makna denotasi yang kemudian berkembang menjadi beberapa isi konten yang disebut sebagai makna konotasi.
Masyarakat Indonesia, baik masa lalu maupun masa kini, mengenal mitos dalam pengertian Barthes di atas. Mitos masa kini yang dimaksud penulis adalah
berkaitan dengan makna mitos tersebut. Artinya, makna mitos tersebut yang baru masa kini, bukan mitos itu yang baru. Ada beberapa fenomena budaya masa kini
yang diberi konotasi oleh masyarakat luas, dan yang sudah mantap menjadi mitos. Fenomena tersebut antara lain: gotong royong, aja dumeh, reformasi, ramah tamah,
dan mahasiswa sebagai kekuatan moral.
1. Gotong Royong
Gotong royong dianggap merupakan bagian dari tradisi masyarakat Jawa bahkan rakyat Indonesia selama bertahun-tahun. Dalam pemakaiannya mempunyai
denotasi ‘bekerjasama dan saling membantu untuk mengerjakan sesuatu, khususnya untuk sesuatu yang bermakna secara sosial, seperti pembangunan mesjid, pembuatan
jalan desa, atau pemadaman kebakaran. Perhatikan kutipan berikut.
Kita mesti sanggup berbuat. Asal perbuatan baik, Jo. Kita mesti kuatkan jiwa kita. Hidup ini hanya sebentar, engkau dalam perjalanan jauh, dan hidup ialah
sekadar mampir minum, sebentar saja...Korbankanlah dirimu untuk tujuan yang lebih besar. Dan masyarakat lebih berarti dari sekadar kesenanganmu
P:201. Pak Mantri mewariskan budaya gotong royong pada Paijo dengan
meyakinkannya bahwa kepentingan umum lebih penting di atas kepentingan pribadi.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Sikap rela berkorban ini menjadi cikal bakal lahirnya budaya gotong royong dalam masyarakat di Indonesia. Melalui kutipan tersebut, gotong royong merupakan sebuah
ekspresi yang dimaknai oleh Pak Mantri dan Paijo sebagai ‘perbuatan baik’ makna denotasi.
Pada kondisi sekarang, gotong royong sebagai ekspresi expression memperoleh isi content beberapa konotasi sesuai dengan pengalaman masyarakat.
Ada dua konotasi yang penting, yaitu 1 kewajiban membantu tetangga yang sedang kesusahan dan 2 kewajiban bekerja untuk memperbaiki prasarana di desa. Intinya,
konotasi dasarnya adalah “kewajiban”. Sebagai masyarakat yang kehidupannya masih komunal, kewajiban ini tidak dirasakan memberatkan kewajiban yang berterima,
khususnya bila tujuan gotong royong adalah membantu tetangga yang sedang berada dalam kesulitan. Di samping itu, relasi yang menghubungkan antara ekspresi dan isi
tersebut adalah kondisi masyarakat. Perubahan pola hidup masyarakat memengaruhi pemaknaan terhadap gotong royong itu sendiri.
Pada sekelompok orang, misalnya di kota gotong royong sudah mempunyai konotasi ‘kewajiban yang memberatkan’ karena setiap orang sudah lebih banyak
mempunyai kewajiban sendiri yang berbeda-beda. Dengan cara mengupas makna konotatifnya, telah terjadi pembongkaran semiologis demontage semiologique.
Di dalam hal gotong royong dimaknai sebagai “kewajiban berterima”, dapat dilihat di sebuah desa atau kota bahwa ada pembayaran uang pengganti untuk mereka
yang tidak ikut bergotong royong memperbaiki jalan, misalnya gotong royong tidak jarang dimaknai semacam “kerja paksa” yang kalau dilanggar dapat memberi akibat
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
pengucilan dan penghukuman. Mereka yang memaknai gotong royong sebagai “kewajiban berat” menghindari gotong royong dengan misalnya, pura-pura sakit atau
bepergian dari lingkungannya. Gotong royong telah kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang
dilandasi nilai solideritas sosial. Ia telah mengalami pembongkaran semiologis dan dekonstruksi untuk memperoleh makna lain dan baru, sehingga mungkin menjadi
mitos baru yang tidak menyenangkan. Masyarakat telah mengalami perubahan istilah gotong royong telah mengalami diversifikasi makna.
2. Aja Dumeh