanya karena
ia kurang dekat dengan Tuhan. Pemaknaan Tan menguatkan ketidakberdayaannya dalam mengubah keadaan.
“karena saya dulu nggak pernah deket sama yang Cipta, gitu kan bisa ya mungkin. Ya.. semua itu
kan nggak bisa ditebak, Mbak. Takdir kan, semua itu ”
McAdams 2008
mengungkapkan bahwa
pemaknaan membantu pembentukan narasi menjadi kontinyu, sehingga didapat
diri yang lebih koheren. Akan tetapi ternyata pemaknaan Tan tidak
membuatnya mampu mulai bergerak maju Tan ketika pemaknaannya adalah “semua ini karena aku kurang dekat dengan Tuhan”. Akhir
pemaknaan Tan adalah “aku” yang bersalah atas pengalaman ini.
Pemaknaan yang hanya mengenai bagaimana pengalaman mempengaruhiku juga tidak membantu pemberdayaan penyintas
meskipun membantu perasaan “menjadi lebih berharga”. Akan tetapi, bila hanya berhenti pada pemaknaan aku berubah karena pengalaman
ini tanpa ada kemampuan mengubah dunia di luar diri, pemaknaan ini justru menghentikan penyintas dari menjadi lebih berdaya. Penyintas
berubah karena pengalaman ini tetapi penyintas tidak berdaya untuk mengubah apapun. Seperti pada rasa bersalah, kendali yang penyintas
miliki bukanlah kendali yang sebenarnya. Seperti terlihat pada narasi Coral berikut
“menurut aku ini proses pendewasaan aku. Jadi aku sekarang ya nggak papa aku kayak gitu aku
jadi menurut aku aku jadi pribadi yang lebih baik itu lho, maksudnya ato yang lebih kuat dibandingin
yang lain”
Pemaknaan semacam ini adalah cara penyintas menenangkan diri sementara. Bila ingin menjadi lebih berdaya penyintas perlu
beranjak dari sekedar pengaruh pengalaman ini bagiku. Pemaknaan Coral tersebut, selain tidak membantunya melihat kemungkinan ia
membuat perubahan, juga melanggengkan ketimpangan kuasa. Pemaknaan Coral tidak mempertanyakan narasi dominan, narasi Coral
justru menguatkan narasi dominan. Meskipun Coral kuat, Coral tetap
bersalah atas kejahatan pelaku, tetap perempuan yang tidak baik, dan tetap tidak berharga.
Narasi memperlihatkan bagaimana pengetahuan yang timpang dan menimbulkan kekerasan dapat diubah menjadi pengetahuan yang
adil dan membawa pemulihan. Semuanya akan terjadi dalam autobiographical reasoning Pals, 2006. Penalaran personal tentang
bagaimana memaknai hidup dan pengalaman. Penalaran personal adalah kekuatan dan jalan menuju pemulihan. Penalaran personal ini
tampak dalam penjelasan alternatif dan pemaknaan. Teta menemukan bahwa apa yang dianggapnya sebagai solusi
sebelumnya, yang sesuai dengan narasi dominan, ternyata bukan solusi yang ideal. Teta mampu melakukan counter narasi dominan dan
menemukan bahwa dirinya menemukan kebahagiaan dalam counter narasinya tersebut. Penjelasan alternatif yang hadir sebagai counter
narrative yang memberi cara lain untuk memaknai pengalaman sekaligus membantu penyintas untuk memutus rantai kekerasan. Teta
membuktikannya dalam narasinya berikut. Perempuan yang awalnya, menurut narasi dominan, harus patuh dan pasif agar bisa dianggap baik
menjadi aktif dan berhak menentukan nasib sendiri. “Perempuan yang melakoni segala tindak
tanduk yang perempuan itu, nggak boleh ini terlalu banyak tingkah, sepeti itu, trus diajari memasak juga.
Karena ya di lingkungan saya ya nggak ada yang laki- laki. Kalo sekarang sudah berbeda jauh karena
pemikiran juga udah banyak berkembang karena ya pengaruh didikan saya. Pengalaman saya yang
membuka saya... bagaimana menjadi perempuan ya tidak harus tidak seperti yang waktu saya masih kecil...
Perempuan yang baik yang bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus ikut dan tidak mengingkari dirinya.
Ya tidak ada batas antara laki-laki dan perempuan, masalah peran kita sama dan ... suami dia bisa
menerima ... walopun laki-laki ya tetep ada egonya... perempuan dan laki-laki bisa setara
” Tema
“aku layak bahagia” adalah kebalikan dari tema “aku tidak berharga
”. Meskipun sama-sama datang dari narasi dominan, tetapi tema
“aku layak bahagia” membantu Tan untuk berusaha keluar dari hidupnya yang penuh masalah dan menimbulkan harapan baru.
Meskipun karena bentuk kebahagiaannya masih sangat sesuai dengan narasi dominan, harapan ini terlihat seperti masalah tanpa jalan keluar,
karena tidak adanya solusi lain. Penyintas perlu melihat ada solusi lain. Penjelasan lain dapat membantunya mencari solusi lain.
Ketika individu membuat counter narrative, tidak perlu setiap bagian narasi diubah. Selalu masih ada aspek-aspek tertentu dari narasi
yang bisa tetap dibiarkan mempunyai bentuknya sebagai narasi dominan, sementara bagian lain dipertanyakan dengan counter
narrative Bamberg, 2004. Penelitian ini juga menemukan hal tersebut, Teta membentuk counter narrative dalam sebagian narasinya.
Pengalihan keberhargaan ada di dalam counter narasi ini. Keberhargaan yang pasif diubah menjadi keberhargaan yang menuntut
tanggung jawab, pemaknaan, dan efikasi diri. Berbeda dengan pengalihan issue yang menutupi ketidakberhargaan dengan prestasi.
Ketidakberhargaannya masih ada, tetapi dialihkan dengan kompensasi, pengalihan keberhargaan meniadakan keberhargaan yang pasif
– bahwa perempuan berharga karena perawan
– dan menggantinya dengan yang aktif
– bahwa perempuan berharga karena hal yang tergantung padanya untuk mewujudkan
–. Penemuan ini sejalan dengan penemuan penelitian Peri 2013 pada pasien PTSD bahwa
pemulihan terjadi ketika individu mulai membentuk identitas yang ia inginkan.
Teta menunjukkan hal ini pada narasinya, Teta menyatakan bahwa ia menemukan kebahagiaannya ketika ia membantu orang lain
“pada prinsipnya sih bisa melakukan sesuatu yang bermakna, membahagiakan orang lain, karena
dengan itu otomatis ada perasaan puas. Itu sangat membantu saya, sangat membantu untuk terus
mengobati luka, karena luka itu kan tidak bisa mulus seperti sedia kala, mesti ada bekas.”
Pengalihan keberhargaan ini adalah bentuk counter atas narasi dominan. Narasi dominan yang mengajarkan bahwa keberhargaan
perempuan ada pada keperawanan dan suami, dipertanyakan dan dicarikan penjelasan alternatifnya. Penjelasan alternatif Teta menjawab
pertanyaan tentang keberhargaan, kebermaknaan, dan kebahagiaan. Bila penyintas tidak membuat penjelasan alternatif maka ia akan terus
merasa tidak berharga karena penyintas tidak berdaya sama sekali atas keberhargaan yang telah direbut darinya.
Keberhargaan perempuan yang pasif dan tak dapat diusahakan atau tidak memampukan penyintas menjadi agen atas keberhargaan
tersebut tidak membantu pemulihan. Keperawanan misalnya atau bahwa perempuan tidak pernah terlibat secara seksual dengan laki-laki.
Coral yang menyatakan dengan gamblang bahwa perempuan hanya baik ketika tidak pernah secara seksual terlibat dengan laki-laki,
meskipun keterlibatan tersebut tidak diinginkannya, tidak terbantu pulih dengan narasi identitas ini.
“perempuan yang baik menurut aku ya gitu bukan
korban kekerasan
seksual, bener-bener
perempuan yang baik menurut aku. Karena bener- bener masih ya perempuan yang polos, lugu
” Pemulihan ternyata sejalan dengan adanya tema agency dalam plot
narasi penyintas. Penyintas yang merasa bahwa ia bukanlah agen atas hidupnya sendiri terhambat untuk pulih, dalam kasus ini Nia, Coral, Misa,
dan Tan. Sedangkan penyintas yang merasa berdaya atas hidupnya sendiri – dalam penelitian ini Teta – akan mampu merumuskan kebahagiaan bagi
dirinya dan terbantu untuk pulih. Hanya ketika penyintas adalah agen atas hidupnya plot narasinya dapat menjadi progresif. Akan tetapi harus diingat
bahwa keberdayaan dalam penelitian ini bukanlah nilai mutlak – berdaya
atau tidak berdaya sama sekali –, tingkatan keberdayaan lebih berupa
continuum daripada dikotomi.
2.
NARASI KOMUNITAS
Narasi komunitas seperti narasi budaya akan memberikan kerangka bagi interpretasi penalaran personal. Narasi komunitas akan membantu
atau menghalangi terbentuknya counter atas narasi dominan. Narasi komunitas yang membantu adalah narasi komunitas yang menumbuhkan
kesadaran akan keadilan sebagai hak setiap orang. Narasi tersebut adalah tandingan atas narasi dominan yang tidak adil dan membuat perempuan
terlatih menerima ketidakadilan sebagai bagian hidupnya. Narasi dominan yang melatih perempuan menerima ketidakadilan ini terlihat Coral berikut
“trus kayak menerima itu ya udah nggak papa,
maksudnya bagian dari masa lalu aku.” Narasi komunitas terssebut dapat berwujud dukungan sosial, pengakuan
eksternal atas kekerasan yang terjadi, atau nilai bersama. Komunitas dapat juga menjadi tempat aman yang dapat menjadi
tempat berlindung bagi penyintas. Tempat aman dapat memunculkan tema perlindungan bagi penyintas seperti yang ditemukan oleh Draucker 2003.
Sebagai tempat aman, komunitas dapat membantu penyintas menemukan pemulihan. Akan tetapi ternyata tidak semua penyintas menemukan
komunitas yang dapat berfungsi sebagai tempat aman. Hanya Tan dan Teta yang menemukan komunitas yang dapat melindungi. Bahkan Misa dan
Coral menemukan bahwa komunitas adalah tempat yang menawarkan penolakan bukan perlindungan.
Tan merasakan adanya dukungan sosial dan perhatian atas apa yang dialaminya dari keluarga dan orang lain. Persepsi ini sangat
membantunya untuk terus memperjuangkan haknya tetapi tidak membantunya untuk menc
ari jalan lain yang tidak “wajar” atau yang tidak sesuai narasi dominan. Selama kaum tertindas masih tidak menghargai
diri, mereka segan untuk melawan dan memiliki kepercayaan yang berlebihan dan „magis‟ atas kekuasaan kaum penindas Freire, 2000. Tan
sungguh percaya hal ini, Tan percaya bahwa pelaku dapat melakukan banyak hal yang akan akan membuatnya lebih sengsara. Meskipun Tan
dapat memaksa pelaku melakukan banyak hal yang tidak diinginkan pelaku, Tan nyaris tidak menghargai usahanya, bahkan menganggap
bahwa menuntut haknya adalah kesalahan karena menyusahkan pelaku. Akan tetapi meskipun Tan didukung oleh komunitas dan orang
disekitarnya untuk membuat counter narasi tetapi Tan tetap tidak membentuk counter narasi. Counter narasi harus pertama berawal dari
penyintas kemudian dikuatkan oleh narasi komunitas dan bukan sebaliknya.
“aku digondheli sama Mbak Sandi itu, nggak boleh. Mbak Tan, nggak boleh. Pokoke jangan nikah siri.
... Ngono kuwi, terus akhire, yawis, aku terus akhire yowis udah nikah, Mbak. Udah akhirnya saya nikah siri
” Pengakuan eksternal diperlukan oleh seluruh level keberdayaan.
Penyintas memerlukan individu di luar dirinya untuk menyatakan padanya bahwa pengalaman kekerasannya benar dialaminya dan perasaannya atas
pengalaman tersebut valid. Hal ini terlihat nyata pada narasi Coral. “Aku seneng banget sih kayak ini lho, ya ampun
dia teman yang sesungguhnya buat aku. Mereka cuman angguk-
angguk doang tapi aku butuh itu ternyata” Penyintas lain kecuali Nia
– karena Nia bahkan belum mengakui pengalamannya secara internal, Nia belum menyadari bahwa ia mengalami
kekerasan seksual – juga menyatakan kebutuhan mereka untuk pengakuan
pengalaman lewat dukungan sosial. Dukungan sosial memberi perasaan diterima dan dihormati sebagai individu sehingga membantu pemulihan
terutama dalam pengalaman yang “be
rat
” Myers, 2010, h 550, Turner, 1981.
Nilai yang terdapat dalam narasi komunitas dapat mendukung narasi baru yang sedang dibentuk oleh penyintas. Setiap orang
membutuhkan narasi komunitas untuk mendukung kisah personalnya, terutama ia yang sedang menyusun kisahnya yang baru saja diubah.
Karena sulit untuk menjaga perubahan narasi tanpa dukungan kolektif yang disediakan oleh narasi komunitas disekitar individu Rappaport,
1995. Narasi Teta menunjukkannya, ia melakukan perubahan narasi bersama dengan komunitas barunya.
Dalam narasi dominan
F. Identitas Narasi yang Membantu dan Tidak Membantu Pemulihan
Gambar 6. Bagan narasi identitas penyintas yang membantu dan tidak membantu pemulihan
Kekerasan Seksual
Tidak sadar akan kekerasan
yang dialami
Tidak membantu
pemulihan
Tidak diakui secara internal penyangkalan pengalaman
diri
Melanjutkan relasi
kekerasan
Narasi dominan
Reinforcing narasi
dominan
Tidak diakui secara eksternal tekanan untuk tidak
mengungkap pengalaman dan tanpa dukungan sosial
Sadar akan kekerasan
yang dialami
Pengakuan internal Memutus
relasi kekerasan
Narasi dominan
Penjelasan alternatif
lewat counter
narrative
Pengakuan eksternal dukungan sosial
Membantu pemulihan
Dibantu dengan narasi
komunitas
99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pemulihan terlihat dari cara penyintas menarasikan hidup dan pengalamannya. Pemulihan membutuhkan pengetahuan akan kekerasan
seksual tersebut. Pengetahuan tentang apa yang penyintas alami dan dampak pengalaman tersebut terhadap dirinya. Setelah tahu penyintas perlu sadar dan
mengakui bahwa telah terjadi kekerasan seksual pada dirinya oleh pelaku. Penerimaan dan pengakuan dari lingkungan bahwa telah terjadi kekerasan
seksual pada penyitas akan membantu pemulihannya. Penyintas perlu sadar bahwa pelaku adalah pihak yang bersalah dan sesharusnya bertanggung jawab
atas kejahatan tersebut, bukannya penyintas. Penyintas perlu memutus relasi kekerasan tersebut agar terlepas dari masalah dan reviktimisasi serta terbantu
untuk mulai pulih. Penyintas perlu mencari penjelasan alternatif atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Penjelasan alternatif ini dapat
ditemukan bila penyintas pertama-tama mempertanyakan narasi dominan yang selama ini dipercayainya. Kemudian membuat counter atas narasi
dominan tersebut di bagian yang tidak membantunya untuk pulih. Rasa bersalah atas kekerasan tersebut adalah salah satu narasi yang harus
dipertanyakan, Komunitas
dapat membantu
mendukung penyintas
membentuk narasi baru yang membantu penyintas untuk pulih.