1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja hadir dengan fenomena yang berbeda. Pada remaja biasanya terjadi perubahan yang cukup mencolok baik psikis maupun fisik. Perubahan
psikis yang dihadapi remaja adalah mulai berusaha untuk mengembangkan dan menyempurnakan pribadi serta berusaha menunjukkan identitas remaja.
Disamping itu setiap individu yang memasuki masa remaja akan memiliki permasalahan yang lebih kompleks dibandingakn dengan masa sebelumnya.
Hal ini disebabkan pada masa remaja sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dengan pengaruh dari teman sebaya dan lingkungan sosial, sehingga
menuntut remaja untuk beradaptasi. Pada masa remaja yang dikenal sebagai masa stom and stress masa badai
dan tekanan terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Menurut psikolog
Elizabeth B. Hurlock 1997, 207-212 masa remaja memang menunjuk pada sebuah rentang waktu dalam perjalanan hidup manusia. Pergolakan emosi yang
terjadi pada siswa tidak terlepas dari berbagai macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, teman-teman sebaya, serta
aktifitas-aktifitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bila aktifitas- aktifitas yang dijalani di sekolah pada umumnya para siswa banyak
2
menghabiskan waktu di sekolah tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya ke arah yang tidak positif misalnya tawuran, hal ini
menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri siswa bila berinteraksi dengan lingkungannya.
Setiap siswa di sekolah dihadapkan dengan berbagai mata pelajaran dari guru di sekolah. Siswa dituntut untuk bisa mengikuti semua mata pelajaran dan
dapat memahami pelajaran yang diberikan oleh guru. Selain itu terdapat juga beberapa siswa yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengikuti dan
memahami pelajaran yang diberikan oleh guru serta juga terdapat beberapa siswa yang tidak mempunyai ketekunan mengerjakan tugas, kurangnya
semangat dan motivasi untuk mengikuti pelajaran yang diberikan. Dalam seluruh proses pembelajaran di sekolah,
siswa dituntut untuk melakukan penyesuaian, karena belum tentu perlakuan mereka sesuai dengan
apa yang diharapkan. Dalam lingkungan ini kecerdasan emosional merupakan salah satu bagian dalam kegiatan belajar. Melalui kecerdasan emosional siswa
dapat mengendalikan dirinya, dapat mengontrol perbuatan dan mengendalikan emosi, serta mampu menyelesaikan tugas dengan baik didorong dengan
semangat dan ketekunan untuk belajar. Apabila anak atau siswa yang bersangkutan tidak memiliki kecerdasan emosional maka siswa tersebut tidak
dapat mengontrol perbuatannya, tidak dapat mengendalikan emosi serta tidak bisa menjalin hubungan baik dengan orang lain. Secara tidak langsung hal ini
akan berpengaruh pada prestasi akademiknya.
3
Kondisi di atas merupakan gejala siswa yang mempunyai kecerdasan emosional yang kurang. Menurut Goleman 2001: 44 mulai menggunakan
istilah kecerdasan emosional dengan Emotional Intelegence. Istilah Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan Emotional Intelegence EI bukan
Emotional Quotiont EQ. Dalam hal ini emosi mengacu pada perasaan
terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan intelegence mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu
hubungan. Kecerdasan emosional EQ belakangan ini dinilai tidak kalah penting
dengan kecerdasan intelektual IQ. hal ini menunjukkan bahwa IQ bukan merupakan satu-satunya keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang
mempengaruhi. Pernyataan itu didukung juga oleh Agus Nggermanto 2002: 97 menggungkapkan bahwa IQ menentukan sukses seseorang sebesar 20
sedangkan 80 ditentukan oleh faktor lain, salah satunya adalah kecerdasan emosional. Kabar baiknya adalah kecerdasan emosional seseorang dapat
dikembangkan lebih baik, lebih menantang dan lebih prospek dibanding IQ yang telah di buktikan oleh Erni Setiyani. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Erni Setyani 2012: 83 membuktikan bahwa kecerdasan emosional dapat ditingkatkan melalui metode bermain teamwork. Kecerdasan emosional dua
kali lebih penting dari pada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang.
4
Kecerdasan emosi yang dinyatakan oleh Salovey Goleman, 57: 2009 memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan
sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seorang untuk mengenal
diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain empati dan kemampuan untuk membina hubungan kerjasama dengan orang
lain. Begitu juga pendapat Daniel Goleman 2004: 30-31 menyebutkan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kecakapan yang memungkinkan
seseorang melapangkan jalan di dunia yang rumit-aspek pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan
kepekaan penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari. Pernyataan di atas terjadi di SMP N 1 Sleman Yogyakarta,
hasil observasi yang dilakukan peneliti pada siswa kelas VIII SMP N 1 Sleman
Yogyakarta, maka dapat diketahui banyak siswa kelas VIII SMP N 1 Sleman Yogyakarta membuktikan bahwa banyak siswa mengalami masalah kecerdasan
emosional. Begitu juga dengan hasil wawancara pada siswa kelas VIII di SMP N 1 Sleman Yogyakarta yaitu siswa banyak yang tidak mempunyai kecerdasan
emosional dengan baik, mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sekolah termasuk dalam penyesuaian pertemanan. Mereka
juga banyak yang tidak dapat mengatur suasana hati yang berlebihan, seperti terlalu melebih-lebihkan kesenangan dan kesedihan yang baru saja mereka
5
alami, seperti sering berteriak–teriak, melompat, tidak dapat mengontrol emosi saat marah serta kesal baik pada teman-temannya dan pada guru.
Ditemukan juga siswa yang tidak bisa bekerja sama dengan teman dan tidak bisa berempati kepada orang lain, saling memojokkan satu sama lainnya.
Selain itu, banyak siswa yang mengatakan tidak bisa menyelesaikan masalah sendiri dengan baik. Banyak siswa yang lari dari masalahnya di sekolah,
sehingga siswa sering tidak masuk sekolah untuk menghindari masalahnya
tersebut. Berdasarkan hasil wawancara kepada Guru bimbingan dan konseling di
SMPN 1 Sleman Yogyakarta menjelaskan bahwa pada umumnya siswa belum memperoleh bimbingan yang maksimal, karena tidak adanya jam masuk kelas
untuk guru BK. Sehingga guru BK masuk kelas hanya jam pelajaran kosong saja, untuk masuk kelas guru BK harus meminta waktu jam pelajaran guru lain.
Usaha yang pernah dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling untuk mengatasi masalah
kecerdasan emosional adalah dengan
memberikan bimbingan klasikal, guru BK belum menemukan materi yang tepat untuk
bimbingan klasikal sehingga guru masih menggunakan metode
lama, bimbingan individu, bimbingan kelompok dan pemberian sanksi untuk siswa
yang bermasalah di kelas maupun diluar kelas. Namun jika pelanggarannya sudah berat, seperti berkelahi, hamil, sering membolos dan membawa senjata
tajam, maka pihak sekolah melakukan pemanggilan terhadap orang tua siswa.
6
Penanganan yang dilakukan oleh guru pembimbing, belum berdampak positif bagi siswa. Seringkali siswa masih melakukan hal yang sama dalam jangka
waktu berdekatan. Dalam mengantisipasi masalah kecerdasan emosional siswa yang rendah,
maka diperlukan suatu teknik sebagai upaya meningkatkan kecerdasan emosional sehingga siswa sadar berkeinginan untuk menata dirinya menjadi
lebih baik lagi. Salah satu teknik atau strategi yang berfungsi untuk meningkatkan kecerdasan emosional adalah dengan menggunakan metode
psikodrama. Berdasarkan hasil Penelitian yang dilakukan oleh Dhika Dwi Janiati di Panti Asuhan Muhammadyah Malang 2011 menujukkan bahwa
pemberian psikodrama dapat meningkatkan happiness pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan total skor happiness
yang semakin meningkat. Psikodrama merupakan suatu strategi dalam bimbingan dan konseling
yang bermanfaat untuk mengubah dan mengekplorasi jiwa manusia melalui aksi dramatik artinya memainkan sebuah peran tetapi tidak bersungguh-
sungguh. Melalui psikodrama individu dapat mengarahkan dan mengelola perilakunya. Pengolahan dapat dilakukan dengan menggunakan keterampilan
mengubah perilaku yang dimilikinya. Pengubahan perilaku juga harus dilakukan dengan sadar, keinginan dan komitmen yang kuat.
7
Psikodrama dapat digunakan oleh konselor sekolah untuk membantu memcahkan
masalah–masalah siswa yang
bersifat psikologis.
Metode psikodrama ini memang sangat membantu untuk memecahkan masalah karena
secara spontan siswa dapat menggali sendiri masalahnya mengeksplorasi potensi-potensi yang
yang ada dalam dirinya, meluapkan emosi yang terpendam serta mendapatkan pemecahan masalah yang berasal dari konselor
dan anggota kelompok lainnya. Seperti yang dikembangkan oleh Bennet Romlah 2001: 99, psikodrama
merupakan bagian dari permainan peran role playing. Bennet membagi permainan menjadi dua macam yaitu sosiodrama dan psikodrama. Sosiodrama
adalah permainan peranan yang ditunjukan untuk memecahkan masalah yang timbul dalam hubungan antar manusia. Psikodrama merupakan dramatisasi dari
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gangguan serius dalam kesehatan mental para partisipan, sehingga tujuannya ialah perombakan dalam struktur
kepribadian seseorang. Menurut WS Winkel Titik: 2001 Psikodrama bersifat terapi dan ditangani oleh seseorang ahli psikoterapi.
Metode psikodrama dapat membantu siswa meningkatkan kecerdasan emosionalnya, karena dalam metode psikodrama didalamnya bertujuan
membantu siswa mengatasi
masalah pribadi dan sosial dengan cara
menggunakan permainan peran, drama atau terapi tindakan. Melalui cara –cara itu siswa dibantu untuk mengungkapkan perasaan tentang konflik, kemarahan,
8
agresi, perasaan bersalah dan kesedihan Semiun, 2006 : 562 . Di usia yang masih aktif, remaja yang seperti ini membutuhkan arahan emosi yang jelas.
Cara yang dilakukan pun harus cara yang kreatif dan tidak membosankan. Dari pandangan di atas, peneliti ingin meningkatkan kecerdasan Emosional melalui
metode psikodrama yang selama ini tidak pernah dilakukan di SMPN 1 Sleman Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah