332
Pisau analisis yuridis dan kriminologis penulis manfaatkan dalam deskriptif analisis, yang akan dibahas di bawah ini.
1. Analisis yuridis normatif
Analisis yuridis normatif atau analisa hukum normatif bagaimanapun sangat penting dan bahkan signifikan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan
di Indonesia bagi mereka yang dijatuhi hukuman hilang kemerdekaan atau hukuman penjara, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu
hukuman pokok hilang kemerdekaan yang menurut istilah lama, adalah pidana penjara, yang sekarang telah diperbaharui menjadi Lembaga Pemasyarakatan
Lapas. Setelah R.A. Koesnoen menulis buku yang berjudul Politik Penjara
Nasional tahun 1961, dan Sahardjo mengemukakan “Pohon Beringin Pengayoman”, maka di akhir tahun 1960-an secara resmi istilah penjara, sudah
tidak digunakan lagi. Namun sebenarnya secara yuridis formal belum bisa dinyatakan demikian. Baru kemudian diundangkanlah UU No. 121995. Inilah
landasan hukum yang kuat bagi Indonesia untuk lebih sungguh-sungguh melaksanakan kebijaksanaan nasional, untuk melepaskan istilah menghukum dan
menggantikannya dengan membina untuk memasyarakatkan kembali mereka yang menjadi narapidana.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
333
Seorang Guru Besar Kriminologi dalam bukunya yang berjudul “In Leiding to de Criminologie” atau Pengantar Kriminologi, yaitu W.A. Bonger,
memaparkan perkembangan sistem hukuman dengan sangat jelas sebagai berikut: “Hukuman tidak ke luar dari satu atau beberapa orang, tetapi dari suatu kelompok
yang berbuat dengan sadar dan menurut perhitungan akal, walaupun yang dimaksud tidak lain dari memenuhi rasa dendam.
365
Hukuman berasal dari pembalasan dendam yang selama ini merupakan alat untuk menjaga keamanan
masyarakat. Dalam masyarakat yang masih sederhana peradabannya, pembalasan dendam merupakan keinginan dari masyarakat yang menjadi korban. Pada waktu
sekarang hukuman mengandung dua unsur yaitu memuaskan rasa dendam dan benci para anggota suatu kelompok dan hukuman untuk melindungi masyarakat
yang merupakan unsur yang selalu ada biarpun tidak diinsyafi. Tetapi sekarang sudah diinsyafi dan mempunyai arti yang besar, masyarakat mengambil tindakan
terhadap anggota-anggotanya yang berbahaya dan yang terpenting ialah mendidik mereka agar dapat berguna lagi bagi masyarakat.
Fungsi hukuman sebagai alat pembalasan dendam berupa hukuman mati dan penjara dengan penyiksaan-penyiksaan, perkembangan ke arah hukuman
sebagai alat perlindungan masyarakat menggambarkan narapidana yang hidup diasingkan dalam penjara-penjara yang terpencil dan mengalami penderitaan dan
ketidakwajaran. Kemudian setelah hukuman berfungsi sebagai wadah pembinaan dan pendidikan, maka diharapkan suatu kehidupan di lembaga pemasyarakatan
365
Bonger, Op. cit., hal. 24.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
334
yang bersifat mendidik penghuninya, untuk bergaul seperti apa yang terdapat di dalam masyarakat dengan sebisa mungkin menghindarkan penderitaan.
Mengenai kebijaksanaan sanksi pidana dengan penekanan pada perbaikan atau koreksi terhadap narapidana, yang kemudian di Indonesia dikenal dengan
“Sistem Pemasyarakatan”, yang berlandaskan falsafah Pancasila lewat perjuangan banyak pemikir, ilmuan dan praktisi, yang dipelopori oleh R.A.
Koesnoen dan Sahardjo, maka Indonesia dalam pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melaksanakan sistem pemasyarakatan yang
menempatkan narapidana sebagai subyek, bukan obyek. Sebagai subyek narapidana dibina secara pribadi sesuai keadaan dan masalahnya. Penekanan
pada pribadi ini yang dimaksud dengan ide individualisasi pidana dalam
pembinaan narapidana, sebagai kesiapan untuk mengembalikan individu yang telah dibina di lembaga pemasyarakatan ke masyarakat, untuk hidup produktif
kembali seperti warga masyarakat pada umumnya. Lembaga pemasyarakatan adalah wadah pendidikan khusus untuk
perbaikan mental, karakter dan memberi bekal hidup lewat pembinaan mental dan pelatihan keterampilan, untuk mencari nafkah layak setelah meninggalkan
Lembaga Pemasyarakatan. Sebenarnya ide individualisasi pidana sudah berlangsung sejak nama lembaga pemasyarakatan dikumandangkan. Namun
secara yuridis formal adalah dengan diundangkannya UU No. 121995. Landasan hukum untuk penerapan ide individualisasi pidana dalam
pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan, yaitu Pasal 12 UU No. 121995, Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan
dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah RI
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
335
Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 mengenai syarat dan tatacara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.
Berdasarkan hukum positif ini, penulis menilai bahwa pelaksanaan ide individualisasi pidana dalam pembinaan narapidana wanita dengan sistem
pemasyarakatan masih memerlukan perjuangan yang panjang, agar narapidana terutama narapidana wanita memperoleh bimbingan dan pembinaan sesuai
dengan karakteristiknya, sehingga saat meninggalkan lembaga pemasyarakatan telah memiliki kepercayaan diri dan tidak melanggar hukum lagi.
2. Pendekatan sosio-kriminologis