Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

BAB II PENGATURAN PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA MENURUT

HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan. Warga binaan wanita dalam hal ini dikategorikan sebagai narapidana. Narapidana adalah orang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. 39 Pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan mengatakan bahwa, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Terpidana yang dimaksud sesuai dengan Pasal 1 angka 6 undang-undang ini yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tujuan dari menjalani pidana hilangnya kemerdekaan pada narapidana adalah untuk mengikuti proses pemasyarakatan. Maksud dari pemasyarakatan dalam Pasal 1 angka 1 UU Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 39 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal.44. 35 Istilah pemasyarakatan yang dipakai sebenarnya di Inggris juga banyak ditujukan kepada persiapan dan pengawasan pengembalian bekas narapidana ke dalam masyarakat after care service. 40 Tujuan Pemasyarakatan ialah untuk memperbaiki kehidupan sosial warga binaan wanita yang hidup di balik tembok penjara. Perbaikan ini menghasilkan konsep pemikiran yaitu pemasyarakatan sebagai proses dan sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan . Sistem pemasyarakatan Indonesia mengandung arti pembinaan narapidana yang berintegrasi dengan masyarakat dan menuju kepada integritas kehidupan dan penghidupan. Pemasyarakatan sebagai proses bergerak dengan menstimulir timbulnya dan berkembangnya self propelling adjustment diantara elemen integritas, sehingga narapidana yang bersangkutan menuju ke arah perkembangan pribadi melalui asosiasinya sendiri menyesuaikan dengan integritas kehidupan dan penghidupan. 41 Sistem pemasyarakatan juga dapat diartikan sebagai suatu proses pemasyarakatan seorang warga binaan wanita mulai dari warga binaan wanita masuk ke lembaga pemasyarakatan atau Rutan sampai warga binaan wanita bebas dan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Bachroedin Soeryobroto dalam seminar Kriminologi ke-I tahun 1969 di Semarang, memberi batasan mengenai sistem pemasyarakatan. Menurut beliau prinsip pemasyarakatan adalah “pemulihan kembali ke satuan hubungan hidup antara manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan 40 Andi Hamzah,Op.Cit., hal. 106. 41 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hal. 186. masyarakat, manusia sebagai keseluruhan, manusia dengan alamnya dan dalam keseluruhan ini manusia sebagai makhluk Tuhan, manusia dengan Khaliknya”. 42 Warga binaan wanita yang diterima di LAPAS wajib didaftar. Pendaftaran warga binaan wanita sesuai dengan Pasal 10 ayat 1 UU Permasyarakatan meliputi : 1. Pencatatan : a. Putusan pengadilan; b. Jati diri; c. Barang dan uang yang dibawa; 2. Pemeriksaan kesehatan; 3. Pembuatan pasfoto; 4. Pengambilan sidik jari; dan 5. Pembuatan berita acara serah terima terpidana. Pembinaan warga binaan wanita yang ditempatkan di LAPAS wanita dalam Pasal 12 ayat 1 UU Pemasyarakatan digolongkan atas dasar umur, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Pembinaan bagi warga binaan wanita dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang wanita juga. Warga binaan wanita dalam proses pembinaan memiliki hak selayaknya manusia lainnya, seperti yang terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 : 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; 4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; 5. Menyampaikan keluhan; 6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; 7. Mendapatkan upah atau premisi atas pekerjaan yang dilakukan; 8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya; 42 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hal.98 dalam buku Djoko Prakoso, Hukum Penintensier Di Indonesia, Liberty , Yogyakarta,, 1988, hal.63. 9. Mendapatkan pengurangan masa pidana remisi; 10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; 11. Mendapatkan pembebasan bersyarat; 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan 13. Mendapatkan hak-hak lain dengan peraturan perundang-undangan. Hak-hak warga binaan wanita yang pada poin 1 sampai ke 4 dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai warga binaan. Poin 5 dilaksanakan apabila terhadap warga binaan wanita terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh petugas lembaga pemasyarakatan atau sesama warga binaan. Poin 6 dan 7, diberikan setelah warga binaan wanita memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Poin 13 yang dimaksud seperti hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya. Perlunya mempersoalkan hak-hak warga binaan wanita ini diakui dan dilindungi oleh hukum dan penegak hukum, khususnya para staf di lembaga pemasyarakatan atau Rutan merupakan suatu yang perlu bagi negara hukum yang menghargai hak-hak asasi warga binaan wanita sebagai warga masyarakat yang harus diayomi, walaupun telah melanggar hukum. 43 Proses pembinaan warga binaan wanita di LAPAS, bisa saja dilakukan dengan melakukan pemindahan seorang warga binaan wanita dari satu LAPAS ke LAPAS lainnya. Menurut Pasal 16 UU Pemasyarakatan warga binaan wanita dapat dipindahkan dari satu LAPAS ke LAPAS lain untuk kepentingan : pembinaan, keamanan dan ketertiban, proses peradilan, dan lainnya yang dianggap perlu. 43 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Op.Cit., hal.72. Pembinaan di LAPAS Wanita dilakukan oleh pihak-pihak yang sudah secara jelas disebutkan dalam UU Pemasyarakatan antara lain: Kepala LAPAS yang berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap warga binaan pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya. Petugas pemasyarakatan bertugas memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin dengan memberlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-sewenang dan, mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib LAPAS. Petugas LAPAS dalam menjalankan tugasnya diperlengkapi dengan senjata api dan sarana keamanan lainnya, selain itu petugas LAPAS juga diberikan sarana dan prasarana seuai dengan kebutuhannya. Penjelasan Pasal 49 UU Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Sarana dan prasarana maksudnya ialah penyediaan pakaian dinas, penyediaan rumah dinas. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ini telah mengatur dengan jelas tentang proses pembinaan terhadap warga binaan. Proses warga binaan yang dulunya dikenal dengan istilah penjara kini telah berubah menjadi istilah pemasyarakatan. Perubahan istilah ini dimaksdukan agar pembinaan warga binaan lebih bersifat manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi warga binaan. Undang-undang ini menjelaskan proses pembinaan warga binaan yang terpengaruh oleh aliran modern. Menurut aliran modern, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat hanya secara abstrak dari sudut yuridis belaka, terlepas dari orang yang melakukannya, akan tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor- faktor biologis, atau lingkungan masyarakat. 44 Aliran modern ini lah yang melatarbelakangi pengklasifikasian warga binaan yang berupa pengklasifikasian menurut umur, jenis kelamin, jenis kejahatan, dan lamanya pidana. Kenyataannya, pengklasifikasian warga binaan jenis kejahatan, dan lamanya pidana tidak terjadi dilapangan. LAPAS ataupun Rutan sering sekali melakukan pembinaan terhadap warga binaan misalnya pelaku tindak pidana pencurian disamakan pembinaannya dengan warga binaan pengguna narkotika. Situasi seperti ini bias terjadi karena jumlah petugas pembinaan yang minim. Situasi seperti ini membuat pembinaan berdasarkan UU Pemasyarakatan khususnya Pasal 12 tidak terlaksana, sehingga tujuan pembinaan sesuai dengan sistem pemasyarakatan tidak terwujud. 45 Keberhasilan dalam proses pembinaan warga binaan sangat difokuskan pada petugas pemasyarakatan. Sesuai dengan UU Pemasyarakatan maka seharusnya petugas pemasyarakatan dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan sistem pemasyarakatan, agar terwujud tujuan dari pemasyarakatan yang seutuhnya, karena apabila petugas pemasyarakatan tidak paham dan tidak menjalankan tugas sesuai dengan apa yang dimaksud dengan UU Pemasyarakatn ini maka tujuan dari pemasyarakatan ini tidak akan terwujud bahkan akan terjadi 44 Suwarto, Individualisasi Pemidanaan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2013, hal.18. 45 Ibid., Hal. 90. kegagalan dalam pembinaannya seperti terjadinya perkelahian antar sesama warga binaan, ataupun warga binaan berusaha untuk melarikan diri.

B. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan