273
Untuk itu, program pelatihan tidak sekedar memberikan kesibukan kepada petugas dan narapidana, tetapi lebih berorientasi pada individualisasi yang
menempatkan narapidana sebagai manusia yang tersesat dan mendapatkan pembinaan sesuai dengan Pasal 12 UU No. 121995. Dalam hal ini program
pelatihan setidak-tidaknya dapat mengembalikan rasa percaya diri narapidana, sehingga ia dapat berintegrasi dengan masyarakat.
2. Asimilasi
Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Prinsip ini
menghendaki narapidana tidak terisolasi di dalam tembok penjara serta narapidana harus melakukan kontak dengan masyarakat luar. Asimilasi ini
dijamin oleh UU No. 121995 dalam Pasal 14 ayat 1 huruf j, dan PP No. 321999 Pasal 36, 37, serta PP No. 282006 Pasal 36 sebagaimana telah
dijelaskan pada bab sebelumnya. Asimilasi
316
sebagai tujuan pemasyarakatan, ciri utamanya adalah aktifnya kedua belah pihak, yaitu pihak narapidana dan kelompok keluarga narapidana dan
316
Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor : M,01-PK04 10th 1989 Tentang Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang Lepas. Pasal 1 : Asimilasi adalah proses
pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat.
Pasal 5, maksud Asimilasi adalah : a.
Memulihkan hubungna narapidana dengan masyarakat; b.
Memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan;
Pasal 6, Tujuan Asimilasi adalah : a.
Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinana.
Asimilasi terbagi dua yaitu : Asimilasi kedalam lembaga pemasyarakatan, khususnya menerima kunjungan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Asimilasi keluar, mempunyai
persyaratan minimal sudah menjalani 23 masa pidana atau telah masuk tahap III dari proses persyaratan narapidana. Adapun bentuk Asimilasi keluar adalah : bekerja pada pihak ketiga, baik
instansi pemerintah atau swasta, bekerja mandiri, misalnya menjadi tukang cukur, bengkel, tukang memperbaiki radio, mengikuti pendidikan dan latihan keterampilan di luar lembaga pemasyarakatan,
kerja bersama masyarakat, berolahraga bersama masyarakat.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
274
masyarakat. Asimilasi juga bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara pasca kemerdekaan, serta mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas
narapidana. Sehubungan dengan itu, akan dilihat bagaimana pandangan petugas
tentang manfaat asimilasi pada tabel berikut.
Tabel 32 Pendapat Petugas Tentang Manfaat Asimilasi
Kedalam Lembaga Pemasyarakatan
No. Manfaat Asimilasi
Jumlah Persentase
1. Bermanfaat sehingga narapidana merasa
tidak diasingkan. 4 40
2. Bermanfaat bagi narapidana, sehingga ia
merasa tidak diasingkan, bahkan mendapat bingkisan.
5 50
3. Tidak bermanfaat, karena narapidana
dianggap sebagai objek 1 10
Jumlah 10 100
Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
Tabel di atas menunjukkan lima orang petugas mengatakan bermanfaat karena narapidana tidak diasingkan bahkan mendapatkan bingkisan, dan empat
orang petugas mengatakan bermanfat karena merasa tidak diasingkan, serta satu orang petugas mengatakan tidak bermanfaat karena narapidana dianggap sebagai
objek. Menurut penulis untuk menghilangkan citra buruk lembaga
pemasyarakatan dan mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana, maka perlu diadakan asimilasi kedalam lembaga pemasyarakatan berupa
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
275
kunjungan dari keluarga dan masyarakat ke dalam lembaga pemasyarakatan serta kunjungan dari organisasi-organisasi kemasyarakatan dengan memberikan
ceramah keagamaan, penyuluhan hukum, maupun berbagai bentuk keterampilan. Dengan adanya asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan maka narapidana
tidak merasa dirinya terasing dari lingkungan masyarakat. Asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan berupa kunjungan keluarga
berlangsung 2 dua kali dalam seminggu pada jam-jam tertentu selama lebih kurang dari 15 menit. Untuk mengetahui pendapat petugas tentang hal ini dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 33 Pendapat Petugas Tentang Cukup Tidaknya Waktu
Kunjungan Keluarga 2 kali Seminggu
No. Cukup Tidak Waktu Yang Diberikan
Jumlah Persentase
1. Sudah mencukupi untuk memberi
kepuasan bathin bagi narapidana dan keluarga.
6 60
2. Tidak mencukupi, perlu diberi jam
kunjungan lebih banyak. 4 40
Jumlah 10 100
Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
Tabel tersebut menunjukkan, enam orang petugas mengatakan bahwa kunjungan 2 kali seminggu dengan lama kunjungan 15 menit cukup memberi
kepuasan batin bagi narapidana dan keluarga; sedangkan empat orang petugas mengatakan tidak mencukupi dan perlu diberi waktu lebih banyak. Pentingnya
arti pertemuan keluarga dengan narapidana tidak bisa dibantah oleh siapapun
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
276
karena pengaruhnya besar sekali untuk memotivasi narapidana agar menjadi lebih baik.
Kunjungan keluarga dapat memulihkan rasa percaya diri narapidana sebagai manusia yang mandiri. Dengan adanya kunjungan tersebut, narapidana
tidak merasa dilupakan oleh keluarganya, dan secara psikologis hal tersebut akan membawa dampak positif pada diri narapidana. Kurangnya perhatian keluarga
dapat mengakibatkan narapidana frustasi, dan hal itu akan mempersulit pembinaan narapidana.
Di dalam hal ini ada juga narapidana yang tidak pernah dikunjungi keluarganya, sehingga berpengaruh terhadap narapidana, sebagaimana
dikemukakan pada tabel berikut.
Tabel 34 Pendapat Petugas Tentang Pengaruh Narapidana
Yang Tidak Pernah Dikunjungi Keluarga
No Pengaruhnya Terhadap
Narapidana Jumlah
Persentase 1. Tidak
berpengaruh 1
10 2.
Menjadi penyendiri dan pemurung 6
60 3. Menjadi
frustasi 3
30 Jumlah 10
100 Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Tabel di atas menunjukkan bahwa enam orang petugas mengatakan
narapidana menjadi penyendiri dan pemurung; sedangkan satu orang petugas mengatakan tidak berpengaruh, dan tiga orang petugas mengatakan narapidana
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
277
menjadi frustasi. Menurut penulis secara psikologis narapidana merasa tersisihterasing dari keluarganya apabila keluarga tidak pernah mengunjunginya,
sehingga membawa dampak terhadap sikap mental narapidana. Kunjungan keluarga kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan
merupakan kegiatan rutin yang berlangsung dua kali dalam satu minggu. Sebagaimana yang dikemukakan Kabid Pembinaan
317
, bahwa kunjungan keluarga berlangsung pada hari Senin dan Kamis, yakni pagi hari dari jam 9.00 Wib
sampai dengan jam 12.00 Wib, dan sore hari dari jam 14.00 sampai dengan jam 16.00 Wib, dan waktu yang diberikan lima belas menit, tetapi bagi keluarga
narapidana yang datang dari luar kota waktu yang diberikan satu jam. Kunjungan ini dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk saling tukar informasi atau
menumpahkan segala keluh kesah serta dapat melepaskan rasa rindu di antara mereka dan juga narapidana merasa diperhatikan oleh keluarganya. Pada waktu
kegiatan ini, petugas biasanya memberi kebebasan seluas-luasnya kepada narapidana selama waktu yang ditentukan.
Asimilasi khususnya keluar lembaga pemasyarakatan sebagai media narapidana dengan masyarakat merupakan sisi penting dari pemasyarakatan. Oleh
karenanya asimilasi sangat diperlukan agar narapidana dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Untuk itu akan dilihat bagaimana tanggapan petugas pada
tabel berikut.
317
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
278
Tabel 35 Pendapat Petugas Tentang Perlu Tidaknya Asimilasi
Keluar Lembaga Pemasyarakatan
No. Perlu Tidaknya Asimilasi
Jumlah Persentase
1. Perlu, agar narapidana dapat
menyesuaikan diri dalam masyarakat 4 40
2. Perlu, karena dijamin oleh UU No. 12 Tahun 1995, dan agar Narapidana dapat
menyesuaikan diri dengan masyarakat 4 40
3. Tidak perlu, karena narapidana dapat berkumpul kembali dengan kelompoknya
2 20 Jumlah
10 100
Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
Tabel di atas menunjukkan bahwa delapan orang petugas mengatakan bahwa asimilasi memang perlu, disamping narapidana dapat menyesuaikan diri
dalam masyarakat juga dijamin oleh UU No. 121995, sedangkan dua orang petugas mengatakan tidak perlu.
Sebagaimana telah penulis kemukakan pada bab terdahulu, bahwa asimilasi keluar lembaga pemasyarakatan masih terbatas pada pembebasan
bersarat dan cuti menjelang bebas. Sedangkan asimilasi dalam bentuk bekerja di luar lembaga seperti bekerja pada pihak swasta, belum diberikan karena petugas
merasa khawatir melepas narapidana bekerja ke luar lembaga pemasyarakatan. Kekhawatiran ini wajar mengingat tanggung jawab petugas terhadap narapidana
cukup besar, terlebih lagi jika terjadi sesuatu terhadap narapidana maka petugas dapat disalahkan.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
279
Asimilasi dalam bentuk cuti, seperti dijamin undang-undang mempunyai tujuan tertentu, apakah itu untuk mengunjungi keluarga karena hal-hal tertentu
atau untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Sehubungan dengan itu, menurut Kabid Pembinaan proses asimilasi keluar Lembaga Pemasyarakatan ini
tidak berjalan, hal ini disebabkan petugas merasa khawatir dengan adanya proses asimilasi ke luar lembaga dapat menyebabkan narapidana berprilaku tidak baik
karena dapat bertemu dengan teman-temannya, dan juga khawatir narapidana akan hamil sehingga dapat menggangu keamanan dan ketertiban lembaga.
318
Sehubungan dengan program asimilasi ini menurut narapidana perlu adanya asimilasi ke dalam maupun keluar lembaga pemasyarakatan, karena
narapidana dapat berbaur dengan masyarakat sehingga narapidana merasa tidak canggung lagi apabila nantinya keluar dari lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya
menurut narapidana asimilasi ini sangat berguna bagi narapidana karena dengan adanya kunjungan dari organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti Dharma
Wanita, LSM, maupun dari lembaga sosial lainnya, dapat memberikan kegembiraan bagi narapidana dengan adanya hiburan, ceramah, dan mengajarkan
berbagai bentuk keterampilan lainnya.
319
Dengan demikian narapidana merasa terhibur dan termotivasi untuk berbuat baik serta berkarya dan timbul rasa percaya diri dalam diri narapidana.
Namun asimilasi keluar lembaga pemasyarakatan masih terbatas hanya dalam bentuk cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan pembebasan
318
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
319
Wawancara dengan narapidana, di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Mei 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
280
bersyarat sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur yang berlaku hal ini telah dijelaskan pada bab terdahulu. Sedangkan bekerja di luar lembaga
pemasyarakatan masih terkendala dengan adanya kekhawatiran dari pihak lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana maupun kurangnya kepercayaan
masyarakat untuk mempekerjakan narapidana. Dalam hal ini menurut mantan narapidana walaupun mereka telah bebas keluar dari lembaga pemasyarakatan,
namun tetap saja masyarakat tidak mau mempekerjakan mereka tidak mau menerima mereka bekerja di tempatnya.
320
Assimilasi sebagai salah satu cara memperkenalkan narapidana ke masyarakat, oleh karena itu kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga
masa pidananya diberikan Cuti Menjelang Bebas CMB. Untuk itu menurut Kabid Pembinaan pemberian cuti bagi narapidana harus ada ijin dari Tim
Pengamat Pemasyarakatan TPP, dan adanya jaminan dari pihak keluarga narapidana serta lurah setempat dan juga ijin dari BAPAS.
321
Dengan adanya surat jaminan tersebut, maka Kepala Lembaga Pemasyarakatan baru dapat memberikan surat cuti menjelang bebas CMB, dan
apabila masa cutinya berakhir maka narapidana dapat melaporkannya ke lembaga pemasyarakatan terdekat.
Asimilasi lebih tertuju kepada narapidana, karena merekalah yang memanfaatkannya. Asimilasi itu sendiri menjadi jembatan bagi narapidana
bertukar pikiran dengan keluarga. Namun saat pertemuan narapidana dengan
320
Wawancara dengan mantan narapidana, April 2006
321
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
281
keluarga, disitu dapat diketahui apakah ada keharmonisan atau terjadi keretakan rumah tangga renggangnya hubungan keluarga dengan narapidana.
Untuk mengetahui renggangnya hubungan narapidana dengan keluarganya, dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 36 Faktor Penyebab Keretakan Hubungan
Narapidana dengan Keluarga
No. Faktor Penyebab Keretakan
Jumlah Persentase
1. Tidak pernah dikunjungi keluarga
2 8
2. Keluhan dari suami mengenai anak- anak tidak ada yang mengurusnya
8 32 3.
Suami pergi begitu saja meninggalkannya
6 24 4. Suami
menuntut cerai karena tidak ada
yang mengurus anak-anak dan kebutuhan biologisnya
9 36
Jumlah 25
100 Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Tabel
tersebut diatas
menunjukkan, delapan orang narapidana mengatakan
adanya keluhan dari suami mengenai tidak adanya yang mengurus anak-anak, dan enam orang narapidana mengatakan suami mereka pergi meninggalkannya begitu
saja, sedangkan sembilan orang narapidana mengatakan suami menuntut cerai karena tidak ada yang mengurus anak-anak dan kebutuhan biologisnya, dan
hanya dua orang yang mengatakan tidak pernah dikunjungi keluarga. Menurut
penulis asimilasi
sebagai media komunikasi antara narapidana
dengan keluarga dan masyarakat dapat membantu narapidana untuk lebih percaya
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
282
diri menghadapi kehidupan dan dapat hidup mandiri apabila keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Asimilasi baik ke dalam maupun ke luar Lembaga Pemasyarakatan bagi narapidana selau dilihat untung ruginya. Adanya sikap dan cara berfikir
demikian, karena mereka berada di bawah tekanan berupa tidak adanya kebebasan. Sehubungan dengan ini, asimilasi ke dalam pemasyarakatan berupa
kunjungan-kunjungan keluarga maupun anggota masyarakat lainnya, sangat dirasakan manfaatnya oleh narapidana.
Disamping kunjungan keluarga, asimilasi ke dalam Lembaga Pemasyarakatan juga sering dilakukan oleh lembaga pendidikan dan kelompok
keagamaan yang ada di masyarakat. Kunjungan itu dapat berupa aksi bakti sosial, serta penyuluhan hukum. Maksud dari kunjungan kelompok masyarakat tersebut
pada dasarnya adalah untuk mendekatkan diri kepada narapidana. Kunjungan itu sendiri dipandang sebagai kesempatan mendapatkan bimbingan rohani dan
melepaskan keterasingan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kunjungan dari organisas-organisasi sosial dan LSM juga merupakan bentuk
asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan, di samping memberikan ceramah juga pelatihan keterampilan.
Sehubungan dengan itu untuk mengetahui bagaimana tanggapan narapidana terhadap kunjungan tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut :
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
283
Tabel 37 Pandangan Narapidana Terhadap Kunjungan Lembaga Pendidikan
Keagamaan, Bakti Sosial dan Penyuluhan Hukum Dari Luar
No. Pandangan Narapidana
Jumlah Persentase
1. Sangat perlu untuk memperoleh bimbingan rohani dan pengetahuan
15 60 2. Sangat perlu, untuk melepaskan
perasaan terasing dari masyarakat luar 8 32
3. Tidak perlu, karena sudah cukup dari
dalam 2 8
Jumlah 25
100 Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Tabel diatas menunjukkan bahwa lima belas orang narapidana mengatakan
sangat perlu, karena memperoleh bimbingan rohani dan pengetahuan, sedangkan delapan orang narapidana mengatakan sangat perlu, karena narapidana merasa
tidak terasing dari masyarakat luar, dan dua orang narapidana yang mengatakan tidak perlu, karena menganggap pembinaan yang diperolehnya di dalam lembaga
pemasyarakatan sudah mencukupi. Menurut penulis perlunya asimilasi bagi narapidana sebelum kembali ke
masyarakat, bermanfaat untuk mencegah kecenderungan pemberian cap penjahat dari masyarakat dan ditolaknya narapidana di masyarakat. Adanya pemberian cap
dari masyarakat tersebut merupakan beban tersendiri bagi narapidana karena mereka merasa tersisih dari kehidupan masyarakat. Menurut prinsip
pemasyarakatan, terpidana dihukum dalam penjara tidak dimaksudkan membuat
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
284
mereka lebih jahat, namun sebaliknya mendidik mereka agar menjadi manusia yang baik. Namun kenyataannya begitu mereka meninggalkan lembaga
pemasyarakatan, masyarakat tetap menolak kehadiran mereka dan cap sebagai penjahat tetap disandang oleh bekas narapidana tersebut.
Adanya penolakan sosial, pengasingan dan pengucilan begitu memojokkan mereka sehingga mengakibatkan timbulnya kembali penjahat kambuhan, hal ini
seperti dikatakan Ronny Nitibaskara : Orang-orang ini selalu dibayang-bayangi dan dicurigai secara berlebihan
oleh Penegak Hukum maupun masyarakat terpaksa memilih “comeback” bergelut dalam dunia kriminalitas yang sesungguhnya belum tentu mereka
senangi. Kontrol sosial yang tidak pada tempatnya itu sangat mempengaruhi keberhasilan mereka mengisolirnya dari masyarakat
umum. Terjadinya proses stigmatisasi yang menempatkan individu sebagai tidak dapat diterima atau sebagai orang yang berkelakuan salah.
322
Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan proses pemasyarakatan
narapidana tidak sebatas dinding tembok penjara saja. Sebagaimana dikatakan Loebby Loqman, bahwa proses pembinaan narapidana :
Tidak berhenti pada saat narapidana tersebut keluar dari Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani pidananya, akan tetapi masih berlanjut
di dalam masyarakat di mana bekas narapidana tersebut akan menerimanya, suatu Stigma yang sampai sekarang sulit untuk dihilangkan
adalah suatu pendapat bahwa seseorang yang pernah dipidana merupakan orang yang harus dijauhkan, masih terdapat di dalam masyarakat kita,
dengan bukti dimintainya Surat Kelakuan Baik bagi mereka yang melamar pekerjaan, kalau jalan ini sudah ditutup keberhasilan pembinaan dalam
Lembaga Pemasyarakatan yang pernah melakukan kejahatan akan menonjol.
323
322
Rony Nitibaskara, Beberapa Faktor Penghambat Reintegrasi Sosial Bekas Narapidana di Indonesia, Makalah Jakarta : Fakultas Hukum UI, 1988, hal. 3
323
Loebby Loqman, Op. cit., hal. 7.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
285
Dengan demikian, sepatutnya masyarakat tidak menjadi hakim terakhir, karena lembaga pemasyarakatan fungsinya bukan hanya sebagai tempat
menjalani pidana tetapi juga sebagai tempat pembinaan. Di samping itu adanya kelemahan pada Undang-Undang Hukum Pidana yang tidak menegaskan bahwa
bila pelaku kejahatan telah menjalani seluruh masa pidananya, maka tidak boleh ada lagi stigma atau penolakan serta prasangka buruk. Stigma penjahat dalam
kenyataannya tidak ditujukan kepada orangnya saja, tapi juga kepada produk barang-barang hasil kerja bekas narapidanapun cenderung menjadi sasaran.
Kecenderungan seperti ini, menunjukkan semakin sempitnya kesempatan bekas narapidana memperbaiki dirinya. Padahal pendidikan keterampilan yang
dijalani narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, belum tentu sesuai dengan jenis pekerjaan yang mereka jalani ketika keluar nanti. Di samping itu pula pekerjaan
semacam itu hanya dibutuhkan untuk lembaga, serta salah satu cara mencegah rutinitas penjara.
Dengan demikian, penilaian keberhasilan rehabilitasi tidak lagi ada pada narapidana serta lembaga pemasyarakatan, tetapi juga masyarakat. Stigma
terhadap pidana penjara merupakan masalah utama, oleh karena itu selesai menjalani pidana penjara, orang-orang yang dijatuhi pidana penjara berupaya
untuk menyembunyikan identitas sosial mereka, sebagaimana dikatakan D. Schafmeister, di mana setiap narapidana merasakan kebutuhan untuk
menyembunyikan identitas mereka atau untuk tetap anonimtidak dikenal. Kebanyakan dari mereka takut, untuk dikenal di dalam lingkungan sosial atau
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
286
lingkungan masyarakat, sebagai pelanggan penjara yang oleh setiap orang akan selalu ditunjuk-tunjuk.
324
Dari pendapat ini, dapat dikatakan bahwa kecenderungan penolakan terhadap bekas narapidana hingga sekarang sangat sulit
dihilangkan. Dengan demikian adanya pemberian cap dan penolakan masyarakat bahkan dendam terhadap bekas narapidana berakibat terjadinya ketidakadilan,
baik terhadap pelaku kejahatan maupun anggota keluarganya.
D. Hambatan-hambatan Dalam Implementasi Ide Individualisasi Pidana Dalam Sistem Pemasyarakatan