182
Dari jumlah narapidana wanita sebagaimana yang terdapat dalam tabel diatas, dapat diketahui bahwa narapidana dan tahanan wanita terlibat dalam
beberapa jenis kejahatan atau tindak pidana, seperti narkotika, pencurian, penipuan, penggelapan, dan lain-lain.
Melihat jumlah tindak pidana yang dilakukan wanita setiap tahun mengalami peningkatan. Dari berbagai kasus yang paling menonjol adalah kasus
narkotika, menyusul kemudian pencurian dan penggelapan. Dengan demikian maka tindak pidana yang paling banyak dilakukan wanita di Indonesia adalah
tindak pidana narkotika.
B. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung
Gusta Medan
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung Gusta Medan merupakan wadah untuk menampung narapidana dan tahanan wanita untuk
dididik dan dibina berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan Kebijaksanaan Pemasyarakatan yaitu Pohon Beringin Pengayoman, dan
berbagai kebijakan pemasyarakatan yang dikeluarkan Dirjen Pemasyarakatan Depkumham dulu Dirjen Pemasyarakatan Depkeh, dan terakhir adalah Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1995. Pada mulanya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung Gusta Medan bergabung dengan Lembaga Pemasyarakatan
Kelas I-A Medan. Dengan berpegang pada hukum dan untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan apabila narapidana atau tahanan wanita bersatu dengan
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
183
narapidana atau tahanan pria, maka pemerintah membangun lembaga pemasyarakatan khusus wanita agar pembinaan yang dilakukan terhadap
narapidana wanita dapat lebih khusus dan terarah. Pembangunan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung
Gusta Medan, dilakukan dalam 2 dua tahap yaitu: 1.
Tahap I, 1979 dibangun gedung Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung Gusta Medan.
2. Tahap II, dibangun penyelesaian gedung Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II-A Medan. Sesuai dengan perintah Kakanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera
Utara, Radjo Harahap, SH, sejak tanggal 2 Juli 1986 semua narapidana atau tahanan wanita yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I-A Tanjung Gusta
Medan dipindahkan ke gedung yang baru. Luas tanah keseluruhan kurang lebih 6.435 meter persegi, luas bangunan kurang lebih 5.555 meter persegi, luas lantai
I kurang lebih 500 meter persegi, dan luas lantai II kurang lebih 250 meter persegi. Bangunan tersebut terdiri dari beberapa buah kantor, poliklinik, ruang
serbaguna atau aula, ruang pendidikan, ruang kerja, kamar penghuni, pos-pos penjagaan, mushola, dapur dan dilengkapi dengan beberapa kamar mandi.
Sedangkan daya tampung lembaga pemasyarakatan sebanyak 150 orang, sementara itu jumlah penghuninya pada saat penulis melakukan penelitian
berjumlah 324 orang, yang terdiri atas 69 enam puluh sembilan orang tahanan dan 255 orang dua ratus lima puluh lima orang narapidana. Untuk mengetahui
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
184
lamanya masa pidana yang dijalani oleh narapidana dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 10 Keadaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Menurut Lamanya Hukuman
Lamanya Hukuman Jumlah
Persentase Seumur hidup
- -
B I 237 orang
92,94 B II A
15 orang 5,88
B II B -
- B III S
3 orang 1,17
Jumlah 255 orang
100 Sumber
: Seksi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Januari 2006
Tabel diatas menunjukkan bahwa narapidana yang mendapat hukuman lebih dari satu tahun merupakan yang terbanyak yakni 237 orang. Dengan
demikian Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung Gusta Medan mengalami kelebihan kapasitas sekitar 116. Kelebihan kapasitas tersebut dapat
menimbulkan terjadinya perkelahian antar narapidana, bahkan menurut keterangan petugas
234
di lembaga pemasyarakatan tersebut gudang yang dulunya dijadikan sebagai tempat penyimpanan arsip-arsip sebagai tertib administrasi
telah dialih fungsikan menjadi kamar-kamar narapidana wanita. Kelebihan daya
234
Wawancara dengan petugas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
185
tampung ini merupakan hal yang umum terdapat di berbagai Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia.
Untuk mengetahui jenis perkara yang dilanggarnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 11 Jenis Pelanggaran Yang Dilakukan
Jenis Pelanggaran Jumlah
Narkotika 203 orang
Pencurian 18 orang
Penipuan 14 orang
Penggelapan 8 orang
Pembunuhan 6 orang
Penganiayaan 4 orang
Susila 2 orang
Sumber : Seksi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A
Tanjung Gusta Medan, Januari 2006.
Berdasarkan tabel tersebut maka dapat dilihat bahwa narapidana yang dibina di Lembaga Pemasyarakatan Wanita ini banyak yang terlibat kasus
narkotika. Hal ini merupakan suatu fenomena nyata bahwa kebanyakan penghuni lembaga pemasyarakatan di kota-kota besar mayoritas terlibat kasus narkotika.
Melihat dari jumlah pegawai yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita tersebut sebanyak 68 orang, 27 orang diantaranya Sarjana S1, 39 orang
tamatan SMA, dan 2 orang tamat SD data tabel 6. Dari jumlah tersebut jelas
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
186
tidak seimbang dengan jumlah narapidana 255 orang, sehingga perbandingan antara petugas dengan jumlah narapidana kurang lebih 1 : 4. Kita ketahui tidak
semua petugas yang bertugas sebagai pembina, karena dari jumlah 68 orang tersebut dibagi lagi kedalam beberapa sub bagian, seperti petugas jaga,
administrasi, dan petugas lainnya. Menurut salah seorang petugas pembina bahwa sebenarnya jumlah petugas pembina hanya 4 orang
235
mereka adalah tamatan AKIP yang dianggap mampu dan memiliki keahlian dalam membina narapidana,
namun keempat orang tersebut tidak mampu membina narapidana yang berjumlah 255 orang, karena berarti 1 orang pembina harus membina
± 63 orang narapidana. Hal ini tidak mungkin dilakukan mengingat orang yang akan dibina
adalah orang-orang yang melanggar hukum. Untuk itu petugas yang memiliki pendidikan sarjana diperbantukan untuk membina narapidana, walaupun
jumlahnya juga tidak seimbang kira-kira 1 : 9, namun hal tersebut merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi kekurangan petugas dalam melakukan
pembinaan. Hal ini diakui oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tanjung Gusta Medan, bahwa sumber daya manusia sebagai pegawai dan
pembina di lembaga pemasyarakatan tersebut masih kurang.
236
Sudah semestinya lembaga pemasyarakatan ini memperoleh tambahan pegawai, terutama yang
mempunyai pendidikan ilmu pemasyarakatan AKIP sehingga dapat menunjang pekerjaan dan tugas lembaga pemasyarakatan dalam membina para narapidana
dan disesuaikan dengan sistem pemasyarakatan yang ada pada saat ini.
235
Wawancara dengan Petugas Pembina di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
236
Wawancara dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
187
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Loebby Loqman, bahwa materi pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa di AKIP disesuaikan dengan sistem
pemasyarakatan, misalnya kepada narapidana tidak boleh berperilaku kasar karena dapat dikatakan melanggar HAM.
237
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Kalapas kalapas adalah tamatan AKIP, bahwa pendidikan yang
diterimanya di AKIP disesuaikan dengan dasar-dasar pemasyarakatan yang lebih mengutamakan pembinaan.
238
Ini berarti para petugas yang tamatan AKIP lebih memahami dan memiliki keahlian dalam membina narapidana, dibandingkan dengan petugas yang tamatan
non AKIP. Hanya mengandalkan pendidikan umum yang diterima di sekolah lanjutan atas maupun di perguruan tinggi, tidaklah cukup untuk membina
narapidana yang jelas diketahui adalah orang melanggar hukum. Ditinjau dari keadaan fisik, pengelolaan lembaga pemasyarakatan wanita
tersebut sebenarnya dapat dikatakan cukup memadai, terdiri dari perkantoran, ruang tempat tinggal narapidana, ruang kegiatan kerja, musholla, dan pos-pos
penjagaan. Bangunan pertama untuk perkantoran yang terdiri atas ruangan depan yang bertingkat dimana bagian atas digunakan sebagai ruangan Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Medan, ruang sidang, ruang Tata Usaha, dan Keuangan, sedangkan bagian bawah dimanfaatkan sebagai ruang pemeriksaan dan
penjagaan, ruang tamu, musholla dan dapur. Kedua adalah bangunan untuk pembinaan yang dikenal dengan Binapi yang terdiri atas ruangan poliklinik,
237
Hasil diskusi dengan Bapak Loebby Loqman, Desember 2006.
238
Wawancara dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Desember 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
188
ruangan kasi pembinaan, ruang kepegawaian, ruang registrasi, ruangan administrasi keamanan dan ketertiban, ruangan tamu dan gudang. Sedangkan
bangunan ketiga yang dikenal dengan bagian umum terdiri dari ruangan urusan umum, ruangan KPLP, ruangan penerima tamu untuk besukan dan kantin. Lalu
bangunan keempat adalah bengkel kerja yang terdiri atas ruangan kantor, salon, ruangan menjahit, dan menyulam.
Kemudian sebuah aula serba guna yang terletak disamping gedung Binapi, yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Lembaga
Pemasyarakatan Wanita tersebut, dan biasanya juga digunakan untuk acara-acara keagamaan. Dalam acara ini biasanya narapidana mempertunjukkan
kebolehannya seperti bermain nasyid, serta membaca puisi. Lalu ada bangunan dapur yang berada di belakang blok penghuni yang
digunakan untuk memasak semua kebutuhan para penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Namun dalam sehari-harinya setiap pagi bagian dapur akan
memperoleh bantuan tenaga dari masing-masing blok secara bergilir. Ruang tempat tinggal narapidana terdiri dari 4 empat blok yang masing-
masing terdiri dari kamar-kamar yang mempunyai kapasitas yang berbeda-beda. Blok ini terdiri dari blok narapidana dan blok tahanan, dengan rincian sebagai
berikut: 1.
Blok A terdiri atas 4 kamar, kapasitas 1 orang untuk setiap kamar, namun pada kenyataannya dihuni sampai dengan 5 orang;
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
189
2. Blok B, terdiri atas 12 kamar, dengan perincian :
a. Kamar 1, kapasitas 12 orang, dihuni 22 orang;
b. Kamar 2, kapasitas 12 orang, dihuni 22 orang;
c. Kamar 3, kapasitas 12 orang, dihuni 22 orang;
d. Kamar 4, kapasitas 12 orang, dihuni 22 orang;
e. Kamar 5, kapasitas 12 orang, dihuni 22 orang;
f. Kamar 6, kapasitas 12 orang, dihuni 22 orang;
g. Kamar 7, kapasitas 12 orang, dihuni 22 orang;
h. Kamar 8, kapasitas 6 orang, dihuni 15 orang;
i. Kamar 9, kapasitas 6 orang, dihuni 16 orang;
j. Kamar 10, kapasitas 6 orang, dihuni 17 orang;
k. Kamar 11, kapasitas 6 orang, dihuni 16 orang;
l. Kamar 12, kapasitas 6 orang, dihuni 16 orang;
3. Blok C, terdiri atas 6 kamar, dengan perincian :
a. Kamar 1, kapasitas 6 orang, dihuni 9 orang;
b. Kamar 2, kapasitas 6 orang, dihuni 9 orang;
c. Kamar 3, kapasitas 6 orang, dihuni 9 orang;
d. Kamar 4, kapasitas 6 orang, dihuni 10 orang;
e. Kamar 5, kapasitas 6 orang, dihuni 8 orang;
f. Kamar 6, kapasitas 6 orang, dihuni 9 orang;
4. Blok D, terdiri atas 4 kamar, kapasitas 1 orang untuk setiap kamar, namun
pada kenyataannya dihuni oleh 4 orang.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
190
Blok A dan B digunakan untuk para narapidana, sedangkan Blok C dan D digunakan untuk para tahanan Bangunan dan fasilitas yang cukup memadai
menjadi tidak begitu menggembirakan dengan penghuni narapidana wanita yang melebihi daya tampung, sehingga menimbulkan masalah ketertiban dan disiplin.
Mengenai tenaga dokter yang khusus ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita tersebut belum ada, namun jika diperlukan ada seorang
dokter yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan laki-laki yang dapat dipanggil sewaktu-waktu, karena lembaga pemasyarakatan laki-laki dan wanita
serta anak letaknya berdekatan dan berada dalam satu lokasi, bahkan dokter tersebut sering datang berkunjung walaupun tanpa dipanggil. Tenaga psikolog
juga belum ada yang ditempatkan di lembaga tersebut, namun untuk mengatasinya jika diperlukan maka narapidana tersebut dibawa ke psikiater.
Menurut Kepala Lembaga Pemasyarakatan,
239
peranan psikolog sebenarnya sangat penting untuk mengetahui latar belakang kehidupan para
narapidana dan juga tempat narapidana curhat mencurahkan isi hatinya, sehingga dengan demikian psikolog dapat memberikan terapi yang tepat dalam
rangka pembinaan narapidana, selanjutnya menurut Kepala Lembaga Pemasyarakatan karena tenaga psikolog yang ditempatkan di lembaga
pemasyarakatan tersebut tidak ada, maka ada juga narapidana yang mau curhat kepadanya, kemungkinan karena ia sudah tidak tahan lagi menanggung beban
batin yang disimpannya selama ini.
239
Wawancara dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A, Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
191
Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa yang menjadi responden adalah narpidana wanita yang menjalani hukuman 3 tiga tahun ke atas, karena
dianggap mampu memberi penilaian terhadap kegiatan pembinaan yang diterimanya selama ini. Untuk mengetahui usia, jenis kejahatan dan tempat
tinggal narapidana wanita yang dijadikan responden, dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 12 Responden Narapidana Wanita, yang menjalani
hukuman 3 tahun ke atas sebanyak 25 orang.
No. Umur
tahun Alamat
Jenis Kejahatan
Hukuman tahun
1. 19
Jl. Duta Wisata IV No.7 Medan Psikotropika
4 2.
21 Bireun Bayan Aceh Timur
Narkotika 6
3. 19
Desa Akur Canang Aneh Timur Narkotika
6 4. 28
Kutacane Narkotika
5 5.
39 Desa Sei Mencirin Kp. Lalang
Psikotropika 10
6. 42
Jl. Sawo III No.22-A Binjai Narkotika
4 th 6 bl 7.
40 Jl. Duyung No.54-B Medan
Psikotropika 5 th 10 bl
8. 28
Lau Pakam Kec. Mardinding Pembunuhan
11 9. 23
Rantau Prapat
Pembunuhan 8
10. 23 Binjai Psikotropika
4 11.
42 Bilah Hulu Kabupaten Labuhan Batu
Narkotika 6
12. 23
Sidikalang Psl 365 KUHP
6 13. 29 Tanah
Karo Narkotika
8 14. 49 Aceh
Tenggara Narkotika
6 15. 43 Labuhan
Batu Psikotropika
3 16.
22 Labuhan Batu
Psl 338 KUHP 3
17. 30 Tanjung Morawa
Uang Palsu
7 18. 31 Galang
Deli Serdang
Pembunuhan 5
19. 28 Medan Labuhan
Narkotika 8
20. 53
Jl. Japaris No.191 Medan Psl 378 KUHP
3 21.
45 Jl. Puri Medan
Psl 59 ayat 1 UU No.51997
6 22.
30 Tanjung Beringin Stabat
Psl 82 UU No.2297
7 23.
43 Jl. Bajak V Medan
Korupsi 5
24. 22
Jl. Sekip Medan Narkotika
4 25. 35 Kotacane
Psl 82
UU No.221997
9
Sumber :
Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Januari 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
192
Berdasarkan tabel di atas sebagian besar responden berusia muda antara 19 – 30 tahun, dan mayoritas melakukan tindak pidana narkotika. Dilihat dari
alamat responden kebanyakan diantara mereka bertempat tinggal di luar kota Medan. Hal ini perlu untuk mengetahui apakah keluarga narapidana sering datang
berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan data tentang kunjungan keluarga dapat dilihat pada tabel 5. Sebagaimana diketahui bahwa kunjungan keluarga sangat
diharapkan oleh narapidana agar ia tidak merasa disisihkan dari anggota keluarganya, dan juga merasa masih diperhatikan oleh keluarga. Kunjungan ini
memberikan spirit bagi narapidana sehingga ia dapat menjalani pembinaan yang diberikan kepadanya dengan baik, sebab bagaimanapun dukungan moril dari
pihak keluarga dapat mempermudah pembinaan narapidana. Dengan demikian terdapat kerjasama antara keluarga, narapidana dan petugas dalam membina
narapidana sehingga diharapkan pembinaan dapat berhasil sesuai dengan tujuan pemasyarakatan.
Lamanya hukuman yang dijatuhkan terhadap narapidana diharapkan dapat memberikan penilaian atas kegiatan pembinaan yang berlangsung di dalam
lembaga pemasyarakatan, sehingga narapidana juga dapat mendalami jenis kegiatan pembinaan yang diterimanya untuk dapat dipergunakan pada saat ia
selesai menjalani pidananya. Menurut Kepala Bidang Kabid Pembinaan,
240
“pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana tidak dibedakan, baik bagi narapidana jangka
240
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
193
pendek maupun bagi narapidana jangka panjang, dalam arti tidak didasarkan atas jenis kejahatannya, umur, maupun lamanya hukuman. Hal ini disebabkan sarana
dan prasarana untuk melakukan pembinaan tersebut kurang memadai, dan juga jumlah petugas pembinanya sangat kurang Keadaan seperti ini sebenarnya
menyimpang dari ide individualisasi pidana yang berorientasi pada pembinaan perorangan, yang masing-masing berbeda persoalannya”.
Menurut Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kalapas, dalam melakukan pembinaan juga sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusianya baik yang
dibina maupun pembinanya. Bagaimanapun bentuk pembinaan dan cara pembinaan dilakukan, kalau narapidana tidak mau atau tidak ada minat, juga
tidak terlaksana, begitu juga sebaliknya kalau pembinanya tidak memiliki keahlian atau keterampilan dalam membina, juga pembinaan itu tidak terlaksana
sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
241
Mengenai sumber daya manusia menurut Andrianus, kondisi sumber daya petugas secara umum tidak cukup memadai, hal ini disebabkan oleh :
242
a. Sistem perekrutan yang tidak didasari oleh kebutuhan kualifikasi personil.
b. Lemahnya keterkaitan kurikulum Akademi Ilmu Pemasyarakatan AKIP
sebagai institusi yang menghasilkan kelulusan untuk bekerja pada lembaga pemasyarakatan, pada hal jumlah mereka sangat signifikan dan menduduki
posisi-posisi penting.
c. Kurangnya pengkayaan kemampuan petugas LAPAS dan BAPAS melalui
pelatihan-pelatihan. d.
Buruknya sistem gaji dan tunjangan bagi pegawai pemasyarakatan dan BAPAS yang berpengaruh pada kinerja personil dan lembaga.
e. Mekanisme evaluasi prestasi kerja dan jenjang karir petugas yang tidak
jelas dan tranparan.
241
Wawancara dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
242
Adrianus Meliala, dkk. Op. cit., hal. 7.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
194
f. Friksi antar pegawai yang berasal dari AKIP dan non AKIP, yang dipicu
oleh perlakuan yang diskriminatif merendahkan petugas dari non AKIP. g.
Anggaran dana operasional untuk lembaga yang sangat minim. h.
Dana terbatas, pengalokasiannya tidakt tepat, sasarannya tidak efisien adanya pemborosan karena melakukan tender tertutup untuk pengadaan
barang, makanan dan operasional lembaga.
i. Adanya kesenjangan konsep pemasyarakatan dengan realita pelaksanaan
di lapangan.
Dalam hal sumber daya manusia baik narapidana maupun petugas kedua- duanya harus memiliki kemauan untuk dibina dan membina. Narapidana sebagai
sumber daya manusia harus memiliki kemauan atau minat untuk menerima pembinaan dari petugas sehingga bentuk kegiatan pembinaan yang diberikan
dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik. Begitu juga halnya dengan petugas pembina harus memiliki keahlian atau keterampilan dalam membina narapidana.
Agar jenis kegiatan pembinaan tidak monoton, maka petugas pembina harus memiliki kemauan untuk mencari hal-hal yang baru terutama yang berhubungan
dengan kegiatan keterampilan wanita yang sifatnya mudah diajarkan dan biayanya murah. Karena bagaimanapun bentuk kegiatan pembinaan yang
dilakukan tidak terlepas dari masalah dana. Dengan demikian narapidana termotivasi untuk mengikuti setiap kegiatan pembinaan khususnya pembinaan
keterampilan. Untuk mengetahui kehidupan dan kegiatan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan dari pagi hingga sore dapat dilihat pada jadwal kegiatan tabel dalam berikut :
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
195
Tabel 13 Jadwal Kegiatan Sehari-Hari Yang Dilakukan Oleh Narapidana
Waktu WIB Kegiatan
07.30 – 08.00 Senam pagi
08.00 – 09.30 Pemberantasan buta huruf
09.30 – 12.00 Pembinaan keagamaan sesuai dengan agamanya
masing-masing dan melakukan kegiatan keterampilan, terkadang diganti dengan
penyuluhan hukum. 12.30 – 13.00
Sholat Zuhur Berjamaah 13.15 – 14.30
Igro’ dan Tadarus bagi yang beragama Islam serta Pendalaman Alkitab bagi yang beragama
Kristen 14.30 – 15.30
Istirahat kegiatan masing-masing. 15.45 – 16.00
Sholat Ashar Berjamaah. 16.00 – 17.00
Latihan olah raga Sumber : Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Mei 2006. Khusus pada hari minggu narapidana lebih ditekankan pada kegiatan
membersihkan lingkungan lembaga pemasyarakatan, kerohanian dan hiburan.
C. Implementasi Ide Individualisasi Pidana Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Wanita