308
dengan karakteristiknya seperti umur, jenis kejahatannya, dan lamanya pidana yang dijatuhkan. Sehubungan dengan itu perlu dikembangkan ide individualisasi
pidana dalam pembinaan narapidana wanita agar tujuan pembinaan sesuai dengan sistem pemasyarakatan dapat terwujud.
Menurut penulis pengembangan ide individualisasi pidana dalam pembinaan narapidana wanita di masa depan adalah:
1. Bentuk bangunan
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pembinaan narapidana berdasarkan karakteristiknya atau pengelompokan atas dasar individualisasi
pidana tidak dapat terlaksana disebabkan sarana dan prasarananya kurang mendukung seperti terjadinya over kapasitas. Untuk itu bentuk bangunan
lembaga pemasyarakatan perlu mendapat perhatian. Hal ini menurut penulis tidaklah berarti bahwa bangunan lembaga pemasyarakatan yang sekarang masih
berdiri dan masih dipergunakan akan dihapuskan atau tidak dipakai begitu saja, tetapi bangunan yang ada masih tetap dipergunakan dan ditingkatkan agar dapat
menampung jumlah narapidana. Bentuk bangunan harus dirancang secara khusus, yang melibatkan para arsitek, praktisi pemasyarakatan dan para ahli dari
berbagai disiplin ilmu yang terkait. Sehubungan dengan itu maka menurut Kakanwil Kehakiman dan HAM
Sumut, bangunan lembaga pemasyarakatan nantinya akan dibuat 1, 3, 5, 7, maksudnya dibangun khusus ruangan untuk 1 orang dalam satu kamar sel, dan
orang ini adalah tahanan politik misalnya, sehingga tidak dicampur dengan
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
309
narapidana lainnya, demikian juga dengan ruangan yang isinya hanya 3 orang dalam satu sel, dan ada juga yang 5 orang dalam satu sel, serta 7 orang dalam
satu sel. Selebihnya baru ruangan besar yang jumlah narapidananya lebih dari 7 orang.
346
Selanjutnya menurut penulis, perlu adanya aturan yang mengharuskan adanya lembaga pemasyarakatan wanita disetiap propinsi. Di samping itu perlu
adanya peraturan tentang desain lembaga pemasyarakatan, khususnya lembaga pemasyarakatan wanita yang dapat mengadopsi karakteristik individu narapidana
wanita, misalnya kamar pertemuan suami isteri, jangka waktu pidana dan lain- lain.
2. Metode dan bentuk pembinaan
Pembinaan narapidana tidak hanya ditujukan kepada pembinaan spiritual saja, tetapi juga pembinaan dibidang keterampilan, Dalam sistem pemasyarakatan
orientasi pembinaan bersifat top down approach maksudnya pembinaan yang diberikan kepada narapidana merupakan program yang sudah ditetapkan dan
narapidana harus ikut serta dalam program tersebut. Hal ini didasarkan atas pertimbangan keamanan dan keterbatasan sarana pembinaan.
Dalam pembinaan ini, materi pembinaan berasal dari pembina, atau paket pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas. Narapidana tidak ikut
menentukan jenis pembinaan yang akan dijalani, tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para pembina dan harus menjalani paket pembinaan tertentu yang
telah disediakan.
346
Wawancara dengan Kakanwil Departemen Kehakiman dan HAM Sumut, April 2006.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
310
Paket pembinaan dari atas merupakan bentuk pembinaan yang paling banyak digunakan oleh lembaga pemasyarakatan. Hal ini ditempuh karena
sedikitnya bentuk pembinaan yang tersedia di lembaga pemasyarakatan, juga karena sedikitnya jumlah pembina yang terdapat di lembaga pemasyarakatan.
Kenyataan demikian banyak menimbulkan masalah karena banyak terjadi bahwa pembinaan yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan belajarpembinaan
para narapidana, sehingga hasil pembinaan tidak seratus persen memenuhi sasaran. Narapidana merasa pembinaan yang diterima hanya sebagai pengisi
waktu luang saja, dan tidak memiliki minat belajar sehingga dalam mengikuti kegiatan pembinaan kurang serius, akibatnya upaya pembinaan menjadi hal yang
mubazir saja. Padahal dari segi biaya pembinaan, cukup mahal untuk membina seorang narapidana. Hasilnya tidak sesuai dengan biaya, tenaga dan waktu yang
telah dikeluarkan. Jadi sebenarnya pembinaan narapidana dengan top down approach tidaklah efektif sama sekali. Orientasi pembinaan semacam ini harus
ditinjau kembali, agar pembinaan yang diberikan kepada narapidana berdaya guna dan berhasil guna, seperti yang diharapkan pemasyarakatan.
Untuk itu penelitian awal tentang kebutuhan pembinaan bagi seorang narapidana harus dilakukan secara cermat, agar tidak salah dalam menentukan
jenis pembinaan yang akan diberikan kepadanya. Memang tidak menutup kemungkinan, ada materi-materi pembinaan tertentu yang harus disediakan dan
dijalani oleh narapidana, tanpa memperhatikan kebutuhan belajarnya, misalnya tentang pengenalan diri, motivasi, keagamaan yang disesuaikan dengan agama
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
311
dan kepercayaannya, kesehatan dan olahraga, etika pergaulan, cara-cara memecahkan masalah, penghayatan dan pengamalan Pancasila, kecintaan kepada
negara dan bangsa. Pembinaan narapidana yang digunakan pendekatan dari atas, dipilihkan
materi-materi umum yang harus diketahui setiap narapidana dalam rangka pembinaan bagi diri sendiri, kesatuan dan persatuan bangsa, pendekatan terhadap
Tuhan, atau untuk kehidupan dimasa mendatang setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Sedang untuk materi pembinaan yang dipelajari secara khusus
berupa keterampilan, kemampuan berkomunikasi, tidak dapat digunakan pendekatan dari atas.
Menurut penulis untuk kedepannya metode pembinaan narapidana harus diubah dari top down approach menjadi bottom up approach. Bottom up
approach
347
adalah pembinaan narapidana yang berdasarkan kebutuhan belajar narapidana. Untuk memperoleh gambaran tentang kebutuhan belajar narapidana,
setiap narapidana haruslah menjalani pre test sebelum dilakukan pembinaan. Dari hasil pre test akan diketahui tingkat pengetahuan, keahlian dan hasrat belajarnya.
Dengan memperhatikan hasil pre test, dipersiapkan materi pembinaan narapidana dan disesuaikan dengan lamanya pidana serta jenis kejahatannya. Untuk
mengetahui sejauh mana pembinaan bisa berhasil maka diakhir pembinaan diadakan post test, untuk mengetahui keberhasilan pembinaan. Untuk itu perlu
adanya peraturan tentang standar minimum pelayanan dan pembinaan narapidana
347
C.I. Harsono, Op. cit., hal. 21.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
312
wanita, serta pola pembinaan narapidana yang sesuai dengan karakteristik narapidana wanita.
Dengan cara demikian akan menemukan kesesuaian belajar narapidana dengan kebutuhan belajarnya. Jika yang dipelajari adalah sesuatu yang
dibutuhkan, maka hasil yang dicapai bisa semaksimal mungkin. Dengan demikian, tujuan pembinaan dapat tercapai secara maksimal. Kesuksesan dalam
membina narapidana terletak kepada kunci para pembina untuk mengenalkan narapidana dengan diri sendiri. Tanpa mengenal diri sendiri, tidak mungkin
seorang narapidana mengetahui kebutuhan belajarnya dan kebutuhan pembinaannya. Dengan mengenal diri sendiri, seorang narapidana akan mampu
menentukan tujuan hidupnya. Selanjutnya menurut penulis di samping metode pembinaan, keluarga dan
masyarakat juga memiliki peranan penting dalam pembinaan narapidana. Pengertian akan pentingnya peran keluarga dalam membina narapidana, harus
diberikan kepada setiap keluarga narapidana. Sebab itu diperlukan suatu media khusus untuk memberikan pengertian ini. Salah satu bentuk yang dapat
diterapkan adalah mengumpulkan sejumlah keluarga narapidana dan diberikan pengertian tentang pentingnya keluarga dalam pembinaan narapidana. Keluarga
juga harus diberikan laporan tentang hasil pembinaan narapidana dari tahap ke tahap. Jadi pihak keluarga tahu perkembangan pembinaan narapidana. Saat ini
pihak keluarga tidak tahu perkembangan tahap pembinaan anggota keluarganya yang menjadi narapidana. Akibatnya pihak keluarga pun tidak tahu bagaimana
harus bertindak dalam pembinaan narapidana. Begitu juga dengan masyarakat,
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
313
atau kelompok masyarakat, organisasi sosial, maupun organisasi keagamaan, yang ikut aktif dalam pembinaan narapidana, harus mengetahui secara jelas
tentang program dan tahap pembinaan narapidana sehingga tujuan pembinaan dapat berhasil.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka keluarga dan masyarakat yang ikut serta membina narapidana, harus diberikan pengertian tentang apa yang
akan dicapai dalam pembinaan, bagaimana mencapainya, dan tahap-tahap apa saja yang akan dilalui, dan seberapa besar peran keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian pembinaan narapidana dilakukan oleh komponen keluarga, masyarakat, petugas dan narapidana itu sendiri. Jika hal ini telah terlaksana
dengan baik, maka keberhasilan pembinaan narapidana secara maksimal akan tercapai.
Khusus untuk kasus narkoba, berdasarkan PeraturanKeputusan Menteri Kehakiman RI dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen
Kehakiman RI, tidak ada satu pun ketentuan mengenai cara perlakuan terhadap narapidana ketergantungan obat atau narapidana yang kecanduan narkotika atau
pemakai narkotika di lembaga pemasyarakatan. Ketentuan-ketentuan yang ada hanya memberikan petunjuk kepada petugas lembaga pemasyarakatan untuk
memperkuat pengawasan terhadap narapidana narkotika sebagaimana dikemukakan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01-PW.11.01
tanggal 9 Maret 1991 tentang Pengawasan khusus terhadap narapidana kasus subversi, korupsi, penyeludupan, narkotika dan perjudian. Begitu juga Pola
Pembinaan NarapidanaTahanan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
314
Kehakiman RI No. M.02-PK.04.10 tanggal 10 April 1990, tidak memuat secara khusus pola perlakuanpembinaan terhadap narapidana pemakaipecandu
narkotika. Pola pembinaan yang berlaku bersifat umum dan tidak membedakan antara narapidana nakotika dan bukan narkotika. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Departemen Kehakiman RI belum memberikan perhatian secara khusus terhadap narapidana narkotika. Pendekatan yang digunakan masih
menitik beratkan kepada pendekatan keamanan semata-mata atau security approach. Hal ini sebabkan karena terbatasnya biaya dan fasilitas sarana dan
prasarana di lembaga pemasyarakatan. Mengingat perawatan terhadap narapidana narkotika memerlukan tenaga medis dan tempat khusus dengan biaya cukup
besar, maka perawatan terhadap mereka dilaksanakan seadanya dalam arti sebatas kemampuan lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan.
Sebagaimana yang dikemukakan Sonia dalam American Journal of Public Health bahwa, wanita yang menyalahgunakan obat lebih membutuhkan
pembinaan kesehatan jiwa, pendidikan, pelatihan pekerjaan, perawatan kesehatan, dukungan keluarga, dan bantuan dari orangtua bila dikeluarkan dari
penjara. Drug abusing women were more likely to report a need for housing, mental healtcounseling, edication, Job training, medical care, family support,
and parenting assistance when released from jail
348
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang
348
Sonia A. Alemagno, Women in Jail, American Journal of Public Health, VOl. 91, No. 5, May 2001.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
315
Hukum Acara Pidana sampai saat ini lembaga pemasyarakatan masih berperan sebagai tempat pelaksanaan pidana dan berfungsi sebagai tempat pembinaan.
Dalam menangani masalah penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, pemerintah Indonesia masih tetap berpegang teguh kepada cara-cara
konvensional yaitu secara preventif dan represif. Berbeda halnya dengan penjara wanita Pulau Pinang, dimana bagi narapidana khusus kasus narkoba, dilakukan
pembinaan jasmani berupa olah raga setiap harinya, dan juga dilakukan penyuluhankonseling kepada narapidana baik yang sifatnya individu, maupun
secara kelompok,
349
agar narapidana dapat berkonsultasi dengan konselor secara lebih terbuka dan dapat mengetahui dampak dari narkoba tersebut. Juga
dilakukan terapi kekeluargaan TC.
350
Di samping itu juga ditayangkan video anti narkoba serta HIV Aids dan sebagainya kepada narapidana.
Kalau dilihat narapidana yang terlibat kasus narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan cukup banyak lihat
tabel 10, namun pembinaan yang dilakukan terhadap mereka sama dengan narapidana lainnya yang tidak terlibat kasus narkoba. Penyuluhankonseling juga
tidak ada diberikan kepada narapidana karena tenaga psikolognya tidak ada yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita tersebut, walaupun sebenarnya
tenaga untuk itu sangat diperlukan agar narapidana lebih terbuka dan leluasa mengemukakan keluhannya, sehingga dapat diarahkan dan dicari jalan keluarnya
oleh psikolog tersebut. Dengan demikian narapidana akan mengerti dan
349
Fauziah, Op. cit, hal. 22.
350
Melati Mohd. Ariff, Penjara Bertaraf Dunia, www.hmetro.com.mycurrent-NewsHM, 4 April 2007.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
316
menyadari kesalahannya sehingga ia dapat memperbaiki dirinya untuk tidak mengulangi kejahatan yang telah dilakukannya.
Saat ini tempat yang direncanakan sebagai pusat rehabilitasi narkoba tersebut terdapat di Lubuk Pakam. Walaupun bangunannya telah ada namun
tenaga ahli dan saranaprasarananya juga belum ada, sehingga tempat ini dipergunakan untuk titipan tahanan pelaku kejahatan narkoba, berhubung tahanan
di Poldasu kelebihan kapasitas over kapasitas, tetapi yang dipindahkan tersebut adalah pelaku kejahatan yang ringan. Bagi pelaku tindak pidana berat sebagai
pemasok atau bandar narkoba tetap ditahan di tahanan Poldasu.
351
Selanjutnya dikemukakan oleh Bapak Heru bahwa untuk ke depannya bagi pemakaipecandu narkoba yang dengan kesadarannya sendiri menyerahkan diri
atau diserahkan keluarganya secara sukarela, akan ditempatkan di pusat rehabilitasi tersebut dengan mengenyampingkan proses hukum, tetapi apabila
tertangkap tangan tetap diproses secara hukum. Setelah dijatuhi hukuman vonnis baru dipertimbangkan untuk dikirim ke lembaga pemasyarakatan atau ke
tempat rehabilitasi.
352
Dengan demikian lembaga pemasyarakatan khusus narkoba tidak ada di Lubuk Pakam, seperti dikemukakan Bapak Anjan Pramuka Putra bahwa
bangunan yang ada di Lubuk Pakam tersebut direncanakan sebagai tempat rehabilitasi para pengguna narkoba.
353
Di Indonesia lembaga pemasyarakatan khusus narkotika terdapat di Ceribon, yakni di Gintung. Konsep yang dilakukan di lembaga ini adalah
351
Wawancara dengan Bapak J. Silaban, Kasubag Analisis Dit. Narkoba Poldasu, Juni 2007.
352
Wawancara dengan Bapak Heri, Kabag Analisis Dit. Narkoba Poldasu, Juni 2007.
353
Wawancara dengan Bapak Anjan Pramuka Putra, Direktur Narkoba Poldasu, Juni 2007.
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
317
“Criminon dan Narconon” yang bertujuan untuk membina narapidana kriminal dan narkotika agar kembali normal menjadi orang-orang yang baik dan berguna
di tengah-tengah masyarakat.
354
Menurut Hasanuddin konsep pemasyarakatan membangun manusia mandiri. Dengan membangun konsep manusia mandiri ada 2 dua aspek yang
diutamakan, yaitu bagaimana masyarakat aman, dan bagaimana si individu terpidana kembali menjadi manusia yang baik.
355
Untuk itu menurut penulis pada masa mendatang metode dan bentuk pembinaan yang dilakukan terhadap kasus narkoba adalah pembinaan kerohanian,
dalam hal ini kepada narapidana diberikan pengertian tentang nilai-nilai agama sebagai tiangdasar bagi narapidana untuk tidak melakukan perbuatan melanggar
hukum. Pendidikan agama ini diberikan setiap hari guna menyadarkan narapidana akan perbuatannya. Disamping itu diberikan ceramah tentang narkoba, HIV,
AIDS, dan sebagainya, untuk menambah wawasan narapidana tentang bahayanya hal tersebut.
Selanjutnya menurut menurut penulis, terhadap narapidana khusus kasus narkoba sebaiknya ditempatkan di lembaga pemasyarakatan khusus narkoba dan
pembinaannya di samping pendidikan keagamaan, juga dilakukan melalui : 1
Latihan fisik, berupa olah raga sehingga dapat mengeluarkan keringat dan racun obat narkoba dari dalam tubuh.
354
Hasanuddin, Majalah Depkumham, go.id. . .2-32 k
355
Ibid
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
318
2 Latihan keterampilan, sehingga dengan berbagai kegiatan keterampilan dapat
membuat kesibukan tersendiri bagi narapidana. 3
Konsultasi dengan dokter dan psikolog sehingga dapat memperbaiki kejiwaannya dan sekaligus dapat diberikan pengobatan oleh dokter untuk
kesehatannya. Menurut Dirjen pemasyarakatan ada rencana membangun lembaga
pemasyarakatan khusus narkotika di Sentul seluas 6 ha, dan akan diterapkan konsep narconon dan criminon dengan menggunakan metode pembiayaan
physical detection, life skill, dan therapy.
356
Selanjutnya menurut Hasanuddin agar diberikan pelatihan, baik kepada narapidana maupun pegawai lembaga
pemasyarakatan. Apabila ini berhasil maka pengguna narkotika dapat disembuhkan.
357
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penanganan kasus narkoba bagi narapidana ini telah ada Lembaga Sosial Masyarakat LSM yang datang ke
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, yakni LSM Galatea yang berkunjung ke lembaga pemasyarakatan 4 empat kali dalam 1
satu bulan, dan mereka mau menampung mantan narapidana dengan kasus narkoba, apabila mantan narapidana tersebut tidak mau kembali ke keluarganya
atau tidak diterima oleh keluarganya. Sehubungan dengan hal itu perlunya kounseling bagi narapidana khusus
kasus narkoba, untuk mencari pemecahan masalahnya sehingga peranan psikolog
356
Hasanuddin, Majalah Depkumham, go.id....2-32 K.
357
Ibid
SUWARTO : PENGEMBANGAN IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA Studi Pembinaan Narapidana Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, 2008.
319
dalam hal ini penting sekali agar narapidana dapat mencurahkan isi hatinya. Hal ini telah dikemukakan sebelumnya bahwa tenaga psikolog di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan belum ada, untuk itu diperlukan tenaga psikolog yang khusus ditempatkan di lembaga pemasyarakatan.
Dengan adanya tenaga psikolog, maka lembaga pemasyarakatan dapat membuka Biro Kounseling yang nantinya akan bermanfaat bagi pembinaan narapidana.
3. Peningkatan kualitas petugas lembaga pemasyarakatan