Rukun Wakaf http: www.bi.go.id id publikasi seri ekonomi keuangan syariah Documents Buku wakaf.

94 WAKAF : Pengaturan dan Tata Kelola yang Efekif bangkrut dan banyak utang, atau pada saat lupa ingatan. Menurut pendapat Abu Zahrah 1959: 152, pe-wakif diperbolehkan mengajukan syarat tersendiri, selama syarat tersebut idak ada yang bertentangan dengan hukum syariat atau perintah dan larangan Allah SWT, maka hukumnya sah. 2 Syarat barang-barang yang diwakakan al-mauqūf Secara umum, ulama memiliki pendapat yang sama dalam mensyaratkan harta wakaf, yaitu harta yang tetap, diketahui wujudnya, milik pewakaf sepenuhnya, dan idak ada pilihan khiyar Zuhaily, 1985: 184-185. Beberapa imam mazhab memiliki syarat-syarat tertentu, di antaranya adalah: a. Golongan Hanaiyah membagi dalam empat syarat berikut: 1 Benda yang diwakakan harus benda tetap. 2 Benda yang diwakakan diketahui dengan jelas atau konkret. 3 Benda yang diwakakan adalah milik wakif sepenuhnya pada saat proses wakaf terjadi. 4 Benda yang diwakakan idak bercampur dengan benda lainnya. b. Golongan Malikiyah mensyaratkan bahwa harta yang diwakakan sedang dalam kepemilikan wakif sepenuhnya, idak bercampur dengan hak milik orang lain, idak menjadi jaminan pegadaian atau sedang disewakan. Namun, bila sudah berakhir masa penggadaiannya atau sewanya, hukumnya boleh diwakakan. c. Adapun golongan Hanabilah dan Syai’iyah mensyaratkan benda yang diwakakan harus jelas dan konkret, idak dalam jaminan utang, menjadi milik penuh wakif yang bisa ditransaksikan dalam jual-beli dan sejenisnya, memiliki manfaat, dan memberikan manfaat yang lama masanya. 3 Syarat-syarat bagi penerima wakaf mauqūf ‘alaih Penerima wakaf adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan untuk memelihara barang wakaf dan memanfaatkannya untuk kepeningannya atau kepeningan lainnya. Dalam hal ini, wakif bisa menentukan langsung siapa penerima wakafnya, atau diserahkan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya Zuhaily, 1985: 189. 95 WAKAF : Pengaturan dan Tata Kelola yang Efekif Menurut Jawad Mughniyah 2007: 589, syarat-syarat bagi penerima wakaf di antaranya: a. Penerima wakaf harus ada keika proses wakaf terjadi. Apabila saat proses wakaf berlangsung dan penerima wakaf idak ada, seperi masih dalam kandungan, maka wakafnya idak sah menurut Syai’iyah dan Hanabilah. Namun, menurut Malikiyah, diperbolehkan, dengan syarat wakaf tersebut berlaku pada saat anak tersebut dilahirkan. Akan tetapi, bila idak ada harapan atau meninggal dunia, maka wakafnya batal. Para ulama mazhab sepakat khusus untuk orang-orang yang belum ada, tetapi mereka adalah kelanjutan dari orang-orang yang sudah ada sebelumnya, dan mewakakan dengan wasiat kepada anak dan keturunanya, maka hukumnya sah. b. Hendaknya orang yang menerima wakaf memiliki kemampuan untuk memiliki. Tidak sah mewakakan sesuatu kepada binatang, dengan memberikan wasiat kepada binatang tersebut seperi halnya terjadi di barat. Sedangkan wakaf lembaga pendidikan, madrasah, masjid dan sarana lainnya diperbolehkan, sebab sesungguhnya wakaf tersebut diserahkan kepada orang-orang yang memanfaatkannya. c. Hendaknya wakaf tersebut bukan untuk hal-hal yang melanggar perintah Allah SWT. Seperi halnya wakaf tempat pelacuran, minuman keras, perjudian, perampokan, dan lain sebagainya. Adapun wakaf untuk orang-orang nonmuslim, secara umum para ulama memperbolehkan. d. Hendaknya penerima wakaf diketahui secara pasi keberadaannya. Apabila wakaf diserahkan kepada laki-laki atau perempuan yang idak ditentukan siapa yang menerimanya, maka hukumnya idak sah. Namun, Malikiyah memperbolehkannya, selama wakaf tersebut ditujukan dan digunakan untuk kebaikan. Imamiyah, Syai’iyah dan Malikiyah idak memperbolehkan wakaf yang diperuntukkan untuk dirinya sendiri, atau menjadi bagian dari penerima wakaf. Tetapi, apabila wakaf itu diperuntukkan untuk fakir 96 WAKAF : Pengaturan dan Tata Kelola yang Efekif miskin dan suatu saat kemudian ia menjadi fakir, atau wakaf itu diperuntukkan untuk sekolah dan ia menjadi salah satu murid sekolah tersebut, maka hal tersebut diperbolehkan. 4 Syarat-syarat ikrarakad sighah wakaf Para ulama sepakat bahwa ikrar wakaf menggunakan kata waqatu saya mewakakan, penggunaan lafadz ini lebih jelas dan idak perlu keterangan lain, baik dari segi bahasa, isilah dan tradisi. Adapun kata habistu saya menahan hak saya, sabiltu saya berikan jalan, atau abbadtu saya serahkan selamanya masih menjadi perdebatan keabsahannya oleh para ulama. Namun, secara mendasar, menggunakan kata apa saja dalam menyampaikan benda wakaf boleh saja dilakukan, meskipun dalam menggunakan bahasa lokal asing. Sebab, bahasa hanya merupakan sarana untuk mengucapkan maksud, idak merubah tujuan dari yang diinginkan. 5 Syarat-syarat pengelola wakaf nazhir Nazhir adalah orang, organisasi, atau badan hukum yang mendapat amanah untuk memelihara dan mengelola harta wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsinya Anshori, 2005: 28. Di antara syarat-syarat nazhir yang harus dipenuhi adalah: a. Beragama Islam b. Sudah dewasa aqil baligh c. Amanah dan dapat dipercaya d. Memiliki kemampuan jasmani dan rohani untuk menjalankan amanah wakaf. Selain itu, menurut pandangan Ibn ‘Āt dan Ibn Marzūq dari Malikiyah, bahwa nazhir idak mengambil upah dari wakaf yang dikelolanya, melainkan dari negara bila wakaf dikelola oleh pemerintah, atau dari baitul mal. Namun, sebagian ulama lainnya, seperi Abu Abās, Abdul Haq bin Uthiyyah, al- Rahūni, dan ulama Hanaiyyah dan Syai’iyyah, sependapat bahwa seorang nazhir diperbolehkan mengambil upah dari hasil wakafnya. Besarnya upah dapat ditentukan oleh wakif atau hakim, dengan melihat waktu dan tenaga nazhir dalam mengelola wakaf. Menurut Ibn Ābidin, seorang nazhir berhak mendapatkan upah 10 dari hasil wakaf yang dikelolanya, sebagaimana UU Wakaf yang berlaku di Indonesia. Meskipun demikian, 97 WAKAF : Pengaturan dan Tata Kelola yang Efekif Ibn ‘Abidin menjelaskan bahwa besarnya upah nazhir dapat disesuaikan dengan kecukupan upah kerja yang berlaku secara umum. Bagi pengelola wakaf yang idak produkif, bila mendapatkan upah di bawah dari standar kecukupan dapat mengajukan kenaikan upah kepada hakim setempat, dan hal tersebut diperbolehkan Bayyah, 2003: 284-288. 6 Syarat jangka waktu Ada dua pendapat dalam ketentuan waktu wakaf. Sebahagian besar ulama Syai’iyah, Hanaiyah, Hanabilah selain Abu Yusuf, Zaidiyah, Ja’fariyah, dan Zahriyah menyatakan bahwa wakaf haruslah bersifat permanen. Adapun Abu Yusuf dari Hanabilah dalam satu riwayat, dan Ibn Suraij dari kalangan Syai’iyah menyatakan kebolehan wakaf dalam jangak pendek atau jangka panjang. Di Indonesia, sesuai dengan Pasal 215 Kompilasi Hukum Islam KHI menyatakan, bahwa wakaf sifatnya permanen. Namun, syarat tersebut diubah melalui Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dengan menambahkan hak pilih, selamanya atau untuk jangka waktu tertentu UU, 2004.

3.4. Dasar Hukum Wakaf

1 Al-Qur’an Dalam al-Qur’an, kata wakaf idak ditemukan secara tekstual. Tujuan waqaf sebagai amalan kebaikan dijadikan dasar para ulama dalam menerangkan konsep wakaf pada keumuman ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berbuat baik dengan berinfak. Di antaranya, QS. Al-Baqarah [2]: 261-262, yang menjelaskan tentang imbalan pahala dan kebaikan berlipat-lipat bagi mereka yang menakahkan hartanya di jalan Allah. Arinya: “Perumpamaan nakah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menakahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebuir                                                      Sarjāni, 2010: 35.                               98 WAKAF : Pengaturan dan Tata Kelola yang Efekif benih yang menumbuhkan tujuh buir, pada iap-iap buir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui. Orang-orang yang menakahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka idak mengiringi apa yang dinakahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan idak menyakii perasaan si penerima, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawairan terhadap mereka dan idak pula mereka bersedih hai.” Ulama Syai’iyah menggunakan QS. Ali Imran [3]: 92 sebagai landasan dasar hukum wakaf al-Sarjāni, 2010: 35. Arinya: “Kamu sekali-kali idak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menakahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nakahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. Lainnya, ulama Malikiyah dan Hanabilah berpedoman pada QS. Al-Hajj [22]: 77 sebagai dasar ibadah wakaf. Arinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku´lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. Pada saat turunnya ayat di atas, sahabat Nabi, Abu Thalhah, langsung mewakakan kebun Bairaha, kebun yang paling dicintainya melebihi hartanya yang lain al-Sarjāni, 2010: 35. Sebagian ulama lainnya berpedoman pada surat al-Baqarah [2]: 267 yang menyerukan orang-orang yang beriman untuk bernakah. Al-Sa’di 1999: 125 mengatakan bahwa dengan ayat ini Allah memoivasi hamba-Nya untuk menlakukan infak. Arinya: “Hai orang-orang yang beriman, nakahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nakahkan daripadanya, padahal kamu sendiri idak Sarjāni, 2010: Sa’di 1999: 125 mengatakan ٰ ي ٓ ا هُ ي أ ٰ نيِذَلٱ وُن ما ء ٓ ا ٓ اوُقِفن أ ٓ نِم ِٰت بِي ط ا م ْٰمُتْب س ك اَِِ و ٓ ا نْج رْخ أ مُك ل ٰ نِم ِٰضْر ْْٱ ٰ ل و اوُمَم ي ت ٓ ٰ ثيِب ْْٱ ُٰهْنِم ٰ نوُقِفنُت مُتْس ل و ِٰهيِذِخا ِب َٰلِإ ٓ ن أ اوُضِمْغُ ت ٓ ِٰهيِف وُم لْعٱ و ٓ ا ٓ َٰن أ ٰ هَللٱ ٰىِن غ ٰ ديِ َ Malik, 2003: 166; Qāsim, 1905 909 ‘Asqalāni, 1986: 592. ا ن ثَد ح ٰ دَد سُم ، ا ن ثَد ح ُٰديِز ي نْب ٰ عْي رُزُُ ، ا ن ثَد ح ُٰنْبا ٰ نْو ع ، ْٰن ع ٰ عِفا ن ، ِٰن ع نْبا ر مُعُِ ٰ يِض ر ُ ا مُهْ ن عُٰهَللا ، ٰ با ص أٰ: لا ق ُٰر مُع ٰ ر بْي ِِ اًضْر أ ، ٰىت أ ف ْٰأ ت ٰفْي ك فٰ ،ُٰهْنِمٰ س فْ ن أٰ ُط قٰ ًلا مٰ ْبِصُأْٰ َاًضْر أٰ ُتْب ص أٰ : لا ق فٰ،ٰ مَل س وٰ ِهْي ل عُٰهاٰىَل صٰ ََِِنلا ٰ : لا قٰ ٰ ِهِبٰ ُِِرُم « ٰا ه لْص أٰ تْسَب حٰ تْئِشْنِإ ا ِِ ٰتْقَد ص ت ٰو ٰ» ل وٰا هُلْص أُٰعا بُ ي لُٰهَن أُٰر مُعٰ قَد ص ت فٰ، ٰ ٰ ٰ،ٰ ِِيِبَسلاِٰنْبا وٰ ِفْيَضلا وِٰهَللاٰ ِِيِب سيِف وٰ ِبا قِرلا وٰ َْرُقلا وٰ،ِٰءا ر قُفلاٰ ِِٰ ُُ روُي ٰل وٰ ُب َوُي ِٰهيِفٰ لِو م تُم رْ ي غٰاًقيِد صٰ مِعْطُيْو أٰ،ِٰفوُرْع مْلاِبٰا هْ نِمٰ ُِكْأ يْٰن أٰا ه يِل وْٰن مٰى ل عٰ حا نُج ل Sarjāni, 2010: 35.                                Sarjāni, 2010: 35.                              