287
1. SikapPerilaku Petugas
Proses pemasyarakatan narapidana dapat memberikan output positif, apabila didukung oleh sikapperilaku petugas yang mempunyai visi tentang
pemasyarakatan khususnya tugas-tugas yang dibebankan sesuai UU No. 121995. Dalam hal ini sikapperilaku petugas sangat berpengaruh, di mana petugas
sebagai pihak yang dibebani tugas pemasyarakatan dalam menjalankan fungsinya berpedoman pada UU No. 121995. Adapun tugas yang dijalankan adalah di
bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan. Sebagai petugas seharusnya dapat memahami fungsi dan tanggung
jawabnya bukan hanya sebagai pegawai pemerintah, tetapi lebih dari itu dia adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk memperbaiki perilaku
narapidana yang dinyatakan sebagai pelanggar hukum. Dalam menjalankan fungsinya, petugas pemasyarakatan di samping
memiliki tanggung jawab di bidang pemasyarakatan, juga mempunyai tanggung jawab untuk keluarga. Di sini petugas harus memenuhi kebutuhan hidup untuk
keluarganya, khususnya untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, maka faktor gaji sangat mendukung. Oleh sebab itu, minimnya gaji dapat
mempengaruhi kinerja petugas. Menurut petugas minimnya gaji mempengaruhi kinerjanya
325
karena kita ketahui bahwa tugas yang diembannya cukup berat dan penuh risiko dalam membina narapidana. Untuk itu pemberian gaji tambahan
berupa tunjangan atas pekerjaannya sangat diharapkan.
325
Wawancara, dengan Petugas Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
288
Sikap profesional petugas dibidangnya masing-masing akan mendukung kinerjanya. Penghargaan dalam bentuk gaji yang mencukupi, adalah cara
mencegah penyuapan dari narapidana kepada petugas. Dalam hal ini gaji yang rendah sangat memungkinkan petugas untuk tidak disiplin terhadap
pekerjaannya. Minimnya gaji dapat mengakibatkan petugas itu diperintah oleh narapidana agar diberikan fasilitas serta bebasnya narapidana membawa segala
perlengkapan pribadi. Sebagaimana dikutip dari Harian Kompas, bahwa di dalam penjara pindah
blok tidak gratis, ada ongkos sewa yang nilainya bervariasi. Untuk blok elite, tiap narapidana harus membayar sekitar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah. Uang itu
baru untuk masuk blok. Sedangkan tiap minggu harus bayar sesuai kamar yang dipakai. Jika ditambah berbagai fasilitas, seperti televisi, pendingin ruangan dan
kulkas, ongkos sewa perbulan pun bertambah. Biasanya untuk sewa 1 satu paket fasilitas tv, kulkas dan ac, narapidana harus membayar Rp. 1.500.000,-
satu juta lima ratus ribu rupiah per bulan. Untuk kelas yang lebih rendah harga sewa juga lebih murah. Jika tidak membayar, ia tetap di penampungan bersama
ratusan orang.
326
Dalam hal ini tidak heran bila petugas dengan alasan gaji yang tidak mencukupi menetapkan pungutan tertentu kepada keluarga yang mengunjungi
narapidana. Seperti dikutip di Harian Kompas bahwa sebelum masuk ruang besuk, tak lupa salam tempel dilakukan dengan menyerahkan uang minimal
Rp. 5.000,- lima ribu rupiah kepada petugas yang berjaga disetiap pintu yang
326
Jannes Eudes Wawa, Tak Ada Yang Gratis, Harian Kompas, 21 April 2007.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
289
dilewati. Salam tempel dilakukan disejumlah lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan Rutan lainnya. Meskipun di depan pintu masuk tertulis “pengunjung
tidak dipungut biaya apapun”, namun kenyataannya tulisan itu hanya sekedar hiasan.
327
Bila hal ini terjadi maka segala macam barang-barang terlarang, seperti alat komunikasi, obat-obat terlarang dapat masuk ke dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Kaburnya narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan menjadi bukti petugas tidak lagi mementingkan tanggung jawabnya.
Dalam membina narapidana tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan petugas lembaga pemasyarakatan saja, tetapi keikutsertaan keluarga
dan masyarakat juga sangat diharapkan. Karena bagaimanapun proses pembinaan narapidana merupakan tanggung jawab kita semua, dalam hal ini petugas,
keluarga, masyarakat, dan adanya kemauan dari narapidana itu sendiri. Untuk itu seharusnya Lembaga Pemasyarakatan mempedomani Pasal 12 UU No. 121995
dalam hal membina narapidana agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Namun di dalam melaksanakan ide individualisasi pidana dalam
pembinaan narapidana wanita tidak dapat terlaksana atau menemui hambatan, karena sarana dan prasarananya tidak memadai, seperti halnya pembinaan
narapidana menurut Pasal 12 UU No. 121995 haruslah didasarkan kepada umur, jenis kelamin, jenis kejahatannya dan lamanya pidana. Tetapi karena sarana
pembinaannya tidak mencukupi maka pembinaannya disamakan untuk seluruh narapidana. Hal ini dikemukakan oleh Kabid Pembinaan bahwa sarana dan
327
Ibid
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
290
prasarananya kurang memadai, sehingga pembinaan narapidana berdasarkan Pasal 12 UU No. 121995 belum bisa terlaksana.
328
Pemikiran akan adanya pembaharuan pemasyarakatan dapat dirasakan sebagai sesuatu yang mendasar. Hal ini mengingatkan kita pada Sahardjo yang
memulai usaha perbaikan hidup orang-orang yang dipenjara. Di mana Sahardjo memahami bahwa falsafah itu harus dioperasionalisasikan ke dalam undang-
undang. Untuk itu harus didukung oleh pemberian kesempatan dan penghargaan bagi petugas, di samping tersedianya prasarana yang memadai.
Terpenuhinya gaji yang cukup dan saranaprasarana yang memadai merupakan bukti bagi narapidana bahwa mereka benar-benar di bina. Sulit bagi
petugas untuk mengatakan kepada narapidana bahwa falsafah pemasyarakatan tidak memandang narapidana sebagai orang hukuman, tetapi sebagai warga
masyarakat yang tersesat dan perlu diayomi. Namun kenyataan yang dilihat, bahwa kamar yang mereka huni sudah melebihi kapasitas, seperti halnya di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan sehingga fasilitas di kamar tersebut tidak mencukupi.
Kelebihan kapasitas ini tidak hanya terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, tetapi juga di lembaga pemasyarakatan
maupun rumah tahanan lainnya di Indonesia, seperti halnya di wilayah DKI terdapat kelebihan kapasitas hampir 59. Lembaga pemasyarakatan dan rumah
328
Wawancara, dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
291
tahanan yang seharusnya dihuni 4.068 narapidana dan tahanan, kini dihuni oleh 6.742 narapidana dan tahanan.
329
Dalam hal ini pandangan narapidana dapat dijadikan fakta mengenai ditemukannya hambatan dalam implementasi Pasal 12 UU No. 121995.
Sehubungan dengan itu, pengalaman narapidana selama dipenjara tentang cerita- cerita yang menyeramkan, maupun menakutkan akibat adanya cap sekolah
kejahatan school of crime, menjadi bukti bahwa banyak hambatan yang dialami narapidana. Di samping itu juga, di dalam lembaga pemasyarakatan dijumpai
kelompok-kelompok yang berdasarkan kesukuan atau kota dan klasifikasi lain. Seperti dikutip dari Harian Kompas, bahwa di kalangan narapidana dikenal
semacam kasta. Kasta yang paling tinggi terdiri dari formen, palkam kepala keamanan dan brengos tukang pukul yang melindungi formen dan palkam.
For-men biasanya seorang narapidana yang paling disegani, baik karena memiliki uang maupun karena ditakuti narapidana lain. Kasta selanjutnya adalah
narapidana kelas menengah. Narapidana ini sering dijadikan objek, baik objek kekerasan maupun pemerasan oleh narapidana diatasnya. Kasta terenah adalah
korpe atau pesuruh. Korpe merupakan akronim dari korban perasaan. Biasanya korpe adalah anak jalanan atau anak hilang yang tidak memiliki keluarga.
330
Terdapatnya kelompok-kelompok seperti ini sedikit banyak menimbulkan gesekan-gesekan ataupun menjadi alat penekan maupun pemeras antara satu
dengan lainnya. Hal ini dikemukakan oleh narapidana dalam tabel berikut.
329
Jannes Eudes Wawa, Op. cit.
330
Ibid
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
292
Tabel 38 Pendapat Narapidana Tentang Adanya Kelompok-kelompok
Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan
No. Kelompok-kelompok di LP
Jumlah Persentase
1. Ada 18
72 2. Tidak
ada 2
8 3. Tida
tahu 5
20 Jumlah
25 100
Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
Tabel di atas menunjukkan delapan orang narapidana mengatakan adanya kelompok-kelompok di dalam lembaga pemasyarakatan, apakah itu berdasarkan
kesukuan, asal daerahkota atau lainnya, sedangkan dua orang narapidana mengatakan tidak ada, dan lima orang narapidana mengatakan tidak tahu.
Sebagaimana dikemukakan oleh narapidana bahwa kelompok yang merasa lebih banyak jumlahnya baik suku atau daerah asalnya maka mereka merasa lebih
berkuasa.
331
Berdasarkan uraian di atas, ketidaktahuan narapidana atas kelompok- kelompok tersebut menunjukkan bahwa narapidana tidak mau tau akan
lingkungan di dalam lembaga pemasyarakatan, karena merasa hal itu tidak perlu diketahuinya. Sehubungan dengan itu maka hubungan sesama narapidana menjadi
renggang, bahkan dapat terjadi perkelahian antara sesama narapidana, sehingga
331
Wawancara dengan narapidana, di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Mei 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
293
terkadang menimbulkan keributan di dalam lembaga pemasyarakatan. Mengenai hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 39 Pendapat Narapidana Tentang Keributan Di Dalam
Lembaga Pemasyarakatan
No. Terjadi Keributan di LP
Jumlah Persentase
1. Ya -
- 2. Kadang-kadang
20 80
3. Tidak pernah
5 20
Jumlah 25
100 Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Tabel di atas menunjukkan dua puluh orang narapidana mengatakan
kadang-kadang terjadi keributan antara narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, sedangkan lima orang narapidana mengatakan tidak pernah, hal
ini mungkin untuk menutupi adanya keributan di dalam lembaga pemasyarakatan. Seperti yang dikemukakan oleh narapidana bahwa keributan yang terjadi diantara
narapidana karena adanya sikap iri antara narapidana yang satu dengan narapidana yang lainnya, atau juga disebabkan adanya sikap pilih kasih dari
petugas terhadap narapidana.
332
Adanya sikap seperti ini membuat narapidana merasa petugas bersikap tidak adil terhadap mereka, sehingga pembinaan yang
dilakukan petugas tidak dapat diterima oleh narapidana.
332
Wawancara dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Mei 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
294
Dengan demikian sikap petugas yang kasar dan pilih kasih, menjadi penghambat dalam pembinaan narapidana. Hal ini dikemukakan oleh narapidana
pada tabel berikut.
Tabel 40 Pendapat narapidana tentang sikap petugas yang kasar dan
pilih kasih dapat menghambat pembinaan narapidana
No. Pendapat Narapidana
Jumlah Persentase
1. Perlakuan petugas yang kasar dalam menerapkan aturan tata tertib Lembaga
Pemasyarakatan 5 20
2. Perlakuan petugas yang pilih kasih dalam membina narapidana
6 24 3.
Perlakuan petugas yang kasar dan pilih kasih dalam membina narapidana dan
menerapkan aturan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan
14 56
Jumlah 25
100 Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Tabel diatas menunjukkan bahwa lima orang narapidana mengatakan
perlakuan petugas yang kasar dalam menerapkan aturan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan dan enam orang narapidana mengatakan perlakuan petugas yang
pilih kasih, dan empat belas orang narapidana yang mengatakan perlakuan petugas yang kasar dan pilih kasih dalam membina dan menerapkan aturan tata
tertib Lembaga Pemasyarakatan, dapat menghambat pembinaan narapidana, karena narapidana merasa takut dan berusaha untuk mendekatkan diri dengan
petugas. Dengan demikian bukan hanya pola pikir petugas yang belum memahami ide individualisasi pidana menjadi penghambat dalam melakukan
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
295
pembinaan narapidana, tetapi juga sikap petugas yang kasar dan pilih kasih dalam menerapkan aturan dan tata tertib di lembaga pemasyarakatan merupakan
penghambat dalam membina narapidana. Selama berada di Lembaga Pemasyarakatan narapidana sadar bahwa ia
jauh dari keluarga dan diasingkan dari lingkungan sosialnya serta adanya pembatasan-pembatasan bagi kebebasannya. Keterasingan dan pembatasan
demikian jelas merupakan hambatan dalam mengikuti pembinaan. Di samping itu lingkungan yang menakutkan, dan tidak bersahabatnya petugas dan
narapidana juga menjadi penghambat dalam pembinaan narapidana. Dari pengalaman mantan narapidana selama di penjara, maka hambatan
yang paling menonjol adalah kurangnya fasilitas di dalam melakukan pembinaan dan tidak terdapatnya hubungan sosial yang sehat dan terbina antara petugas dan
narapidana.
333
Hal ini memperlihatkan kesan penjara sangat menonjol. Di samping itu, faktor dari dalam diri narapidana tidak kalah pentingnya, yaitu
hubungan sesama narapidana. Begitu juga pengaruh jauh dari keluarga serta cap sebagai orang hukuman akan mempercepat narapidana itu menjadi putus asa
dalam setiap kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.
2. Saranaprasarana di Lembaga Pemasyarakatan