92
WAKAF : Pengaturan dan Tata Kelola yang Efekif
3.2. Perbedaan Ulama dalam Hukum Wakaf.
Berbagai ulama dari Syai’iyyah, Malikiyah, Hanabilah, Hanaiyah, Zahiriyyah, Zaidiyyah, dan Za’fariyah sepakat bahwa wakaf adalah merupakan ibadah
yang disyariatkan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT sesuai dengan landasan berikut al-Kabisi, 1977: 91-97:
1 Perintah Allah dalam surat Ali Imrān [3]: 92. Sesaat setelah turunnya ayat ini, Abu Talhah mewakakan tanah kepada kerabatnya Hasan bin Tsābit dan
Ubai bin Ka’ab. Selain ayat tersebut, pun merujuk pada Hadis Rasulullah tentang putusnya seluruh amalan manusia setelah kemaiannya, kecuali
iga hal, salah satunya, adalah sedekah jāriyah atau wakaf.
2 Hadis Rasulullah saw diriwayatkan oleh Bukhari, Baihaqi, Nasa’i, dan al-Dāruquthni, bahwa Rasulullah idak meninggalkan barang apapun
setelah wafatnya kecuali keledai puih, senjata dan sebidang tanah untuk disedekahkan. Begitu juga Hadis Baihaqi yang menyebutkan bahwa
Rasulullah memberikan tujuh pekarangan di Madinah sebagai sedekah kepada Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim.
3 Begitu juga dengan sahabat-sahabat Rasulullah yang ikut mewakakan hartanya sebagaimana disebutkan dalam berbagai riwayat Hadis: Abu
Bakar dengan rumahnya, Umar Bin Khatab dengan tanah Khaibar, Ali bin Abi Thalib dengan tanah di Yanbu’, Khalid bin Walid dengan baju besinya,
Utsman bin ‘Afan dengan sumur Raumah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, Amru bin Ash dan Hakim bin Hazam dengan rumah-rumah
mereka, serta masih banyak lagi lainnya.
Adapun ulama yang idak mensyariatkan wakaf adalah Syarih al-Qādhi, Hilal bin Yahya bin Muslim al-Bashari, Ahmad bin Amru al-Khusāi, dan al-
Thahawi dari ulama Hanaiyah. Menurut ulama-ulama di atas, larangan wakaf tersebut terjadi setelah turunnya surat an-Nisa terkait dengan hal waris
yang diriwayatkan oleh al-Thahawi dalam sebuah Hadis al-‘Ubaidi, 2002: 124. Namun, dikatakan bahwa Hadis tersebut lemah dhaif. Akan tetapi,
belakangan hal tersebut sudah dijelaskan oleh ulama-ulama Hanaiyah, bahwa Abu Hanifah sendiri mensyariatkan wakaf, namun idak mewajibkan untuk
menahan benda wakaf. Meskipun begitu, sampai saat ini di antara ulama- ulama Hanaiyah masih mengalami perdebatan panjang tentang hal tersebut.
93
WAKAF : Pengaturan dan Tata Kelola yang Efekif
3.3. Rukun Wakaf
Adapun rukun wakaf menurut ulama Hanaiyah hanya Sighah ikrar atau akad saja. Adapun sebagian besar ulama Malikiyah, Syai’iyah, Zaidiyah,
dan Hanabilah berpendapat bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu al-Wakif orang yang berwakaf, al-Mauqūf ‘alaih tujuan atau tempat wakaf, al-Māl
al-Mauqūf harta yang di wakakan, al-Sighah ikrar atau akad al-Kabisi, 1977:147. Anshori 2005: 25 menambahkan dengan Nāzhir pengelola
wakaf dan jangka waktu yang idak terbatas. Adapun Siah Khosyi’ah 2010: 53 menambahkan rukun wakaf dengan saksi, tambahan ini sesuai dengan
ketentuan dalam perundang-undangan di Indonesia.
Ketentuan dari rukun-rukun wakaf tersebut di atas sudah tertulis dari masa sahabat Umar bin Khatab. Wakaf tanah Khaibar ditulis dengan persaksian
resmi di atas sebuah kulit, dengan instrumen-instrumen tertentu yang pada akhirnya ditetapkan menjadi rukun wakaf, yaitu wāqif, al-mauqūf, nāzhir, dan
sighah
, aujih al-infāq, kāib dan syāhid al-Hujaili, 1999: 180-184. Wahbah al-Zuhaily 1985: 176-177 menjelaskan, di antara rukun-rukun wakaf
memiliki syarat-syarat yang menjadi ketentuan yang harus diperhaikan, yaitu:
1 Syarat bagi pewakaf al-wāqif
a. Orang yang berwakaf harus merdeka dan pemilik penuh dari harta yang diwakakan. Maka, idak sah wakaf bila dilakukan oleh seorang
hamba sahaya, karena hamba sahaya idak memiliki hak memiliki. Demikan pula mewakakan sesuatu yang belum menjadi miliknya, atau
mewakakan benda hasil rampokan. Karena itu, seorang pe-wakif harus memiliki harta benda itu sepenuhnya pada saat ia mewakakannya.
b. Orang yang berwakaf harus berakal sempurna. Maka, idak sah wakaf dari orang gila, orang yang lemah akalnya karena sakit atau usia, orang
yang idiot atau dungu karena akalnya idak sempurna. c. Orang yang berwakaf harus cukup umur. Maka, idak sah wakaf bayi
yang belum mencapai akil baligh. Tanda-tanda baligh pada umumnya bila terjadi mimpi basah, datang bulan bagi perempuan, atau yang
sudah mencapai umur 15 tahun secara umum, dan mencapai umur 17 tahun menurut Abu Hanifah.
d. Orang yang berwakaf harus jernih pikirannya dan idak tertekan. Tidak sah wakaf dari orang-orang yang emosinya sedang labil, atau sedang