Dalam sistem mata pencaharian para ahli antropologi juga memperhatikan soal sistem produksi lokal, cara pengolahan sumberdaya alam, cara pengumpulan
modal, cara pengerahan serta manajemen tenaga kerja. Jika dirinci lebih jauh termasuk didalamnya mengkaji bagaimana keterlibatan keluarga dalam
mengkonsumsi suatu barang juga sistem distribusi seperti apa yang digunakan, siapa saja yang terlibat dalam proses produksi, dan lain sebagainya.
Di Desa Percut aktivitas mencari ikan oleh nelayan masih tergolong tradisional dan subsisten.
Nelayan yang mempunyai sampan atau boat sendiri dengan perlengkapan sederhana sudah bisa pergi melaut mencari hasil tangkapan.
Perlengkapan yang mereka gunakan juga sederhana bisa seperti jaring, rawai, bubu, jala dan pancing. Sampan mereka juga masih bermesin kecil dengan bahan
bakar solar diesel. Hasil tangkapan mereka biasanya dijual di tempat pelelangan ikan dan uangnya untuk membeli kebutuhan pokok mereka.
Pendapatan nelayan di Desa Percut tidak bisa ditentukan seperti pekerjaan pasti lain yang mendapat gaji mingguan atau bulanan. Pendapatan nelayan di
Percut berdasarkan hasil tangkap setiap harinya. Pendapatan rata-rata masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan berkisar antara Rp.50.000 sampai dengan
Rp.125.000 perharinya tergantung jumlah tangkapan dan jenis hasil laut yang didapat.
3.2.1 Melaut berdasarkan pengalaman
Hasil laut masih menjadi komoditas utama masyarakat pesisir. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bermatapencaharian sebagai nelayan merupakan
Universitas Sumatera Utara
satu-satunya pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak modal. Menurut Koentjaraningrat 1992di samping berburu dan meramu, mencari ikan juga
merupakan suatu mata pencaharian hidup makhluk manusia yang amat tua. Waktu manusia mulai mengenal bercocok tanam, mencari ikan menjadi mata pencaharian
tambahan. Aktivitas melaut di Desa Percut yang masih tradisional tidak banyak
menggunakan pengetahuan ilmiah. Aktivitas yang dilakukan nelayan masih mengandalkan pengetahuan lokal. Pengetahuan-pengetahuan masyarakat tentang
pekerjaan yang mereka miliki ini biasanya didapatkan melalui pengalaman- pengalaman mereka. Pengalaman-pengalaman ini kemudian membudaya di
masyarakat dan menjadi pengetahuan lokal di kalangan mereka. Kebudayaan dan manusia memang tidak bisa dipisahkan, kebudayaan dan manusia merupakan satu
kesatuan yang kemudian akan terus diwariskan. Koentjaraningrat 2009:144 mengatakan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia sebagai belajar.
Pak yusuf adalah orang yang sudah cukup lama menjadi nelayan di Desa ini. Beliau berasal dari kota lubuk pakam dan berpindah ke percut karena ikut
orang tuanya dulu. Dia bercerita bagaimana dulu di desa ini semua nelayan adalah pemberani bukan penakut. Sekarang mengalami perubahan yang terlihat jelas.
Menurutnya kalau dulu nelayan itu dengan boat yang kecil dan hanya mengandalka angin berani dengan ombak besar, sedangkan sekarang dengan boat
besar dan menggunakan mesin kok malah masyarakat takut dengan ombak yang tidak sebesar dulu. Menurutnya aungan ombak dulu bisa terdengar sampai ke
Universitas Sumatera Utara
perumahan warga karna begitu besarnya. Tinggi ombak dulu bisa mencapai tinggi bangsal tembakau gudang tembakau. Ini yang dia sebut adanya perubahan
mental masyarakat pesisir. dengan boat kecil dulu ombak diterjang, sedangkan sekarang dengan boat besar ombak kecil nelayan sudah kembali pulang.
Dia bercerita melebar ke perekonomian warga dulu dengan sekarang. Kalau dulu menurutnya mencari hasil laut masih di tepi-tepi pantai sudah bisa ditemukan
jenis hasil laut seperti ikan dan kerang saat pasang surut. Sekarang kita mesti ke tengah laut baru bisa mencari hasil laut dengan mental yang sekarang. Dia
puluhan tahun menjadi nelayan di desa percut, sejak kecil dia sudah ikut ayahnya melaut dan beberapa tahun belakangan dia sudah tidak melaut lagi karena sudah
cukup tua. Saat ini pak yusuf bekerja sebagai pembuat atau tukang perbaiki perahu nekayan di desa percut. Kesehariannya dihabiskan dengan memperbaiki
perahu-perahu nelayan. Pak yusuf bercerita tentang pemerintah yang setengah- setengah membantu masyarakat, nelayan tidak diberi perlatan yang cukup untuk
melaut. Misalnya pemerintah ada program tentang pemberdayaan masyarakat, pemerintah Cuma memberi perahu saja atau mesin saja tidak semuanya. Kalau
perahu saja darimana duit nelayan beli mesin, kalau mesin saja darimana nelayan bisa membeli perahu menurut pak yusuf. Pengetahuan nelayan menurutnya
tergantung cuaca di laut ada musim barat dan musim timur. jika musim barat angin cukup kencang dan ombak besar, namun jika musim timur angin kecil dan
ombak kecil. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat 1992 bahwa pengetahuan nelayan harus meliputi pengetahuan mengenai sifat-sifat laut,
angin dan arus-arusnya.
Universitas Sumatera Utara
“Kalau bedanya dulu nelayan masih pakai boat kecil yang mengandalkan angin saja kalau sekarang pakai mesin.
Peralatan sampai sekarang masih sama pakai jaring, pancing sama jala. Kalau untuk kepiting di sini pakai bubu” Pak Yusuf,
56 Tahun.
Berbeda dengan Pak Yusuf, Pak sayuti adalah nelayan sekaligus pengelola kolam ikan. Melaut baginya pekerjaan yang cukup beresiko jika tidak dibekali
dengan kemampuan memahami alam. Nelayan harus bisa melihat gejala alam dan menjadikan sebagai pengalaman, karena kalau tidak paham bisa bahaya di laut
meskipun belum ada sampai yang mati nelayan kita menurutnya. Sejak dipercayakan untuk mengelola kolam ikan, pak sayuti sudah jarang lagi melaut,
hanya saja setiap harinya memasang bubu alat penangkap ikan untuk mencari kepiting sebagai hasil tambahannya. Pak sayuti memliki 4 orang anak yaitu 2 anak
laki-laki dan 2 anak perempuan. Anak pertama pak sayuti bernama ahmadi saat ini sudah tidak bersekolah lagi, ahmadi meninggalkan sekolahnya pada saat SMP.
Menurutnya jika masih bersekolah ahmadi saat ini sudah duduk di bangku SMA kelas 2. Pak sayuti menjengkelkan hal ini, permasalahan ekonomi bukan menjadi
permasalahan yang cukup penting menurutnya jika anaknya memang ingin bersekolah. Sesulit apapun kalau anak ingin sekolah pasti dicari untuk biayanya
menurut pak sayuti. Sudah banyak yang membujuk ahmadi untuk kembali bersekolah tapi lebih memilih mencari ketam. Ahmadi sempat bersekolah kembali
tapi hanya bertahan 4 hari saja, setelah itu hingga sekarang tidak mau sekolah lagi. Menurutnya faktor lingkungan mempengaruhi anak-anak putus sekolah di sini. Di
percut anak-anak bisa mencari kepiting dengan bubu, bisa membantu di pajak, dan bisa juga membangau. Membangau menurut pak sayuti adalah istilah yang
diambil dari jenis burung yang suka mengambil ikan. Burung bangau suka
Universitas Sumatera Utara
mengambil ikan atau mematul ikan di laut atau di perahu nelayan, nah istilah ini yang dipakai untuk menggambarkan kelakuan anak-anak di desa ini yang suka
mengambil ikan nelayan saat tiba di tempat pelelangan ikan. Anak-anak bisa saja mengambil ikan diam-diam, meminta dari nelayan, atau membantu nelayan dan
diberi upah. Menurutnya jika satu perahu dapat 2-3 ekor, ada 5 perahu sudah bisa dijualnya ke pengunjung pajak ikan. Hal ini yang juga mempengaruhi anak-anak
tidak lanjut bersekolah lagi. Pak sayuti menerangkan bahwa peranan orangtua memang sangat penting
dalam permasalahan pendidikan. Kami sebagai orangtua selalu membujuk anak- anak untuk tetap bersekolah, tetapi karena lingkungan dan kemauan anak juga
mempengaruhi kita gak bisa paksakan, daripada nanti dari rumah pakai pakaian sekolah tapi sampai simpang dia ganti baju dan entah pergi kemana kan sayang
buang-buang biaya. Memang sekolah sangat penting untuk ilmu pengetahuan biar tidak mudah ditipu orang menurutnya. Membaca dan menulis sangat penting
untuk kita semua sebagai manusia, karena banyak orang tak senang dan banyak orang senang sama kita menurutnya. Nanti tidak bisa membaca tiba-tiba suruh
tanda tangan dan tidak tahu kalau rumah kita sudah terjual saja. Bagi pak sayuti belajar itu agar tidak ada kekeliruan dan tidak mudah ditipu orang. Dari belajar
menurutnya lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi. Pak sayuti terus bercerita tentang hidupnya, Dia mengatakan sudah pergi
ke sana ke mari. Dia pernah masuk organisasi kelompok nelayan, juga pernah bergabung di lembaga swadaya masyarakat LSM dari jakarta. Karena mudah
mendirikan kelompok nelayan, menurutnya sudah ada 37 kelompok nelayan di desa percut. Tapi menurutnya kelompok nelayan ini tidak ada yang bertahan lama,
Universitas Sumatera Utara
mereka hanya mau mendapatkan bantuan saja dari pemerintah dan setelah mendapatkan maka tidak berjalan lagi.
Pak sayuti menceritakan soal sulitnya mencari kepiting bakau saat ini. Dia mengatakan bahwa hutan mangrove sudah rata ditebangi dan akan ditanami
kelapa sawit. Kepiting bakau sudah sulit didapatkan sekarang, harus berjalan jauh lah baru bisa pasang bubu menurutnya. Memang di pesisir percut telah masuk
pengusaha yang membeli lahan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Suara excavator meratakan lahan memang setiap hari terdengar di sini. Pengusaha itu
menurutnya etnis tionghoa bernama charlie, dia lah yang membeli lahan dan menjadikannya perkebunan kelapa sawit.
Belum lagi soal penebangan oleh warga kita sendiri, warga pun ada yang suka menebang kayu padahal dulu kami yang menanam. Ada 12 orang
menurutnya yang dulu sering menanam mangrove termasuk dia. Memang sudah banyak tiang-tiang himbauan agar tidak menebang dan bila menebang diberi
sanksi hukum tapi tidak berjalan juga, tidak ada tindak lanjutnya menurut pak sayuti.
Pak sayuti melanjutkan cerianya soal tangkal ular, jika dipatok ular keajr saja dan tangkap ularnya, potong ekornya sedikit dan langsung telan ekornya itu,
mudah-mudahan gak sampai parah yang terkena patok. Semua jenis ular berbisa menurutnya hanya ada dua tangkalnya, kalau tidak ekornya ditelan ya empedunya
yang ditelan. Di masyarakat Percut pengetahuan tentang alam menjadi modal mereka
dalam mencari hasil laut. Pengetahuan tentang cuaca menjadi salah satu faktor
Universitas Sumatera Utara
yang sangat berpengaruh dalam pekerjaan sebagai nelayan. Perubahan cuaca yang tidak menentu selalu membawa dampak ekonomi bagi para nelayan di Desa
Percut. Tidak jarang perubahan cuaca yang tidak menentu ini menyebabkan jumlah hasil tangkapan nelayan menurun bahkan nelayan tidak memperoleh apa-
apa saat melaut. Selain cuaca, pengetahuan nelayan di Percut tentang melaut lainnya adalah penentuan waktu melaut. Untuk mencari cumi-cumi atau kerang
maka nelayan berangkat malam hari saat terang bulan saja. Kalau mencari ikan biasa seperti yang dijual di tempat pelelangan ikan biasanya nelayan berangkat
sebelum subuh dan kembali lagi pada siang hari sampai menjelang sore. Untuk teknik menangkap ikan biasa mereka menggunakan pancing, jala,
dan perangkap lain yang mereka buat sendiri. Pengetahuan mereka tentang melaut ataupun alat tangkap ini berasal dari generasi-generasi sebelumnnya yang
berprofesi sama. Pengetahuan biasanya mereka dapatkan sendiri dari ikut melaut sejak kecil atau sengaja diajarkan oleh keluarga dan masyarakat setempat.
3.3 Penyelesaian Konflik