68
teori dan mazhab hukum pidana serta konteks sosial masyarakat, yang didalamnya terdapat aturan-aturan tentang pola pembinaan narapidana yang
sesuai dengan karakteristik narapidana dan tujuan pemidanaan. Meskipun sistem pemasyarakatan ini telah dicetuskan sejak tahun 1964,
namun pengaturan mengenai sistem tersebut secara sistematis dalam bentuk undang-undang baru dapat diwujudkan pada tahun 1995, dengan keluarnya UU
No. 121995. Dengan keluarnya undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
2. Konsepsi
Dari uraian kerangka teori diatas, penulis akan menjelaskan beberapa konsep dasar yang digunakan dalam disertasi ini, antara lain :
a. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali
perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat pada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan
keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.
b. Pidana penjara merupakan pidana berupa perampasan kebebasan
seseorang untuk bergerak.
108
c. Narapidana wanita adalah terpidana wanita yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di LAPAS Wanita. d.
Sistem Pemasyarakatan adalah: suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas
warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan
bertanggungjawab.
109
108
Lamintang, PAF, Hukum Penintentier Indonesia Bandung : Armico, 1988, hal. 69.
109
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
69
Masyarakat sebagai kata dasar dari pemasyarakatan, ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an” mempunyai makna tempat dan jenis kata benda
sehingga pemasyarakatan dapat diartikan sebagai tempat untuk mewujudkan sesuatu dalam masyarakat.
110
Dengan demikian, pemasyarakatan adalah usaha untuk mengembalikan seseorang narapidana kepada kehidupan bermasyarakat
seperti sebelum ia melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman.
111
Dari pengertian di atas sebenarnya makna dari pemasyarakatan tidak lain adalah resosialisasi, yang menurut Bachruddin Soerjobroto dan Kepala Jawatan
Kepenjaraan Soedarman Gandasoebrata, tidak terdapat perbedaan yang prinsip dari kedua istilah di atas.
112
Secara umum pembinaan adalah segala usahatindakan yang berhubungan langsung dengan perencanaan, penyusunan, pengembangan, dan penggunaan
sesuatu secara berdaya guna dan berhasil guna.
113
Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun kembali menjadi orang baik dan berguna
bagi masyarakat. Atas dasar itu sasaran pembinaan adalah pribadi dan sikap narapidana, yang dipacu untuk membangkitkan harga diri serta mengembangkan
rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat. Masyarakat narapidana adalah sekumpulan orang atau suatu bentuk
masyarakat bersama yang terdiri dari orang-orang yang sedang menjalani masa
110
JCT. Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta : Aksara Baru, 1983, hal. 134.
111
J.S. Badudu, Membina Bahasa Indonesia Baku, Seri ke-2, Bandung : Pustaka Prima, 1980, hal. 79.
112
Romli Atmasasmita, 1982, Op. cit., hal. 31.
113
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, hal. 117.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
70
pidana disuatu tempat tertentu yaitu di lingkungan lembaga pemasyarakatan. Penekanannya dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara.
114
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa istilah masyarakat narapidana mempunyai pengertian sempit dan luas. Dalam arti sempit menunjuk
pada masyarakat narapidana yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan, sedangkan arti luas mencakup tentang pola kehidupan masyarakat di dalamnya
dan fungsi dari lembaga pemasyarakatan itu sendiri. Masyarakat narapidana adalah masyarakat yang tertutup sebagai akibat penerapan pidana hilangnya
kemerdekaan. Sistem pemasyarakatan dibangun atas dasar filosofi, teori dan mazhab
hukum pidana serta konteks sosial masyarakat yang berbeda dengan sistem kepenjaraan. Dilihat dari sudut teori kepenjaraan, sistem pemasyarakatan dapat
digolongkan kepada “Teori Resosialisasi”, yaitu “suatu proses interaksi antara narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan masyarakat, ke dalam proses
interaksi mana termasuk mengubah sistem nilai-nilai daripada narapidana, sehingga ia akan dapat dengan baik dan efektif mengadaptasi norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat”.
115
Dari pengertian tersebut berarti proses resosialisasi menghendaki perubahan sikap narapidana. Resosialisasi merupakan salah satu tujuan dari ide
individualisasi pidana yang lahir dari pemikiran mazhab modern. Ide individualisasi pidana memiliki karakteristik sebagai berikut:
114
Chaerudin, Masalah Prisonisasi Dalam Hubungannya Dengan Sistem Pemasyarakatan, Tesis Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, 1995, hal. 31.
115
Romli Atmasasmita, Op. cit, hal. 6, 41.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
71
a. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadiperorangan asas
personalitas. b.
Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah asas culpabilitas, ‘tiada pidana tanpa kesalahan’.
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini
berarti harus ada kelonggaran fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana jenis maupun berat ringannya sanksi dan harus ada
kemungkinan modifikasi pidana perubahanpenyesuaian dalam pelaksanaannya.
116
Dengan adanya pengaruh pandangan modern dalam hukum pidana, maka hakim diberikan kemungkinan yang cukup longgar untuk menetapkan jenis
pidana, tinggi rendahnya pidana dan cara pelaksanaan pidana, yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan si terhukum, jadi ada individualisasi pidana dalam
pemberian pidana.
117
Sehubungan dengan ide individualisasi pidana ini, Sheldon Glueck mengemukakan empat prinsip yang harus mendasari proses individualisasi pelaku
kejahatan, yaitu: 1
The treatment sentence-imposing feature of the proceedings must be sharply differentiated from the guilting phase Ciri pengujian laporan
peletakan kalimat harus benar-benar dibedakan dari pasetahap penentuan orang yang melakukan kejahatan.
116
Barda Nawawi Arief. Op.cit, hal. 43. Prinsip modifikasi pidana seperti ini dalam Rancangan Undang-undang KUHP telah diadopsi sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat 1, bahwa “Putusan
pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. Selain itu prinsip
individualisasi pidana juga terlihat dari pertimbangan dalam pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat 1 huruf a-g, yaitu dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a.
kesalahan pembuat tindak pidana; b.
motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c.
cara melakukan tindak pidana; d.
sikap batin pembuat tindak pidana; e.
riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana; f.
sikap batin dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g.
pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana. Hal serupa juga terlihat dalam Pasal 55 ayat 2, yang menentukan bahwa “Ringannya
perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.
117
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1987, hal. 136.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
72
2 The decision as to treatment must be made by a board or tribunal
specially qualified in the interpretation and evaluation of psichiatric, psiychological, and sociological data Keputusan mengenai pengujian
harus dilakukan oleh suatu badan ataupun pengadilan yang telah memenuhi syarat secara khusus dalam hal penafsiran dan evaluasi data
psikistris, psifisiologis, maupun data sosiologis.
3 The treatment must be modifiable in the light of scientific reports of
progress pengujian harus bisa dimodifikasi dalam hal atau sesuai dengan laporan kemajuan ilmiah.
4 The right of the individual must be safeuarded against posible
arbitrariness or other unlawful action on the part of the treatment tribunal. Hak individu harus dijamin atau dilindungi terhadap
kemungkinan kesewenang-wenangan maupun tindakan lainnya yang melanggar hukum atas pihak pengadilan.
118
Menurut penulis ide individualisasi pidana merupakan konsep atau gagasan yang menghendaki agar pidana disesuaikan dengan karakteristik dan
kondisi sipelaku. Dalam hal ini pemberian pidana disesuaikan dengan latar belakang individu pelaku tindak pidana.
Berdasarkan dari pengertian tersebut maka dalam pembinaan narapidana wanita harus berdasarkan karakteristiknya. Untuk itu pembinaan narapidana
wanita didasarkan atas umur, jenis kejahatannya dan lamanya pidana yang dijatuhkan. Pembinaan narapidana wanita dilembaga pemasyarakatan
dilaksanakan dalam bentuk pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian, namun di dalam pelaksanaannya pembinaan tersebut sama untuk semua
narapidana tanpa didasarkan atas karakteristik narapidana tersebut. Untuk kedepannya dalam pelaksanaan pembinaan narapidana wanita
berdasarkan ide individualisasi pidana disesuaikan dengan karakteristik narapidana wanita, agar narapidana wanita memiliki bekal keterampilan untuk
118
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 43-44.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
73
dapat hidup mandiri dan tidak lagi mengulangi perbuatan yang melanggar hukum serta dapat diterima kembali di tengah-tengah masyarakat.
Dikaitkan dengan tahapan dalam kebijakan hukum pidana, maka karakteristik dan prinsip-prinsip dari individualisasi pidana tersebut, tidak saja
mendasari pada tahap formulasi, tetapi juga secara konsisten harus terimplementasi pada tahap berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka dalam pelaksanaan pidana penjara berdasarkan sistem pemasyarakatan dalam implementasinya harus disesuaikan
dengan karakteristik dan kondisi si narapidana dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana perubahan penyesuaian dalam pelaksanaannya.
Dalam hal ini narapidana wanita tersebut harus diklasifikasikan berdasarkan usia, jenis kejahatan dan lama pidana yang dijatuhkan. Di samping
itu harus diketahui daerah tempat tinggal narapidana wanita tersebut guna mengetahui apakah keluarga narapidana berada di daerah lokasi lembaga
pemasyarakatan, sehingga ada kemungkinan si narapidana tersebut tidak merasa tersisih dari keluarganya.
Berdasarkan lamanya pidana yang telah dijalani narapidana wanita tersebut, maka akan dapat memberikan penilaian terhadap bentukjenis
pembinaan yang selama ini diterimanya didalam lembaga pemasyarakatan. Dengan demikian dapat diketahui apakah individualisasi pidana dalam
pembinaan narapidana wanita dapat terlaksana sesuai dengan sistem pemasyarakatan.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
74
Pemasyarakatan sebagai cara melaksanakan pidana dengan bimbingan dan pembinaan yang dipakai untuk membina narapidana. Dalam hal ini menurut
Poernomo, idenya tetap mendasarkan pada aliran dari teori pidana gabungan, sedangkan pelaksanaan pedoman kerja para petugas dalam bimbingan dan
pembinaan narapidana dipergunakan sistem pemasyarakatan.
119
Dalam upaya menyadarkan narapidana dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, dapat dilakukan melalui pembinaan dan
pembimbingan, yang meliputi pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan
watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Di samping itu diberikan
pembinaan kemandirian yang diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar narapidana dapat hidup mandiri dan kembali berperan sebagai anggota
masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Narapidana wanita bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak
berbeda dari manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana. Untuk itu kita harus mencari faktor-
faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan agama sehingga dapat ditemukan solusi yang
tepat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Anak yang bersalah, pembinaannya ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak, dan penempatannya harus dipisahkan sesuai dengan status
119
Bambang Poernomo, Op. cit, hal. 32.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
75
mereka masing-masing. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar perbedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka, demikian juga halnya dengan
narapidana wanita yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita dan penempatannya harus dipisahkan sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan
dan lamanya pidana yang dijatuhkan. Dengan demikian maka pembinaan yang diterimanya harus disesuaikan dengan karakteristik narapidana sehingga
individualisasi pidana dalam pembinaan narapidana wanita benar-benar dapat terlaksana sesuai dengan UU No. 12 1995.
Lembaga pemasyarakatan sebagai unjung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan
yakni mengembalikan narapidana menjadi warga masyarakat yang baik, taat pada hukum menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan agama, sehingga dapat
hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Untuk itu dilakukan rehabilitasi dan reintegrasi dalam membina narapidana sehingga
peran petugas pembina pemasyarakatan sangat menentukan keberhasilan pembinaan tersebut.
Sistem pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan narapidana menjadi warga masyarakat yang baik, juga bertujuan untuk
melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh narapidana, dan hal ini merupakan penerapan dari nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Dalam sistem pemasyarakatan narapidana berhak mendapat pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
76
ibadahnya, berhubungan dengan keluarga maupun pihak luar, memperoleh informasi dan memperoleh pendidikan yang layak. Untuk itu diperlukan
keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan, maupun dengan sikap yang menunjukkan bersedia menerima kembali narapidana
yang telah selesai menjalani pidananya. Untuk menjamin terselenggaranya hak-hak tersebut maka diadakan
pelaksana teknis pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan, dan juga tim pengawas dan pengamat yang memberi saran mengenai program
pembinaan serta berbagai sarana pendukung lainnya. Dengan kata lain subjek yang berperan dalam sistem pemasyarakatan adalah narapidana, petugas lembaga
pemasyarakatan, dan masyarakat. Ketiga unsur tersebut turut menentukan berhasil tidaknya sistem pemasyarakatan.
Dalam konteks pelaksanaan pidana penjara, individualisasi pidana berarti pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; dan harus
ada kemungkinan modifikasi pidana perubahanpenyesuaian dalam pelaksanaannya, sehingga individualisasi pidana dalam pembinaan narapidana
wanita sesuai dengan sistem pemasyarakatan. Untuk itu penulis mempergunakan kerangka pikir yang dikutip dari Sistem
Kehidupan Nasional, karya M. Solly Lubis
120
, yang dimodifikasi khusus dalam pelaksanaan ide dasar individualisasi pidana dalam pembinaan narapidana wanita
dengan sistem pemasyarakatan, seperti di bawah ini.
120
M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, Bandung : Mandar Maju, 1989, hal. 223.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
77
Skema Kerangka Pikir
Memanfaatkan skema kerangka pikir yang dimodifikasi ini, alur pemikiran penulis untuk meneliti dan menuangkannya dalam naskah disertasi dapat terlihat
benang merahnya yang jelas dan rasional. Mengacu pada skema M. Solly Lubis, yang diyakini bahwa skema ini
dapat mencerminkan suatu kerangka pikir atau alur pikir yang sistematis, yang
POTENSI NASIONAL: ̇
Lebih dari 50 penduduk Indonesia adalah kaum wanita
̇ Kebijakan hukum pidanapemidanaan menurut
RPJPN ̇
UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ̇
Penerapan hukum pidana dalam: - Formulasi
- Aplikasi - Eksekusi
SITUASI DAN KONDISI: ̇
Maraknya tuntutan kesetaraan jender ̇
Meningkatnya peranan wanita dalam sektor publik
̇ Meningkatnya jumlah kejahatan yang
dilakukan wanita ̇
Maraknya tuntutan perlindungan HAM ̇
Perkembangan hukum internasional di bidang Penintentier
̇ Lemahnya dukungan sistem hukum terhadap
pembinaan narapidana wanita Sila Kedua
Pancasila Kemanusiaan
yang adil dan beradab
Wawasan politik doktrin
yang mendasari kebijakan
ke depan. INTERAKSI
Garis politik hukum tentang
pembinaan narapidana
wanita
Berkembangnya Pembinaan
narapidana yang sesuai dengan
karakteristik narapidana wanita
tujuan pemidanaan agar narapidana
memiliki bekal keterampilan untuk
dapat hidup mandiri dan tidak
mengulangi perbuatannya serta
dapat diterima kembali di tengah-
tengah masyarakat
Umpan Balik
Umpan Balik
1 2
3 4
5 6
Prolegnas dan pelaksanaan peraturan
hukum yang lebih sesuai untuk pembinaan
narapidana wanita.
7 8
8
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
78
dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan proses-proses pembinaan narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan, yang didalamnya tercakup “ide individualisasi
pidana dalam pembinaan narapidana” yang secara khusus penulis teliti di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Adapun kerangka pikir yang
merupakan improvisasi skema M. Solly Lubis, adalah sebagai berikut : 1. Falsafah Pancasila dan sejarah budaya bangsa Indonesia sebagai landasan
dasar yang menjadi wawasan Indonesia untuk mengubah sistem pemenjaraan menjadi Sistem Pemasyarakatan, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sila kedua ini menegaskan, bahwa bangsa Indonesia memandang manusia sebagai makhluk yang dilahirkan sebagai insan yang baik. Wawasan
pandangan hidup bangsa Indonesia adalah manusia dilahirkan baik, bahkan adil dan beradab. Namun pada suatu saat dapat melanggar hukum karena
adanya pengaruh dari luar maupun gangguan organ jasmani dan rohani. Bung Karno di zaman Hindia Belanda pernah menghuni Lembaga Pemasyarakatan
Sukamiskin dan menulis di dinding: “Penghuni penjara ini bukan orang jahat melainkan hanya tersesat”. Menurut pandangan penulis, banyak hal atau
penyebab mengapa orang masuk penjara yang sekarang disebut dengan Lembaga Pemasyarakatan, bisa saja seseorang memang sengaja melakukan
suatu pelanggaran hukum, tetapi ada juga di antara mereka yang masuk penjara karena hal lain yang tidak mereka inginkan. Bagi mereka yang
tersesat yang disebut sebagai narapidana, jangan dihukum melainkan dibina untuk menjadi warga masyarakat yang baik.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
79
2. Potensi nasional dalam hubungannya dengan pembinaan narapidana wanita adalah sebagai berikut :
a. Lebih dari 50 penduduk Indonesia adalah kaum wanita;
b. Kebijakan hukum pidana dan pemidanaan menurut RPJPN;
c. Diundangkannya UU No. 12 1995 tentang Pemasyarakatan;
d. Penerapan hukum pidana dalam formulasi, aplikasi dan eksekusi.
3. Situasi dan kondisi dalam proses pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan adalah:
a. Maraknya tuntutan kesetaraan jender;
b. Meningkatnya peranan wanita dalam sektor publik;
c. Meningkatnya jumlah kejahatan yang dilakukan wanita;
d. Maraknya tuntutan perlindungan HAM dalam pembinaan narapidana;
e. Perkembangan hukum Internasional di bidang Penintensier;
f. Lemahnya dukungan sistem hukum terhadap pembinaan narapidana
wanita. 4. Wawasan politik doktrin yang mendasari kebijakan ke depan.
5. Ide dasar individualisasi pidana dalam rangka menyiapkan dan membekali narapidana kembali sebagai anggota masyarakat yang baik sebagai garis
politik hukum tentang pembinaan narapidana wanita. 6. Prolegnas dan pelaksanaan peraturan hukum yang lebih sesuai dalam
pelaksanaan sistem pemasyarakatan untuk pembinaan narapidana wanita. 7. Output keluaran atau hasil nyata Pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
Narapidana wanita memiliki bekal keterampilan dan iman taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat hidup mandiri, dan tidak mengulangi
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
80
perbuatan yang melanggar hukum, serta dapat diterima kembali di tengah- tengah masyarakat.
Pancasila memberi peluang yang amat besar untuk merumuskan tentang apa yang benar dan yang baik bagi manusia dan masyarakat Indonesia. Dengan
demikian pemidanaan dalam perspektif Pancasila harus berorientasi pada prinsip- prinsip sebagai berikut:
Pertama, pengakuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama manapun yang
dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan kepada penyadaran iman dari terpidana melalui mana ia dapat bertobat
dan menjadi manusia yang beriman dan taat.
Kedua, pengakuan tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh mencederai hak-hak asasinya yang paling
dasar serta tidak boleh menrendahkan martabatnya dengan alasan apapun.
Ketiga, menumbuhkan solidaritas kebangsaan dengan orang lain, sebagai sesama warga bangsa. Pelaku harus diarahkan kepada upaya untuk untuk meningkatkan
toleransi dengan orang lain, menumbuhkan kepekaan terhadap kepentingan bangsa, dan mengarahkan untuk tidak mengulangi kejahatannya. Dengan kata
lain bahwa pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa cinta terhadap bangsa.
Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang mampu mengendalikan diri, berdisiplin dan menghormati serta mentaati hukum sebagai
wujud keputusan rakyat.
Kelima, menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial, yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sesama
warga masyarakat. Dalam hal ini pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggung jawab untuk membebaskan orang yang dipidana dari kemelut dan kekejaman
kenyataan sosial yang melilitnya menjadi penjahat.
121
Berdasarkan uraian di atas maka dalam pembinaan narapidana berdasarkan ide individualisasi pidana harus tetap menghargai hak-hak asasi narapidana
sebagai manusia.
121
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2006, hal. 18-19.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
81
G. Metode Penelitian 1.