39
2. Implementasi ide individualisasi pidana dalam pelaksanaan pembinaan
terhadap narapidana wanita belum berjalan secara optimal; 3.
Pembinaan narapidana wanita dengan ide individualisasi pidana di masa yang akan datang harus dikembangkan sesuai amanat UU No. 12 1995 tentang
Pemasyarakatan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Di dalam melakukan penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk
memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.
57
Penulis akan mengemukakannya dengan teori-teori dasar.
Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam hukum pidana.
58
Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami
arti dan hakekatnya. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai arti dan hakekat pidana tersebut, perlu dikemukakan beberapa pendapat para ahli hukum.
Menurut Sudarto, “pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu”.
59
Sedangkan Roeslan Saleh menegaskan bahwa “pidana adalah reaksi
57
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Ghalia, 1982, hal. 37.
58
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung : Alumni, 1982, hal. 23.
59
Sudarto, Hukum Pidana IA, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1975, hal. 7.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
40
atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu”.
60
Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan beberapa pendapat tentang pengertian pidana, di antaranya pendapat Alf Ross bahwa pidana
merupakan reaksi sosial yang: a.
terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum,
b. dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan
dengan tertib hukum yang dilanggar, c.
mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi lain yang tidak menyenangkan,
d. menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.
61
Selanjutnya Muladi dan Barda Nawawi Arief berkesimpulan bahwa:
62
a. pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b.
pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang;
c. pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian pidana di atas, pada hakekatnya pidana itu adalah pengenaan derita sehubungan terjadinya tindak
pidana berdasarkan hukum yang berlaku. Pengenaan pidana betapapun ringannya pada hakekatnya merupakan
pencabutan hak-hak dasar manusia. Oleh karena itu kebijakan penggunaan pidana sebagai sarana politik kriminal harus dilandasi oleh alasan-alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Oleh
60
Roeslan Saleh,
Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara Baru, 1983, hal. 9.
61
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1992, hal. 4.
62
Ibid, hal. 4.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
41
karena itu sejak zaman dahulu orang telah berusaha untuk mencari jawaban atas persoalan “mengapa dan untuk apa pidana dijatuhkan terhadap orang yang
melakukan kejahatan?” Dalam rangka menjawab persoalan tersebut muncul berbagai teori tentang pemidanaan.
Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu:
a. teori absolut atau teori pembalasan vergeldings theorien,
b. teori relatif atau teori tujuan doel theorien,
c. teori menggabungkan verenigings theorien.
63
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori pemidanaan, maka di bawah ini akan dibahas satu persatu mengenai teori
tersebut. a.
Teori Absolut atau Teori Pembalasan Menurut teori ini pidana dimaksudkan untuk membalas tindak pidana yang
dilakukan seseorang. Jadi pidana menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana itu sendiri. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut:
Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang
mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan
manfaat penjatuhan pidana.
64
63
E. Utrecht,
Hukum Pidana I, Jakarta :Universitas Jakarta, 1958, hal. 157.
64
Andi Hamzah,
Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1993, hal. 26.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
42
Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang
menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana
untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan.
Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan
pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.
65
Mengenai masalah pembalasan itu J.E. Sahetapy menyatakan: Oleh karena itu, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata
hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa
bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam. Menurut hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku
dengan suatu pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan.
66
Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat
terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana yang ringan pun kadang-kadang dapat merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana
kembali. Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor, misalnya apakah pelaku tindak pidana itu
65
Andi Hamzah,
Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rinneka Cipta, 1994, hal. 31.
66
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Bandung : Alumni,1979, hal. 149.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
43
mempunyai lapangan kerja atau tidak. Apabila pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya akan tetap menjadi lingkaran setan,
artinya begitu selesai menjalani pidana ada kecenderungan untuk melakukan tindak pidana kembali.
Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen, yaitu:
67
a. tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;
b. pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana
untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat; c.
kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana; d.
pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat; e.
pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan
kembali pelanggar.
Oleh karena itu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berdasarkan Pancasila, teori pembalasan tidak mendapat tempat dalam sistem
pemidanaan di Indonesia. Dalam ajaran Hukum Pidana modern, teori pembalasan sudah ditinggalkan sejak abad ke 18.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai
reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di
dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari
pemidanaan yaitu :
68
67
Muladi dan
Arief, Op. cit, hal. 17.
68
Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum
Pidana, Cetakan I, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1995 hal. 12.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
44
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dehandhaving van de
maatschappelijke orde; 2.
Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. het herstel van het doer de misdaad onstane
maatschappelijke nadeel;
3. Untuk memperbaiki sipenjahat verbetering vande dader;
4. Untuk membinasakan si penjahat onschadelijk maken van de misdadiger;
5. Untuk mencegah kejahatan tervoorkonning van de misdaad
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief tentang teori relatif ini adalah: Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori
ini pun sering juga disebut teori tujuan utilitarian theory. Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada
tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” karena orang membuat kejahatan melainkan “nepeccetur” supaya orang jangan
melakukan kejahatan.
69
Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang
dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu: a prevensi umum generale preventie,
b prevensi khusus speciale preventie. Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan
sebagai berikut: “Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan
supaya pembuat dader tidak melanggar”.
70
69
Muladi dan
Arief, Op. cit., hal. 16.
70
E. Utrecht,
Op.cit, hal. 157.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
45
Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan
memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa
tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki
narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna. Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori
relatif atau teori utilitarian, yaitu: a.
tujuan pidana adalah pencegahan prevensi; b.
pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada
si pelaku saja missal karena sengaja atau culpa yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan. e.
pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat
diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
71
Selanjut Muladi dan Arief mengatakan bahwa teori relatif teori tujuan berporos pada tiga tujuan utama pemidanan, yaitu : Preventif, Deterrence, dan
Reformatif.
72
71
Muladi dan Arief, Op. cit, hal. 17.
72
Khusus mengenai tujuan preventif dan deterrence, salah seorang tokoh aliran klassik Jeremy Bentham, yang dikenal dengan ajaran utilitarianismenya, pernah mengajukan empat tujuan utama dari
pidana. 1 mencegah semua pelanggaran, 2 mencegah pelanggaran yang paling jahat, 3 menekan kejahatan, 4 menekan kerugianbiaya sekecil-kecilnya, Ibid, hal. 31.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
46
c. Teori Gabungan Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas
kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas teori
absolut dan teori relatif sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :
73
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidak adilan karena dalam
penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena
pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan
mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.
Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa
pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara
merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat.
Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
74
a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh
melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib
masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
narapidana.
c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua
hal di atas.
73
Koeswadji, Op.cit, hal. 11-12..
74
Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hal. 24.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
47
Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di
samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal- hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa
kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.
75
Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan
yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam
kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: a pencegahan umum dan
khusus, b perlindungan masyarakat, c memelihara solidaritas masyarakat, d pengimbalanpengimbangan.
76
Dalam Naskah Rancangan Undang-Undang RUU Republik Indonesia Nomor …. Tahun 2005 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mengenai
tujuan pemidanaan diatur dalam Pasal 54, yaitu:
75
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. cit, hal. 22. Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan
bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat, diterjemahkan dari
kutipan Oemarseno Adji, Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga, 1980, hal. 14.
76
Muladi, Op.cit, hal. 61.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
48
a. Pemidanaan bertujuan:
1 Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat; 2
Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3 Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan
4 Membebaskan rasa bersalah pada terpidana,
5 Memaafkan terpidana.
b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan
aspek pidanapemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut dengan memperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan
harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara sipelaku dengan sikorban.
77
Dari sejumlah pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana dan pemidanaan sebagaimana disebutkan di atas, kesemuanya menunjukkan bahwa
tujuan pidana dan pemidanaan itu tidaklah tunggal, misalnya untuk pembalasan semata, atau untuk pencegahan saja. Akan tetapi penulis sependapat bahwa
tujuan pidana dan pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara integratif. Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga R
dan satu D, yakni
78
Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence.Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna
bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat, juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti
masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar hukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence
77
J. E. Sahetapy, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Pro Justitia, Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3, Juli 1989, hal. 22.
78
Andi Hamzah, 1994, Op. cit, hal. 28.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
49
berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk
melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu :
79
Pertama, memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berarti menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama,
sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial
dalam masyarakat. Kedua, pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap
pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada sit terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan merupakan
proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar.
Ketiga, pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan proses reformasi. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu
untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.
Meskipun perkembangan tentang tujuan pidana telah mengalami kemajuan terutama disebabkan dari pengaruh ilmu tentang Penologi yang mempelajari
pertumbuhan, arti dan faedah dari pemidanaan.
80
Selanjutnya Bambang Poernomo mengatakan, pada waktu sekarang telah banyak karangan Penologi yang menerangkan
tentang perkembangan dan pelaksanaan “correction” sebagai usaha dalam menghadapi orang-orang yang telah mendapat putusan pidana penjara, dengan
cara progresif telah meniadakan sifat pidana dari pembalasan dan nestapa sama sekali dan menggantikan dengan pidana bimbingan dan pembinaan. Ada
anggapan bahwa pembalasan dan nestapa telah dimulai telah selesai pada waktu orang pelanggar hukum itu dihadapkan di muka pengadilan. Sejak
putusan hakim pidana dijatuhkan habislah sifat pembalasan dan nestapa dari pidana, yang selanjutnya tinggallah tugas bimbingan dan pembinaan
narapidana sesuai dengan pemidanaan treatment.
81
79
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 45.
80
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta : Ghalia Indonesia , 1994, hal. 32.
81
Ibid, hal. 32.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
50
Dalam rangka memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan berguna, dan dengan perkembangan persepsi tentang hak-hak asasi manusia, dari
hasil pemikiran ahli hukum pidana muncul dan berkembang beberapa aliran atau mashab dalam hukum pidana. Secara garis besar, aliran pemikiran tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam dua aliran, yaitu aliran klasik dan aliran modern.
82
Dalam perkembangannya kedua aliran tersebut kemudian diperluas menjadi aliran neo klasik dan aliran perlindungan masyarakat.
83
Mengenai ciri-ciri atau pandangan dasar dari masing-masing aliran hukum pidana tersebut adalah sebagai
berikut:
84
Tabel 4 Perbandingan Aliran dalam Hukum Pidana
Aliran Klasik Aliran Modern
̌
Definisi hukum dari kejahatan
̌
Menolak definisi hukum dari kejahatan
̌
Pidana harus sesuai dengan kejahatan
̌
Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana
̌
Doktrin kebebasan kehendak indeternimisme
̌
Doktrin deternimisme
̌
Pidana mati dapat diterima untuk beberapa tindak pidana
̌
Penghapusan pidana mati
̌
Tidak ada riset empiris
̌
Riset empiris
̌
Pidana ditentukan secara pasti
̌
Pidana yang ditentukan secara pasti
82
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. cit, hal. 22. Mengenai dasar pemikiran kedua aliran ini, lihat Romli Atmasasmita dalam Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung : Refika
Aditama, 2005, hal. 10-11.
83
Muladi, 1992,
Op. cit., hal. 41.
84
Ibid. hal. 41.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
51
Neo Klasik Aliran Perlindungan Masyarakat
̌
Modifikasi dari doktrin kebebasan kehendak
̌
Pertanggungjawaban atas pengakuan, penggunaan, dan
pengembangan atas rasa tanggung jawab dari setiap
manusia pelaku tindak pidana
̌
Diterimanya keadaan-keadaan yang meringankan
̌
Kejahatan berada di atas ekspresi kepribadian individu
̌
Modifikasi dari pertanggung- jawaban
̌
Keseimbangan individu dan masyarakat
̌
Masuknya kesaksian ahli dalam peradilan
̌
Tidak menghendaki ketergantungan ilmiah
Aliran Klasik merupakan respon terhadap kesewenang-wenangan
penguasa yang menghendaki agar setiap orang dapat memperoleh kepastian hukum. Aliran ini menghendaki adanya pidana yang seimbang, artinya pidana
yang dijatuhkan sesuai dengan tindakan pidana yang dilakukan. Tokoh aliran ini antara lain Cesare Beccaria, dan Jeremy Bentham.
Menurut aliran klasik ini hukum pidana harus berpijak pada tiga asas utama, yaitu : 1 asas legalitas, 2 asas kesalahan atau culpabilitas, dan 3 asas
pengimbalan yang sekuler.
85
Aliran modern mengemukakan agar penjatuhan pidana tidak didasarkan pada pelaku tindak pidana dader Ertrecht.
86
Penjatuhan pidana harus
85
Muladi dan Arief, Op. cit. hal. 26. Lihat juga Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005, hal. 76-77.
86
Bandingkan dengan pemikiran aliran klasik yang menghendaki penjatuhan pidana didasarkan pada perbuatan daad Etrafrect yang sering dikatakan hanya berorientasi kebelakang back ward
looking. Dalam paradigma klasik pertimbangan yang bersifat individual dalam penjatuhan pidana tidak dikenal. Hal ini berbeda dengan paradigma modern yang justru mengharuskan adanya individualisasi
pidana. Dalam konteks ini aliran modern sering dilawankan dengan aliran klasik yang lebih berorientasi pada masa depan pelaku atau yang sering disebut for ward looking.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
52
didasarkan pada sifat-sifat dan keadaan pribadi dari pelaku. Tokoh aliran ini antara lain Lambroso dan Van List. Di Indonesia kegagalan hukum modern dalam
menyelesaikan persoalan disebabkan karena hukum modern lebih memperhatikan perlindungan kemerdekaan individu dari pada sebagai pengantar keadilan.
87
Berdasarkan kedua konsepsi aliran hukum pidana tersebut aliran klasik dan aliran modern lahirlah ide invidualisasi pidana,
88
yang menghendaki agar pidana disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi sipelaku.
Setelah Perang Dunia II aliran modren berubah menjadi alirangerakan perlindungan masyarakat. Secara konseptual gagasan-gagasan atau ide yang
dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat adalah: 1.
Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana.
2. Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial a human
and social problem yang tidak begitu saja dipaksakan kedalam perundangan.
3. Kebijakan pidana bertolak dari konsepsi pertanggung jawaban bersifat
pribadi individual responsibility yang menjadi kekuatan penggerak utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggung jawaban pribadi ini
menekankan pada kewajiban moral individu ke arah timbulnya moralitas sosial.
89
Aliran neo klasik muncul sebagai reaksi atas aliran klasik, menurut aliran Neo Klasik, pidana yang dijatuhkan oleh aliran klasik sangat berat dan merusak
semangat kemanusiaan.
90
Menurut aliran Neo Klasik, pidana yang dikehendaki aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang ada. Oleh
karenanya harus dibatasi dengan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan, dan memberi lebih banyak ruang untuk melakukan kebijakan
87
Satjipto Rahardjo, Supremasi Hukum Yang Benar, Harian Kompas, 6 Juni 2002, hal. 4.
88
Teguh Prasetyo, Op. cit, hal. 78.
89
J.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penitensier di Indonesia Jakarta: Penerbit Alumni Ahaem – Petehaem, 1996, hal. 20.
90
Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,, Jakarta : Djambatan, 2001, hal. 37.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
53
keadilan berdasarkan keadaan-keadaan yang objektif. Pidana selain sebagai pembalasan juga harus digunakan untuk perbaikan individual pelakunya.
91
Dengan demikian, aliran Neo Klasik mulai mempertimbangkan hal-hal yang bersifat individual dalam kaitannya dengan penjatuhan pidana. Artinya
pemidanaan tidak saja dijatuhkan berdasarkan pada perbuatan, tetapi juga berdasarkan pada pertimbangan individu pelaku tindak pidana. Satu hal yang
tampak dari adanya pergeseran pandangan antara aliran klasik dan aliran neo klasik adalah ditinggalkannya sistem perumusan pidana secara pasti definite
sentence. Sebagai gantinya dikemukakan sistem pidana yang dirumuskan secara tidak pasti indefinite sentence.
92
Sebagai bentuk konkrit dari beragam pidana adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 KUHPidana dirumuskan macam-macam sanksi pidana
sebagai berikut:
93
91
Budi Prastowo, Eksistensi Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah Hukum, Pro Justitia, Jurnal Hukum, tahun XXII No. 2, April 2004, hal. 82.
92
Dengan Sistem definite sentence dimaksudkan adalah sistem pidana yang sudah dirumuskan secara pasti. Dalam sistem ini hukum tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang didakwa
melakukan tindak pidana di luar yang sudah secara pasti dirumuskan dalam Undang-Undang Pidana yang harus dijatuhkan oleh hakim adalah pidana yang sudah tercantum dalam undang-undang itu
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana lain, baik jenisnya maupun bobotnya.
Sementara dalam Sistem Indefinite Sentence pidana yang dirumuskan dalam undang-undang hanyalah batas minimum dan maksimumnya. Hakim mempunyai kebebasan untuk menjatuhkan pidana
kepada seorang terdakwa dalam batas minimum dan maksimum tersebut Dalam hal ini tampak juga mulai adanya peranan hakim didalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat.
Hakim tidak hanya sebagai corong undang-undang, tetapi mempunyai kewenangan untuk menafsirkan undang-undang .
93
Dalam perkembangan perumusan Rancangan Undang-undang KUHP Tahun 2005, mengenai jenis pidana diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 67. Pidana pokok terdiri dari:
a. pidana penjara;
b.
pidana tutupan;
c.
pidana pengawasan;
d.
pidana denda, dan
e.
pidana kerja sosial. Sedangkan pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif.
Pidana tambahan diatur didalam Pasal 67, terdiri dari: a.
Pencabutan hak tertentu;
b.
Perampasan barang tertentu dan atau tagihan;
c.
Pengumuman putusan hakim;
d.
Pembayaran ganti kerugian; dan e.
Pemenuhan kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
54
Pidana terdiri atas: a.
Pidana Pokok: 1
Pidana mati; 2
Pidana penjara; 3
Kurungan; 4
Denda. b.
Pidana Tambahan: 1
Pencabutan hak-hak tertentu; 2
Perampasan barang-barang tertentu; 3
Pengumuman putusan hakim. Khusus untuk pidana penjara, maka dalam implementasinya pada saat ini
dilaksanakan melalui suatu sistem yang dinamakan sistem pemasyarakatan. Konsep pemasyarakatan yang muncul pada tahun 1964, merupakan sistem baru
untuk membina para pelanggar hukum. Hal ini merupakan hasil gagasan Sahardjo, pada saat menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas
Indonesia yang menyatakan antara lain tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Kata pemasyarakatan dimaksudkan untuk menggantikan kata
penjara, dengan harapan agar pembinaan narapidana tersebut bernafaskan nilai- nilai Pancasila serta situasi dan kondisi narapidana yang bersangkutan.
Walaupun narapidana tersebut adalah orang-orang yang tersesat namun mereka juga berhak mendapat perlindungan sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Prinsip-prinsip mengenai pembinaan narapidana yang bernafaskan Pancasila baru dirumuskan pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Dinas Direktorat
Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat yang isinya sebagai berikut:
94
1. ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan
sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;
94
C. Djisman Samosir, Peranan Masyarakat Dalam Pembinaan Narapidana, Teks Orasio Dies, Bandung : Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 1996, hal. 22-23.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
55
2. penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara. Ini berarti
bahwa tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik, baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan ataupun
penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh narapidana dan anak didik hendaknya hanyalah dihilangkannya kemerdekaannya untuk
bergerak dalam masyarakat bebas;
3. berikan bimbingan, bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat. Berikan
kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan
rasa hidup kemasyarakatannya;
4. negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat
daripada sebelumnya dijatuhi pidana, misalnya dengan mencampurbaurkan narapidana dan anak didik, yang melakukan tindak
pidana berat dengan yang ringan, dan sebagainya;
5. selama kehilangan kemedekaan bergerak, para narapidana dan anak didik
harus diperkenankan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain kontak dengan masyarakat dapat terjelma dalam bentuk
kunjungan, hiburan ke dalam lembaga pemasyarakatan yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga;
6. pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
bersifat sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan negara pada waktu-
waktu tertentu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang ada di masyarakat, dan yang menunjang pembangunan,
umpamanya usaha meningkatkan produksi pangan;
7. bimbingan dan didikan yang diberi kepada narapidana dan anak didik
harus berdasarkan Pancasila. Antara lain ini berarti bahwa kepada mereka harus ditanamkan jiwa kegotong-royongan, jiwa toleransi, jiwa
kekeluargaan, di samping pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan spiritual;
8. narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah
manusia. Martabatnya dan perasaannya sebagai manusia harus dihormati; 9.
narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialaminya.
10. disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung rehabilitatif,
korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.
Kesepuluh prinsip yang ditetapkan dalam Konferensi Lembang tersebut merupakan dasar yang harus dilaksanakan oleh petugas lembaga pemasyarakatan
demi mengembalikan rasa harga diri narapidana dan mempersiapkan mereka
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
56
untuk bisa hidup bermasyarakat dengan baik. Proses pembinaan narapidana memerlukan dukungan dari berbagai pihak terutama masyarakat sebagai tempat
akhir narapidana melanjutkan kehidupan dan penghidupannya. Pembinaan narapidana harus memperhatikan latar belakang narapidana,
antara lain tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonominya agar tujuan pembinaan dapat diwujudkan dengan baik. Narapidana perlu dibekali dengan
berbagai keterampilan dan perlu dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosial agar dapat menumbuhkan rasa percaya diri narapidana dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Cara pandang masyarakat terhadap narapidana perlu menjadi perhatian dalam menentukan model-model pembinaan.
Menurut Romli Atmasasmita, tujuan penghukuman adalah “mencegah seseorang melakukan kejahatan dan bukan merupakan pembalasan dendam dari
masyarakat”.
95
Sehubungan dengan itu Herbert L. Packer menuliskan tentang pemidanaan itu sebagai berikut: “…punishment is a necessary but lamentable from of social
control. It is lamentable because it inflicts suffering in the name of goals whose achievement is a matter of chance”.
96
Walaupun Packer mengakui pidana sebagai hal yang perlu, namun hal itu pidana tetap disesalkan, sebagai salah satu bentuk kontrol sosial karena pidana
itu mengandung penderitaan. Oleh karena itu kebijakan penggunaan pidana harus dilakukan dengan dasar filosofi, teori dan perkembangan pandangan masyarakat
terhadap penghormatan nilai-nilai hak asasi manusia.
95
Romli Atmasasmita, Dari Pemendjaraan ke Pembinaan Narapidana, Bandung : Alumni, 1971, hal. 5.
96
Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University, Press’ California, 1968, hal. 62.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
57
Selanjutnya menurut Packer bahwa tujuan pemidanaan ialah pemberian penderitaan pada si pelaku kejahatan dan untuk mencegah kejahatan. Hal ini
dapat dilihat dari tulisannya berikut : “in my view, there are two and only two ultimate purpose to be served by criminal punishment : the reserved infliction of
suffering on evildoers and the prevention of crime.
97
Berdasarkan pendapat Packer di atas bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana harus menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, dan
untuk mencegah terjadinya kejahatan. Selanjutnya Packer mengatakan bahwa pidana merupakan suatu kebutuhan, tetapi merupakan bentuk kontrol sosial yang
disesalkan, karena ia mengenakan penderitaan atas nama tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan suatu kemungkinan.
98
Menurut Gross, hukum yang dijatuhkan itu bersifat a regrettable, necessity keharusan yang patut disesalkan. Karena penjatuhan pidana
menimbulkan derita, maka perlu suatu pembenaran dan harus dicari dasarnya, maka perlu seseorang merupakan sesuatu yang jahat namun karena seseorang itu
melakukan kesalahan, maka harus dijatuhi pidana. Jadi, penjatuhan pidana dibenarkan walaupun menimbulkan derita dan penurunan moral seseorang.
Menurut Gross, hukuman untuk orang yang bersalah memang sudah merupakan sesuatu yang benar. Menurutnya ada lima teori pemidanaan yaitu :
99
1. Removal of socially dangerous persons 2. Rehabilitation of socially dangerous persons
97
Ibid, hal. 36.
98
Muladi, Op. cit, hal. 61.
99
Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, New York : Oxford University Press, 1979, hal. 66 – 73.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
58
3. Paying one’s debt to society 4. The intimidation version of deterrence
5. The persuasion of deterrence 1. Removal of Socially Dangerous Persons
Menurut teori Removal of Socially Dangerous Persons, orang yang banyak berbuat kejahatan sebaiknya diasingkan dari masyarakat dengan maksud agar
orang tersebut dapat merenungkan perbuatannya yang telah merugikan masyarakat. Teori ini amat sulit untuk dilaksanakan karena harus dapat
mengidentifikasi dengan benar golongan mana yang melakukan tindak pidana. Mereka ini berbaur dengan golongan yang patuh hukum, juga dianggap sulit
karena tempat mereka itu seperti tempat di mana mereka bisa menjadi lebih jahat. Kita sudah sepakat bahwa norma harus dipatuhi, jika dilanggar menjadi ancaman
bagi norma itu sendiri. 2. Rehabilitation of Socially Dangerous Persons
Menurut teori Rehabilitation of Socially Dangerous Persons, orang-orang yang secara sosiologis dianggap berbahaya pantas untuk direhabilitasi, jika ingin
merubah dan memperbaikinya, maka harus diberikan sanksi pidana. 3. Paying One’s Debt Society
Teori Paying One’s Debt Society, mengemukakan membayar hutang seseorang melalui hakim dan jaksa kepada masyarakat. Di sini terjadi pergeseran
nilai karena belum tentu orang itu tobat. Ini berasal dari kenyataan bahwa si pelaku dengan menjalani hukuman pidana berarti ia membayar hutangnya kepada
masyarakat.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
59
4. The Intimidation Version of Deterrence Dalam teori The Intimidation Version of Deterrence, juga menekankan
kepada special deterrence untuk mengintimidasi mereka yang tergoda melakukan kejahatan maupun untuk orang itu sendiri, maka kesengsaraan lebih besar
daripada kenikmatan yang diperoleh dari kejahatan itu. Dalam hal ini penulis menyetujui tindakan tersebut, karena tindakan ini mungkin lebih efektif untuk
mencegah berbuat kejahatan lebih lanjut. Karena pada saat ini banyak pelaku kejahatan beranggapan bahwa kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan lebih
baik daripada di luar lembaga pemasyarakatan. Di dalam lembaga pemasyarakatan lebih banyak binanya daripada derita yang diterimanya. Untuk
menahan godaan agar ia tidak melakukan kejahatan tersebut, maka kepadanya harus diberikan pidana yang besar dan berat. Untuk sebagian orang deterrence ini
tidak ampuh, bagi mereka yang tidak ada rasa takut terhadap risiko yang akan diterima apabila ia melakukan kejahatan, bagi pelaku ini memang diperlukan
tindakan tegas dalam pemberian hukuman yang berat. 5. The Persuasion of Deterrence
Teori The Persuasion of Deterrence, membujuk kita untuk menggambarkan agar tidak melakukan perbuatan jahat. Sebab akibat dari perbuatan itu akan
menimbulkan derita yang berat. Di samping teori-teori tersebut di atas, Gross
100
menyimpulkan dalam A Preferred Theory. Dalam teori ini dikenal istilah Anti-impunity artinya anti
kebal hukum. Jika kita ingin hukum itu berpengaruh kuat dalam mempertahankan masyarakat yang patuh hukum maka orang yang melanggar hukum patut
dihukum. Jadi, tidak ada orang yang kebal hukum.
100
Ibid, hal. 73.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
60
Berdasarkan uraian teori-teori di atas maka penulis menggunakan pisau analisa kriminologis untuk menganalisa permasalahan dalam disertasi ini dengan
meninjau kondisi sosial budaya dan faktor struktural dari suatu masyarakat di mana ia berada, yang oleh Sahetapy disebutnya sebagai pisau analisa
“Sobural”.
101
Di samping itu Sutherland mengemukakan dalam teorinya “asosiasi diferensial”, yaitu perilaku jahat dapat dipelajari sebagaimana perilaku
lainnya. Dalam hal ini faktor lingkungan sosial juga ikut menentukan.
102
Pisau analisis kriminologis yang dimanfaatkan penulis dengan pendekatan proses belajar learning process. Pisau analisa ini sangat tepat mengingat
seorang pelaku kejahatan baik pria maupun wanita bahkan anak-anak atau pun remaja, dalam melakukan perbuatan yang melanggar hukum disebut sebagai
tindak pidana atau berbuat kejahatan melalui proses belajar learning process. Proses belajar yang mempengaruhi seseorang menjadi pelaku kejahatan
atau mentaati hukum yang berlaku melalui tahap-tahap proses sebagai berikut: 1.
Seringnya seseorang bertemu dalam suatu kelompok dalam hubungan sosial dan budayanya, seperti bergaul dengan olahragawan, penjudi, pencuri, dan
lain-lain termasuk mereka yang secara tersembunyi maupun secara terang- terangan melibatkan diri dalam perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana. 2.
Lamanya bergaul dalam arti sering bertemu dalam waktu yang cukup lama sehingga menjurus ke arah hubungan yang intim dan cocok.
3. Mendapatkan kebersamaan dan kecocokan dalam hubungan yang sering dan
lama dalam suatu kelompok atau sub budaya kelompok tertentu, misalnya
101
J.E. Sahetapy, Pisau Analisis Kriminologi, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 61.
102
Sutherland dalam J.E. Sahetapy, Ibid, hal. 63.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
61
karena kerab kali dan lama hubungan dengan para penjudi atau dengan orang yang terlibat dalam pengguna narkoba, maka yang bersangkutan memandang
penyalahgunaan narkoba, perjudian dan lain-lain dianggap sebagai hal yang wajar.
4. Prioritas dalam arti sering bertemu, lamanya bergaul serta kecocokan yang
diperoleh, maka seseorang memilih tipe perilaku tertentu, apakah itu tindak pidana atau yang bukan tindak pidana.
Setiap individu dalam hubungannya dengan pergaulan hidup yang beraneka ragam atau disebut sebagai diffrensiasi sosial, yang diwarnai oleh
pilihan apakah individu menjadi baik atau sebaliknya. Namun demikian para pakar sosiologi dan kriminologi menekankan bahwa perilaku setiap individu
dalam suatu proses belajar dipengaruhi oleh berbagai macam perilaku individu lainnya. Dalam proses belajar seseorang akan menjadi baik atau jahat, tergantung
kepada individu yang bersangkutan, apakah ia menerima atau menolak perbuatan jahat tersebut. Dalam hal ini Akers mengemukakan teorinya yang disebut social
learning theory. Ia berpendapat bahwa lingkungan sosial merupakan sumber utama reinforcement pertolongan. Hal ini berarti bahwa lingkungan sosial
dapat mempengaruhi perilaku individu, apabila lingkungan sosialnya baik maka ia akan menjadi baik, dan sebaliknya apabila lingkungan sosialnya buruk atau
jahat maka ia akan menjadi jahat.
103
Secara akademik pisau analisa kriminologis khususnya teori proses belajar, berlaku pula dalam mengembangkan sifat dan watak kepribadian individu
103
Akers, dalam J.E. Sahetapy, Ibid, hal. 67.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
62
yang dapat mendukung pergaulan sosial yang baik pula. Untuk itulah penulis melakukan pendekatan “Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dalam
Pembinaan Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan”.
Ternyata pisau analisa proses belajar ini menemui banyak kecocokan dalam penelitian penulis, yaitu seseorang individu wanita yang dipidana dapat
diperbaiki melalui pembinaan individualisasi pidana. Sebagaimana yang dikemukakan oleh J.E. Sahetapy bahwa pembinaan berfungsi sebagai pembinaan
mental dan mentransformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia yang religius. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa meskipun terpidana berada
di dalam di lembaga pemasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh dikesampingkan, demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran,
sifat, kebiasaan, dan tingkah laku jahat.
104
Untuk itu pembinaan narapidana dilakukan secara komprehensif, yakni melalui proses pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan
kepribadian diarahkan kepada pembinaan mental dan watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya. Di samping itu pembinaan kemandirian diarahkan
kepada pembinaan bakat dan keterampilan agar narapidana dapat hidup mandiri. Dalam hal ini pembinaan kepribadian yang berlangsung di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan meliputi kegiatan pembinaan kerohanian, pendidikan umum, olah raga dan hiburan. Sedangkan
104
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: Rajawali Pers, 1982, hal. 284.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
63
pembinaan kemandirian meliputi kegiatan pembinaan keterampilan berupa salon kecantikan, menjahit, menyulam dan lain-lain.
Dalam memanfaatkan pisau analisa kriminologis ini penulis mendapat keyakinan bahwa learning process dapat diberlakukan dalam kesejajaran, baik
dalam menganalisa sebab-sebab terjadinya perbuatan kejahatan tindak pidana, demikian juga dalam pemanfaatan proses belajar dalam pembinaan narapidana
untuk disiapkan sebagai bekal bagi para narapidana wanita untuk kembali ke masyarakat, dan memiliki bekal keterampilan untuk dapat hidup mandiri, dan
tidak lagi mengulangi perbuatannya. Berdasarkan Pasal 27 UUD 1945 secara hukum kaum wanita di Indonesia
mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria. Hal ini berarti peranan wanita meliputi berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, dan sosial
budaya. Ketentuan ini dianggap sebagai mandat untuk memberikan akses dan kontrol yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang atas
dasar mandat itu pula pemerintah Indonesia meratifikasi beberapa konvensi internasional yang bertujuan menghapuskan diskriminasi dan meningkatkan
status perempuan. Seperti Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Negara telah mengambil berbagai tindakan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, memajukan dan memperbaiki keadaan perempuan serta
menjamin kebebasan fundamental dan persamaan haknya. Upaya-upaya ini telah dilakukan oleh pemerintah, baik melalui GBHN, Repelita, maupun undang-
undang sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, serta dengan mendirikan
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
64
organisasi atau lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut. Namun upaya-upaya ini dilandasi oleh ideologi gender yang
memperkuat stereotip dan peran-peran gender yang hidup dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa penghalang bagi pengembangan diri perempuan untuk
memperoleh gender yang dilestarikan oleh negara untuk tujuan-tujuannya sendiri.
105
Negara memang tidak menciptakan nilai-nilai gender tersebut namun mengukuhkan nilai-nilai gender melalui berbagai kebijakan maupun peraturan
perundang yang ada. Dengan demikian negara tidak menciptakan keadaan sosial dan budaya yang kondusif bagi kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Asumsi bahwa perempuan adalah pengurus utama keluarga, lemah dan harus dilindungi juga tampak pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, seperti halnya larangan kerja malam bagi perempuan. Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya
memasukkan kebijakan perempuan dalam GBHN pada tahun 1978, yang populer dengan kebijakan peran ganda perempuan. Kebijakan ini didasarkan pada asumsi
bahwa selama ini kaum perempuan hanya berperan sebagai istri dan ibu, sehingga dianggap tidak mempunyai peran atau tidak memberikan konstribusi apapun
dalam pembangunan. Oleh karena itu kaum perempuan didorong untuk berpartisipasi aktif di sektor publik, sambil tetap harus menjalankan fungsinya
sebagai istri dan ibu.
106
.
105
Nursyahbani Katjasungkana, Liza Hadiz, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan, Jakarta : Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan tanpa tahun, hal. 37.
106
Syafian Hasyim, Ed, Menakar Harga Perempuan, Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, Bandung : Nizam, 1999, hal. 73
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
65
Hal ini berarti partisipasi perempuan dalam pembangunan harus selaras, serasi dan seimbang dengan tugasnya sebagai isteri dan ibu. Untuk itu
kemampuan wanita perlu ditingkatkan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, agar wanita dapat berperan aktif dan memanfaatkan kesempatan
yang ada untuk secara maksimal berfungsi sebagai mitra sejajar pria dalam pembangunan. Dalam hal ini berarti bahwa wanita telah dapat mengejar berbagai
ketinggalannya dan mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam pembangunan. Namun di dalam kenyataannya sering terjadi diskriminasi
terhadap perempuan dengan tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan hak- hak perempuan.
Diskriminasi ini merupakan akar dari berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh wanita, misalnya kesempatan untuk mengikuti pendidikan dianggap
tidak penting oleh keluarga dan masyarakat, sedangkan untuk pria pendidikan dianggap sangat penting. Pembedaan ini mengakibatkan ketertinggalan wanita
dalam tingkat pendidikan yang menimbulkan ketertinggalan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya. Dengan adanya diskriminasi ini maka posisi wanita
kelihatan lebih rendah daripada laki-laki. Diskriminasi ini merupakan manifestasi ketidak adilan gender, yang disebabkan oleh ideologi gender, struktur kekuasaan
dalam masyarakat, dan sistem produksi yang didukung oleh sistem hukumnya.
107
Ketidak adilan gender yang lahir dari perbedaan gender dapat dilihat dari berbagai bentuk ketidakadilan, seperti Marginalisasi peminggiran, yang terjadi
di segala bidang misalnya perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak
107
Agneswidanti, Hukum Berkeadilan Jender, Harian Kompas, 22 April 2005, hal. 10.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
66
layak, baik dari segi gaji maupun status pekerjaan. Subordinasi penomorduaan, yakni adanya anggapan bahwa perempuan lemah dan tidak dapat memimpin,
sehingga perempuan menjadi nomor dua setelah laki-laki. Kekerasan, yakni perempuan rentan mengalami kekerasan, seperti penganiayaan, perkosaan,
pelecehan, dan lain sebagainya, beban kerja lebih banyak, dan jam kerja lebih panjang serta sosialisasi ideologi peran gender. Diskriminasi terhadap perempuan
ini terus berlangsung, seperti dibidang pekerjaan, perempuan merupakan buruh murah dan mendominasi sektor-sektor yang memiliki keterampilan rendah.
Sehubungan dengan itu maka di Indonesia telah diupayakan kesetaraan gender sejak tahun 1998, dalam GBHN dikemukakan bahwa perempuan
diposisikan sebagai penggerak pembangunan nasional. Perjuangan kesetaraan keadilan gender menjadi perhatian yang sangat menarik, sehingga berbagai
kebijakan dilakukan dalam upaya pemberdayaan perempuan. Untuk itu telah dibuat dasar hukum kebijakan Pemberdayaan Perempuan,
yakni: a.
Undang-Undang Dasar 1945. b.
GBHN 1999 tentang peningkatan peran dan kedudukan perempuan melalui Kebijaksanaan Nasional untuk mencapai kesetaraan dan keadilan
gender. c.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang CEDAW Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women.
d. Undang-undang Nomor 25 tentang Propenas.
e. Keppres Nomor 101 tentang Tugas Fungsi Kementrian Pemberdayaan
Perempuan.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
67
Kebijakan ini mempunyai visi mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dan misinya adalah menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, menegakkan hak-hak asasi perempuan, dan meningkatkan kualitas hidup perempuan di sektor
strategis. Namun didalam kenyataannya visi dan misi ini belum terwujud, karena
sering terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan seperti pemerkosaan, pelecehan, penganiayaan, dan lain-lain. Tindak kekerasan dalam rumah tangga
juga sering terjadi, tetapi korbanperempuan tersebut tidak mau melaporkan perbuatan suaminya ke polisi dengan alasan suaminya secara ekonomi masih
membantunya. Hal-hal seperti tersebut di atas sering menimpa kaum wanita dengan
alasan ketergantungan kepada suami atas dasar ekonomi. Atas dasar ekonomi ini jugalah menyebabkan kaum wanita banyak melakukan tindak pidana sehingga ia
harus menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan UU No. 12 1995, maka pembinaan yang dilakukan haruslah didasarkan kepada pembinaan
kepribadian dan pembinaan kemandirian, dengan tujuan agar narapidana memiliki bekal keterampilan untuk dapat hidup mandiri dan tidak mengulangi
perbuatannya lagi, sehingga ia dapat diterima kembali di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu kebijakan penggunaan pidana harus dilakukan
dengan dasar filosofi, teori dan perkembangan pandangan masyarakat terhadap penghormatan nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itulah maka dibangun suatu
sistem baru dalam pelaksanaan pidana penjara di Indonesia yang disebut dengan sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan ini dibangun atas dasar filosofi,
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
68
teori dan mazhab hukum pidana serta konteks sosial masyarakat, yang didalamnya terdapat aturan-aturan tentang pola pembinaan narapidana yang
sesuai dengan karakteristik narapidana dan tujuan pemidanaan. Meskipun sistem pemasyarakatan ini telah dicetuskan sejak tahun 1964,
namun pengaturan mengenai sistem tersebut secara sistematis dalam bentuk undang-undang baru dapat diwujudkan pada tahun 1995, dengan keluarnya UU
No. 121995. Dengan keluarnya undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
2. Konsepsi