Sastra Profetik Pemikiran Tentang Sastra

4.2.1 Sastra Profetik

Anwar 2007:153 menjelaskan bahwa Kuntowijoyo sangat menekankan perlunya kehadiran sastra transendental dalam sastra Indonesia. Sastra tersebut merupakan kesadaran balik yang melawan arus dehumanisasisubhumanisasi sebagai dampak negatif modernisasi yang menempatkan manusia tidak lebih sebagai mesin dan instrumental dalam logika pasar industri. Sastra transendental dibutuhkan untuk mengembalikan keberadaan manusia dalam posisinya sebagai makhluk yang utuh lahir dan batin. Tujuan akhir sastra transendental adalah manusia, bukan estetika. Sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap peradaban kita ingin membuat dunia lebih bermakna, dan sastra adalah salah satu dari makna itu. Apa yang digagas dalam sastra transendental pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan konsep sastra profetik. Atau bisa dikatakan sastra profetik merupakan penyempurnaan konsep Kuntowijoyo mengenai sastra yang mengupayakan manusia berpijak di bumi terlibat dengan masalah-masalah manusiasosial sekaligus menjangkau langit terkait dengan kesadaran transendensi adanya Tuhan. Dua prinsip pokok yang menopang konsep sastra profetik adalah kesadaran kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan. Pada dasawarsa terakhir ini sastra Indonesia diramaikan oleh kahadiran sastra yang diberi label “sastra Islam” atau “sastra ibadah”. Dalam konteks ini, sastrawan Helvy Tiana Rosa dan Forum Lingkar Pena merupakan lokomotif gerakan tersebut. Meski belum ada seorang pun dari mereka yang merumuskan secara konseptual sastra Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 yang mereka anut, dengan mengamati sejumlah karyanya sedikit banyak akan dapat dipahami keberadaan dan orientasi sastra Islam atau sastra ibadah itu. Dengan mengamati karya-karya “sastra Islam’ atau “sastra ibadah” model Forum Lingkar Pena, agaknya ghirah mereka dimaksudkan untuk merespons kehidupan yang mengarah pada sekularisme dengan menghadirkan tokoh-tokoh, peristiwa, dan jalinan plot yang berpijak pada doktrin Islam. Motif ibadah secara penuh tampak disadari, selain strategi tutur dan orientasi karya mereka berbeda dengan sastra sufistik yang digagas Abdul Hadi W.M. atau sastra transendentalprofetik yang digagas Kuntowijoyo. Perbedaan terutama pada tekanan “dakwah” yang membuat karya mereka kurang kuat dalam pergulatan dan perenungan, selain pola hitam putih kebenaran dan kejahatan yang cenderung eksplisit dan harfiah. Dua hal inilah yang justru secara lahir tidak terlalu kentara dalam karya-karya sufistikprofetik. Dalam hal sastra, Kuntowijoyo menginginkan selain sebagai ibadah, sastra harus pula dipandang sebagai sastra murni belaka. Berikut pernyataan Kuntowijoyo mengenai hal tersebut. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang tidak lebih. Kuntowijoyo, 2005:8. Pernyataan Kuntowijoyo tentu mewujud dalam karya-karyanya. Karya-karya beliau diberangkatkan dari proses pergulatan dan penciptaan sastra sebagai sastra atau “sastra murni” sebagaimana yang dikatakannya. Itulah yang menyebabkan, meski Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 kental dengan gagasan dan pesan tertentu, karya-karyanya tidak tampil sebagai dakwah. Dakwahnya yang berpijak pada transedensi ketuhanan telah melebur dalam tubuh karya itu sendiri. Strukturasi pengalaman, imajinasi, dan nilai menyatu dalam karyanya. Menurut Kuntowijoyo 2005:8, sastra profetik memiliki kaidah-kaidah yang memberikan dasar kegiatannya karena ia tidak hanya menyerap, mengekspresikan, tapi juga memberi arah realitas. Sastra profetik berpijak pada prinsip dialektis sebagaimana umumnya dianut dalam menulis, baik karya sastra maupun karya ilmiah. Dengan kata lain, sastra dihadapkan pada realitas untuk melakukan kritik dan penilaian sosial budaya secara beradab. Itu sebabnya sastra profetik adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaankemasyarakatan. Oleh karena itu, sastra profetik tidak terlepas dari kehidupan. Kaidah pertama adalah sastra profetik bersandar pada kaidah “strukturalisme transendental”. Dasar pemikiran strukturalisme transendental itu adalah kitab suci misalnya Al-Qur’an. Bagi Kuntowijoyo, semua kitab suci dan agama selalu berupa struktur sekaligus bersifat transendental. Dengan makna struktur dimaksudkan apa yang terdapat dalam kitab suci selalu koheren utuh ke dalam dan konsisten ke luar, elemen yang satu tidak bertentangan dengan yang lain karena merupakan satu kesatuan. Adapun yang dimaksud dengan transendental tidak lain karena semua kitab suci merupakan wahyu dari Allah Yang Maha Transenden. Oleh karena itu, semua kitab suci melampaui zamannya meskipun sudah tua dan lahir pada suatu zaman, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 kenyataannya masih selalu relevan dengan zaman kapan pun. Jadi, karya sastra profetik adalah karya sastra yang ketat dalam struktur ada pergulatan bentuk ucap sekaligus memiliki kaitan dengan Yang Maha Abadi. Tidak mengherankan bila karya sastra yang sebenar-benarnya selalu melampaui zamannya. Hal yang sering berbeda dengan produk seni atau budaya lain, terutama yang tidak menyadari ketransendentalannya. Kaidah kedua adalah sastra sebagai aktivitas ibadah. Jika sastra profetik bersandar pada prinsip struktur dan transendental, suka tidak suka sastra profrtik adalah sastra orang-orang beriman. Di tangan orang beriman seluruh kegiatan manusia akan dipandang sebagai aktivitas ibadah. Oleh karena itu, sastrawan yang menulis sastra profetik adalah sastrawan yang harus menjalankan agama secara kaffah lengkap. Kuntowijoyo mengibaratkan sastrawan yang mendirikan sholat, menunaikan zakat, berhaji dengan uang halal, berpuasa, akan disebut belum kaffah jika tidak meniatkan kegiatan sastra sebagai aktivitas ibadah. Keimanan dan aktivitas ibadah yang kaffah menjadi landasan sastra profetik karena sastrawan beriman menyadari Tuhan dan itu Maha Segalanya. Pada titik ini Tuhan bersifat totaliter karena totalitarian memang hak-Nya sebagai Khalik. Akan tetapi, kekuasaan Tuhan berbeda dengan kekuasaan manusia. Jika kekuasaan manusia bersifat mengikat, kekuasaan Tuhan bersifat membebaskan. Kaidah ketiga adalah keterkaitan antarkesadaran. Konsep kaffah dalam Islam tidak hanya menuju kesadaran keimanan kepada Tuhan saja, tetapi kesadaran manusia dalam posisinya sebagai manusia. Dengan menyandarkan diri pada prinsip Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 hablumminannas hubungan manusia dengan manusia dan hablumminallah hubungan manusia dengan Tuhan, dalam kaidah ketiga ini Kuntowijoyo menegaskan adanya keterkaitan antara kesadaran kemanusiaan dengan kesadaran ketuhanan. Kegiatan ibadah kepada Tuhan ibadah ritual sudah selayaknya sebanding dengan kegiatan ibadah kepada sesama manusiamasyarakat ibadah sosial. Ini pulalah yang menjadi dasar pandangan strukturalisme transendental Kuntowijoyo. Kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan adalah dua tema besar dalam sastra....Bandul dua kesadaran itu harus berimbang, tidak bisa salah satunya dimenagkan. Kesadaran ketuhanan melalui sufisme yang ekstrem, dengan uzlah mengasingkan diri, wadat tidak kawin, dan kerahiban dilarang dalam Islam. Sebaliknya, perjuangan untuk manusia kemerdekaan, demokrasi, HAM juga harus memperhatikan hak-hak Tuhan. Kuntowijoyo, 2005:10. Konsep sastra sufistik Hadi W.M. pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep sastra profetik Kuntowijoyo. Keduanya menghasratkan sastra, yang selain menggulati masalah-masalah sosial manusia, juga mengaitkan diri dengan kekuasaan Tuhan. Akan tetapi, Kuntowijoyo memilih istilah profetik yang berasal dari kati prophet Nabi, bukan sufistik yang berasal dari kata sufi. Pilihan itu bukan tanpa alasan. Dengan mencermati kutipan di atas, praktik sufisme cenderung identik dengan perilaku yang menitikberatkan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan istilah profetik agaknya Kuntowijoyo ingin menegaskan bahwa gagasannya ditekankan pada perilaku nabi: mengurus dunia umat dan menghamba kepada Tuhan. Itulah selayaknya yang dilakukan manusia, mengikuti sunah nabi, khususnya dalam konteks aplikasi kegiatan menulis sastra. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kuntowijoyo merumuskan sastra profetik, selain berpijak pada perjalanan sastra Indonesia, pastilah berpijak pada kenyataan manusia dan masyarakat di zaman modern ini. Manusia modern yang cenderung ditempatkan sebagai alat, instrumen, dan mesin di tengah banjir produksi massa budaya massa yang digerakkan industri kapitalisme akhirnya cenderung menjadikan manusia sebagai manusia massa. Sebagai manusia massa, selain segi pribadi yang lemah, kekuatan modernitas menjadikannya tidak lebih sebagai eksemplar dari aktivitas kehidupan yang menjelma mesin. Pada saat itulah kemanusiaan manusia terancam, di samping kesadaran ketuhanannya. Pada posisi itu sastra profetik tertantang untuk merespons dan menggulatinya. Kemudian Kuntowijoyo merumuskan etika profetik. Sumber etika tersebut tentu saja perilaku nabi prophet, dalam konteks Islam adalah Nabi Muhammad SAW. Kuntowijoyo meyakini tugas sastrawan pada dasarnya adalah tugas-tugas yang pernah dilakukan nabi. Tugas itu adalah amar ma’ruf mengajak pada kebenaran, nahyi munkar mencegah kemunkaran, dan tu’minunabillah beriman kepada Allah. Dalam bahasa Kuntowijoyo dirumuskan sebagai humanisasi amar ma’ruf, liberasi nahyi munkar, dan transendensi tu’minubillah. Humanisasi dilakukan dalam rangka melawan dan melenyapkan keadaan dehumanisasi yang melanda masyarakat modern sebagai dampak negatif kemajuan industri dan teknologi. Manusia mesin yang hanya memiliki satu dimensi, yang hanya dihitung sebagai angka dalam kalkulasi pasar dengan orientasi material, sepantasnya dikritik dengan mengedepankan semangat humanisasi pemanusiaan yang berpijak Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 pada ajaran-ajaran Tuhan. Segala tindak-tanduk manusia yang cenderung merendahkan derajatnya sebagai manusia dalam paradigma Tuhan harus diperbaiki. Oleh karena itu, liberasi perlu dilakukan untuk mencegah dan melawan sebagai bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan sekelompok manusia terhadap manusia lainnya. Dalam hal inilah penindasan dilakukan pejabat negara, permainan politik yang kotor, penindasan para pemilik modal dalam kegiatan ekonomi, penindasan laki-laki atau masyarakat terhadap wanita, penindasan etnis atau agama tertentu kepada etnis dan agama lainnya. Tentu saja pencegahan itu dilakukan menurut hukum-hukum yang disepakati dan tidak menyimpang dari ajaran Tuhan. Kedua sikap dan tindakan itu kemudian disempurnkan oleh etika transendensi, yang mengikatkan kembali keberadaan dan perilaku manusia di bumi antarmanusia dan antramakhluk dengan keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan. Di sinilah bersatupadunya kesadaran ketuhanan membuat keberadaan manusia menjadi lengkap. Dan di sini pulalah tercapai apa yang disebut perilaku kaffah utuh dan lengkap, yang mana ibadah ritual kepada Allah seimbang dengan ibadah sosial kepada sesama manusia termasuk menjaga alam dan makhluk Tuhan lainnya. Seperti pernyataan Kuntowijoyo berikut. Bagi saya, sastra saya semua sebenarnya adalah transendensi. Saya menulis karena bagi saya hidup ini adalah misteri yang mengagumkan.... Seorang pengarang mempunyai kewajiban ganda. Sebagai manusia ia harus menjadi saksi eksistensi Tuhan. Dan sebagai pengarang ia harus menjadi saksi rahasia Tuhan....Artinya pengarang adalah saksi kreatif-imajiner “misteri” kehidupan manusia ciptaan-Nya. Kuntowijoyo, 2005:16. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Jika diamati secara seksama, seluruh karya Kuntowijoyo pada dasarnya mengandung kaidah dan etika profetik sebagaimana dikemukakan di atas. Tentu saja setiap karya Kuntowijoyo menunjukkan tekanan dan kecenderungan yang berbeda untuk setiap kaidah atau etika profetik yang dirumuskannya. Kumpulan puisi Suluk Awang-Uwung 1975 dan novel Khotbah di Atas Bukit 1976, misalnya tampak lebih memberikan penekanan perlunya manusia untuk mengikatkan diri pada kesadaran ketuhanan yang secara fitrah telah bersemayam dalam dirinya. Meski Suluk Awang-Uwung berpijak pada referensi kejawen dan Khotbah di Atas Bukit berpijak pada renungan eksistensi, tetapi kesadaran ketuhanan Yang Maha Gaib amat kental terasa. Perlu dicatat, karena kesadaran ketuhanan itu muncul sebagai respons terhadap kehidupan modern yang materialistis, dalam dua karya di atas etika humanisasi dan liberasi juga terasa. Demikian pula dengan novel Mantra Pejinak Ular 2000 dan Wasripin dan Satinah 2003 yang cenderung memberi tekanan pada segi etika liberasi, tetapi etika humanisasi, dan transendensi di beberapa bagian kedua novel itu tetap muncul di permukaan. Tema politisasi kesenian, kebudayaan, dan agama yang hadir dalam novel Mantra Pejinak Ular, selain benar-benar melawan bentuk-bentuk penindasan, juga mengupayakan terciptanya suatu tatanan masyarakat dan negara yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan yang terbebas dari mitos dan syirik. Begitu pula tema mitos pembangkangan rakyat kecil Islam yang menindas orang-orang tidak berdaya dalam Wasripin dan Satinah, akhirnya mengusung Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 gagasan untuk memanusiakan hubungan antara mereka yang berkuasa para pejabat dan pimpinan partai dan rakyat biasa. Demikian uraian mengenai konsep sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo. Selain rumusannya cukup ketat, koheren, dan konsisten sebagai sebuah struktur ilmu paradigma yang berbasis manusia dan Tuhan, seluruh karyanya mendukung keutuhan kaidah dan etika profetik yang digagasnya. Disebabkan Kuntowijoyo menganggap karya sastra adalah strukturisasi pengalaman dan ia mengaku menulis begitu saja apa yang dirasa baik untuk ditulis, boleh jadi rumusan konsep sastra profetik lahir sebagai akibat pergulatannya dengan sastra, ilmu pengetahuan, dan peristiwa-peristiwa empiris di sekitarnya. Itu sebabnya sastra dalam pandangan Kuntowijoyo kurang lebih berusaha menjangkau langit kesadaran ketuhanan dengan tetap berpijak di bumi kesadaran kemanusiaan Anwar, 2007:161. Sosok Kuntowijoyo sendiri sebagai sastrawan dan banyak hal mirip dengan tokoh ciptaannya sendiri dalam novel Mantra Pejinak Ular, yakni Abu Kasan Sapari. Sebagai dalang seniman, sebagimana Kuntowijoyo sendiri, Abu Kasan menempatkan kesenian sebagai wahana untuk mengenali dan memahami kehidupan masyarakat di sekelilingnya, sekaligus sebagai wahana untuk mengenali Sang Pencipta. Oleh karena itu, berbeda dengan kekuasaan yang bersifat memaksa, kesenian dalam keyakinan Kuntowijoyo atau Abu Kasan Sapari adalah wahana atau aktivitas simbolik untuk membujuk bukan menggurui masyarakat ke arah yang lebih baik. Dalam prinsip kesenian seperti itulah proyek humanisasi dan liberalisasi Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 yang berbasis transendensi dilangsungkan. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo melalui tokoh Abu Kasan Sapari dalam Mantra Pejinak Ular berikut. “Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh. Kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya.”MPU:83. Dengan demikian, hampir semua novel Kuntowijoyo membersitkan filosofi- psikologi manusia dan budaya Jawa, konsep dan gagasan yang berpijak pada pemikiran Islam, realitas dunia kehidupan sehari-hari, mistik yang dihadapkan dengan ilmu sosial dan empiris, untuk akhirnya mengelaborasi spritualitas manusia dan menautkannya pada segi transendensi manusia itu sendiri. Sebagai karya intelektual, karya Kuntowijoyo selalu bertendens pada keyakinan gagasan sebagaimana dikonsepkannya sendiri, termasuk konsepnya mengenai sastra transendentalsastra profetik.

4.2.2. Dialektika Dua Dunia