195
Tabel 13 Jadwal Kegiatan Sehari-Hari Yang Dilakukan Oleh Narapidana
Waktu WIB Kegiatan
07.30 – 08.00 Senam pagi
08.00 – 09.30 Pemberantasan buta huruf
09.30 – 12.00 Pembinaan keagamaan sesuai dengan agamanya
masing-masing dan melakukan kegiatan keterampilan, terkadang diganti dengan
penyuluhan hukum. 12.30 – 13.00
Sholat Zuhur Berjamaah 13.15 – 14.30
Igro’ dan Tadarus bagi yang beragama Islam serta Pendalaman Alkitab bagi yang beragama
Kristen 14.30 – 15.30
Istirahat kegiatan masing-masing. 15.45 – 16.00
Sholat Ashar Berjamaah. 16.00 – 17.00
Latihan olah raga Sumber : Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Mei 2006. Khusus pada hari minggu narapidana lebih ditekankan pada kegiatan
membersihkan lingkungan lembaga pemasyarakatan, kerohanian dan hiburan.
C. Implementasi Ide Individualisasi Pidana Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Wanita
Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pidana dan dapat kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi lagi
perbuatannya, adalah pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
196
sendiri. Dalam sistem kepenjaraan, peranan narapidana untuk membina dirinya sendiri sama sekali tidak diperhatikan. Narapidana juga tidak dibina, tetapi
dibiarkan, Tugas penjara pada waktu itu, tidak lebih dari mengawasi para narapidana agar tidak membuat keributan dalam penjara dan tidak melarikan diri
dari penjara. Pendidikan dan pekerjaan yang diberikan kepada narapidana hanya
sebagai pengisi waktu atau sebagai suatu cara untuk mendapatkan hasil ekonomis. Perhatian terhadap narapidana, kepentingan narapidana sama sekali
diabaikan. Teori pembalasan benar-benar dilaksanakan, seolah-olah narapidana adalah obyek semata-mata. Obyek yang harus menerima perlakuan dan
pembalasan atas kesalahannya. Jadi tidak hanya pidana hilang kemerdekaan saja yang diterimanya, tetapi juga pidana badan. Pendapat bahwa dengan pidana
badan narapidana akan menjadi jera untuk melakukan tindak kejahatan setelah lepas dari penjara, diterapkan secara disiplin dan keras.
Pada saat munculnya sistem pemasyarakatan, perlakuan terhadap narapidana mengalami perubahan. Narapidana diperlakukan sebagai subyek
pembinaan dan diperlakukan secara manusiawi. Tujuannya tidak lagi sebagai pembalasan dan penjeraan, tetapi sebagai pembinaan. Sebagai subyek, narapidana
diberi kesempatan untuk membina dirinya sendiri, namun membina diri sendiri bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab membina diri sendiri memerlukan
kepercayaan diri, memerlukan kesadaran diri dan hal itu belum tersentuh dalam sistem pemasyarakatan sekarang ini.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
197
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembinaan narapidana diatur dalam PP No. 311999. Pasal 7 ayat 2 menyebutkan bahwa
pembinaan narapidana terdiri dari 3 tahap, yaitu : 1.
Tahap awal 2.
Tahap lanjutan, dan 3.
Tahap akhir. Tahapan pembinaan ini menjadi dasar pembinaan terhadap narapidana,
yang dalam pelaksanaannya berlangsung empat tahap karena pembinaan tahap lanjutan terdiri dari tahap lanjutan pertama dan tahap lanjutan kedua hal ini telah
dijelaskan pada bab sebelumnya. Tahapan pembinaan narapidana ini juga terdapat di Malaysia yang dikenal dengan Program Pelan Pembangunan Insan.
Program ini mempunyai 4 fase, yaitu :
243
1. Fase pertama, diwajibkan semua narapidana untuk mengikuti pembinaan
disiplin dalam waktu tiga bulan. 2.
Fase kedua, merupakan lanjutan dari fese pertama dan pembentukan jati diri. serta prinsip hidup yang baik. Fase ini memakan waktu 6 hingga 9
bulan dan kepada narapidana diberikan kesempatan untuk mendalami agamanya masing-masing.
3. Fase ketiga, narapidana menjalani latihan keterampilan. Lamanya waktu
dalam program keterampilan bergantung kepada hukuman yang dijalani narapidana. Untuk program latihan keterampilan pihak penjara
mengadakan kerjasama dengan pihak luar. Seperti majelis latihan Vokasional kebangsaan MLVK dan narapidana diberikan semacam
sertifikat apabila telah selesai menjalani kursus keterampilan tersebut. Di samping itu pihak penjara di Malaysia menandatangani memorandum
persepahaman MOU dengan CIDB Construction Industrial Development Board untuk kursus pembinaan seperti membuat plaster
siling dan mengibat batu bata. Bagi narapidana yang menjalani hukuman
243
Melati Mohd. Ariff, Penjara Bertaraf Dunia, www.hmetro.com.mycurrent-NewsHM, 4 April 2007.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
198
singkat, hanya menjalani latihan disiplin dalam fase pertama dan fase kedua saja.
4. Fase keempat, adalah program prabebas yaitu narapidana dibolehkan
bekerja di luar khusus bagi narapidana yang berkelakuan baik, pagi pergi bekerja sore mereka kembali ke penjara. Selain program prabebas ini juga
diperkenalkan sistem parol sebagai lanjutan fase pertama kedua dan ketiga. Misalnya jika narapidana dipenjara dua tahun, maka empat bulan
terakhir masa hukuman itu akan dihabiskan di luar penjara. Narapidana boleh kembali ke rumah keluarganya, dan berinteraksi dengan masyarakat
dengan pengawasan pegawai parol.
Pasal 2 ayat 1 PP No. 311999 menyebutkan bahwa program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian
dan kemandirian. Selanjutnya dalam Pasal 3 PP No. 311999 tersebut dijelaskan bahwa, pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian meliputi :
b. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Kesadaran berbangsa dan bernegara.
d. Intelektual.
e. Sikap dan perilaku.
f. Kesehatan jasmani dan rohani.
g. Kesadaran hukum.
h. Reintegrasi sehat dengan masyarakat.
i. Keterampilan kerja, dan
j. Latihan kerja dan produksi.
Untuk melaksanakan pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, menurut Pasal 4 ayat 1 PP No. 311999 dilakukan oleh petugas
pemasyarakatan, yang terdiri dari atas: a.
Pembina pemasyarakatan. b.
Pengaman pemasyarakatan. c.
Pembimbing kemasyarakatan. Sehubungan dengan kegiatan pembinaan ini, maka akan dilihat pendapat
narapidana pada tabel berikut :
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
199
Tabel 14 Pendapat Narapidana Tentang Adanya Kegiatan Pembinaan
Kepribadian dan Kemandirian
No. Pembinaan KepribadianKeterampilan
Jumlah Persentase
1. Ya 25
100 2. Tidak
Jumlah 25
100 Sumber :
Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
Tabel di atas menunjukkan dua puluh lima orang 100 narapidana mengatakan memperoleh kegiatan pembinaan, baik pembinaan kepribadian
maupun keterampilan. Hanya saja pembinaan kepribadian yang sifatnya umum seperti kerohanian, olah raga dan lain sebagainya dilakukan secara bersama-
samaberkelompok, demikian juga halnya dengan pembinaan keterampilan. Menurut narapidana, pembinaan kepribadian dan keterampilan ini
dilakukan secara bersama-samaberkelompok, serta diberikan kepada narapidana setiap harinya, dan petugas pembinanya didatangkan dari luar.
244
Pembinaan kepribadian atau kerohanian ini berupa pembinaan keagamaan, sedangkan
pembinaan keterampilan berupa menjahit, salon kecantikan, menyulam, kristik, dan lain-lain. Dengan adanya pembinaan kepribadian dan keterampilan ini
diharapkan narapidana dapat merubah sikapnya ke arah yang lebih baik dan positif, serta dapat memiliki keterampilan untuk menjadi bekal bagi narapidana
kembali ke masyarakat.
244
Wawancara dengan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
200
Pada umumnya program pembinaan yang diberikan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung Gusta Medan disesuaikan dengan
hobby dan bakat narapidana.
245
Mengenai hal ini dapat dilihat pendapat narapidana pada tabel berikut :
Tabel 15 Pendapat Narapidana Tentang Jenis Keterampilan
Yang Dipilih Sesuai Dengan HobyBakat
No. Jenis Keterampilan Sesuai
Dengan HobyBakat Jumlah Persentase
1. Ya 25
100 2. Tidak
Jumlah 25
100 Sumber
: Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
Tabel di atas menunjukkan dua puluh lima orang 100 narapidana mengatakan jenis keterampilan disesuaikan dengan hobybakat narapidana.
Dalam hal ini disesuaikan dengan jenis keterampilan yang ada di lembaga pemasyarakatan, seperti menjahit, menyulam, salon kecantikan, kristik,
merangkai bunga, membuat hiasan manik-manik dan memasak kue. Sebagaimana dikemukakan oleh narapidana, bahwa narapidana menyesuaikan hobybakatnya
dengan berbagai jenis keterampilan yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan.
246
245
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
246
Wawancara dengan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
201
Menurut penulis jika keterampilan yang diberikan kepada narapidana sesuai dengan hobbybakat narapidana, maka besar kemungkinan narapidana
akan menekuninya sehingga jenis keterampilan tersebut akan mudah diterimanya Dengan demikian pembinaan keterampilan yang diterimanya dapat dijadikan
bekal untuk hidup mandiri setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Adapun kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II
A Tanjung Gusta Medan berupa : 1. Bidang kerohanian
Pada dasarnya pembinaan di bidang kerohanian disesuaikan dengan agama masing-masing dari narapidana. Kegiatan kerohanian dilakukan setiap harinya
dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan. Misalnya saja untuk yang beragama Islam mendapat ceramah agama dari petugas yang tamatan
Sarjana Agama Islam, dan agama Kristen bekerjasama dengan beberapa gereja yang ada di Medan, seperti Gereja Pantekosta, Gereja Katholik dan
Gereja Perjanjian Baru, sedangkan bagi yang beragama Budha diadakan juga kerjasama dengan Vihara Sampali dalam hal ini sebulan hanya 2 kali setiap
Rabu ke-2 dan ke-4. 2. Bidang Jasmani Olah Raga
Pembinaan dibidang jasmani diberikan kepada narapidana melalui kegiatan- kegiatan olah raga seperti senam pagi setiap harinya, bola volley, tennis meja,
bola kasti dan bola kaki. 3. Rekreasi dan Hiburan
Kepala Lembaga Pemasyarakatan membuat acara hiburan pada hari-hari tertentu pada saat perayaan 17 Agustus sebagai penyegaran, di mana antara
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
202
narapidana dengan pegawai pemasyarakatan telihat seperti saudara, tidak ada jarak. Mereka bernyanyi bersama dan saling menghibur. Selain itu bagi yang
beragama Islam dibentuk suatu grup nasyid marhaban, dan bagi yang beragama Kristen dibuat vocal grup serta koor.
4. Bimbingan Keterampilan Keterampilan yang diberikan tentu saja keterampilan yang berkaitan dengan
kegiatan wanita, karena yang dibina di Lembaga Pemasyarakatan tersebut adalah narapidana wanita. Keterampilan tersebut adalah salon kecantikan,
menjahit, menyulam, mengkait, kristik, membuat bunga, merangkai bunga, membuat hiasan manik-manik dan memasak beraneka ragam kue serta lauk
pauk. Bagi yang memiliki kemampuan bertani maka disediakan ladang untuk berkebun. Tanaman yang biasanya ditanam berupa kangkung, ubi jalar, sawi,
terong, kacang hijau, dalam hal ini adalah tanaman yang tingginya tidak boleh melebihi tinggi badan dan bersifat rimbun.
5. Pendidikan Umum Disediakan Program Paket A, dalam hal ini yang menjadi target utama adalah
narapidana yang masih buta huruf agar bisa membaca dan menulis. Setidak- tidaknya narapidana tersebut bisa menulis surat kepada keluarganya dan bisa
pula membalas surat tersebut. Untuk mendukung program pembinaan tersebut, maka disediakan fasilitas-
fasilitas pendukung seperti : a. Bidang
kerohanian Adanya tenaga-tenaga yang bersifat sosial keagamaan atau dengan kata lain
lembaga pemasyarakatan mengadakan kerja sama dengan pihak luar dalam
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
203
hal melakukan pembinaan spiritual narapidana tersebut. Selain itu fasilitas pendukung seperti mushola, aula sebagai tempat kebaktian dan vihara kecil
juga disediakan, serta diatur jadwal-jadwal kegiatan spiritual yang diadakan setiap harinya.
b. Bidang jasmani Disediakan lapangan olah raga, peralatan-peralatan olah raga, tape dan kaset
untuk senam, walaupun pada kenyataannya ketika penulis melakukan penelitian di lembaga pemasyarakatan, lapangan olah raga tersebut telah
berubah fungsi menjadi tempat narapidana untuk menjemur pakaian. c. Bidang rekreasi dan hiburan
Disediakan ruangan khusus untuk menonton televisi, membaca, alat-alat musik seperti gitar dan keyboard dan alat-alat musik untuk nasyid.
d. Bidang keterampilan dan pendidikan umum Disediakan salon kecantikan lengkap dengan peralatannya, peralatan masak-
memasak, lahan untuk berkebun walaupun tidak luas, ruang untuk menjahit dan peralatan menjahit serta perlengkapannya. Ruangan khusus untuk
melaksanakan program paket A juga disediakan untuk mendukung program pembinaan dan pendidikan.
e. Bidang kesehatan
Tersedianya poliklinik, 1 satu orang dokter dokter umum walaupun didatangkan dari LAPAS laki-laki, dibantu oleh 2 dua orang perawat,
dilengkapi oleh peralatan medis beserta obat-obatan.
247
247
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
204
Sama halnya dengan fasilitas yang tersedia dipenjara wanita Pulau Pinang, yakni : 1 Bengkel-bengkel kerja; 2 Blok-blok tempat narapidana; 3 Perpustakaan;
4 Kantin; 5 Komplek perumahan pegawai penjara; 6 Lapangan olahraga; dan 7 Musholla. Semua fasilitas ini dilengkapi dengan berbagai peralatan yang dapat
menunjang kegiatan pembinaan.
248
Begitu juga halnya dengan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang yang meliputi :
249
- pembinaan kepribadian yang diarahkan pada pembinaan mental dan watak
agar narapidana dapat menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggungjawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Dalam
pelaksanaannya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang bekerjasama dengan Departemen Agama Tangerang, Yayasan Al-Azhar dan Yayasan
Raudatul Jannah bagi yang beragama Islam, sedangkan bagi yang beragama Kristen atau Khatolik pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang
bekerjasama dengan gereja Apostolos, Pantekosta, gereja Katolik Tangerang dan Jasindo.
- kegiatan olahraga dilakukan setiap hari berupa senam, sedangkan tennis meja,
bulu tangkis serta volleyball dilakukan pada hari Jumat. -
pembinaan kemandirian yang diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota
248
Fauziah, Laporan Kaunseling, University Sains dan Teknologi Malaysia, Penjara Wanita Pulau Pinang, 2003, hal. 9.
249
Ekowati Hardaningsih, Pembinaan Narapidana Dalam Sistem Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Tesis, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, UI, 2004, hal. 106.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
205
masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab, Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang telah melaksanakan kegiatan menjahit, menyulam,
membuat keterampilan berupa pembuatan bunga kering, pembuatan tas motte, taplak meja dan lain-lain. Memasak dan bercocok tanam dengan
memanfaatkan lahan di sekitar blok. Bila mengacu kepada keputusan Menteri Kehakiman No. M. 02-PK.04.10
Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan NarapidanaTahanan, maka pembinaan narapidana juga dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan seperti: a. belajar di
sekolah-sekolah negeri; b. belajar di tempat latihan kerja milik Lembaga Pemasyarakatan; c. belajar di tempat latihan kerja milik industridinas lain yang
terkait; d. beribadah bersama dengan masyarakat; e. berolahraga bersama masyarakat; f. pemberian bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas;
g. pengurangan masa pidana atau remisi. Di dalam prakteknya ternyata di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas
II A Tanjung Gusta Medan, pembinaan yang dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan belum bisa dilaksanakan seperti Keputusan Menteri Kehakiman
tersebut. Namun sudah ada beberapa hal yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita ini dalam melakukan pembinaan di luar lembaga
pemasyarakatan seperti pemberian bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas, pengurangan masa pidana atau remisi. Sebagaimana dikemukakan oleh Kabid
Pembinaan bahwa cuti menjelang bebas dan remisi diberikan kepada narapidana sesuai dengan prosedur yang berlaku.
250
Kalau belajar di sekolah-sekolah negeri,
250
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
206
belajar di tempat latihan kerja di luar lembaga pemasyarakatan ternyata Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan belum
melaksanakannya, karena khawatir narapidana melarikan diri ataupun terjadi sesuatu terhadap narapidana.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, seperti bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas, pengurangan masa
pidana atau remisi. Namun kalau belajar di tempat latihan kerja di luar lembaga pemasyarakatan belum terlaksana, karena belajar di lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Tangerang dianggap cukup memadai, dan sarana serta prasarana yang ada di lembaga pemasyarakatan tersebut cukup memadai,
sehingga tidak perlu ada penghuninya yang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang untuk belajar.
251
Dalam hal pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan, maka Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan masih
mempunyai keterbatasan dan kendala, meskipun hal itu tidak berarti menghalangi atau menghambat pembinaan yang dilakukan di dalam Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Dalam melaksanakan program pembinaan bukanlah hal yang mudah,
apalagi bila harus melaksanakan pembinaan yang telah digariskan dalam Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pola Pembinaan Narapidana. Banyak
faktor yang menjadi kendala dalam melaksanakan pembinaan antara lain masalah dana, kualitas dan kuantitas dari petugas Lembaga Pemasyarakatan, sarana dan
prasarana, partisipasi masyarakat, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
251
Eko Hardaningsih, Op. cit, hal. 72.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
207
partisipasi dari anggota keluarga narapidana dan narapidana itu sendiri. Maka wajar bila program pembinaan terhadap narapidana tidak dapat dilaksanakan
sebagaimana yang telah diprogramkan oleh pihak lembaga pemasyarakatan. Namun atas kebijaksanaan kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A
Tanjung Gusta Medan, maka di pilah-pilah mana program pembinaan yang banyak peminatnya, dan bermanfaat, serta pembinaan apa yang telah memiliki
sarana dan prasarana, maka hal itulah yang diutamakan dalam melaksanakan program pembinaan.
Di dalam sistem pemasyarakatan, perlakuan terhadap narapidana lebih bersifat manusiawi, hal ini berarti di dalam melaksanakan pembinaan tersebut
hubungan antara petugas dengan narapidana harus menunjukkan hubungan antar manusia. Dengan demikian narapidana tidak hanya sebagai obyek semata
melainkan juga sebagai subyek yang ikut menentukan keberhasilan pembinaan yang dijalaninya. Dengan dijadikannya narapidana sebagai subyek dalam
pembinaan, diharapkan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, narapidana : a tidak lagi melakukan tindak pidana, b menjadi manusia yang berguna serta
berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan Negara; c mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan
di dunia maupun di akhirat.
252
Dengan demikian pembinaan merupakan cara yang tepat memperbaiki narapidana agar kembali ke masyarakat, pembinaan menjuruskan para narapidana
252
L.S. Allagan, Faktor-faktor Yang Berdampak Terhadap Kegagalan Reintegrasi Sosial Terpidana, Jakarta : U.I, Program Pascasarjana Ilmu Sosial, Tesis, 1999, hal. 40.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
208
dan anak didik kepada kesanggupan untuk berprilaku baik, berucap baik, dan berbuat baik.
253
Pelaksanaan pembinaan dengan cara rehabilitasi diharapkan dapat memperbaiki mental narapidana agar menjadi lebih baik. Hal ini tertera dalam
prinsip keempat pemasyarakatan yang mengatakan bahwa Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruklebih jahat. Untuk itu maka di dalam Pasal 12
UU No. 121995 ditentukan adanya pemisahan umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan dan jenis kejahatannya. Mengenai hak-hak narapidana diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Perlindungan terhadap hak-hak narapidana itu dikuti dengan memberikan pekerjaan, hal ini untuk memotivasi narapidana agar mempunyai rencana setelah
ia selesai menjalani masa hukumannya. Sebagaimana yang dikemukakan Kabid Pembinaan, bahwa semua hak-hak narapidana telah dipenuhi seperti hak
beribadah, mendapatkan pendidikan dan pengajaran, perawatan dan pelayanan kesehatan, menyampaikan keluhan, mendapat upah atas pekerjaan, mendapat
kunjungan keluarga, remisi, dan lain sebagainya seperti yang tercantum dalam Pasal 14 UU No. 121995.
254
Namun hak-hak tersebut masih jauh dari Standard Minimum Rules SMR, sebagaimana dikutip dari Harian Kompas bahwa SMR mengatur tentang hak
253
Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Dari Sangkar ke Sangkar, Suatu Komitmen Pengayoman, Jakarta: Departemen Kehakiman, , 1979, hal. 11..
254
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
209
narapidana untuk memperoleh perawatan dan pelayanan kesehatan jasmani dan rohani. Standar pelayanan meliputi kesehatan jiwa, pengobatan yang tepat, serta
penyembuhan kelainan mental. Ketersediaan dokter speialis pun dijamin.
255
Apa yang dikemukakan dalam SMR tentang hak-hak narapidana, sungguh merupakan suatu hal yang tidak mungkin mengingat penghuninya sangat padat.
Jangankan dokter spesialis, tenanga dokter umum saja masih didatangkan dari luar, seperti halnya di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung
Gusta Medan. Dalam hal pemberian pekerjaan terhadap narapidana, upaya yang
dilakukan adalah memberikan pekerjaan tertentu di bengkel kerja maupun lahan pertanian. Ada beberapa bentuk pekerjaan yang diberikan di dalam lembaga
pemasyarakatan seperti di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tanjung Gusta Medan, bentuk pekerjaan beraneka ragam berupa pembuatan keset kaki,
menjahit, membuat kue dan lain sebagainya. Dalam hal ini ada juga kerjasama dengan pihak swasta, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kabid Pembinaan,
256
“bahwa keterampilan menjahitmenyulam, kristik, dilakukan oleh narapidana bekerja sama dengan PT. Maya Deli, di mana bahan-bahan dan alat-alatnya milik
PT tersebut sehingga narapidana hanya mengerjakan saja dengan memperoleh upah, begitu juga halnya dengan PT. Swallow, narapidana disuruh menggunting
tali sandal Swallow dan kemudian diberi upah. Semua bahan diantar dan dijemput oleh karyawan PT tersebut ke lembaga pemasyarakatan.
255
Melupakan hak di tempat pembinasaan, Harian Kompas, 21 April 2007.
256
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
210
Kalau keterampilan yang dihasilkan dari narapidana itu sendiri belum dapat dipasarkan ke masyarakat melainkan hanya untuk kepentingan narapidana
atau pegawai Lembaga Pemasyarakatan saja, karena belum ada pihak swasta yang mau menampungnya. Hal ini disebabkan kualitas hasil keterampilannya
masih rendah, ataupun tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. Berbeda halnya dengan barang-barang hasil keterampilan narapidana di Malaysia. Barang-barang
kerajinan tangan ini dipamerkan dan dijual kepada masyarakat dalam suatu acara pameran barang-barang produksi dalam negeri.
257
Hasil dari usaha ini dapat memberikan pendapatan bagi narapidana dan dapat menambah pendapatan
negara. Mengenai upah kerja yang diperoleh narapidana dari PT Maya Deli dan
PT. Swallow tersebut, diserahkan ke bagian bimbingan kerja di Lembaga Pemasyarakatan Binker Lembaga Pemasyarakatan, sebagaimana yang
dikemukakan Kabid Pembinaan, “bahwa upah kerja dan uang hasil penjualan kue diserahkan ke kas Binker, dengan perincian sebagian masuk kas Binker, sekian
persen untuk napi, dan sekian persen untuk kas negara.
258
Dalam penjelasan Pasal 8 ayat 1 PP No. 311999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Narapidana, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sarana dan
prasarana antara lain :
257
Amelia Hasin, Penjara Juga Institusi Pemulihan dan Latihan, www.Kedah.90V.mywartabil52001Penjara,html-5k.
258
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
211
1. dana pembinaan;
2. perlengkapan ibadah;
3. perlengkapan pendidikan;
4. perlengkapan bengkel kerja; dan
5. perlengkapan olah raga dan kesenian.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara penulis dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tanjung Gusta Medan, sarana
dan prasarana yang ada sangat minim. Di samping itu, terbatasnya dana
pembinaan merupakan kendala bagi petugas dalam melaksanakan program pembinaan. Sebagaimana yang dikemukakan Kabid Pembinaan, bahwa dana yang
tersedia untuk melaksanakan program pembinaan sangat minim, namun program pembinaan tetap terlaksana sesuai dengan dana yang ada.
259
Mengenai kurangnya saranaperalatan dalam melakukan pembinaan keterampilan, menurut narapidana dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 16 Pendapat Narapidana Tentang SaranaPeralatan Yang Digunakan
Dalam Melakukan Pembinaan Keterampilan
No. SaranaPeralatan Pembinaan
Keterampilan Jumlah Persentase
1. Cukup -
- 2. Kurang
21 84
3. Sangat kurang
4 16
Jumlah 25
100 Sumber :
Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
259
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
212
Tabel di atas menunjukkan dua puluh satu orang narapidana mengatakan kurangnya saranaperalatan dalam melakukan pembinaan keterampilan, sehingga
narapidana secara bergantian menggunakan peralatan tersebut. Sedangkan empat orang narapidana mengatakan saranaperalatan untuk melakukan kegiatan
keterampilan sangat kurang, sehingga terkadang ada di antara narapidana yang tidak mendapat giliran atau kesempatan untuk melakukan kegiatan keterampilan
tersebut. Dan tidak ada di antara narapidana yang mengatakan sarana keterampilan cukup untuk melakukan kegiatan keterampilan. Hal ini disebabkan
saranaperalatan yang tersedia dalam melakukan kegiatan keterampilan tidak sebanding dengan jumlah narapidana.
Perlengkapan bengkel kerja yang dimaksud adalah tempat narapidana wanita melakukan latihan keterampilan dan tersedianya perlengkapan yang
digunakan seperti mesin jahit, alat-alat untuk memasak dan lain-lain. Begitu juga dengan perlengkapan olah raga seperti bola volley, tennis meja, tape recorder dan
kaset untuk senam. Namun kesemuanya itu harus didukung oleh dana untuk dapat melaksanakan kegiatan pembinaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Kurang tersedianya sarana dan prasarana yang dapat mendukung usaha pembinaan narapidana mengakibatkan program pembinaan tidak dapat terlaksana
dengan baik. Di samping itu kurangnya tenaga Pembina dalam melakukan pembinaan kemandirian, merupakan penghambat dalam membina narapidana.
Menurut petugas
260
sarana dan prasarana yang ada diatur pemanfaatannya, sehingga narapidana secara bergilir dapat menggunakannya. Demikian juga
260
Wawancara dengan Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Maret 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
213
tenaga pembina yang dibantu oleh petugas lainnya, sehingga dapat melakukan pembinaan terhadap narapidana.
Oleh karena itu pemberian pekerjaan bagi narapidana dapat dikatakan sebagai bagian dari bimbingan dan didikan. Untuk itu prinsip pemasyarakatan
mengharuskan agar pekerjaan dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Dasar kegotongroyongan dari paham Pancasila menjadi tiang bimbingan dan didikan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menentukan pembinaan narapidana selama proses pemasyarakatan, Adapun bentuk pembinaan
yang dilakukannya adalah sebagai berikut :
261
a. Pembinaan kesadaran agama
b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c. Pembinaan kemampuan intelektual
d. Pembinaan kesadaran hukum
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat.
Dengan demikian kepada narapidana harus diberikan pendidikan agama dan di tanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, dan kekeluargaan.
Kepada narapidana harus ditanamkan rasa persatuan, rasa kebangsaan, jiwa bermusyawarah, dan narapidana harus diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan
untuk kepentingan bersama dan kepentingan umum.
262
Usaha-usaha yang dilakukan dalam membina narapidana menunjukkan adanya penghargaan
terhadap narapidana sebagai manusia. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan narapidana baik secara moral maupun mental, serta menjadikannya sebagai warga
negara yang mandiri, berakhlak baik, dan bertanggung jawab serta taat hukum.
261
. Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Kehakiman, Fungsi dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan dan Bimbingan Narapidana, tanpa tahun, hal. 4-5.
262
Saroso, Op. cit, hal. 63.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
214
Sejak keluarnya UU No. 121995, ternyata belum berhasil memperbaiki kehidupan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini nampak dari
perlakuan yang tidak menggambarkan tujuan pemasyarakatan seperti perkelahian sesama narapidana, adanya kecenderungan bekas narapidana mengulangi
perbuatannya, dan adanya penolakan dari masyarakat terhadap bekas narapidana. Semua itu merupakan kenyataan buruk dalam pelakanaan pembinaan narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan. Salah satu faktor penyebab terjadinya hal tersebut karena kurangnya
pemahaman petugas mengenai sistem pemasyarakatan, sehingga dalam melaksanakan tugas pemasyarakatan, petugas tidak dapat mengarahkan,
membimbing serta mendidik narapidana. Akibatnya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemasyarakatan. Kurangnya pengetahuan petugas
mengenai sistem pemasyarakatan dapat mempengaruhi kinerja pelaksanaan tugas-tugas pemasyarakatan, sehingga menimbulkan “citra buruk” lembaga
pemasyarakatan di mata masyarakat. Sehubungan dengan peran petugas dalam sistem pemasyarakatan, di dalam
UU No. 121995, petugas menurut Pasal 8 disebut sebagai pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan
serta pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Bila melihat fungsi petugas tersebut ada tiga hal menonjol untuk dijalankan, yaitu : 1 Pembinaan;
2 Pengayoman; 3 Pembimbingan. Ketiga tugas itu dilaksanakan saat
berlangsungnya pembinaan narapidana baik di dalam maupun di luar lembaga.
263
263
Pola pembinaan narapidana tahanan Departemen Kehakiman RI th 1990 terbagi dalam pembinaan di dalam lembaga, yang meliputi : Pendidikan agama pendidikan umum, kursus-kursus
keterampilan, rekreasi, olahraga, kesenian, kepramukaan, latihan kerja, asimilasi, sedangkan pembinaan di luar lembaga antara lain bimbingan selama terpidana mendapat pidana bersyarat.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
215
Dalam hal ini sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan seharusnya menjadi pedoman bagi petugas saat menjalankan fungsinya, di mana
petugas dalam menjalankan fungsi ini kerapkali lalai menerapkan atau setidak- tidaknya mempedomani sistem pemasyarakatan. Ketidakpatuhan petugas
menjalankan fungsinya, telah banyak “menuai badai” melemahkan citra lembaga pemasyarakatan, seperti kasus kaburnya Edi Tansil dari Lembaga
Pemasyarakatan Cipinang tahun 1996 yang menunjukkan lemahnya tanggung jawab petugas.
Untuk mengetahui pemahaman petugas terhadap sistem pemasyarakatan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 17 Pemahaman Petugas Mengenai Tujuan Sistem Pemasyarakatan
No. Pemahaman Petugas
Jumlah Persentase
1. Membina narapidana menjadi taat hukum
dan menyadari perbuatannya 2 20
2. Menjadikan narapidana agar jera, menjadi terampil dalam pekerjaan
tertentu dan taat hukum. 5 50
3. Membina narapidana menjadi taat hukum, menyadari perbuatannya, dan
dapat diterima oleh masyarakat sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab
3 30
Jumlah 10
100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
216
Tabel di atas menunjukkan lima orang petugas Lembaga Pemasyarakatan mengatakan tujuan sistem pemasyarakatan adalah menjadikan narapidana jera
tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar hukum, terampil dalam pekerjaan tertentu dan taat hukum, sedangkan tiga orang petugas mengatakan
membina narapidana menjadi taat hukum, menyadari perbuatannya, kembali ke masyarakat sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab, sedangkan
dua orang petugas mengatakan membina narapidana, menjadi taat hukum, dan menyadari perbuatannya.
Apabila melihat tabel ini, dapat dikatakan hanya tiga orang petugas yang memahami tujuan sistem pemasyarakatan seperti dimaksud Pasal 2 UU
No. 121995, sehingga wajar jika petugas kelihatan kurang professional dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya sering terjadi perkelahian sesama
narapidana, dan ada juga narapidana yang pura-pura patuh kepada petugas agar dianggap berperilaku baik sehingga dapat memperoleh remisi serta ada
juga narapidana yang mencoba melarikan diri. Untuk itu para petugas diberikan pelatihan atau penataran tentang sistem pemasyarakatan agar
petugas dapat memahami tujuan dari sistem pemasyarakatan. Petugas sebagai salah satu unsur dalam sistem pemasyarakatan,
tugasnya menurut Pasal 8 UU No. 121995 adalah pembinaan dan pengamanan serta pembimbingan. Sehubungan dengan itu maka akan dilihat bagaimana
tanggung jawab petugas dalam sistem pemasyarakatan.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
217
Tabel 18 Tanggung Jawab Petugas Dalam Sistem Pemasyarakatan
No. Tanggung Jawab
Petugas Jumlah Persentase
1. Membimbing narapidana agar mentaati aturan tata tertib Lembaga
Pemasyarakatan 3 30
2. Membimbing narapidana agar mentaati aturan tata tertib dan keamanan lembaga
pemasyarakatan dan melayani kepentingan pemerintah.
1 10
3. Membina dan
membimbing narapidana agar mentaati aturan dan tata tertib serta
keamanan lembaga pemasyarakatan. 6 60
Jumlah 10
100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan Tabel di atas menunjukkan bahwa tiga orang petugas mengatakan
tugasnya sebagai pembimbing narapidana agar mentaati tata tertib Lembaga Pemasyarakatan, serta satu orang petugas menyatakan di samping membimbing
narapidana dan menjaga tata tertib lembaga pemasyarakatan, juga melayani kepentingan pemerintah dan enam orang petugas mengatakan di samping
membina, juga membimbing narapidana agar mentaati tata tertib dan keamanan lembaga pemasyarakatan. Dalam hal ini petugas dituntut untuk bertanggung
jawab penuh di dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembina, pembimbing, dan pengaman di lembaga pemasyarakatan. Hal ini dimaksudkan agar petugas
menyadari sepenuhnya akan tugasnya dalam melaksanakan pembinaan,
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
218
pembimbingan, dan pengamanan di lembaga pemasyarakatan karena petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pemasyarakatan. Sebagai salah satu unsur penting di dalam sistem pemasyarakatan, petugas
dalam melaksanakan pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan sering menghadapi perilaku narapidana yang membahayakan proses pemasyarakatan,
seperti perkelahian sesama narapidana dan adanya narapidana yang melarikan diri dari lembaga pemasyarakatan. Sehubungan dengan itu maka di dalam Pasal
12 UU No. 121995 dinyatakan bahwa pembinaan narapidana didasarkan kepada umur, jenis kelamin, jenis kejahatan dan lamanya hukuman. Hal ini yang
dikehendaki dalam ide individualisasi pidana, yakni pembinaan narapidana berdasarkan karakteristiknya misalnya narapidana yang akan dibina
dikelompokkan atas dasar umurnya, sehingga dicari bentuk pembinaan yang tepat dan sesuai dengan umurnya, atau narapidana dikelompokkan berdasarkan jenis
kejahatannya sehingga dilakukan pembinaan yang tepat dan sesuai dengan jenis kejahatannya, dan begitu juga dengan lamanya hukuman. Namun semua itu tidak
terlepas dari pemahaman petugas terhadap ide individualisasi pidana. Untuk itu akan dilihat pemahaman petugas terhadap ide individualisasi
pidana sesuai dengan Pasal 12 UU No. 121995 pada tabel berikut.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
219
Tabel 19 Pemahaman Petugas Terhadap Ide Individualisasi Pidana
No. Pemahaman Petugas
Jumlah Persentase
1. Membina narapidana berdasarkan umur dan jenis kelamin
3 30 2. Membina narapidana berdasarkan umur,
jenis kelamin, jenis kejahatannya, dan lamanya hukuman
4 40
3. Membina narapidana berdasarkan
individunya 3 30
Jumlah 10
100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Berdasarkan tabel diatas maka tiga orang petugas menyatakan bahwa ide
individualisasi pidana berarti membina narapidana berdasarkan umur, jenis kelamin, sedangkan empat orang petugas mengatakan membina narapidana
berdasarkan umur, jenis kelamin, jenis kejahatannya dan lamanya hukuman, serta tiga orang petugas menyatakan membina narapidana berdasarkan
individunya. Dengan demikian dapat dikatakan pemahaman petugas terhadap ide individualisasi pidana masih kurang, sehingga dalam melakukan pembinaan,
sama untuk seluruh narapidana tanpa ada perbedaan antara satu dengan lainnya sesuai karakteristik narapidana. Hal ini disebabkan kurangnya sarana dan
prasarana di lembaga pemasyarakatan untuk melakukan pembinaan sesuai dengan karakteristik narapidana tersebut, seperti dana, alat-alat yang digunakan dalam
melakukan pembinaan, jumlah petugas yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana. Dengan demikian wajar jika ada narapidana yang berperilaku buruk
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
220
dan tidak mentaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan sehingga petugas dapat mengambil tindakan yang tepat terhadap narapidana.
Untuk mengetahui tindakan yang diambil petugas terhadap narapidana yang melanggar peraturan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 20 Tindakan Petugas Terhadap Narapidana Yang Berkelahi,
Melanggar Aturan lembaga pemasyarakatan
No. Tindakan Petugas
Jumlah Persentase
1. Menasehati dan memberikan tindakan disiplin
4 40
2. Menasehati dan meminta tamping menyelesaikannya
2 20
3. Memukul narapidana, menasehati dan memberikan tindakan disiplin.
1 10 4. Menasehati, memberikan tindakan disiplin, dan
meminta tamping menyelesaikannya. 3 30
Jumlah 10
100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Tabel di atas memperlihatkan bahwa empat orang petugas lembaga
pemasyarakatan menasehati dan memberikan tindakan disiplin, sedangkan dua orang petugas menasehati dan meminta tamping menyelesaikannya, dan seorang
petugas memukul narapidana, menasehati dan memberikan tindakan disiplin, serta tiga orang petugas menasehati, memberikan tindakan disiplin dan meminta
tamping untuk menyelesaikannya. Sebagaimana dikemukakan Kabid Pembinaan bahwa dengan menasehati dan memberikan tindakan disiplin berupa pengasingan,
narapidana biasanya takut.
264
264
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
221
Menurut penulis dengan menasehati dan memberikan tindakan disiplin dapat membuat narapidana sadar akan perbuatannya sehingga ia tidak melakukan
perbuatan yang melanggar aturan tata tertib lembaga pemasyarakatan. Di
samping itu peran tamping sangat menentukan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara narapidana karena narapidana biasanya lebih
takut kepada tamping. Adanya pengakuan terhadap hak-hak narapidana selama menjalani pidana
penjara oleh undang-undang, menggambarkan bahwa narapidana adalah warga negara yang sama derajatnya dengan masyarakat bebas lainnya. Perlindungan
yang diberikan terhadap harkat dan martabat manusia walaupun ia terpidana namun hak-hak yang melekat pada dirinya harus dilindungi. Untuk mengetahui
apakah petugas memberitahukan hak-hak narapidana sesuai dengan Pasal 14 UU No. 121995 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 21 Pemberitahuan Petugas Mengenai Hak-hak Narapidana
Sesuai Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
No. Pemberitahuan Tentang Hak Narapidana
Jumlah Persentase
1. Semua diberitahukan kepada narapidana
6 60
2. Tidak semua diberitahukan kepada narapidana
4 40
Jumlah 10
100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Tabel di atas menunjukkan bahwa enam orang petugas yang menjelaskan
secara keseluruhan tentang hak-hak narapidana, sedangkan empat orang petugas tidak memberitahukan semua hak-hak tersebut. Hal ini disebabkan menurut
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
222
pandangan petugas narapidana adalah orang hukuman, sehingga tidak perlu diberitahukan hak-haknya.
Mengenai hak-hak narapidana menurut penulis sebaiknya diberitahukan kepada narapidana karena narapidana juga adalah manusia yang memiliki harkat
dan martabat sehingga hak-hak asasinya harus dilindungi. Untuk itu kepada narapidana diberikan hak-haknya selama berada di dalam lembaga
pemasyarakatan seperti: hak beribadah, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, dan memperoleh remisi, asimilasi dan lain-lain. Sebagaimana yang
dikemukakan J.E. Sahetapy bahwa pemidanaan tidak boleh mencederai hak-hak asasinya yang paling dasar serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan
alasan apapun.
265
Pada dasarnya keseluruhan hak-hak narapidana tersebut sudah terlaksana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan hasil
wawancara dengan Kabid Pembinaan, seperti halnya melakukan ibadah, mendapatkan pendidikan dan pengajaran dan lain sebagainya. Hanya saja
assimilasi keluar lembaga berupa bekerja di luar lembaga pergi pagi dan sore pulang kembali ke lembaga pemasyarakatan tidak diberikan, mengingat bahwa
narapidana wanita tidak bisa dilepaskan keluar begitu saja, khawatir kalau terjadi sesuatu pada dirinya karena hal ini merupakan tanggung jawab petugas lembaga
pemasyarakatan. Namun jika cuti mengunjungi keluarga selama ini telah dilaksanakan, sebagaimana dikemukakan oleh Kabid Pembinaan, bahwa bagi
narapidana yang hukumannya tiga tahun kebawah, cuti diberikan dua kali dalam
265
J.E. Sahetapy, 1982, Op. cit., hal 284.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
223
setahun, yakni selama 2 x 24 jam, dan biasanya diberikan pada saat hari raya Idul Fitri dan pada saat pernikahan keluarganya, dan dibuat berita acaranya untuk
ditanda tangani oleh keluarga, sehingga keluarga bertanggung jawab atas diri narapidana tersebut, dan biasanya narapidana selalu diantar oleh petugas
kerumahnya.
266
Selanjutnya menurut Kabid Pembinaan bagi narapidana yang menjalani hukuman diatas tiga tahun, cuti mengunjungi keluarga diberikan tiga kali dalam
setahun, namun yang sifatnya insidentil seperti orang tuanya atau mertua meninggal, maka narapidana diperbolehkan pulang untuk menjenguk sampai
penguburannya selesai sore hari, baru kembali ke lembaga pemasyarakatan dengan dikawal oleh petugas.
267
Bila kita mengacu kepada Standard Minimum Rules SMR yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, mengatur tentang hak-hak
narapidana diantaranya setiap narapidana memiliki ruang sel sendiri yang memenuhi standar kesehatan. Namun dalam kenyataannya hal ini tidak terlakana,
sebagaimana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan yang mengalami over kapasitas sehingga tidak mungkin menempatkan
seorang narapidana di dalam satu sel. Begitu jua halnya dengan pelayanan kesehatan yang tidak memenuhi standar . Dengan kata lain tidak sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam standard minimum rules SMR.
266
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
267
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
224
Sebagian besar ketentuan dalam SMR tidak terlaksana, sebagaimana di kutip dari Harian Kompas bahwa kondisi lembaga pemsyarakatan teramat jauh
dari yang ideal itu. Dengan kondisi yang ada saat ini, memang tidak mungkin bagi pengelola lembaga pemasyrakatan atau rumah tahanan untuk mempedulikan
fungsi menyiapkan dan membina warga binaan sehingga bisa kembali ke masyarakat dengan baik, dan tidak mengulangi tindak pidananya lagi.
268
Sehubungan dengan itu menurut petugas bagaimanapun bagusnya pembinaan yang diberikan di dalam lembaga pemasyarakatan, tergantung faktor
penerimaan masyarakat kepada mantan narapidana. Menurut petugas, sia-sia atau percuma membina dan membimbing narapidana, apabila akhirnya mantan
narapidana tidak diterima oleh masyarakat.
269
Dengan mengikutkan sertakan masyarakat dalam membina narapidana, diharapkan masyarakat dapat menerima
kehadiran mantan narapidana. Dalam hal ini masyarakat mau menerima mantan narapidana kembali ke
tengah-tengah masyarakat, serta berusaha untuk membina dan membimbingnya agar ia dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.
Apabila masyarakat tidak mau menerima kehadiran mantan narapidana di tengah- tengah masyarakat, maka besar kemungkinan mantan narapidana tersebut
kembali bergaul dengan kelompoknya sebelum ia menjadi narapidana, dan hal ini tidak menutup kemungkinan narapidana akan menjadi residivis. Dengan
268
Melupakan Hak di tempat pembinasaan, Harian Kompas, 21 April 2007.
269
Wawancara dengan Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
225
demikian pembinaan yang dilakukan di dalam pemasyarakatan akan menjadi sia-sia.
Untuk itu akan dilihat pada tabel berikut apakah penolakan masyarakat merupakan hambatan bagi petugas dalam membina narapidana.
Tabel 22 Pendapat Petugas Tentang Penolakan Masyarakat Terhadap
Mantan Narapidana Merupakan Hambatan
No. Pendapat Petugas
Jumlah Persentase
1. Ya 9
90 2. Tidak
1 10
Jumlah 10
100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
Tabel diatas menunjukkan bahwa sembilan orang petugas mengatakan penolakan masyarakat menjadi penghambat dalam mencapai tujuan
pemasyarakatan. Karena tujuan pemasyarakatan untuk mengembalikan narapidana ke tengah-tengah masyarakat sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab akan sulit tercapai jika masyarakat tidak mau menerima mantan narapidana, dan hanya satu orang yang mengatakan tidak. Hal ini juga
dikemukakan oleh mantan narapidana bahwa masyarakat sulit menerima kehadiran mereka dan masih mencapnya sebagai penjahat.
270
Sikap masyarakat yang tidak mau melupakan kesalahan narapidana, bukan saja merupakan kendala bagi petugas lembaga pemasyarakatan dalam pembinaan
narapidana, akan tetapi dapat merupakan ancaman bagi masyarakat yang
270
Wawancara dengan mantan narapidana, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
226
bersangkutan.
271
Oleh karena itu masyarakat sebagai lingkungan sosial dimana seseorang itu hidup dan bergaul dapat mempengaruhi pola hidup dan pola pikir
seseorang. Dengan demikian, masyarakat, keluarga, dan sekolah, sebagai lingkungan sosial dapat membawa pengaruh positip maupun negatif terhadap
seseorang. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tidak baik terkadang menjadi
dasar untuk memudahkan terjadinya perilaku yang menyimpang. Ketidak mampuan untuk menghadapi masa depan, terkadang membuat seseorang
mengambil jalan pintas dengan melakukan perbuatan melanggar hukum. Orang yang tidak mampu melakukan penyesuaian terhadap lingkungan, cenderung
menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, mereka mencari kepuasan dengan melakukan perbuatan yang menyimpang seperti menggunakan
obat-obat terlarang. Di samping itu menurut petugas, adanya disparitas pidana perbedaan
hukuman untuk kejahatan yang dapat diperbandingkan sama berpengaruh terhadap narapidana, yakni narapidana menjadi sinis dan apatis dalam menjalani
pembinaan.
272
Yang dimaksud dengan disparitas pemidanaan adalah penjatuhan pidana yang berbeda-beda satu sama lain meskipun perbuatan pidananya sama
dan pasal yang diterapkannya juga sama.
273
Hal ini disebabkan pada umumnya
271
Djisman Samosir, 1996, Op. cit., hal. 27.
272
Wawancara dengan Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006..
273
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 49.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
227
ancaman pidana yang tertulis dalam undang-undang adalah ancaman pidana maksimum, sehingga banyak ruang gerak bagi hakim untuk menentukan berat
ringannya hukuman pidana. Akan tetapi, tanpa suatu kriteria hukum dan parameter yang jelas dan terukur, maka disparitas tersebut menjadi ajang
kesewenang-wenangan hakim, dan dapat dipergunakan untuk sarana dalam mewujudkan mafia peradilan. Hal ini sangat melemahkan kewibawaan hukum
dan pengadilan di mata masyarakat, sehingga masyarakat tidak akan menghormati hukum dan melakukan pengadilannya sendiri.
Sehubungan dengan itu Harkristuti Harkrisnowo mengatakan,
274
Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut tidak heran jika publik mempertanyakan apakah hakimpengadilan telah benar-benar melaksanakan
tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan
societal justice. Sayangnya secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum . . . Meskipun demikian seringkali orang
melupakan bahwa elemen keadilan pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim.
Sehubungan dengan disparitas pidana, Sholehuddin mengemukakan bahwa :
Disparitas pidana tidak bisa ditiadakan sama sekali, karena kewajiban hakim untuk mempertimbangkan seluruh elemen yang relevan dalam perkara
individu tentang pemidanaannya, sebab disparits tidak secara otomatis mendatangkan kesenjangan yang tidak adil. Dengan demikian eksistensi
disparitas pidana tetap diakui dalam proses pemidanaan, akan tetapi yang penting sampai sejauhmanakah disparitas tersebut mendasarkan diri atas
reasonable justification.
275
274
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan, Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Majalah KHN News Letter, Edisi April, 2003.
275
Sholehuddin, Op. cit., hal. 115 – 116
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
228
Narapidana yang merasa pidananya terlalu berat, sekaligus merasa dirinya menjadi korban ketidak adilan. Kondisi ini akan mempengaruhi proses
sosialisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembinaan sedikit banyaknya juga ditentukan oleh pengalaman narapidana sebelum masuk ke
lembaga pemasyarakatan. Perasaan terlalu beratnya pidana setelah dibandingkan dengan yang lain merupakan salah satu dampak disparitas pidana. Dengan
demikian disparitas pidana sering menimbulkan persoalan seperti menghambat untuk tercapainya keadilan, dan menjadi salah satu pemicu kekacauan di lembaga
pemasyarakatan serta menggagalkan program resosialisasi. Dalam hal ini penerapan pidana yang mengandalkan intuisi subjektif
hakim dan menghasilkan keanekaragaman pidana untuk tindak pidana yang pidananya kurang lebih sama atau untuk pernyertaan, akan menimbulkan
keresahan tidak hanya bagi masyarakat, tetapi terlebih-lebih bagi yang dikenai pidana, mereka akan menganggap dirinya sebagai korban ketidakadilan dan
peradilan yang kacau dan hal ini akan menggagalkan program-program Resosialisasi.
276
Adanya kenyataan bahwa disparitas pidana dapat menjadi pemicu kerusuhan dan keresahan bagi narapidana serta menjadi hambatan bagi petugas
melakukan pembinaan semakin membuktikan bahwa proses resosialisasi terganggu bukan hanya disebabkan kegagalan petugas maupun narapidana, tetapi
dapat juga disebabkan sistem peradilan pidana serta hukum pidana itu sendiri.
276
Muladi, Pengaruh Proses Sistem Peradilan Pidana Terhadap Pembinaan Residivis. Makalah, MABES POLRI, PTIK, Jakarta, Januari 1992, hal. 8.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
229
Sebagaimana dikemukakan Mardjono Reksodiputro, bahwa setiap masalah dalam satu Sub Sistem misalnya pengadilan, akan menimbulkan dampak pada sub
sistem lainnya.
277
Dengan demikian kepercayaan masyarakat terhadap sub sistem pengadilan berkurang, sehingga sering dijumpai masyarakat main hakim sendiri.
Selanjutnya Loebby Loqman menyatakan, pada akhirnya tidak akan jelas mana yang merupakan sebab awal dan mana yang merupakan akibat atau
reaksi. Gejala yang terlihat sekarang adalah kekurang percayaan pada hukum dan pengadilan.
278
Di samping itu, digabungnya narapidana residivis dengan yang bukan residivis di dalam satu blok menurut petugas hal itu dapat menjadi hambatan. Hal
ini menurut petugas terpaksa dilakukan mengingat jumlah narapidana telah melebihi kapasitas, sehingga tidak mungkin dipisahkan dalam satu blok
tersendiri.
279
Pengaruh narapidana yang residivis sangat kuat terhadap narapidana yang bukan residivis, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa
penjahat kelas kakap dapat mempengaruhi penjahat kelas pemula. Oleh karena itu, peran petugas sangat penting untuk mendukung
keberhasilan proses pemasyarakatan narapidana sebelum kembali ke masyarakat. Untuk itu, perlu didukung profesionalitas petugas agar proses pemasyarakatan
277
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Pada Upacara Penerimaan Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum U.I., 1994,
hal. 89
278
Lihat pendapat Loebby Loqman yang mengatakan “bahwa walaupun penolakan hukum yang adil menjadi faktor dominan penyebab maraknya tindakan main hakim sendiri, masyarakat jenuh
terhadap hukum yang menjadi slogan tanpa penerapan konsisten dan adil dalam saat hukum mandul, masyarakat bertindak kriminal, Harian Kompas, 17 Mei 2000..
279
Wawancara dengan petugas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
230
sebagaimana cita-cita Sahardjo dapat terwujud. Dengan demikian perlu adanya peningkatan kualitas petugas seperti :
280
1. Kualifikasi Akademik Memiliki pengetahuan serta memahami tujuan pembinaan re-integrasi
sosial, dan relevansinya dengan dengan fungsi penegakan hukum. 2.
Kualifikasi Kepribadian Memiliki moral dan mental yang dapat menjadi panutan.
3. Kualifikasi Profesi Memiliki dan menguasai peraturan teknik dan taktik manajerial dan
operasional teknis pembinaan terpidana dan narapidana; 4. Kualifikasi FisikJasmani
Memiliki sikap samapta, keterampilan jasmani. Dengan diundangkannya UU No. 121995, maka narapidana disebut warga
binaan dan bukan orang hukuman. Selama menjalani pidana penjara narapidana dibina berdasarkan pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, serta
dihormatinya hak-hak narapidana sebagai manusia, tujuannya adalah untuk mempersiapkan narapidana kembali ke masyarakat. Adanya tujuan demikian,
ternyata tidak sesuai dengan apa yang ditemukan di masyarakat, di mana masih ada narapidana yang ditolak bahkan mengulangi kejahatan. Keadaan seperti ini
sering terjadi, sehingga mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat sebagai pencari keadilan terhadap lembaga pemasyarakatan yang dikenal sebagai
tempat resosialisasi dan rehabilitasi. Salah satu bentuk pembinaan yang cukup penting untuk memperbaiki
sikap mental narapidana adalah melalui pendidikan agama. Adapun tujuannya agar narapidana bertobat dan memiliki kesadaran serta mempersiapkan diri
280
Jan R Djayamiharja dan Sudiro, Sistem Pendidikan Petugas Pembina Pemasyarakatan dalam Menunjang Pembinaan Terpidana dari Narapidana yang Dicita-citakan, Makalah, disampaikan pada
Seminar Nasional Pemasyarakatan Terpidana II, Tanggal 8–9 Nopember 1993, Fakultas Hukum, UI, hal. 4
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
231
kembali ke masyarakat. Sehubungan dengan itu diberikan kebebasan menjalankan ibadah agama menurut keyakinannya masing-masing. Dalam hal ini
pihak lembaga pemasyarakatan mengadakan kerja sama dengan lembaga-lembaga keagamaan yang ada di luar lembaga pemasyarakatan.
Bila diamati dari praktek kegiatan agama di lembaga pemasyarakatan, maka hal itu sering dilakukan oleh kelompok masyarakat yang berasal dari
berbagai agama, untuk bersama-sama narapidana melakukan ibadah agama, baik itu menjelang hari besar keagamaan maupun hari-hari tertentu. Di samping
melindungi hak mendapatkan kebutuhan spiritual narapidana selama berada di lembaga pemasyarakatan, pihak lembaga pemasyarakatan juga perlu memenuhi
kebutuhan jasmani para narapidana, seperti makanan yang layak. Makanan yang dikonsumsi narapidana harus bersih dan tidak kadaluarsa serta harus diketahui
kepala lembaga pemasyarakatan dan jumlahnya sesuai aturan yang berlaku. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kabid Pembinaan bahwa biaya untuk
makan narapidana Rp. 5000 perhari perorang. dengan demikian pemerintah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk satu lembaga sesuai dengan jumlah
narapidana.
281
Di samping memperoleh haknya, narapidana juga diberikan keterampilan, dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Pekerjaan itu dapat berupa
keterampilan membuat kue, maupun barang-barang yang dibutuhkan sehari-hari oleh masyarakat, seperti keset kaki, sandal, dan sebagai imbalannya narapidana
mendapatkan upah atau premi, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
281
Wawancara dengan Kabid Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
232
bahwa adanya kerja sama dengan pihak luar seperti PT. Maya Deli dan PT.
Swallow dalam kegiatan menjahit maupun pengguntingan tali sandal swallow. Dengan demikian narapidana akan memperoleh upah dari hasil
kerjanya, sehingga diharapkan nantinya pihak swasta akan mau membantu narapidana setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan dengan tetap
memperkerjakan narapidana di perusahaannya. Untuk mengetahui apakah narapidana mendapatkan upah atau premi dari
pekerjaannya, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 23 Pendapat narapidana tentang bekerja di
Lembaga Pemasyarakatan
N o. Bekerja di Lembaga Pemasyarakatan
Jumlah Persentase
1. Mendapatkan upah atas pekerjaan yang
dilakukan 7 28
2. Mendapatkan upah dan premi atas pekerjaan yang dilakukan
15 60 3.
Tidak mendapatkan apa-apa 3
12 Jumlah
25 100
Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan.
Tabel di atas menunjukkan bahwa tujuh orang narapidana mengatakan mendapat upah atas pekerjaan yang dilakukannya, dan lima belas orang
narapidana mengatakan mendapatkan upah dan premi atas pekerjaannya, sedangkan tiga orang mengatakan tidak mendapatkan apa-apa.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
233
Kebutuhan akan uang selama di penjara tidak bisa dipungkiri, mengingat narapidana harus menggunakan sabun mandi, dan pasta gigi bahkan membeli
pakaian sehari-hari karena tidak mungkin narapidana terus dibiayai oleh keluarganya. Hal ini dibutuhkan mengingat narapidana perlu untuk menjaga
kesehatannya sehingga apabila selesai menjalani pidana dan kembali ke masyarakat tetap sehat dan dapat bekerja sebagaimana adanya. Di samping itu,
upah atau premi dapat dikatakan sebagai pemberi semangat, karena narapidana sebagai orang yang terpisah dari lingkungan sosialnya, suatu ketika akan kembali
ke masyarakat. Oleh karena itu perlu dibangun semangat kepribadiannya agar mampu bersaing dengan anggota masyarakat lainnya.
Sehubungan dengan itu, narapidana sebagai orang hukuman sudah sepatutnya diberi kesempatan seluas-luasnya agar dapat berhubungan dengan
masyarakat untuk membangun suatu komunikasi bahkan relasi dengan tujuan agar dapat menampung narapidana setelah ia selesai menjalani pidananya. Tujuan
seperti ini sejalan dengan prinsip kelima yang mengatakan selama hilang kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan
tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Menurut Djisman Samosir, membiarkan narapidana dalam kondisi yang terasing tidak akan menyelesaikan permasalahan,
bahkan menimbulkan persoalan baru, yaitu munculnya sikap tidak percaya terhadap masyarakat.
282
Dengan demikian prinsip tersebut mempertegas hakikat pemasyarakatan, di mana kunjungan anggota masyarakat untuk hari dan jam yang berbeda dapat
menghilangkan kecurigaan maupun rasa dendam kepada narapidana. Di samping
282
Djisman Samosir, 1996, Op. cit., hal. 27.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
234
itu narapidana akan menjadi terbiasa dan tidak canggung kembali ke masyarakat. Sehubungan adanya kunjungan anggota keluarga maupun masyarakat ke lembaga
pemasyarakatan, menunjukkan bahwa hubungan sosial narapidana dengan keluarganya tidak terputus. Dalam hal ini, penerimaan keluarga atas narapidana
sangat positif sehingga dengan demikian, narapidana tidak diasingkan. Adanya perhatian keluarga yang demikian, merupakan pendorong agar narapidana dapat
bertahan menjalani hukuman. Menjalani pidana bagi seseorang tentunya sesuatu yang tidak
mengenakkan, hal ini berarti segala hak dan keinginannya terasa hilang, yang ada hanyalah kewajiban untuk mentaati aturan lembaga pemasyarakatan. Adanya
perasaan demikian, secara psikologis disebabkan tembok penjara yang memisahkan mereka dengan masyarakat bebas. Perasaan bersalah kerapkali
menyebabkan narapidana tidak memperdulikan hak-hak yang melekat pada dirinya selama berada di penjara. Padahal UU No. 121995, menjamin hak-hak
yang melekat pada dirinya sebagai manusia sebagaimana tercantum dalam Pasal 14.
Narapidana sebagai subjek dalam pembinaan, di samping memiliki hak- hak yang melekat pada dirinya, juga diharuskan untuk menjalankan
kewajibannya, diantaranya adalah mengikuti program pembinaan. Berdasarkan PP No. 311999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan warga binaan
pemasyarakatan, kegiatan pembinaan ini meliputi pembinaan kepribadian, pembinaan mental dan watak, serta pembinaan kemandirian. Pembinaan bakat
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
235
atau keterampilan ini merupakan cara untuk membangun pribadi narapidana agar dapat berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Pelatihan kerja atau keterampilan sering tidak sesuai dengan karakteristik minat dan keinginan mereka, atau tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi
di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya pemberian keterampilan menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif, dengan biaya produksi
yang tinggi dan hasil yang tidak maksimal.
283
Sebagaimana warga binaan, narapidana juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan dan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan, agar pembinaan dapat
berlangsung secara tertib dan tenang. Sehubungan dengan itu maka akan dilihat apakah narapidana mendapat hukuman apabila melanggar aturan tatatertib
lembaga pemasyarakatan pada tabel berikut.
Tabel 24 Dihukum Tidaknya Narapidana Apabila
Melanggar Aturan Tata Tertib
No. Dihukum Tidak
Jumlah Persentase
1. Dihukum bagi yang melanggar aturan
25 100
2. Tidak Jumlah 25
100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Tabel diatas menunjukkan bahwa dua puluh lima orang narapidana 100
mengatakan dihukum bila melanggar peraturan dan tata tertib lembaga
283
Adrianus Meliala, dkk., Op. cit., hal. 6.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
236
pemasyarakatan, yakni berupa hukuman pengasingan, atau dijemur di halaman lembaga pemasyarakatan, dan ada juga yang diberi tugas membersihkan kamar
mandi di lingkungan lembaga pemasyarakatan. Sebagaimana dikemukakan oleh narapidana bahwa bagi yang melanggar peraturan dikenakan sanksihukuman
seperti membersihkan kamar mandi parit dilingkungan lembaga pemasyarakatan, dijemur dan tutupan sunyi dikurung dalam kamar pengasingan.
284
Dengan demikian narapidana dilatih untuk disiplin dan patuh pada peraturan yang
ditetapkan lembaga pemasyarakatan. Dalam Pasal 47 UU No. 121995 disebutkan bahwa :
1 Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan
hukuman disiplin terhadap warga binaan pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya.
2 Jenis Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat berupa:
a. tutupan sunyi paling lama 6 enam hari bagi narapidana atau anak pidana;
dan atau. b.
menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3 Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disiplin atau
menjatuhkan hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib : a. memperlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak
bertindak sewenang-wenang; dan b. mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib LAPAS.
4 Bagi narapidana atau anak pidana yang pernah dijatuhi hukuman tutupan
sunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf a, apabila mengulangi pelanggaran atau berusaha melarikan diri dapat dijatuhi lagi hukuman tutupan
sunyi paling lama 2 dua kali 6 enam hari.
Dalam hal pemberian hukuman harus disesuaikan dengan tingkat kesalahan pelaku agar terdapat keadilan di antara narapidana. Hal ini diperlukan
mengingat berat ringannya hukuman menjadi ukuran dapat tidaknya narapidana
284
Wawancara dengan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita, Kelas II A Tanjung Gusta Medan, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
237
bertahan di dalam penjara. Karena yang ditakutkan narapidana bukan hanya hukumannya, tetapi juga kehidupan di dalam lingkungan penjara yang
menyebabkan narapidana menjadi terasing dari lingkungannya. Hasil studi dari Graham Sykes mengenai hal ini, dapat menjadi contoh seperti yang dikutip oleh
Soetandyo, masa pemidanaan dipenjara sering pula berakibat kian terasingnya pelanggar-pelanggar hukum itu dari masyarakat dan di lain pihak akan
memberikan kesempatan kepada pelanggar-pelanggar hukum itu secara sistematik melatih diri dalam berbagai teknik yang diperlukan untuk dapat
menghindar dari sanksi-sanksi serupa dimasa mendatang.
285
Keterasingan narapidana akibat hukuman merupakan kenyataan sosial, hal itu dapat terbawa-bawa setelah narapidana berada di masyarakat, dimana sulit
bagi bekas narapidana bersosialisasi secara wajar dengan masyarakat. Namun pada umumnya narapidana berusaha untuk memulai hidup baru dan melupakan
masa lalu, hal ini mungkin saja disebabkan pengaruh kehidupan penjara yang membuat mereka menjadi jera. Namun masih ada keraguan di dalam diri
narapidana apabila kembali ke masyarakat diterima atau ditolak. Meskipun bekas narapidana sudah sadar dan bertekad menjadi warga
masyarakat yang baik namun mereka selalu dihadapkan pada masalah sorotan masyarakat terhadap dirinya, sehingga untuk menghindari anggapan negatif
terhadap dirinya, ia mencari lingkungan masyarakat yang baru yang tidak mengetahui identitas dirinya.
286
285
Richard D. Schwartz, On Legal Sanction Tentang Hal Sanksi Hukum. diringkas ke dalam bahasa Indonesia oleh Soetandyo Wingnyo Soebroto, dalam Peranan Kriminologi Dalam Hukum
Pidana Surabya : Universitas Airlangga, Fakultas Hukum, 1976, hal, 53.
286
Chaerudin, Op. cit., hal. 182.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
238
Reaksi masyarakat terhadap bekas narapidana, pada umumnya lebih bersifat tidak langsung, yaitu berupa kekhawatiran maupun kecurigaan dan
pengawasan yang berlebihan. Reaksi tersebut merupakan isyarat dari rasa kekhawatiran dan ketidak percayaan masyarakat terhadap bekas narapidana untuk
dapat menjadi warga masyarakat yang baik ataupun sikap ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan sebagai sarana pendidikan dan
pembinaan bagi narapidana.
287
Sehubungan dengan itu masyarakat percaya bahwa pidana penjara dapat memberikan akibat tertentu bagi narapidana, seperti halnya narapidana menjadi
jera dan tobat. Disamping itu masyarakat juga berharap agar narapidana diberikan pendidikan, baik pendidikan agama maupun pendidikan keterampilan, agar
setelah bebas tidak lagi mengulangi perbuatannya. Untuk itu maka pembinaan narapidana tidak cukup hanya di dalam lembaga pemasyarakatan saja, tetapi juga
harus dibina di dalam keluarga dan masyarakat. Pada kenyataannya, narapidana selama menjalani pidana di lembaga
pemasyarakatan telah menerima hukuman setimpal dengan perbuatannya. Dengan demikian dapat dikatakan agar pidana penjara setimpal dengan perbuatan pelaku,
maka pidana itu harus dapat membuat pelaku menjadi jera, dan bertobat, dan merasa diasingkan dari masyarakat. Dengan demikian rasa sakit itu merupakan
pencerminan dari kesetimpalan hukuman. Bagi masyarakat setimpalnya suatu
287
Ibid, hal. 180.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
239
hukuman harus pula diikuti dengan pemberian pendidikan dan kegiatan pembinaan, muaranya adalah rehabilitasi.
288
Adapun rehabilitasi narapidana selama ini lebih ditekankan pada pendidikan agama karena banyak tenaga agama dari kalangan masyarakat yang
dapat memberikan bimbingan keagamaan. Pemasyarakatan pada hakekatnya merupakan gagasan dalam
melaksanakan pidana penjara dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia. Perlakuan itu dimaksudkan untuk tetap
memposisikan narapidana tidak hanya sekedar objek, tetapi juga subjek di dalam proses pembinaan dengan sasaran akhir mengembalikan narapidana ke tengah-
tengah masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna resosialisasi terpidana. Sehubungan dengan itu maka di dalam pembinaan narapidana harus
disesuaikan dengan ide individualisasi pidana yang berdasarkan umur, jenis kelamin, jenis kejahatan, dan lamanya hukuman yang dijatuhkan. Untuk itu
perlakuan terhadap narapidana harus lebih manusiawi berdasarkan hak-hak asasi manusia.
Upaya penempatan narapidana berdasarkan karakteristiknya, didasarkan atas pertimbangan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya komunikasi antara
penjahat kelas kakap dengan penjahat pemula. Dengan demikian menghindarkan
288
Rehabilitation permits anoffender to be trained and given an opportunity to change his lifestyle, lither within or out side a penitentiary setting, rehabilitation may take the for of psychiatric
therapy or psyclological conseling. rehabilitasi memungkinkan pelanggar hukum untuk dilatih dan diberikan kesempatan demi mengubah gaya hidupnya, baik di dalam atau di luar lingkungan penjara,
rehabilitasi bisa saja berupa terapi psikiatri atau bimbingan psikologi, Richard F. Spaks, Sentencing : Guideliness, dalam Encyclopedia of Crime and Justice, editor in chief Stanford H. Kadish New York :
The Free Press, A. Division on Mac Millan, Inc, New York, 1983, hal. 146.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
240
narapidana dari pengaruh buruk serta nilai-nilai negatif yang hidup di penjara yang dapat mengganggu sasaran dan tujuan proses pembinaan itu sendiri.
289
Dengan kata lain ide individualisasi pidana menghendaki agar narapidana terhindar dari kemungkinan prisonisasi.
Dengan demikian apa yang menjadi tujuan dari sistem pemasyarakatan akan tercapai apabila pembinaan narapidana disesuaikan dengan ide
individualisasi pidana atau sesuai dengan Pasal 12 UU No. 121995.
289
Bandingkan J.E. Sahetapy dalam Djisman Samosir, Op. cit, hal. 81. Menurut Sahetapy :”Apa manfaatnya mengganti istilah penjara dengan lembaga pemasyarakatan kalau cara memperlakukan
narapidana adalah setali tiga uang”. Menurut penulis apa yang di sampaikan Sahetapy tersebut mengisyaratkan agar dalam konteks pemasyarakatan narapidana memperoleh perlakuan yang
manusiawi. Oleh karena sasaran akhir pemasyarakatan tersebut justru menjadikan orang tersesat tersebut kembali menjadi manusia yang utuh. Artinya sekembalinya dari lembaga pemasyarakatan
narapidana diharapkan memperoleh perlakuan yang sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia ciptaan Tuhan yang mempunyai hak, kodrat dan harga diri.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
BAB IV PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM