3. Reformasi
Kata reformasi menjadi bagian dari tradisi lisan baru meskipun memasuki kosa kata bahasa Indonesia melalui buku-buku Barat yang dibaca oleh para
cendikiawan. Reformasi mempunyai denotasi ‘perubahan radikal untuk perbaikan di bidang sosial, politik, ekonomi, atau agama di suatu masyarakat atau negara’. Dalam
sejarah politik kita, reformasi terjadi pada bulan Mei 1998 dimulai dengan jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto. Setelah itu, berbagai perubahan kebiasaan dan bahkan
perubahan nilai terjadi. Reformasi menjadi kata yang frekuensi pemakaiannya sangat tinggi. Ia menjadi bagian dari tradisi lisan “baru” dan pegangan moral dan harapan
hidup masyarakat Indonesia. Namun, berbagai peristiwa yang terjadi memperlihatkan bahwa perubahan yang terjadi di bidang politik, hukum, dan sosial
tidak dirasakan sebagai “perbaikan-perbaikan” oleh masyarakat awam. Reformasi akhirnya dewasa ini memperoleh konotasi ‘tindakan mengutuk Orde Baru’,
‘pergantian kekuasaan’, ‘perubahan kebijakan’, ‘boleh berbuat sesukanya’, ‘boleh mengkritik atasan, pemerintah, dan aparat’, serta ‘melakukan pembalasan terhadap
pejabat dari zaman Orde Baru’. Perubahan serupa juga dijelaskan Kuntowijoyo dalam novel MPU. Perhatikan
kutipan kutipan berikut. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Sejarah sudah berubah. Dulu orang
mencoba melupakan bahwa secara politis kita tertindas. Sekarang orang berusaha bagaimana bisa bertahan hidup di masa krisis. Abu berpikir untuk
mengubah MPU jadi MPL Masyarakat Penggemar Lingkungan...Orang Jawa harus cepat mengerti meski sedikit saja dikatakan, dengan isyarat
pula...Yang berubah itu zamannya, bukan orangnya MPU:214.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Melalui kutipan tersebut dapat dimengerti bahwa tokoh Abu Kasan Sapari
tanggap akan perubahan yang sedang berlangsung di zamannya. Ketika terjadi perubahan situasi politik di daerahnya maka ia pun mengadakan perubahan dengan
mengganti nama organisasi MPU Masyarakat Penggemar Ular yang dipimpinnya menjadi MPL Masyarakat Penggemar Lingkungan. Menurutnya orang Jawa harus
cepat tanggap terhadap perubahan meskipun perubahan itu berupa isyarat sekalipun. Artinya reformasi pun harus berlaku pada masyarakat Jawa. Reformasi ekspresi
dimaknai Abu Kasan Sapari sebagai makna konotasi, yaitu ‘cepat tanggap’isi yang terealisasi melalui relasi perubahan zaman.
Meskipun reformasi ‘lahir’ pada tahun 1998, namun telah lama terpendam di bawah permukaan kehidupan sosial politik bangsa kita. Reformasi sering
berpasangan dengan demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konotatif ‘kebebasan’ dan ‘keberanian melawan kekuasaan’. Ia juga sering berpasangan dengan
demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konotatif ‘kebebasan’ dan ‘keberanian melawan kekuasaan’. Ia juga sering berpasangan dengan civil society yang juga telah
memasuki tradisi lisan karena banyak dibicarakan orang san memeroleh konotasi ‘masyarakat yang tidak dikuasai militer’, ‘masyarakat yang dikuasai oleh sipil’, ‘sipil
menguasai militer’, dan ‘militer hanya alat negara dan berada di bawah kekuasaan pemerintah sipil’. Meskipun baru beberapa tahun, kedua kata itu – yang lahir dari
lahirnya reformasi – sudah berkembang menjadi mitos. Sejumlah cendikiawan berusaha melakukan pembongkaran semiologis dengan mengetengahkan makna
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sebenarnya, yakni denotasinya. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa upaya itu tidak – atau belum? – berhasil sejauh ini.
Dekonstruksi atas mitos tersebut banyak dilakukan agar makna ‘perbaikan’ dan ‘sama rasa sama rata’ serta ‘kepatuhan terhadap etika dan hukum’ dapat
menggantikan mitos buruk yang berkembang ke notasi salah kaprah itu.
4. Ramah Tamah