Budaya Jawa Konsep .1 Nilai

2.2.2 Budaya Jawa

Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sebagian ahli berpendapat bahwa kata budaya sebagai suatu perkenbangan dari budi-daya, yang berarti ‘daya dari budi’. Oleh karena itu, mereka membedakan ‘budaya’ dengan ‘kebudayaan’. Demikianlah, budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Sementara itu, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu. Dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata ‘budaya’ di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari ‘kebudayaan’ dengan arti yang sama. Jawa Java, atau sebutan lain Djawa Dwipa atau Jawi adalah pulau yang terletak di tepi selatan kepulauan Indonesia. Orang Jawa Javanese adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa Suseno, 2003:15. Kemudian, Geertz Sani, 2008:7 membagi struktur masyarakat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu kaum abangan, priyayi, dan santri. Kaum abangan adalah kelompok yang menitikberatkan segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk. Lalu, priyayi adalah kelompok yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi, sedangkan kelompok santri mewakili sikap yang menitikberatkan segi-segi Islam dan sinkretisme pada umumnya berhubungan dengan kaum pendatang dan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 petani. Klasifikasi masyarakat Jawa ini menjelaskan budaya hierarkis masyarakat Jawa. Manusia Jawa adalah pendukung dan penghayat kebudayaan Jawa. Orang Jawa tersebar di daerah asal kebudayaan Jawa, Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Cirebon Jawa Barat, di banyak kepulauan Indonesia kini sampai Irian Barat setelah transmigrasi, di semenanjung Malaysia, di Muangthai, Birma, dan Vietnam yang dibawa oleh Jepang sebagai romusha, di Suriname, Kurasao, Kaledonia Baru sejak zaman penjajahan sebagai tenaga perkebunan. Yang amat sedikit diketahui adalah orang Jawa yang ada di Afrika Selatan, Sri Langka, dan Asia Tenggara. Menurut Partokusumo Setyodarmodjo, 2007:73, salah seorang pakar budaya dari Lembaga Javanologi, jumlah orang Jawa di berbagai tempat di penjuru dunia itu tidak diketahui dengan pasti, kecuali taksiran yang ada di seluruh kepulauan Indonesia ± 60 dari seluruh penduduk di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah lebih dari 160 juta. Orang Jawa itu sendiri berpendapat bahwa kebudayaan tidak merupakan sesuatu yang homogen. Mereka sadar akan adanya keanekaragaman yang sifatnya regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman regional kebudayaan Jawa ini sedikit banyak cocok dengan daerah logat bahasa Jawa dan tampak juga dalam unsur-unsur seperti makanan, upacara-upacara, rumah tangga, kesenian rakyat, dan seni suara Koentjaraningrat, 1994:25. Oleh karena budaya yang tidak homogen tadi, maka sifat tablat pendukungnya berbeda satu sama lain. Semua mempunyai individualitas yang kuat, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 tidak ada yang khas ‘Jawa’. Ada yang polos, dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus, ada yang kasar, ada yang berterus terang, ada yang malu-malu, ada yang bersikap seenaknya, dan ada yang bekerja fanatik, serta ada yang tidak bertindak sendirian dan yang tidak banyak peduli akan sikap kelompoknya Suseno, 2003:31. Mengingat kenyataan bahwa kebudayaan Jawa tidak homogen dan sifat orang Jawa berbeda satu sama lain, maka watak dan tingkah laku orang Jawa tidak dapat dipukul rata. Meskipun demikian, kiranya patut dikemukakan sifat-sifat orang Jawa hingga sekarang masih banyak dilestarikan, yakni sifat yang lebih umum namun tetap khas Jawa antara lain : rukun, damai, hormat, ramah, tenggang rasa tepa selira, dan keselarasan harmonis. Sifat-sifat ini membangkitkan kemampuan memahami perbedaan, tetapi tetap berpegang pada pendapat dan pendiriannya sendiri tanpa menimbulkan suatu ketegangan. Inilah yang disebut kebijaksanaan. Sifat-sifat itulah sebagai ‘kiblat’ manusia Jawa mengenal asal usulnya di mana pun mereka berada. Hardjowirogo 1984:7 juga menambahkan bahwa semua orang Jawa itu berbudaya satu. Mereka berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah, dengan kota Solo dan Yogya sebagai pusat-pusat kebudayaan. Dalam penghayatan hidup budaya mereka, baik yang tinggal di Pulau Jawa maupun yang di tempat lain, bahkan yang tinggal di Suriname, orientasi nilai mereka tetap terarah ke kota Solo dan Yogya. Oleh sebab itulah, kesatuan budaya yang dipegang oleh orang Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia ini, mau ataupun tidak, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya Indonesia. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Bagi orang Jawa ‘budaya’ bukanlah konsep antropologi yang samar-samar, melainkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan itu disadari benar. Hidup yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa, mengetahui dan memperlihatkan tingkah laku yang sopan, mengucapkan kata-kata yang pantas, mempertahankan tatanan yang ada, manusia dan benda-benda berada di tempat masing-masing yang teratur, dapat diramalkan, dan tanpa gangguan Mulder, 2005:42. Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Mereka akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya, baik secara langsung maupun tidak langsung serta disadari atau tidak. Dari pengalaman hidup ini, kemudian diperoleh citra lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah definisi yang dituliskan oleh Partokusumo tersebut bahwa kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang merangkum kemauan, cita-citanya, idenya, maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.

2.2.3 Mitologi