Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Keadaan yang demikian dapat diatasi dengan peningkatan sarana dan prasarana di dalam LAPAS ataupun Rutan dan menghindari terjadinya kelebihan kapasitas dalam proses pembinaan sehingga proses pembinaan dapat berjalan lancer, dan tujuan pemasyarakatan dapat dicapai. Keberhasilan dalam proses pembinaan warga binaan dilakukan oleh 3 komponen yaitu warga binaan itu sendiri, petugas pemasyarakatan, dan masyarakat. Komponen ini harus saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan dari pemasyarakatan, tetapi saat ini sering sekali warga binaan itu mengulangi kesalahan kembali karena dikucilkan oleh masyarakat, sehingga mengalami kesulitan untuk beradaptasi kembali dengan masyarakat lingkungannya. Proses pembinaan sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 ini harus dilaksanakan dengan baik dan tetap berpedoman dengan UU Pemasyarakatan, sehingga tujuan dari pemasyarakatan dapat dicapai.

C. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Narapidana ialah manusia biasa yang sama dengan manusia lainnya, karena itu sebagai manusia, narapidana juga memiliki hak dan kewajiban yang dimiliki dalam menjalani proses pembinaan di LAPAS ataupun Rutan. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, telah menyebutkan hak-hak apa saja yang dimiliki oleh narapidana dalam proses pembimbingan dan pembinaannya di LAPAS. Setiap narapidana berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keprcayaannya masing-masing. Pada setiap LAPAS atau Rutan wajib disediakan petugas untuk memberikan pendidikan dan bimbingan keagamaan. Jumlah petugas untuk memberikan pendidikan dan bimbingan keagamaan ditentukan sesuai dengan keperluan tiap-tiap LAPAS atau Rutan. LAPAS atau Rutan dalam mendukung hak narapidana untuk menjalankan ibadah dapat melakukan kerjasama dengan instansi, badan kemasyarakatan atau perorangan yang berkaitan dengan keagamaan. Setiap narapidana berhak mendapat perawatan jasmani dan rohani. Perawatan ini dapat diperoleh dari bimbingan rohani dan pendidikan budi pekerti. Pasal 7 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini menyebutkan perawatan jasmani itu dapat berupa pemberian kesempatan melakukan olah raga dan rekreasi, pemberian perlengkapan pakaian, dan pemberian perlengkapan tidur. Jenis olahraga yang diadakan bagi warga binaan wanita antara lain, bola voley, bulu tangkis, atau senam, sedangkan rekreasi yang diberikan bagi warga binaan wanita ialah penayanngan televisi yang dapat menunjang proses pembinaan, misalnya menayangkan kesenian-kesenian yang dilakukan oleh warga binaan wanita. Warga binaan wanita dalam menjalani pembinaan diberikan sarana perlengkapan pakaian yang terdiri atas 54 1. 2 dua stel pakaian seragam 2. 1 satu stel pakaian kerja 3. 1 satu stel mukena 54 Penjelasan Pasal 7 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 4. 2 dua buah BH 5. 2 dua buah celana dalam 6. 1 satu unit pembalut wanita 7. 1 satu pasang sandal jepit. Menerima perlengkapan tidur juga merupakan hak dari warga binaan wanita. Perlengkapan tidur yang di maksud terdiri atas tempat tidur, kasur atau tikar, sprei, bantal, selimut, sabun mandi, handuk, sikat dan pasta gigi. 55 Setiap LAPAS wajib melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran bagi narapidana. Kepala LAPAS dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah yang lingkup tugasnya meliputi bidang pendidikan dan kebudayaan, dan atau badan-badan kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran. Pendidikan dan pengajaran dilakukan di dalam LAPAS. Pendidikan dan pengajaran dapat dilakukan di luar LAPAS apabila narapidana membutuhkan pengajaran yang lebih lanjut. Pendidikan di luar LAPAS berupa belajar di sekolah luar negeri, belajar di tempat latihan kerja yang dikelola oleh LAPAS baik di bidang pertanian, peternakan, perikanan, ataupun kesenian, ataupun belajar di tempat latihan kerja milik instansi Pemerintah lainnya. 56 Pendidikan dan pengajaran diselenggarakan menurut kurikulum yang berlaku pada lembaga pendidikan yang sederajat. Setiap narapidana berhak memperoleh surat tanda tamat belajar dari instansi yang berwenang. Setiap narapidana berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Pada setiap LAPAS disediakan Poliklinik beserta fasilitasnya dan disediakan sekurang-kurangnya seorang dokter dan seorang suster. Fasilitas yang disediakan 55 Ibid., 56 Ibid., Penjelasan Pasal 11 ayat 1 berupa perlengkapan kesehatan, alat-alat suntik, obat-obatan, dan perlengkapan kefarmasian. Sesuai dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah ini bahwa pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 satu kali dalam 1 satu bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan. Dokter harus memeriksa setiap narapidana khususnya narapidana yang menyampaikan keluhan mengenai kesehatannya, apabila hasil pemeriksaan menyatakan bahwa narapidana mengidap penyakit yang membahayakan atau pun menular maka narapidana tersebut harus mendapatkan perawatan secara khusus. Narapidana yang mendapat perawatan khusus harus mendapat izin tertulis dari kepala LAPAS dan mendapat pengawalan dari petugas LAPAS ataupun bisa diminta bantuan dari pihak polisi. Biaya perawatan kesehatan bagi narapidana dibebankan kepada negara. Hak narapidana untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tidak hanya supaya sehat selama berada dalam LAPAS tetapi supaya setelah bebas dapat menghadapi perjuangan hidupnya dengan berhasil. Apabila dalam proses pembinaan narapidana meninggal dunia maka kepala LAPAS segera memberitahukan kepada keluarganya. Jenazah narapidana akan diberikan kepada keluarganya. Sesuai dengan Pasal 18 ayat 3 Peraturan Pemerintah ini bahwa jenazah narapidana yang tidak diambil keluarganya dalam jangka waktu 2 x 24 dua kali dua puluh empat jam sejak meninggal dunia dan telah diberitahukan secara layak kepada keluarga atau ahli warisnya, penguburannya dilaksanakan oleh LAPAS, sesuai dengan tata cara agama atau kepercayaannya. Barang atau uang milik narapidana yang meninggal dunia harus diserahkan kepada keluarga ataupun ahli waris dari narapidana, dan dilakukan dengan berita acara sebagai alat pembuktian bahwa barang narapidana sudah diberikan kepada keluarga, apabila dalam jangka waktu 6 enam bulan sejak narapidana diberitahukan meninggal dan keluarga diperintahkan untuk mengambil barang dan uang yang ditinggalkan, maka barang atau uang tersebut akan menjadi milik negara. Setiap narapidana berhak mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan. Narapidana yang sedang hamil atau menyusui berhak mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter, untuk menjaga terperliharanya pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak dari warga binaan wanita yang dibawa ke LAPAS ataupun yang lahir di LAPASndapat diberi makanan tambahan atas petunjuk dokter, palin lama sampai berusia 2 tahun, setelah itu akan diserahkan kepada bapak atau sanak keluarga lainnya dengan pesetujuan ibunya. Penjelasan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan “makanan tambahan” adalah penambahan jumlah kalori rata-rata jumlah kalori yang ditetapkan. Bagi wanita yang sedang hamil ditambah 300 tiga ratus kalori seorang sehari. Bagi wanita yang sedang menyusui dapatditambah antar 800 delapan ratus sampai dengan 1000 seribu kalori seorang sehari. Makanan yang diberikan kepada narapidana harus terjaga kebersihannya, terpenuhi syarat-syarat keshatan dan gizi, dan merupakan makanan yang layak untuk dikonsumsi oleh manusia. Setiap narapidana juga mempunyai hak untuk mendapat bisa menerima makanan dari luar LAPAS apabila mendapat persetujuan dari kepala LAPAS. Setiap narapidana berhak menyampaikan keluhan kepala LAPAS mengenai ketidak nyamanan narapidana selama berada di LAPAS, baik yang berasal dari petugas LAPAS, atu pun terhadap sesama penghuni LAPAS. Setiap LAPAS menyediakan bahan bacaan, media massa yang berupa media cetak dan media elektroni. Bahan bacaan ini digunakan untuk menunjang proses pembinaan dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap LAPAS menyediakan sekurang-kurangnya 1 satu buah pesawat televisi, 1 satu buah radio penerima, dan media elektronik lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi pesawat televisi dan radio atau media elektronik ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribdai. Orang-orang yang dihukum dengan hukuman hilang kemerdekaan diwajibkan untuk bekerja, narapidana yang dihukum dengan hukuman penjara dan hukuman kurungan boleh diwajibkan bekerja baik di dalam ataupun di luar tembok penjara, tetapi narapidana yang dihukum dengan pidana kurungan diberi pekerjaan yang lebih ringan dari pada narapidana yang dihukum dengan pidana penjara. Kewajiban narapidana untuk bekerja atau dipekerjakan menimbulkan hak bagi narapidana yang bekerja untuk mendapatkan upah atau premi. Biaya ini diberikan kepada yang bertsangkutan apabila diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mendasar selama berada di LAPAS atau untuk biaya pulang setelah menjalani masa pidana atau bebas. Upah atau premi diberikan dengan cara memperhitungkan hasil kerjanya. Jenis-jenis pekerjaan yang diberikan kepada narapidana diatur oleh kementrian kehakiman. Biasanya pekerjaan ini digunakan untuk keperluan berbagai-bagai penjabatan negara. 57 Narapidana diperkerjakan untuk memelihara 57 Ibid., Pasal 59 ayat 5 jiwa dan raganya, memperkembangkan daya karyanya serta mempertinggi kecakapan kerjanya. 58 Setiap narapidana berhak menerima kunjungan dari keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu, dalam setiap LAPAS diwajibkan memiliki satu ruangan yang dikhususkan bagi setiap narapidana untuk menerima kunjungan. Pasal 31 berbunyi : 1 Petugas pemasyarakatan yang bertugas di tempat kunjungan, wajib : a. Memriksa dan meneliti keterangan identitas diri, pengunjung; dan b. Menggeledah pengunjung dan memeriksa barang bawaannya. 2 Dalam hal ditemukan keterangan identitas palsu atau adanya barang bawaan yang dilarang berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pengunjung sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 untuk waktu selanjutnya dilarang dan tidak dibolehkan mengunjungi narapidana dan anak pemasyarakatan yang bersangkuatn. Warga binaan juga memiliki hak untuk mendapatkan remisi, asimilasi, cuti dan pembebasan bersyarat yang diatur dalam Pasal 34-43. Pasal-pasal ini telah mengalami perubahan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 Tentang syarat dan cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Narapidana dalam melaksanakan proses pembinaa berkelakuan baik dan berbuat jasa kepada negara dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 enam bulan berhak mendapatkan remisi. 59 Remisi yang diberikan kepada narapidana ini merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. 58 Ibid., Pasal 51 59 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34 ayat 1 dan 2. Pemberian remisi dapat berupa remisi khusus dan remisi umum. Remisi umum adalah remisi yang diberikan pada hari peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus, sedangkan remisi khusus adalah remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana dan anak pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. 60 Remisi yang diberikan kepada narapidana diberikan apabila selama menjalani pidana, seorang narapidana berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, atau dalam kegiatan pembinaan di lembaga pemasyarakatan si terpidana melakukan perbuatan yang membantu sehingga proses pembinaan berjalan baik 61 . Remisi ini tidak diberikan kepada narapidana yang menjalani pidana kurang dari 6 enam bulan, dikenakan hukuman disiplin dan didaftar pada buku pelanggaran tata tertib lembaga pemasyarakatan dalam kurun waktu yang diperhitungkan pada pemberian remisi, sedang menjalani cuti menjelang bebas, dan atau dijatuhi pidana kurungan sebagai pidana denda. 62 Setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan berhak mendapatkan asimilasi. 63 Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik 60 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, Pasal 2 61 Ibid., Pasal 3 ayat 1 62 Ibid., Pasal 12. 63 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 36 ayat 1 pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di dalam kehidupan masyarakat. 64 Asimilasi diberikan kepada narapidana setelah menjalani pembinaan ½ satu per dua masa pidana. Asimilasi dapat dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan, yaitu 65 : a. Bekerja diluar LAPAS yang dapat berupa : 1 Bekerja pada pihak ketiga baik instansi pemerintah, swasta ataupun perorangan; 2 Bekerja mandiri, misalnya menjadi tukang cukur, binatu, bengkel, tukang memperbaiki radio, dan lain sebagainya; 3 Bekerja pada LAPAS terbuka dengan tahap security minimum. b. Mengikuti pendidikan, bimbingan dan latihan keterampilan diluar LAPAS c. Mengikuti kegiatan sosial dan kegiatan pembinaan lainnya seperti : 1 Kerja bakti bersama dengan masyarakat; 2 Berolah raga bersama dengan masyarakat; 3 Mengikuti upacara atau peragaan keterampilan bersama dengan masyarakat. Setiap warga binaan wanita dapat diberikan cuti, berupa cuti mengunjungi keluarga, dan cuti menjelang bebas. 66 Cuti adalah bentuk pembinaan narapidana meninggalkan LAPAS untuk sementara waktu, Cuti mengunjungi keluarga adalah bentuk pembinaan warga binaan wanita berupa kesempatan berkumpul bersama keluarga di tempat kediaman keluarganya, yang dimaksud dengan keluarga ialah suami, anak kandung atau angkat atau anak tiri, orang tua kandung atau angkat atau tiri atau ipar, saudara kandung atau angkat atau tiri atau ipar, dan keluarga dekat lainnya sampai derajat kedua, bail horizontal 64 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Inndonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 1 huruf a. 65 Ibid., Pasal 14 66 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 41 ayat 1 dan 2 maupun vertikal. Cuti yang diberikan untuk mengunjungi keluarga diberikan selama 2 x 24 jam dua kali dua puluh empat jam atau sama dengan 2 dua hari. Cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan di luar LAPAS bagi narapidana yang menjalani masa pidana atau sisa masa pidana yang pendek. 67 Cuti menjelang bebas diberikan kepada warga binaan wanita yang telah menjalani 23 du per tiga masa pidana sekurang-kurangnya telah menjalani 9 sembilan bulan masa pidana dan selama melakukan pembinaan narapidana berkelakuan baik. Setiap warga binaan wanita juga memiliki hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. 68 P.A.F. Lamintang berpendapat bahwa pidana bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam putusannya. 69 Syarat-syarat dalam pelaksanaan pidana bersyarat terdiri atas syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum ialah bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik, sedangkan syarat khusunya ialah mengenai kelakuan terpidana, asalkan tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. 70 67 Ibid., Pasal 1 huruf c 68 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 43 69 P.A.F. Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hal. 136 dalam buku Marlina,Op.Cit., hal. 135 70 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cetakan ke XI, Yogyakarta, 1979, hal.38-39, dalam buku Djoko Prakoso, Op.Cit., hal. 66 Pelepasan bersyarat diberikan kepada warga binaan wanita yang telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana yang dijatuhkan kepadanya, yang lamanya pidana sekurang-kurangnya mencapai sembilan bulan. Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas bertujuan untuk 71 : 1. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan; 2. Memberi kesempatan bagi narapidana untuk pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana; 3. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan masyarakat. Narapidana yang berhak mendapatkan asimilasi, pidana bersyarat, dan cuti menjelang bebas, harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Syarat- syarat yang harus dipenuhi warga binaan wanita itu meliputi persyaratan secara substansif dan administratif. Persyaratan substantif yang harus dipenuhi warga binaan wanita ialah warga binaan wanita ini harus telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana, warga binaan wanita harus menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif, warga binaan wanita harus berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan besemangat, masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan warga binaan wanita yang bersangkutan, dan selama masa pidana warga binaan 71 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Inndonesia Nomor M.01.PK.04-10, Op. Cit., Pasal 6. wanita tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 sembilan bulan terkhir. 72 Persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh warga binaan wanita adalah : 1. Salinan putusan pengadilan ekstrak vonis 2. Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya 3. Laporan penelitian kemasyarakatan Litmas dari BAPAS tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana 4. Salinan daftar yang memuat tentang pelanggaran tat tertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari kepala LAPAS 5. Salinan daftar perubahan atau pengangguran masa pidana, seperi grasi, remisi dan lain-lain dari kepala LAPAS 6. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah- rendahnya lurah atau kepala desa 7. Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apbila di LAPAS tidak ada psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter Puskesmas atau Rumah Sakit Umum 8. Bagi narapidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan seperti surat keterangan sanggup menjamin kedutaan besarkonsulat negara orang asing yang bersangkutan, dan surat rekomendasi dari kepala kantor Imigran setempat. 73 Pembinaan terhadap warga binaan seharusnya diberikan sesuai dengan apa yang diperlukan oleh warga binaan tetapi dalam pengaplikasiannya pembinaan terhadap warga binaan ini merupakan program yang sudah ditetapkan, dan warga binaan harus ikut serta dalam program tersebut. Sistem pembinaan seperti inilah yang menyebabkan terjadinya ketidak sesuaian antara apa yang dibutuhkan oleh 72 Ibid., Pasal 7 ayat 2 73 Ibid., Pasal 8 warga binaan dengan metode pembinaan yang diterapkan kepada warga binaan sehingga pembinaan tidak berhasil untuk mencapai tujuannya. Penempatan warga binaan di LAPAS ataupun Rutan sering sekali dianggap sebagai pemidanaan yang hilangnya segala hak dan keinginan, yang ada hanya lah kewajiban dalam menaati aturan yang berlaku di LAPAS ataupun Rutan, sehingga sering sekali warga binaan lupa akan hak yang dimiliki sebagai warga binaan, sehingga sering sekali tidak ada keluhan dari masyarakat walaupun hak-haknya tidak terpenuhi, seperti tidak mendapatkan makanan tambahan bagi seorang warga binaan yang sedang hamil, disamping itu banyak ketidak adilan perlakuan bagi warga binaan wanita misalnya penyiksaan, tidak mendapatkan fasilitas yang wajar, tidak adanya kesempatan untuk mendapatkan remisi, dan cuti menjelang bebas. Hal ini menggambarkan perlakuan tidak adil, padahal konsep pemasyarakatan menyatakan warga binaan wanita merupakan orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Ke 3 tiga peraturan perundang-undangan diatas telah mengatur secara jelas dan terperinci mengenai proses pembinaan warga binaan wanita serta hak- hak yang wajib diterima warga binaan wanita selama menjalani proses pembinaan. Proses pembinaan dewasa ini sering disebut dengam pemasyarakatan. Pemasyarakatan berarti pembinaan yang dilakukan kepada warga binaan wanita berdasarkan ideologi bangsa Indonesia yaitu pancasila. UU No 12 Tahun 1995, PP No 31 Tahun 1999, dan PP No 32 Tahun 1999 telah mengatur proses pembinaan warga binaan wanita agar tujuan dari sistem pemasyarakatan itu dapat terwujudkan., selain itu peraturan perundang-undangan ini dibentuk sebagai petunjuk dan sekaligus sebagai landasan bekerja para petugas pemasyarakatan dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan pembinaan terhadap warga binaan wanita. 74 Proses pembinaan dalam PP No 31 Tahun 1999 diibagi ke dalam beberapa tahap yaitu tahap awal, tahap lanjutan dan tahap akhir. Warga binaan wanita dalam menjalani proses pembinaan juga memiliki hak untuk mendukung proses pembinaan. Proses pembinaan terhadap warga binaan wanita berbeda denga proses pembinaan terhadap warga binaan laki-laki dikarenakan secara psikis dan psikologis perempuan itu juga berbeda denga laki-laki. Wanita itu dikenal sebagai lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa, sehingga proses pembinaan nya juga harus mencerminkan sifat wanitanya seperti menjahit, menyulam, memasak, dan lain sebagainya. Proses pembinaan bagi warga binaan wanita harus memperhatikan hak asasi manusia. Hak asasi manusia ialah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 75 Undang-Undang 39 Tahun 1999 menjelaskan tentang hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan 74 Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hal 58. 75 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 butir Pertama harus dilindungi, dan tidak dapat dirampas oleh siapa pun. Hak asasi manusia merupakan hak yang wajib diterima oleh seluruh manusia walaupun sedang mengalami proses pembinaan dalam suatu LAPAS ataupun Rutan. Peraturan perundang-undangan ini telah tersusun secara sistematis untuk melakukan proses pemasyarakatan, sehingga tercipta tujuan dari proses pembinaan yang bertujuan untuk mengembalikan warga binaan wanita kembali ke masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. PP No 31 Tahun 1999 telah menjelaskan bahwa proses pembinaan pemasyarakatan meliputi pembinaan kemandirian dan pemindaan kepribadian. Proses pembinaan terhadap warga binaann wanita harus dikedepankan , karena sudah menjadi kodrat wanita untuk mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak dimiliki oleh warga binaan lainnya, sehingga sudah menjadi suatu kewajiban bahwa warga binaan wanita mempunyai hak-hak istimewa dibandingkan dengan warga binaan lainnya. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjadi pedoman dalam melakukan proses pembinaan yang berlandaskan pancasila yang dilakukan terhadap warga binaan wanita, sehingga warga binaan wanita kembali menjadi masyarakat yang baik dan tidak mengulangi perbuatannya lagi,

BAB III PROSES PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA DI RUTAN KELAS