Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita, Di Rutan Kelas II B Kabanjahe

(1)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

MELIASTA JULIN BR M NIM : 100200038

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(2)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

MELIASTA JULIN BR M NIM : 100200038

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disahkan/Diketahui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. Hamdan, SH, M.Hum NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, S.H, M.Hum Dr. Marlina, S.H, M.Hum

196209071988112001 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan rahmat-NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita, Di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahnda Herman Munthe dan Ibunda Magdalena Br Sembiring, Amk atas semua doa, cinta kasih, dukungan moril dan materil yang tiada habisnya diberikan kepada penulis dengan tulus dan penuh kasih sayang dan selalu menjadi sumber inspirasi bagi penulis

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis ini telah mendapatkan bantuan dari beberapa pihak, maka pada kesempatan inii penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, Sh, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Pembantu Dekan II


(4)

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Suumatera Utara

5. Bapak Dr. H. M. Hamdan SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

6. Ibu Liza Erwina SH, M.Hum selaku sekertaris Departemen Hukum Pidana

7. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum dan Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku

Dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini

8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Seluruh pegawai pemasyarakatan Rutan Kelas II B Kabanjahe yang telah

bersedia memberi data kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada Kakak dan Abang tercinta, Yanthi Valentina Br Munthe, Edward

Sinulingga, Timotius Efrata Munthe, dan Sartika Sembiring yang telah memberi dukungan doa, moril, dan materi dalam menyelesaikan menyelesaikan skripsi ini, serta kepada kurcaci kecilku Gabriel Edyandra Sinulingga dan Rafael Febrisky Sinulingga yang telah mampu menghilangkan rasa penat dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Kepada Bryan Fernandes Sipayung, yang telah mendukung, memotivasi dan

mendoakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Kepada Teman-teman menara kost, kak Winda, Erika, Nina, Bora, Jojo,

terimakasih untuk bantuan dan motivasinya,

13. Kepada sahabat-sahabatku tersayang, Friska, Apri, Yoyo, Meilissa, dan


(5)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi masih memiliki banyak kekeliruan, oleh karena itu penulis mohon maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan oleh penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir katya penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapat berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, 2014

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 9

D.Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Pidana, Tujuan dan Teori Pemidanaan ... 11

a. Pidana dan Pemidanaan ... 11

b. Tujuan Pemidanaan ... 15

c. Jenis-jenis Teori Pemidanaan ... 17

2. Tujuan Pembinaan ... 19

a. Pengertian Pembinaan ... 19

b. Tujuan Pembinaan ... 21

3. Warga Binaan ... 22

a. Pengertian Warga Binaan ... 22

b. Jenis-jenis Warga Binaan ... 22

G. Metode Penelitian ... 26

1. Jenis Penelitian ... 26

2. Lokasi Penelitian ... 27

3. Sumber Data ... 27

4. Metode Pengumpulan Data ... 28

5. Analisis Data ... 28

H. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II PENGATURAN PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA ... 30

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ... 30

B. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 36


(7)

C. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan ... 45

BAB III PROSES PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA ... 60

A. Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 60

B. Warga Binaan Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 67

C. Proses Pembinaan Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 69

1. Metode Pembinaan ... 71

2. Bentuk-bentuk Pembinaan... 76

3. Hak dan Kewajiban Warga Binaan Wanita ... 77

4. Prinsip-prinsip Dasar Pembinaan ... 82

BAB IV HAMBATAN DAN CARA MENGATASI HAMBATAN DALAM PROSES PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE ... 92

A. Hambatan dalam Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 92

1. Hambatan Dari Warga Binaan Wanita ... 92

2. Hambatan Dari Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 96

B. Upaya Mengatasi Hambatan Dalam Proses Pembinaan Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Warga Binaan Wanita Se Sumatera Utara ... 2


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Denah Lokasi Rutan Kelas II B Kabanjahe

Lampiran 2 Skema Struktur Organisasi Rutan Kelas II B Kabanjahe

Lampiran 3 Tabel Jumlah Warga Binaan Wanita Di Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe

Lampiran 4 Tabel Daftar Warga Binaan Wanita Di Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe (4 Maret 2014)

Lampiran 5 Tabel Jadwal Kegiatan Sehari-hari Warga Binaan Wanita Di Rutan

Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe

Lampiran 6 Daftar Menu Makanan Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe Sirklus 10 ( Sepuluh) Hari.


(10)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, STUDI DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA KABANJAHE

ABSTRAK Meliasta Julin Br M 1 Nurmalawaty, SH, M.Hum **

Dr. Marlina, SH, M.Hum ***

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi kaum wanita untuk melakukan tindak pidana. Antisipasi atas tindak pidana tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif

melalui penegakan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum,

diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. Penjatuhan pidana yang diberikan bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam melainkan sebagai pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepada terpidana bertujuan agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Konsep pemidanaan yang demikian bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi ini di Indonesia disebut sebagai pemasyarakatan.

Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu “penelitian yang

bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan

langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian Studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer,

data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan wanita diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990. Proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe dilakukan sebagian besar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan. Proses pembinaan di Rutan Kelas II B blok wanita Kabanjahe dilakukan dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga binaan wanita dan prinsip-prinsip pemasyarakatan yang sesuai dengan Pancasila dan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang dimiliki tiap-tiap warga binaan wanita.

      

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***


(11)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, STUDI DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA KABANJAHE

ABSTRAK Meliasta Julin Br M 1 Nurmalawaty, SH, M.Hum **

Dr. Marlina, SH, M.Hum ***

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi kaum wanita untuk melakukan tindak pidana. Antisipasi atas tindak pidana tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif

melalui penegakan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum,

diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. Penjatuhan pidana yang diberikan bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam melainkan sebagai pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepada terpidana bertujuan agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Konsep pemidanaan yang demikian bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi ini di Indonesia disebut sebagai pemasyarakatan.

Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu “penelitian yang

bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan

langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian Studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer,

data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan wanita diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990. Proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe dilakukan sebagian besar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan. Proses pembinaan di Rutan Kelas II B blok wanita Kabanjahe dilakukan dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga binaan wanita dan prinsip-prinsip pemasyarakatan yang sesuai dengan Pancasila dan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang dimiliki tiap-tiap warga binaan wanita.

      

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***


(12)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

MELIASTA JULIN BR M NIM : 100200038

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(13)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

MELIASTA JULIN BR M NIM : 100200038

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disahkan/Diketahui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. Hamdan, SH, M.Hum NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, S.H, M.Hum Dr. Marlina, S.H, M.Hum

196209071988112001 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014


(14)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan rahmat-NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita, Di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahnda Herman Munthe dan Ibunda Magdalena Br Sembiring, Amk atas semua doa, cinta kasih, dukungan moril dan materil yang tiada habisnya diberikan kepada penulis dengan tulus dan penuh kasih sayang dan selalu menjadi sumber inspirasi bagi penulis

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis ini telah mendapatkan bantuan dari beberapa pihak, maka pada kesempatan inii penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, Sh, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Pembantu Dekan II


(15)

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Suumatera Utara

5. Bapak Dr. H. M. Hamdan SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

6. Ibu Liza Erwina SH, M.Hum selaku sekertaris Departemen Hukum Pidana

7. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum dan Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku

Dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini

8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Seluruh pegawai pemasyarakatan Rutan Kelas II B Kabanjahe yang telah

bersedia memberi data kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada Kakak dan Abang tercinta, Yanthi Valentina Br Munthe, Edward

Sinulingga, Timotius Efrata Munthe, dan Sartika Sembiring yang telah memberi dukungan doa, moril, dan materi dalam menyelesaikan menyelesaikan skripsi ini, serta kepada kurcaci kecilku Gabriel Edyandra Sinulingga dan Rafael Febrisky Sinulingga yang telah mampu menghilangkan rasa penat dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Kepada Bryan Fernandes Sipayung, yang telah mendukung, memotivasi dan

mendoakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Kepada Teman-teman menara kost, kak Winda, Erika, Nina, Bora, Jojo,

terimakasih untuk bantuan dan motivasinya,

13. Kepada sahabat-sahabatku tersayang, Friska, Apri, Yoyo, Meilissa, dan


(16)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi masih memiliki banyak kekeliruan, oleh karena itu penulis mohon maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan oleh penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir katya penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapat berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, 2014

Penulis


(17)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 9

D.Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Pidana, Tujuan dan Teori Pemidanaan ... 11

a. Pidana dan Pemidanaan ... 11

b. Tujuan Pemidanaan ... 15

c. Jenis-jenis Teori Pemidanaan ... 17

2. Tujuan Pembinaan ... 19

a. Pengertian Pembinaan ... 19

b. Tujuan Pembinaan ... 21

3. Warga Binaan ... 22

a. Pengertian Warga Binaan ... 22

b. Jenis-jenis Warga Binaan ... 22

G. Metode Penelitian ... 26

1. Jenis Penelitian ... 26

2. Lokasi Penelitian ... 27

3. Sumber Data ... 27

4. Metode Pengumpulan Data ... 28

5. Analisis Data ... 28

H. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II PENGATURAN PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA ... 30

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ... 30

B. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 36


(18)

C. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan ... 45

BAB III PROSES PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA ... 60

A. Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 60

B. Warga Binaan Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 67

C. Proses Pembinaan Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 69

1. Metode Pembinaan ... 71

2. Bentuk-bentuk Pembinaan... 76

3. Hak dan Kewajiban Warga Binaan Wanita ... 77

4. Prinsip-prinsip Dasar Pembinaan ... 82

BAB IV HAMBATAN DAN CARA MENGATASI HAMBATAN DALAM PROSES PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE ... 92

A. Hambatan dalam Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 92

1. Hambatan Dari Warga Binaan Wanita ... 92

2. Hambatan Dari Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 96

B. Upaya Mengatasi Hambatan Dalam Proses Pembinaan Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104 DAFTAR PUSTAKA


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Warga Binaan Wanita Se Sumatera Utara ... 2


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Denah Lokasi Rutan Kelas II B Kabanjahe

Lampiran 2 Skema Struktur Organisasi Rutan Kelas II B Kabanjahe

Lampiran 3 Tabel Jumlah Warga Binaan Wanita Di Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe

Lampiran 4 Tabel Daftar Warga Binaan Wanita Di Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe (4 Maret 2014)

Lampiran 5 Tabel Jadwal Kegiatan Sehari-hari Warga Binaan Wanita Di Rutan

Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe

Lampiran 6 Daftar Menu Makanan Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe Sirklus 10 ( Sepuluh) Hari.


(21)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, STUDI DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA KABANJAHE

ABSTRAK Meliasta Julin Br M 1 Nurmalawaty, SH, M.Hum **

Dr. Marlina, SH, M.Hum ***

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi kaum wanita untuk melakukan tindak pidana. Antisipasi atas tindak pidana tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif

melalui penegakan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum,

diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. Penjatuhan pidana yang diberikan bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam melainkan sebagai pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepada terpidana bertujuan agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Konsep pemidanaan yang demikian bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi ini di Indonesia disebut sebagai pemasyarakatan.

Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu “penelitian yang

bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan

langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian Studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer,

data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan wanita diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990. Proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe dilakukan sebagian besar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan. Proses pembinaan di Rutan Kelas II B blok wanita Kabanjahe dilakukan dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga binaan wanita dan prinsip-prinsip pemasyarakatan yang sesuai dengan Pancasila dan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang dimiliki tiap-tiap warga binaan wanita.

      

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk saat ini semakin hari semakin mengalami peningkatan. Peningkatan yang sedemikian rupa, tidak diimbangi dengan pertumbuhan di bidang sektor ekonomi, khususnya di bidang lapangan kerja dan sumber daya manusia. Situasi seperti ini cenderung mengakibatkan meningkatnya kasus kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Kasus kriminalitas sering juga disebut dengan tindak pidana.

Menurut Mulyatno, tindak pidana merupakan perbuatan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat

dikenakan sanksi pidana.2 Tindak pidana merupakan perbuatan yang dapat

dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak menutup

kemungkinan bagi kaum wanita untuk melakukan tindak pidana.3

Dewasa ini banyak jenis tindak pidana yang dapat dilakukan oleh wanita antara lain yaitu tindak pidana pencurian, tindak pidana pembunuhan, tindak pidana aborsi, tindak pidana penipuan, tindak pidana korupsi, tindak pidana penyalah gunaan narkoba dan obat-obat terlarang, tindak pidana penyuapan, tindak pidana di bidang kesusilaan, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana perjudian, tindak pidana pelanggaran lalu lintas.

      

2

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2012, hal. 48

3


(23)

Tindak pidana yang telah disebutkan diatas juga terjadi di Sumatera Utara, hal ini dapat kita lihat secara jelas dalam kasus yang yang terjadi di Lubuk Pakam yang dilakukan oleh Santi Magdalena Manurung atau SMM berumur 35 Tahun. Santi melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Selo Alpiano Nababan yang masih berumur 4 tahun. Selo merupakan warga Motung Dusun VII desa Pagar Jati Kecamatan Lubuk Pakam. Pembunuhan ini dilakukan dengan cara penyekapan, dengan cara mengikat kaki dan tangan, serta menutup mulut dan hidung selo dengan lakban, yang berakhir dengan kematian selo pada tanggal 18 februari 2013. Pembunuhan ini dilakukan santi hanya karena memiliki dendam dengan ibu

korban (selo).4

Tabel berikut ini menunjukkan jumlah narapidana wanita yang berada di

Sumatera Utara.5

BUL 2006-2009 2007-2010 2008-2011 2009-2012

JANUARI 326 359 388 413

PEBRUARI 491 356 396 427

MARET 321 364 421 450

APRIL 340 343 395 466

MEI 350 365 385 471

JUNI 378 369 115 480

      

4

 http://sumutpos.co/2013/02/52969/pembunuhan-dilakukan-tanpa-sepengetahuan-suami, diakses tanggal 26 Februari 2014 pukul 23.18  

5


(24)

JULI 356 371 400 488

AGUSTUS 365 385 394 458

SEPTEMBER 380 388 413 461

OKTOBER 375 366 437 429

NOVEMBER 380 397 436 460

DESEMBER 361 395 428 457

JUMLAH 4423 4458 4608 5460

Tabel 1 : Jumlah warga binaan wanita se Sumatera Utara

Banyak faktor yang menyebabkan seorang wanita itu dapat melakukan tindak pidana. Pertama, faktor psikologis yang mencari ciri-ciri psikis pada para penjahat didasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat

dan ciri-ciri psikis tersebut terletak pada intelegensinya yang rendah.6 Faktor

psikologis penjahat dapat berupa ketidak matangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kemungkinan cacat dalam kesadaran, dan perkembangan

moral yang lemah.7 Kejahatan yang disebabkan oleh faktor psikologis dapat

berupa pembunuhan, karena terkadang pembunuhan ini dilakukan dengan cara tiba-tiba dan kehilangan kesadaran yang diakibatkan oleh emosi yang meningkat sehingga melakukan pembunuhan terhadap lawannya.

      

6

H. R. Abdussalam, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta, 2007, hal. 39.

7

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 36. 


(25)

Kedua, faktor sosiologis, yaitu suatu kejahatan yang terjadi akibat keadaan sosial di sekeliling. Teori ini mempelajari, meneliti, dan membahas hubungan antara masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok baik karena hubungan tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok,

sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan.8 Faktor sosiologis

sering juga disebut dengan faktor lingkungan. Faktor lingkungan tempat tinggal sangat mempengaruhi seorang manusia dalam kehidupannya, misalnya apabila seorang anak tinggal di lingkungan kumuh dan mayoritas penduduknya merupakan orang yang tidak berpendidikan, maka anak ini akan tumbuh menjadi orang yang tidak bependidikan juga. Tindak pidana yang terjadi karena faktor sosiologis misalnya pemakaian narkoba dan obat-obat terlarang. Pemakaian narkoba dan obat-obat terlarang bisa saja terjadi karena faktor sosiologis, dimana seseorang hidup ditengah-tengah orang-orang yang menggunakan narkoba dan obat-obat terlarang sehingga pada akhirnya terpengaruh untuk mengkonsumsinya.

Ketiga, faktor ekonomi, faktor ini juga sangat mempengaruhi seseorang untuk melakukan suatu kejahatan. Kehidupan ekonomi merupakan hal yang fundamental bagi seluruh struktur sosial dan kultural dan karenanya menentukan semua urusan dalam struktur tersebut. Pandangan kriminologi kuno, menyatakan kejahatan sebagai akibat yang wajar dari kesengsaraan yang meluas, sehingga mereka percaya bahwa dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat luas maka

akan dapat mengurangi kejahatan, khususnya kejahatan dalam bidang ekonomi.9

Tindak pidana yang disebabkan oleh faktor ekonomi dapat berupa tindak pidana       

8 

Ibid., hal. 52 

9


(26)

pencurian, dimana sering kali tindak pidana pencurian ini dilakukan karena faktor ekonomi yang lemah.

Keempat, faktor multifaktor (gabungan faktor) faktor ini merupakan gabungan dari beberapa faktor penyebab tindak pidana lainnya. Tindak pidana yang disebabkan oleh faktor multifaktor misalnya tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang mengambil sesuatu yang bukan hak nya. Menurut Black tindak pidana korupsi ialah perbuatan seorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu

keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.10 Tindak pidana korupsi bisa

saja disebutkan oleh faktor ekonomi dan faktor sosiologis.

Antisipasi atas tindak pidana tersebut diantaranya dengan memfungsikan

instrumen hukum (pidana) secara efektif melalui penegakan hukum (law

enforcement). Melalui instrumen hukum, diupayakan perilaku yang melanggar

hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif.

Penjatuhan pidana yang diberikan bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam melainkan sebagai pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepada terpidana bertujuan agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Konsep pemidanaan yang demikian bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi ini di Indonesia disebut sebagai pemasyarakatan.

      

10


(27)

Konsep rehabilitasi dalam pemasyarakatan yaitu dengan mengembalikan kembali warga binaan wanita itu ke masyarakat dengan perlilaku yang baik dan lebih berguna bagi masyarakat, bangsa, dan Negara. Proses rehabilitasi dalam pemasyarakatan dilakukan salah satunya dengan memberikan keterampilan bagi warga binaan sehingga setelah keluar dari LAPAS atau Rutan warga binaan wanita ini tetap memiliki keterampilan dan kesiapan untuk diperkerjakan.

Menurut Suhardjo“Negara tidak berhak membuat seseorang menjadi lebih jahat dari sebelum ia dipenjarakan, serta berpijak pada tujuan pemasyarakatan adalah membina napi, maka pendekatan terhadap sistem

pemasyarakatan seharusnya digunakan pendekatan pembinaan (treatment

approach). Berarti pembinaan adalah faktor yang paling utama dalam

pemasyarakatan, dan bukan keamanan. Karena pembinaan adalah tujuan utama dari pemasyarakatan dan bukan keamanan. Keamanan hanya sebagai sub-bagian dari pembinaan. Keamanan adalah salah satu dari

sekian banyak penopang keberhasilan pembinaan narapidana.”11

Indonesia telah mempunyai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemasyarakatan baik itu berbentuk undang-undang dan peraturan pemerintah, namun dalam sistem pemasyarakatan sekarang, masih nampak adanya kepincangan dan ketidakselarasan dari komponen-komponen sistem pemasyarakatan. Ketidakselarasan ini dapat kita lihat dari proses pembinaan narapidana yang terjadi di LAPAS yang tidak berhasil akibat kurangnya penjaga LAPAS sehingga banyak warga binaan yang berhasil melakukan upaya melarikan diri dari LAPAS.

Ketidak selarasan antara komponen-komponen sistem pemasyarakatan juga dapat menimbulkan kekerasan di LAPAS. Kekerasan adalah risiko terbesar yang harus dihadapi petugas LAPAS. Petugas LAPAS harus siap menghadapi serangan dari pihak lain, serangan dari napi kepada petugas, atau dari napi kepada sesama napi lainnya. Petugas harus selalu maklum dan siap siaga, karena serangan fisik dapat terjadi sewaktu-waktu, tetapi       

11


(28)

tidak tahu pasti kapan terjadi. Petugas yang telah berpengalaman telah belajar bagaimana cara menangani para narapidana, petugas telah belajar cara bagaimana mendinginkan suasana untuk menghindari terjadinya kekerasan di LAPAS, karena itu dalam proses pembinaan harus didukung dengan petugas yang telah didukung oleh pendidikan maupun

pengalamannya.12

Ketidakselarasan ini juga dapat dilihat dari kurangnya sarana dan prasarana yang ada di LAPAS sehingga hak-hak dari warga binaan tidak dapat dijalankan dengan baik, misalnya di sebuah LAPAS tidak memiliki sebuah poliklinik sehingga apabila seorang warga binaan sakit maka pemeriksaan dilakukan di dalam sel saja. Ketidak selarasan dari komponen pemasyarakatan ini, sangat berpengaruh terhadap kegagalan dalam proses pembinaan warga binaan.

Ketidak selarasan ini dapat menimbulkan kegagalan dalam proses pembinaan dalam pemasyarakatan, sehingga tujuan dari pemasyarakatan untuk memasyarakatkan kembali warga binaan dapat tidak terlaksana. Ketidak selarasan ini dapat menimbulkan pemberontakan dalam jiwa warga binaan, sehingga memungkimkan si warga binaan untuk melakukan tindak pidana itu lagi, setelah warga binaan keluar dari LAPAS atau selesai menjalani pidananya.

Proses pemasyarakatan sebenarnya bukan hanya sebagai urusan pemerintah tetapi juga swasta. Masyarakat dapat ikut serta dalam :

1. Para pengusaha memberi pekerjaan pada narapidana yang dikirim oleh

kantor perburuhan padanya atau oleh perkumpulan sosial;

2. Perkumpulan buruh menerima mereka sebagai anggota sesudah

menyelesaikan latihan salah satu lapangan kejuruan pekerjaan;

3. Perkumpulan seperti kesenian, olahraga, hiburan menerima mereka

sebagai anggota;

4. Orang yang mempunyai cukup ruangan menyewakan tempat kepada

mereka untuk bekerja yang dikirim oleh perkumpulan swasta;

5. Anggota masyarakat pada umumnya menerima pelanggar hukum

sebagai tetangga atau kenalan baik-baik.13

      

12

David J Cooke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison, Menyikap Dunia Gelap Penjara, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal.159.

13

Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal.106.


(29)

Hambatan-hambatan yang sering kali dihadapi dalam pembinaan warga binaan wanita saat ini tidak terlepas dari semakin banyaknya jumlah warga binaan wanita yang terdapat di LAPAS atau RUTAN di berbagai daerah. Hambatan-hambatan tersebut dapat berupa kurangnya dana dari pusat yang berfungsi untuk mendukung proses pembinaan, atau bahkan kurangnya petugas LAPAS atau RUTAN dalam penyelenggaraan pemasyarakatan dan hambatan-hambatan lainnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat suatu

permasalahan dengan judul “Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan

Wanita, Di Rutan Kelas II B Kabanjahe”

B.Permasalahan

Penelitian ilmiah yang dilakukan ini, memerlukan rumusan masalah yang spesifik dan dapat dijadikan fokus masalah untuk kemudian dikaji dan diteliti secara mendalam menurut metode penelitian yang ada. Permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang senyatanya, antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, antara harapan dengan capaian atau

singkatnya antara das sollen dengan das sein.14

      

14

Bambang Sunngono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.105.


(30)

Permasalahan hukum yang dimaksud pada bagian penelitian ini adalah uraian mengenai persoalan-persoalan atau pertanyaan-pertanyaan dari kasus yang

akan dijawab secara ber urutan dan sistematis15.

Berdasarkan penjelasan diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini ditegaskan antara lain sebaagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan pembinaan warga binaan wanita menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

2. Bagaimanakah proses pembinaan terhadap warga binaan wanita di RUTAN

Kelas II B Kabanjahe?

3. Apa hambatan dan upaya mengatasi hambatan dalam proses pembinaan

terhadap warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe?

C.Tujuan Penelitian

Suatu penelitian dapat merupakan penelitian yang bertujuan untuk

menemukan fakta belaka (fact-finding)16. Dalam setiap penelitian ilmiah perlu

ditegaskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar penelitian dapat berjalan secara benar dan mencapai tujuan yang dirumuskan. Seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, dengan mengajukan masalah yang diteliti seperti telah dikemukakan pada sub bab permaslahan terdahulu. Karena itu dapat dirumuskan tujuan penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui pengaturan pembinaan warga binaan wanita menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia       

15

H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 117.

16


(31)

2. Untuk mengetahui proses pembinaan terhadap warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

3. Untuk mengetahui hambatan dan upaya mengatasi hambatan dalam proses

pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

D.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan17.

Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat dan memperluas wawasan bagi penulis, mahasiswi, pemerintah, dan masyarakat umum mengenai proses pembinaan warga binaan wanita, riset di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis adalah untuk dasar pengambilan keputusan dalam upaya

memecahkan masalah yang timbul18. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat

menjadi bahan acuan pihak-pihak terkait dalam menentukan arah kebijaksanaan dan merupakan sumber hukum untuk mengetahui proses pembinaan terhadap warga binaan wanita.

      

17

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 192.

18  Ibid. 


(32)

E.Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi yang berjudul Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita, Riset di Rutan Kelas II B Kabanjahe benar merupakan hasil karya Penulis sendiri, yang mana sumbernya diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, media elektronik yang berhubungan dengan skripsi ini, dan Studi yang dilakukan di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

Sepanjang pengetahuan berdasarkan hasil penelusuran data kepustakaan Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara bahwa skripsi dengan judul Proses Pembinaan terhadap Warga Binaan Wanita, Riset di Rutan Kelas II B Kabanjahe, belum pernah ada yang menulis sebelumnya.

F. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pidana, Tujuan, Dan Teori Pemidanaan a. Pidana Dan Pemidanaan

Pidana berasal kata straf (Belanda), sering disebut dengan istilah

hukuman. Algra Jassen berpendapat pidana atau straf adalah alat yang

dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang sehaarusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, atau harta kekayaannya, yaitu

seandainya ia telah tidak melakukan tindak pidana.19

      

19


(33)

Pidana merupakan hal yang tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan. Pemidanaan sinonim dengan istilah penghukuman. Menurut Sudarto,

pemidanaan diartikan sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana.20

Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi, pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Pidana tambahan meliputi pencabutan beberapa hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hak-hakim.

a) Pidana Penjara

Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara minimal satu hari dan maksimal seeumur hidup. Pidana penjara dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan atau sering disebut dengan LAPAS atau bisa juga dilaksanakan di rumah tahanan (RUTAN). Pidana penjara biasanya dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana berat.

Pidana penjara merupakan jenis pidana dibawah pidana mati. Ketentuan

dalam pidana penjara yang dapat dijadikan sebagai jus constituendum,

yaitu sebagai berikut :

(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu

tertentu. Waktu tertentu dijatuhkan paling lama lima belas tahun berturut-turut atau paling singkat satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus.

(2) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup;

atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara lima belas tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun berturut-turut.

(3) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang

sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, Menteri Kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) Pelepasan bersyarat

(a) Menteri Kehakiman dapat memberikan keputusan pelepasan

bersyarat apabila terpidana telah mengalami setengah dari pidana       

20


(34)

penjara yang dijatuhkan, sekurang-kurangnya sembilan bulan dan berkelakuan baik.

(b) Dalam pelepasan bersyarat ditentukan masa percobaan yaitu

selama sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan satu tahun. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan ialah sebagai berikut : Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan Terpidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.

(c) Terpidana yang mengalami beberapa pidana penjara berturut-turut,

belum waktu tiga bulan terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jangka waktu antara saat mulai menjalani pelepasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani

pidana.21

b) Pidana kurungan

Pidana kurungan merupakan jenis pidana yang hampir sama dengan pidana penjara, yaitu pidana yang membatasi kebebasan bergerak dari seseorang pelaku tindak pidana yang ditempatkan dalam LAPAS ataupun rumah tahanan (RUTAN). Pidana kurungan merupakan pidana yang lebih singkat dari pidana penjara, sehingga dapat disimpulkan bahwa pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Pasal 18 ayat (1) KUHP mengatakan bahwa pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-uRUTANnya

dalam Pasal 10 KUHP 22. Pasal ini menjelaskan bahwa pidana kurungan

menempati uRUTAN ketiga, di bawah pidana mati dan pidana penjara. Pidana kurungan memang di pandang sebagai pidana yang ditujukan kepada delik-delik yang dipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran.

      

21

Bambang Waluyo Pidana Dan Pemidanaan,Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 16-17.

22


(35)

Perbedaan lain antara pidana kurungan dengan pidana penjara adalah pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana kurungan lebih ringan dibandingkan terpidana penjara. Pidana kurungan sebenarnya bertujuan untuk menakutkan

(afschrikking) bukan untuk perbaikan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

menentukan bahwa pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, jika ada pemberat pidana yang disebabkan karena pembarengan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan, pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih

dari satu tahun empat bulan.23

Secara ringkas perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan

adalah sebagai berikut24

Hukuman Penjara Hukuman Kurungan

1. Diancam terhadap (tindak pidana)

kejahatan berat

1. Diancam sebagai hukuman alternatif

dan untuk (tindak pidana) pelanggaran

2. Maksimumnya 15 tahun atau dapat

diperberat menjadi 20 tahun

2. maksimumnya 1 tahun atau dapat diperberat menjadi 1 tahun 4 bulan

3. Dapat dilaksanakan di semua tempat

(Lembaga Pemasyarakatan/LAPAS)

3. hanya dilaksanakan di (LAPAS) daerah tempat tinggal terpidana

      

23

Ibid, Pasal 18 ayat (1),(2), dan (3).

24

H.M.Hamdan”Hukuman Dan Pengecualian Hukuman Menurut KUHP Dan KUHAP,


(36)

4. Terpidana tidak mendapatkan hak pistole

4. terpidana mendapatkan hak pistole

Tabel 2 : Perbedaan hukuman penjara dan hukuman kurungan

Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pokok pidana

ataupun pengganti dari pidana denda. Menurut Memorie van Toelichting,

dimasukkannya pidana kurungan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu telah terdorong oleh dua macam kebutuhan, yaitu :

a. Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangat

sederhana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak atau suatu

pembatasan kebebasan bergerak atau suatu vrijheidsstraf yang sifatnya

sangat sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan.

b. Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu

pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya tidak begitu mengekang bagi delik yang menurut sifatnya “tidak” menunjukkan adanya suatu kecerobokan mental atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat

pada pelakunya ataupun sering disebut juga sebagai custodia honesta

belaka.25

b. Tujuan Pemidanaan

Roeslan saleh berpendapat bahwa, pidana merupakan reaksi atas delik yang banyak berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada

pembuat delik26. Pidana juga sering disebut juga dengan hukuman. Hukuman

merupakan sesuatu yang secara sengaja diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang (Hakim) bagi orang-orang yang telah melanggar aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Delik merupakan suatu perbuatan yang dilakukan individu maupun sekelompok individu yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku saat ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa pidana merupakan hukuman yang secara sengaja diberikan kepada individu atau pun sekelompok individu yang       

25

P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta, Bandung, 1987. Hal.84, dalam buku Marlina,Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal.111. 

26


(37)

melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick menyatakan bahwa tujuan

pidana adalah untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent

recidivism), mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang

dilakukan si terpidana (to deter other from the performance of similar acts),

menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel

for the expression of retaliatory motives)27. Emile Durkheim mengemukakan

mengenai fungsi dari pidana untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan

emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan (the

function of punishment is to create a possibility for the release of emotion that are araoused by the crime)28.

Tujuan dari pemidanaan diatur dalam Pasal 2 konsep tahun 1971/1972, selengkapnya Pasal 2 menentukan :

1. Maksud tujuan pemidanaan

a. Untuk mencegah dilakukannya tindakan pidana demi pengayoman

negara, masyarakat dan penduduk.

b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota

masyarakat yang berbudi baik dan berguna.

2. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Pemidanaan tidak dimaksukan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Kemudian tujuan pemidanaan tersebut mengalami perubahan, pada konsep KUHP tahun 1982/1983, Buku I menyatakan bahwaa tujuan pemberian pidana adalah :

1. Pemidanaan bertujuan untuk :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum dari pengayoman masyarakat.       

27

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992 hal. 20

28 ibid


(38)

b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

c. Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dalam konsep rancangan KUHP tahun 1991/1992, tujuan pidana ditentukan sebagai berikut ;

1. Pemidanaan bertujuan untuk :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum dari pengayoman masyarakat.

b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian

menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

c. Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Selanjutnya, dalam konsep KUHP Nasional tahun 2000 mengenai tujuan pemidanaan secara tegas diatur dalam Pasal 50, selengkapnya Pasal 50 konsep KUHP Nasional tahun 2000 yang menentukan bahwa :

1. Pemidanaan bertujuan untuk :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mencegah norma

hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia29

RUU KUHP tahun 2004 menyebutkan tujuan pemidanaan dalam Pasal 50 yaitu :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat.       

29


(39)

2. Anak di bawah umur bukan merupakan alasan penghapus pidana, namun hanya disebutkan sebagai alasan yang dapat meringankan pidana.

3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.30

c. Jenis-jenis Teori Pemidanaan

1) Teori Absolut (Pembalasan)

Tujuan dijatuhkannya pemidanaan menurut teori absolut adalah menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kesalahan atau kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Tujuan pemidanaan hanya merupakan pembalasan. Pembalasan ini dirasakan adil karena pemidanaan dijatuhkan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang amoral dan asusila di tengah-tengah masyarakat. Kesimpulannya bahwa teori absolut merupakan pemidanaan yang dijatuhkan untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berprikelakuan amoral dan asusila, dan pembalasan yang dilakukan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.

2) Teori Relatif (Tujuan/Manfaat)

Tujuan pemidanaan menurut Beccaria adalah mencegah seseorang untuk

melakukan kejahatan, dan bukan menjadi sarana balas dendam masyarakat (the

purpose of punishment is to deter persons from the commission of crime and not to provide social revenge)31.

      

30

https://www.google.com/search?q=konsep+KUHP+Nasional+tahun+2012&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a, diakses tanggal 14 April 2014 Pukul 16.00 Wib.

31

M.Hamdan, Hukuman Dan Pengecualian Hukuman Menurut KUHP Dan KUHAP, USU Press, Medan, 2010, hal. 11


(40)

Teori relatif berpandangan bahwa pemidanaan itu dilakukan untuk mencegah dilakukannya kembali perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga tercipta masyarakat yang taat hukum.

3) Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga bermaksud untuk melindungi masyarakat dengan cara mewujudkan ketertiban. Teori gabungan menjelaskan bahwa pemidanaan dilakukan untuk melakukan pembalasan secara sengaja kepada si pembuat delik atau pelaku kejahatan untuk melindungi masyarakat. Pemidanaan bertujuan untuk melindungi masyrakat maksudnya ialah, dengan adanya pemidanaan maka seseorang yang berniat untuk melakukan kejahatan akan berpikir berulang kali, karena dengan melakukan kejahatan, berarti sudah siap menerima pembalasan dari kejahatan yang dilakukan, sehingga niat tidak akan terlaksana dan tercipta lah ketertiban di tengah-tengah masyarakat.

2. Tujuan Pembinaan a. Pengertian Pembinaan

Pembinaan ialah suatu tahapan yang secara sengaja dilakukan untuk memperlakukan seorang narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Pembinaan ini meliputi pembinaan pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam


(41)

masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.

Pembinaan terhadap pribadi dan budi pekerti yang dimaksudkan tidaklah tanpa batas, akan tetapi selama waktu tertentu memberi perubahan agar narapidana di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum yang berlaku di masyarakat. Arah pembinaan harus tertuju pada membina pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi kejahatan dan menaati peraturan hukum, dan membina hubungan antara narapidana dengan masyrakat luar, agar dapat berdiri sendiri dan diterima menjadi anggotanya.

Sitem pembinaan berawal dari sistem pemenjaraan, sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan. Sistem pemenjaraan menempatkan warga binaan pada tempat yang diberi nama penjara. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan dan disertai dengan penjara, secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem yang tidak sejalan dengan proses rehabilitasi, agar terpidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964, sistem pembinaan bagi warga binaan telah berubah, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan, dalam proses pembinaan warga binaan menempatkan warga binaan di LAPAS atau RUTAN.

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta pembinaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarkat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari


(42)

kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara

yang baik dan bertanggung jawab32.

Pembinaan dengan bimbingan dan, kegiatan lainnya yang diprogramkan terhadap narapidana dapat meliputi cara pelaksanaan:

1) Bimbingan mental

Diselenggarakan dengan pendidikan agama, kepribadian dan budi pekerti, dan pendidikan umum yang diarahkan untuk membangkitkan sikap mental baru sesudah menyadari akan kesalahan masa lalu.

2) Bimbingan sosial

Diselenggarakan dengan memberikan pengertian akan arti pentingnya hidup bermasyarakat, dan pada masa-masa tertentu diberikan kesempatan untuk assimilasi serta integrasi dengan masyarakat di luar.

3) Bimbingan keterampilan

Diselenggarakan dengan kursus, latihan kecakapan tertentu sesuai dengan bakatnya, yang nantinya menjadi bekal hidup untuk mencari nafkah dikemudian hari.

4) Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai, untuk hidup dengan

teratur dan belajar menaati peraturan,

5) Bimbingan-bimbingan lainnya yang menyangkut perawatan kesehatan, seni

budaya dan sedapat-dapatnya diperkenalkan kepada segala aspek kehidupan bermasyrakat dalam bentuk tiruan masyarakat kecil selaras dengan lingkungan sosial yang terjadi di luarnya.

      

32


(43)

b. Tujuan Pembinaan

Tujuan pembinaan ialah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami konflik sosial, sebagai suatu cara baru untuk menjadikan seseorang berguna bagi negara dan masyarakat sekitar. Secara umum tujuan pembinaan adalah untuk membuat narapidana mampu beritegrasi secara wajar dalam kehidupan kelompok selama dalam LAPAS atau RUTAN dan kehidupan yang lebih luas dalam masyarakat, setelah menjalani pidana. Pembinaan juga bertujuan untuk menciptakan manusia yang patuh terhadap hukum, dan tidak mau lagi mengulang perbuatan yang melanggar hukum.

3. Warga Binaan

a. Pengertian warga binaan

Warga binaan merupakan warga masyarakat yang dibina dalam suatu LAPAS atau RUTAN ataupun di luar LAPAS ataupun RUTAN. Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien

pemasyarakatan.33 Warga masyarakat merupakan manusia biasa yang memiliki

hak selayaknya manusia, hanya saja warga binaan ini dipisahkan dari masyarakat karena melakukan perbuatan yang dilanggar oleh hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

b. Jenis-jenis warga binaan

1) Narapidana

Narapidana adalah seseorang yang menjalani pidana hilang kemerdekaann ataupun pidana penjara maupun pidana kurungan yang ditempatkan di LAPAS

      

33


(44)

atau RUTAN. Hilang kemerdekaan merupakan suatu penderitaan warga binaan yang harus berada di LAPAS atau RUTAN untuk jangka waktu tertentu, sehingga Negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaiki perilaku warga binaan ke arah yang lebih baik lagi, sedangkan LAPAS atau RUTAN adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana atau warga binaan.

Narapidana sering juga disebut dengan “si terpidana”. Terpidana maksudnya adalah seseorang yang melakukan tindak pidana yang berdasarkan putusan pengadilan telah diberikan sanksi pidana hilangnya kemerdekaan dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar norma hukum yang berlaku.

Tindak pidana terdiri atas beberapa unsur anatara lain :

(1) Suatu perbuatan manusia

(2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang

(3) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Unsur-unsur diatas, harus terpenuhi untuk menentukan seseorang itu apakah subjek tindak pidana atau tidak. Perbuatan yang dilakukan itu harus merupakan perbuatan yang dilarang sehingga dapat diancam dengan hukuman oleh undang-undang yang berlaku dan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan, maksudnya adalah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu sudah dianggap cakap hukum. Cakap hukum maksudnya ialah, sudah memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang sebagai orang yang telah cakap dihadapan hukum. Seorang yang belum cakap hukum tidak akan bias mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan


(45)

hukum, misalnya seorang yang berada di bawah pengampuan, apabila melakukan perbuatan pidana tidak akan bias dimintai pertanggung jawaban nya.

Narapidana terdiri atas narapidana wanita dan narapidana laki-laki. Proses pembinaan narapidana laki-laki berbeda dengan pembinaan wanita. Narapidana wanita ialah warga binaan pemasyarakatan yang berjenis kelamin wanita dan

sudah dewasa. Pembinaan narapidana wanita dilaksanakan di LAPAS wanita34.

2) Anak Didik Pemasyarakatan

Anak didik pemasyarakatan adalah :

(1) Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

(2) Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama berumur sampai berumur 18 tahun;

(3) Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya

memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak

paling lama berumur 18 (delapan belas) tahun.35

Dalam rangka pembinaan terhadap anak pidana, anak Negara, dan anak sipil, ditempatkan di LAPAS anak .Anak pidana, anak Negara dan anak sipil dibina berdasarkan penggolongan atas dasar :

1) Umur,

2) Jenis kelamin,

3) Lama pidana yang dijatuhkan,

4) Jenis kejahatan, dan

5) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan

pembinaan

      

34

Ibid, Pasal 12 ayat (2)

35


(46)

Proses pembinaan anak pidana, anak sipil, dan anak Negara diawali dengan proses pendaftaran yang dilakukan dengan cara :

1) Pencatatatn :

a) Putusan pengadilan,

b) Jati diri, dan

c) Barang dan uang yang dibawa

2) Pemeriksaan kesehatan

3) Pembuatan pasfoto

4) Pengambilan sidik jari, dan

5) Pembuatan berita acara serah terima anak Negara, anak pidana ataupun

anak sipil.

3) Klien Pemasyarakatan

Klien pemasyarakatan adalah seseorang yang sedang berada dalam bimbingan BAPAS. Pembinaan warga binaan pemasyarakatan di LAPAS dilaksanatau RUTAN akan secara intramural (di dalam LAPAS atau RUTAN) dan secara ekstramural (di luar LAPAS atau RUTAN). Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di LAPAS atau RUTAN disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstramural dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi, yaitu proses pembinaan wrga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.

Klien pemasyarakatan terdiri atas :

(1) Terpidana bersyarat

(2) Narapidana, anak pidana, dan anak Negara yang mendapatkan

pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas

(3) Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya


(47)

(4) Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan yang ditunjuk , bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan social, dan

(5) Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya

dikembalikan kepada orang tua atau walinya.

Narapidana,dan anak didik pemasyarakatan, dalam menjalankan pidananya ditempatkan di LAPAS atau RUTAN. LAPAS atau RUTAN adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.36 LAPAS

atau RUTAN dan BAPAS didirikan di setiap ibukota dan kotamadya. G.Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif (Deskriptif research) yaitu “penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Penemuan gejala-gejala ini tidak sekedar menunjukkan distribusinya tetapi termasuk usaha mengemukakan hubungan satu sama lain dalam aspek-aspek yang sedang diteliti.” Hubungan-hubungan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan proses pembinaan warga binaan menurut Undang-undang nomor 12 tahun 1995 dengan proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris.

      

36


(48)

a. Pendekatan Yuridis normtif adalah membahas doktrin-doktrin atau

asas-asas dalam ilmu hukum37. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan

cara melakukan analisis terhadap perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normtif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan proses pembinaan warga binaan wanita. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukann pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan proses pembinaan warga binaan wanita.

b. Pendekatan Empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum

tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum38. Pendekatan

empiris, dilakukan dengan cara berhadapan dengan warga masyarakat yang menjadi objek penelitian untuk mengetahui efektivitas hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi lapangan yang dilakukan di Rutan Kelas II B Kabanjahe. 2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lakukan di wilayah hukum, RUTAN Kelas II B Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

3. Sumber Data

      

37

H. Zainuddin Ali, Op. Cit, hal. 24

38


(49)

a. Data Primer, diperoleh langsung dari masyarakat. Penelitian ini data diperoleh dari orang yang berhubungan langsung dengan obyek penelitian lapangan bersumber dari RUTAN Kelas II B Blok wanita Kabanjahe

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber-smber tertulis atau

data kepustakaan, terdiri dari buku-buku literatur dan bahan-bahan hukum primer, sekunder, tersier.

4. Metode Pengumpulan Data

Cara yang ditempuh untuk mengumpulkan data disesuaikan dengan jenis data yang diperlukan, antara lain :

a. Studi kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan data

melalui literatur, buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.

b. Studi lapangan (field research) yaitu dengan melakukan kunjungan ke

lokasi yang sedang diteliti di Rutan Kelas II B Kabanjahe Kabupaten Karo, melakukan wawancara terhadap petugas RUTAN dan warga binaan wanita, termasuk melaksanakan studi dokumen terhadap berkas-berkas yang diperlukan dalam menelusuri kasus yang dipilih untuk penelitian.

5. Analisis Data

Sesuai dengan prosedur penelitian yang ada, maka data yang telah terkumpul baik data teoritis maupun data hasil observasi/wawancara dan studi


(50)

dokumen terhadap masalah yang sedang diteliti, kemudian dimanfaatkan dan dianalisis dengan metode analisis kualitatif.

Analisis Kualitatif yaitu pengolahan data yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan. Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan teori-teori hukum, Undang-undang, dan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti terhadap fakta dari data yang diperoleh dalam penelitian. Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan pemecahan masalah dengan metode induktif yaitu mengambil kesimpulan dari fakta-fakta yang khusus untuk menarik kesimpulan secara umum, atau sebaliknya dengan menggunakan metode deduktif, yaitu dengan membuat kesimpulan secara khusus melalui kajian dan analisis terhadap fakta-fakta yang bersifat umum.

Melalui metode-metode yang penulis kemukakan di atas, akhirnya di tarik suatu kesimpulan yang kemudian menjadi hasil penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan adalah sebagai bab pengantar dari permaslahan,

terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu : Latar Belakang, Permasalahan, Keaslian Penulisan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II : Terkait dengan pengaturan pembinaan warga binaan wanita


(51)

Bab III : Proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe

Bab IV : Hambatan dan cara mengatasi hambatan dalam proses pembinaan

warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe

Bab V : Kesimpulan dan Saran, bab ini merupakan penutup dari

keseluruhan materi skripsi yang terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu kesimpulan dan saran.


(52)

BAB II

PENGATURAN PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA

A.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan. Warga binaan wanita dalam hal ini dikategorikan sebagai narapidana. Narapidana adalah orang tersesat yang

mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat.39

Pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan mengatakan bahwa, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Terpidana yang dimaksud sesuai dengan Pasal 1 angka 6 undang-undang ini yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Tujuan dari menjalani pidana hilangnya kemerdekaan pada narapidana adalah untuk mengikuti proses pemasyarakatan. Maksud dari pemasyarakatan dalam Pasal 1 angka 1 UU Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

      

39

Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal.44. 


(53)

Istilah pemasyarakatan yang dipakai sebenarnya di Inggris juga banyak ditujukan kepada persiapan dan pengawasan pengembalian bekas narapidana ke

dalam masyarakat (after care service).40

Tujuan Pemasyarakatan ialah untuk memperbaiki kehidupan sosial warga binaan wanita yang hidup di balik tembok penjara. Perbaikan ini menghasilkan konsep pemikiran yaitu pemasyarakatan sebagai proses dan sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan .

Sistem pemasyarakatan Indonesia mengandung arti pembinaan narapidana yang berintegrasi dengan masyarakat dan menuju kepada integritas kehidupan dan penghidupan. Pemasyarakatan sebagai proses bergerak

dengan menstimulir timbulnya dan berkembangnya self propelling

adjustment diantara elemen integritas, sehingga narapidana yang bersangkutan menuju ke arah perkembangan pribadi melalui asosiasinya

sendiri menyesuaikan dengan integritas kehidupan dan penghidupan.41

Sistem pemasyarakatan juga dapat diartikan sebagai suatu proses pemasyarakatan seorang warga binaan wanita mulai dari warga binaan wanita masuk ke lembaga pemasyarakatan atau Rutan sampai warga binaan wanita bebas dan kembali ke tengah-tengah masyarakat.

Bachroedin Soeryobroto dalam seminar Kriminologi ke-I tahun 1969 di Semarang, memberi batasan mengenai sistem pemasyarakatan. Menurut beliau prinsip pemasyarakatan adalah “pemulihan kembali ke satuan hubungan hidup antara manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan

      

40

Andi Hamzah,Op.Cit., hal. 106.

41

Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,


(54)

masyarakat, manusia sebagai keseluruhan, manusia dengan alamnya dan (dalam

keseluruhan ini) manusia sebagai makhluk Tuhan, manusia dengan Khaliknya”.42

Warga binaan wanita yang diterima di LAPAS wajib didaftar. Pendaftaran warga binaan wanita sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU Permasyarakatan meliputi :

1. Pencatatan :

a. Putusan pengadilan;

b. Jati diri;

c. Barang dan uang yang dibawa;

2. Pemeriksaan kesehatan;

3. Pembuatan pasfoto;

4. Pengambilan sidik jari; dan

5. Pembuatan berita acara serah terima terpidana.

Pembinaan warga binaan wanita yang ditempatkan di LAPAS wanita dalam Pasal 12 ayat (1) UU Pemasyarakatan digolongkan atas dasar umur, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Pembinaan bagi warga binaan wanita dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang wanita juga.

Warga binaan wanita dalam proses pembinaan memiliki hak selayaknya manusia lainnya, seperti yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) :

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

5. Menyampaikan keluhan;

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya

yang tidak dilarang;

7. Mendapatkan upah atau premisi atas pekerjaan yang dilakukan;

8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu

lainnya;

      

42

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hal.98 dalam buku Djoko Prakoso, Hukum Penintensier Di Indonesia, Liberty , Yogyakarta,, 1988, hal.63.


(55)

9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga;

11. Mendapatkan pembebasan bersyarat;

12. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

13. Mendapatkan hak-hak lain dengan peraturan perundang-undangan.

Hak-hak warga binaan wanita yang pada poin 1 sampai ke 4 dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai warga binaan. Poin 5 dilaksanakan apabila terhadap warga binaan wanita terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh petugas lembaga pemasyarakatan atau sesama warga binaan. Poin 6 dan 7, diberikan setelah warga binaan wanita memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Poin 13 yang dimaksud seperti hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya.

Perlunya mempersoalkan hak-hak warga binaan wanita ini diakui dan dilindungi oleh hukum dan penegak hukum, khususnya para staf di lembaga pemasyarakatan atau Rutan merupakan suatu yang perlu bagi negara hukum yang menghargai hak-hak asasi warga binaan wanita sebagai warga masyarakat yang

harus diayomi, walaupun telah melanggar hukum.43

Proses pembinaan warga binaan wanita di LAPAS, bisa saja dilakukan dengan melakukan pemindahan seorang warga binaan wanita dari satu LAPAS ke LAPAS lainnya. Menurut Pasal 16 UU Pemasyarakatan warga binaan wanita dapat dipindahkan dari satu LAPAS ke LAPAS lain untuk kepentingan : pembinaan, keamanan dan ketertiban, proses peradilan, dan lainnya yang dianggap perlu.

      

43


(56)

Pembinaan di LAPAS Wanita dilakukan oleh pihak-pihak yang sudah secara jelas disebutkan dalam UU Pemasyarakatan antara lain: Kepala LAPAS yang berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap warga binaan pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya.

Petugas pemasyarakatan bertugas memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin dengan memberlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-sewenang dan, mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib LAPAS. Petugas LAPAS dalam menjalankan tugasnya diperlengkapi dengan senjata api dan sarana keamanan lainnya, selain itu petugas LAPAS juga diberikan sarana dan prasarana seuai dengan kebutuhannya. Penjelasan Pasal 49 UU Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Sarana dan prasarana maksudnya ialah penyediaan pakaian dinas, penyediaan rumah dinas.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ini telah mengatur dengan jelas tentang proses pembinaan terhadap warga binaan. Proses warga binaan yang dulunya dikenal dengan istilah penjara kini telah berubah menjadi istilah pemasyarakatan. Perubahan istilah ini dimaksdukan agar pembinaan warga binaan lebih bersifat manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi warga binaan.

Undang-undang ini menjelaskan proses pembinaan warga binaan yang terpengaruh oleh aliran modern. Menurut aliran modern, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat hanya secara abstrak dari sudut yuridis belaka, terlepas dari


(57)

orang yang melakukannya, akan tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya,

faktor-faktor biologis, atau lingkungan masyarakat.44

Aliran modern ini lah yang melatarbelakangi pengklasifikasian warga binaan yang berupa pengklasifikasian menurut umur, jenis kelamin, jenis kejahatan, dan lamanya pidana.

Kenyataannya, pengklasifikasian warga binaan jenis kejahatan, dan lamanya pidana tidak terjadi dilapangan. LAPAS ataupun Rutan sering sekali melakukan pembinaan terhadap warga binaan misalnya pelaku tindak pidana pencurian disamakan pembinaannya dengan warga binaan pengguna narkotika. Situasi seperti ini bias terjadi karena jumlah petugas pembinaan yang minim. Situasi seperti ini membuat pembinaan berdasarkan UU Pemasyarakatan khususnya Pasal 12 tidak terlaksana, sehingga tujuan pembinaan sesuai dengan

sistem pemasyarakatan tidak terwujud.45

Keberhasilan dalam proses pembinaan warga binaan sangat difokuskan pada petugas pemasyarakatan. Sesuai dengan UU Pemasyarakatan maka seharusnya petugas pemasyarakatan dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan sistem pemasyarakatan, agar terwujud tujuan dari pemasyarakatan yang seutuhnya, karena apabila petugas pemasyarakatan tidak paham dan tidak menjalankan tugas sesuai dengan apa yang dimaksud dengan UU Pemasyarakatn ini maka tujuan dari pemasyarakatan ini tidak akan terwujud bahkan akan terjadi

      

44

Suwarto, Individualisasi Pemidanaan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2013, hal.18.

45


(58)

kegagalan dalam pembinaannya seperti terjadinya perkelahian antar sesama warga binaan, ataupun warga binaan berusaha untuk melarikan diri.

B.Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

Lembaga pemasyaraktan yang dahulu dikenal dengan penjara sering

menerima tuduhan sebagai sekolah kejahatan (school of crime). Sebutan sebagai

sekolah kejahatan, akan semakin terlihat apabila warga binaan wanita melakukan kejahatan setelah bebas, hal ini membuat pemahaman bagi masyarakat bahwa lembaga pemasyarakatan atau Rutan merupakan pusat latihan untuk para penjahat

agar terlatih melakukan tindakan kriminal.46

Lembaga Pemasyarakatan merupakan upaya pembinaan yang dilakukan negara untuk menjadikan seorang narapidana untuk menjadi lebih baik dan tidak mengulangi perbuatan yang melanggar norma lagi. Tujuan pidana dan pemidanaan yang bersifat filsafat pembinaan yang dilakukan untuk membebaskan si pelaku atau si pembuat kejahatan terbebas dari alam pikiran jahat dan dari kenyataan sosial yang memebelenggu. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan bahwa program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian.

Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar

      

46


(59)

warga binaan wanita dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah ini menjelaskan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian terhadap warga binaan wanita itu melitputi:

1. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;

2. Kesadaran berbangsa dan bernegara

3. Intelektual;

4. Sikap dan perilaku;

5. Kesehatan jasmani dan rohani;

6. Kesadaran hukum;

7. Reintegrasi sehat dengan masyarakat;

8. Keterampilan kerja; dan

9. Latihan kerja dan produksi

Memahami kondisi lembaga pemasyarakatan atau Rutan sebagai lembaga pemasyarakatan atau Rutan sebagai lembaga yang bertugas memperbaiki perilaku warga binaan wanita, maka lembaga ini harus melakukan pembinaan-pembinaan ini dengan cara-cara yang manusiawi yang menghargai hak-hak warga binaan wanita.

Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi sesorang yang baik. Pengertian pembinaan yang demikian, mengartikan bahwa yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan

bermoral tinggi.47

Pembinaan warga binaan wanita yang menyangkut pribadi dan budi pekerti dilakukan selama waktu tertentu agar narapidana di kemudian hari tidak

      

47


(1)

Lampiran 4

Tabel Daftar warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe (4 Maret 2014)

NO NAMA UMUR PASAL VONIS

HAKIM 1 Domma Br Sitanggang 51 Tahun 44 ayat (3) UU

No.23 Tahun 2004

5 Tahun

2 Rina Br Karo 22 Tahun 363 KUHPidana 3,5 Tahun 3 Donarita Br Tarigan 29 Tahun UU No.35 Tahun

2009

6 Tahun 4 Fany Br Silalahi 25 Tahun UU No.35 Tahun

2009

(masih berstatus tahanan) 5 Yolanda Br Barus 23 Tahun UU No.35 Tahun

2009

6 Tahun 6 Zuliana Ishak 27 Tahun UU No.35 Tahun

2009

1 Tahun 7 Ely Mursita 35 Tahun UU No.35 Tahun

2009

1 Tahun 8 Natalia Br Sembiring 30 Tahun UU No.35 Tahun

2009

(masih berstatus tahanan) 9 Marnaita Br Purba 26 Tahun UU No.35 Tahun

2009

(masih berstatus tahanan) Sumber : Staf Pelayanan Wanita Rutan Kelas II B Kabanjahe (Junita Br.


(2)

Lampiran 5

Tabel Jadwal kegiatan sehari-hari warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe

NO PUKUL KEGIATAN

1. 07.00 WIB Napi persiapan apel pagi (penghuni) 2. 07.45 WIB Apel pagi Napi

3. 08.00 WIB Apel pegawai (timbang terima penjagaan pagi) 4. 08.15 WIB Senam pagi (senin-kamis)

5. 08.40 WIB Napi melaksanakan senam pagi

6. 09.00-10.00 WIB Berangin-angin (dilakukan secara bergiliran oleh petugas blok atau kepala jaga)

7. 09.00-11.00 WIB Napi mengikuti pembinaan kerohanian kristen, islam dan kegiatan pembinaan lainnya.

8. 11.00 WIB Pembagian nasi siang (dilanjutkan makan siang), kebersihan kamar/halaman blok

9. 12.00 WIB Napi dimasukkan atau sudah berada dalam kamar, sekaligus persiapan apel siang

10. 12.45 WIB Apel siang bagi napi

11. 13.00 WIB Apel pegawai (timbang terima penjagaan siang) 12. 14.00-16.00 WIB Berangin-angin (dilakukan secara bergiliran oleh

petugas blok atau kepala jaga)

13. 16.00-17.00 WIB Pembagian nasi sore (dilanjutkan makan sore), kebersihan kamar/halaman blok

14. 17.00 WIB Apel penghuni (pra apel malam), napi sudah berada dalam kamar masing-masing

15. 18.45 WIB Apel malam bagi napi

16. 19.00 WIB Apel pegawai (timbang terima penjagaan malam) 17. 19.00-07.00 WIB Napi istirahat tidur (kamar dalam keadaan

terkunci)

Sumber : Bagian Kepala Satuan Pengamanan Rutan Kelas II B Kabanjahe (Suranta Sinuraya)


(3)

Lampiran 6

Daftar Menu Makanan Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe Sirklus 10 (Sepuluh) Hari

Waktu

Makan I II III IV V VI VII VIII IX X

Pagi 1. Nasi 2. Tempe Goreng 3. Tumis Kacang Panjang 4. Air Putih 1. Nasi 2. Oseng Tempe 3. Tumis Sawi Putih 4. Air Putih 1. Nasi 2. Telor rebus 3. Tumis Taoge 4. Air Putih 1. Nasi 2. Tempe Goreng 3. Oseng Buncis 4. Air Putih 1. Nasi 2. Tempe Bumbu Goreng 3. Tumis Labu Siam 4. Kacang Panjang 5. Air Putih 1. Nasi 2. Tempe Goreng 3. Cah Wortel+ Kol 4. Air Putih 1. Nasi 2. Tempe Goreng 3. Cah Wartel+ Kol 4. Air Putih 1. Nasi 2. Telor Asin 3. Oseng Sawi 4. Air Putih 1. Nasi 2. Oseng Tempe 3. Tumis Terong 4. Air Putih 1. Nasi 2. Tem pe Bace m 3. Tum is Bunc is 4. Air Putih Snack Bubur

Kacang Ijo Ubi Rebus

Bubur Kacang

Ijo

Ubi Rebus Bubur

Kacang Ijo Ubi Rebus

Bubur

Kacang Ijo Ubi Rebus

Bubur Kacang Ijo Ubi Rebus Siang Nasi 1. Telor Balado 2. Sayur Asem 3. Pisang 4. Air Putih 1. Nasi 2. Ikan Segar Goreng 3. Pecel Sayuran 4. Air Putih 1. Nasi 2. Daging Goren g Gepuk 3. Sup Sayura n 4. Pisang 5. Air Putih 1. Nasi 2. Telor Bumbu Semur 3. Sayur Lodeh 4. Air Putih

1. Nasi 2. Daging Rendang 3. Sayur Asem 4. Pisang 5. Air Putih

1. Nasi 2. Telor Asin 3. Sayur Kare 4. Air Putih 1. Nasi 2. Ikan Segar Goreng 3. Sayur Bening Bayam+ Jagung 4. Pisang 5. Air Putih 1. Nasi 2. Soto Dagin g 3. Capca y Sawi/ Kol+ Worte l 4. Air Putih 1. Nasi 2. Ikan Asin Goreng 3. Tumis Kangku ng 4. Pisang 5. Air Putih 1.Nasi 2.Telur Bebe k Bali 3.Urap Sayur 4.Air Putih Snack

Sore Ubi Rebus - Ubi Rebus - Ubi Rebus - Ubi Rebus - Ubi Rebus -

Sore 1. Nasi 2. Tempe Bumbu Semu 3. Urap Sayuran 4. Air Putih 1. Nasi 2. Ikan Goreng 3. Sayur Kare 4. Air Putih 1. Nasi 2. Kacan g Tanah Balad o 3. Asem-asem Bunci s 4. Air Putih 1. Nasi 2. Kacang Tanah Balado 3. Asem-asem Buncis 4. Air Putih

1. Nasi 2. Oseng

Tempe 3. Sup

Sayuran 4. Air Putih

1. Nasi 2. Ikan Asin Goreng 3. Urap Sayuran 4. Air Putih 1. Nasi 2. Tempe Balado 3. Sayur Asem 4. Air Putih 1. Nasi 2. Pecel Sayur an 3. Air Putih 1. Nasi 2. Oseng Tempe 3. Sayur Lodeh 4. Air Putih 1. Nasi 2. Tem pe Gor eng 3. Gula i Dau n Ubi 4. Air Puti h


(4)

(5)

(6)