Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan kedudukan Pak Mantri menjadi kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman modern sosok Pak Mantri yang amat
“Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar yang bergerak bersama perubahan sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk memimpin pasar, di mana berbagai
nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai priayi Pak Mantri, nilai-nilai profesionalitas modern Siti Zaitun, pegawai bank, progresivitas usaha Kasan Ngali,
wirausaha, dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan orang Jawa.
b. Mantra Pejinak Ular
Masalah pokok yang menonjol dalam novel Mantra Pejinak Ular adalah perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan
agraris yang berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses
perubahan sosial budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika kelompok politik dominan mayoritas Orde Baru dengan kelompok minoritas yang
akhirnya sanggup menjebol dan meruntuhkan kelompok dominan itu. Itu sebabnya, selain semacam “catatan etnografis”, novel Kuntowijoyo ini dalam kadar tertentu
adalah novel sejarah. Tepatnya, catatan etnografis dan sejarah mengenai perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian.
Tokoh utama novel ini adalah Abu Kasan Sapari, orang udik yang sempat mengecap pendidikan mula-mula SMA, lalu STSI Solo. Kemudian menjadi
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
pegawai negeri yang pandai mendalang. Oleh karena itu, ia terlibat dalam proses pembangunan, perubahan sosial budaya, dan akhirnya secara tidak sengaja tercebur
ke dalam dinamika politik. Ia lahir di desa, dari seorang ayah yang kurang pendidikan dan seorang ibu keturunan priayi di pedesaan. Dari pihak ibu, konon leluhur Abu
Kasan Sapari masih ada pertalian darah dengan pujangga besar Ronggowarsito. Oleh karena itu, kakek dan nenek Abu Kasan Sapari dari pihak ibu, sejak kecil
mengasuhnya dalam tata krama seorang priayi. Sebagai orang yang tergolong kaya di desanya, kakek-nenek Abu Kasan Sapari berharap suatu hari cucunya menjadi priayi
yang antara lain mengetahui dan menghayati kesenian Jawa, khususnya dunia wayang dan dalang.
Abu Kasan Sapari hidup serba cukup dalam asuhan kakek-neneknya dari pihak ibu, bahkan ketika kakek-neneknya bangkrut karena pabrik-pabrik tekstil
modern di negeri ini mengahancurkan industri tenun tradisional yang digelutinya. Menginjak masa SMA, selepas dari pengasuhan kakek-neneknya, Abu Kasan
dipungut menjadi anak angkat Ki Lebdocarito, seorang dalang di Palar yang masih memiliki garis silsilah keturunan dengan Ronggowarsito. Di rumah Ki Lebdocarito
itulah Abu Kasan memperdalam pengetahuan dan kemampuan menjadi pegawai negeri, ditempatkan di Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu.
Sejak kecil, bahkan ketika masih bayi, Abu Kasan sudah diziarahkan ke makam Ronggowarsito oleh kakeknya, ngalap berkah meminta restu, karena
kakeknya punya firasat Abu Kasan akan menjadi seorang pujangga. Perhatikan kutipan berikut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu.
Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orang tuanya, “ Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan menjadi pujangga. Aku
mendapat firasat ketika aku keluar dari makam ada rombongan yang membarang, menyayi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan
telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan.” MPU:2 Abu Kasan kecil lahir di tengah masyarakat agraris yang seluruh sikap dan
tindak–tanduknya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Nama Abu Kasan sendiri tidak luput dari pertimbangan mitos dalam tradisi, yang
mengacu pada Abu sahabat nabi, yakni Abu Bakar, Kasan cucu nabi, alias Hasan, sedangkan Sapar adalah bulan ketika ayah-ibu Abu Kasan menikah. Macapat dan
tembang Jawa, misalnya Dhandanggula peninggalan Sunan Kalijaga, shalawatan dari buku barzanji, sejak Abu Kasan bayi sudah merasuk ke dalam jiwanya. Inilah
catatan etnografis yang memperlihatkan pernak-pernik kehidupan masyarakat agraris dengan segala rupa mitos, keyakinan, dimana agama sering bercampur dengan tradisi
budaya turun-temurun. Di tengah dominasi budaya agraris itulah perlahan-lahan budaya modern
kota masuk ke desa Abu Kasan. Bangkrutnya perusahaan tenun tradisional kakeknya tidak lain oleh munculnya pabrik-pabrik tekstil dengan budaya dan
teknologi modern. Demikian pula dengan dibangunnya sekolah-sekolah di luar sekolah agama madrasah dan sekolah gamelan belajar mendalang. Perkenalan
ayah dan ibu Abu Kasan pun sudah terpengaruh perkenalan tokoh-tokoh dalam film- film modern yang diputar di bioskop kota kabupaten. Sementara Abu Kasan sendiri
mengenyam pendidikan SMA, menjadi pegawai negeri, mengikuti kursus cara-cara
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
membangun desa agar modern tentunya, yang artinya bersentuhan erat dengan kebudayaan modern. Pada zaman itu hampir di seluruh tempat di Indonesia sedang
berlangsung modernisasi, terutama setelah Orde Baru tampil berkuasa. Abu Kasan Sapari menjadi pegawai kecamatan dan oleh karena itu dia harus
membangun desa. Berbekal kursus-kursus modern, Abu Kasan berhasil mengajak masyarakat di kaki Gunung Lawu untuk membangun desa: membuat saluran air,
membangun MCK, mengajak masyarakat memelihara kebersihan lingkungan, membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya menyadarkan masyarakat akan hak-
hak politik sebagai warga negara. Di bawah komando camat, bupati, dan seterusnya ke atas, Abu Kasan terlibat dalam gerakan-gerakan penataran P-4, perpustakaan
masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan perekonomian desa penyuluhan cara beternak, bertani, membuat emping melinjo, dan sebagainya. Ia bekerjasama dengan
mahasiswa UNS yang KKN, menyiapkan berbagai perlombaan yang mengarah pada modernisasi pedesaan. Abu Kasan Sapari, meski berbasis tradisi Jawa-Islam dan
dididik secara priayi oleh kakek-neneknya, akhirnya menjadi agen modernisasi pembangunan.
Di sela-sela kesibukannya membangun desa, tepatnya pada sebuah pesta pasar malam, Abu Kasan mengalami peristiwa yang tidak masuk akal. Di tengah keramaian
pasar malam, ia didatangi seseorang yang tidak dikenal, memakai ikat kepala lepasan, baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak, yang mewariskan “mantra pejinak ular”.
Peristiwa ini adalah bukti bahwa masyarakat tempat Abu Kasan masih berada dalam transisi tradisi Jawa-Islam dan modernisasi. Perhatikan kutipan berikut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
“Ini rahasia. Daun dan rumput tak boleh mendengar, “kata orang itu. Di kejauhan terdengar pengeras suara dengan musik dangdut.
“Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang tepat”.
“Apa itu?”
“Mantra pejinak ular”. Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah
kalimat. “Paham?”
Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu. “Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah
itu setiap kali kau menghadapi ular.”
“Mantranya kok bahasa Arab, ya?”
“Ya, ini semua dari Al-Qur’an...”MPU:19. Setelah Abu Kasan mampu melafalkan mantra itu dan lelaki tua yang
misterius memintanya agar puasa mutih hanya makan nasi putih sekepal selama tujuh hari tujuh malam. Kemudian orang itu pun menghilang. Abu Kasan yang telah
memasuki alam pikiran dan dunia modern tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik mitos.
Judul novel ini “Mantra Pejinak Ular” tentu saja memegang peranan penting dalam menggulirkan peristiwa demi peristiwa dalam novel ini, khusunya dalam
konteks perubahan sosial budaya. Pada bagian akhir novel akan terlihat bagaimana Abu Kasan harus meninggalkan ular-ular dan membuang mantra kemudian
sepenuhnya memasuki kehidupan realitas kawin dengan Lastri, mendalang, sambil tetap menjadi pegawai negeri. Dalam bahasa esai Kuntowijoyo sendiri, bagian akhir
novel ketika mengisahkan Abu Kasan berpisah dengan ular dan mantranya, dapat dianggap sebagai peristiwa “ selamat tinggal mitos, selamat datang realitas”.
Demikianlah Kuntowijoyo menegaskan bahwa hidup sekarang ini tidak bisa tidak
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
berpijak pada realitas, berpegang pada ilmu, percaya pada yang transenden Tuhan, bukan berpijak pada mitos, berpegangan pada klenik, apalagi syirik menjamakkan
Tuhan. Simaklah kata-kata eyang leluhur Abu Kasan yang hadir dalam mimpinya: “Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu. Teknologi, dan doa, bukan
mantra” MPU:231. Atau kata-kata Haji Syamsudin kepada Abu Kasan yang bimbang karena
mantra pejinak ular hanya bisa dibuang kalau ia sudah menemukan orang yang tepat untuk mewarisinya.
Jangan percaya Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenanya malah kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern,
bukan zamannya mantra lagi MPU:233.
Melalui novel ini Kuntowijoyo mengajak masyarakat untuk meninggalkan mantra-mantra yang berbasis mitos, mistik, dan klenik. Kemudian, menggantinya
dengan ilmu yang berpijak pada realitas dan doa yang langsung mentransendensikan diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo
menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi amar ma’ruf, liberasi nahyi munkar, dan transendensi tu’minunabillah.
Abu Kasan, pegawai kecamatan yang cerdas, terampil, jujur, dan yang lebih penting lagi pandai mendalang sehingga pandai dikenal dan dekat dengan
masyarakat. Kecamatan tempat Abu Kasan bekerja dapat dibilang sukses menjalankan program pembangunan. Oleh karena itu, camat senang sekali dan sering
memuji Abu Kasan. Begitu pula dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Selain sebagai pegawai kecamatan dan pawang ular, Abu Kasan adalah dalang. Ia mencoba memadukan ular sebagai simbol lingkungan dengan dalang,
bersama kelompok Masyarakat Penggemar Ular MPU dan Pengurus Kebon Binatang, Abu Kasan mendalang tentang lingkungan dengan lakon “Perjamuan Ular”,
lakon di luar pakem yang menimbulkan prokontra di masyarakat. Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal seorang perempuan yang akan
dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan perias pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak menolong
kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat kepada Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik yang
tidak menyukainya. Sebagai pegawai kecamatan, Abu Kasan berada dalam struktur
negarapemerintahan. Akan tetapi, karena ia berada di luar jaringan mesin politik Partai Randu, ia berada di luar sistem. Inilah yang merepotkan Abu Kasan. Berkali-
kali ia ditawari menjadi calon legislatif oleh Partai Randu dan ia menolak. Ia malah mendirikan kelompok “Paguyuban Pedalangan Independen” yang segera dipahami
mesin politik sebagai dalang non-pemerintah, lalu berubah menjadi dalang anti- Pancasila, subversif, dan sejenisnya. Ia dilaporkan mesin politik, ditangkap polisi,
meski kemudian dilepaskan karena tidak ada bukti unsur subversif. Tentang kesenian dan politik, termasuk sikap Abu Kasan tentang seni dan politik, berikut jawabannya
yang diberikan pada seorang wartawan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang jangan
mempergunakan seni untuk kepentingan politik, artinya mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol tidak boleh secara mutlak. Tetapi dalam hal
kedua, diam-diam seorang dalang boleh menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol. Hanya saja kalau sampai ketahuan
orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari komunitas dalang. Karenanya saya sendiri
tidak akan mengerjakan hal kedua itu MPU:137. AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau ada yang benjol-
benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS
berpendapat seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan.
Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni....MPU:153.
Sikap Abu Kasan jelas. Meski akan menerangi masyarakat, ia tidak akan
menggunakan dalang untuk kepentingan politik. Namun, karena ia menolak tawaran mesin politik, ia dipandang lain. Inilah yang membuat Abu Kasan diawasi Partai
Randu yang berkuasa di bawah komando mesin politik, hingga kemudian ditangkap dan dituduh yang aneh-aneh.
Akan tetapi, siapakah sesungguhnya yang berpandangan dan menggunakan kesenian sebagai alat politik. Kuntowijoyo menjawabnya bahwa pemerintahlah yang
justru memperlakukan kesenian sebagai alat politik. Dalam esai “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Kuntowijoyo menegaskan bahwa politisasi
dihadirkan dalam bentuk vulgarisasi kebudayaan. Di antara yang amat jelas kentara politisasi budaya itu adalah dunia pewayangan dan media massa. Pedalangan
dijadikan alat untuk menggandakan kepentingan politik tertentu, pada zaman Orde Baru apalagi kalau bukan untuk Golongan Karya Anwar, 2007:97-98.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Demikianlah, Abu Kasan sebagai sosok seniman yang berpijak pada alam seni seperti air, yang dengan jernih mampu membedakan mana bagian kesenian dan
mana bagian politik, termasuk dalam dirinya sendiri. Ia mampu membedakan pegawai negeri sebagai abdi negara dengan pegawai negeri yang menyerahkan
seluruh sikap dan tindak-tanduknya bagi kepentingan mesin politik. Dalam novel ini sikap Abu Kasan banyak mendapat dukungan, termasuk ketika ia ditangkap orang-
orang banyak yang protes. Ia termasuk sedikit dari pegawai negeri yang lolos dari jerat mesin politik. Ia telah mengalami suka duka menjadi pegawai sekaligus seniman
di zaman Orde Baru, hingga kemudian Orde Baru runtuh dan datanglah zaman reformasi. Abu Kasan telah berperan dalam hal ini, melalui konsep seni sebagai air
yang meratakan benjol-benjol dalam masyarakat. Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep
wayang dituturkan dengan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh bagian novel bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang dipahami. Novel ini
merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan sejarah yang dimulai dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat Kemuning di kaki
Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala desa, sampai persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru hingga
keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis, bahkan klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional.
Pada bagian akhir ditampilkan seorang tokoh bernama Kismo Kengser artinya “tanah tergusur” yang mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
politik dan kekuasaan Soeharto di zaman Orde Baru. Oleh karena itu, Kismo Kengser meramalkan Orde Baru akan segera jatuh karena ketidakadilan sudah merajalela di
mana-mana. Menurut Kismo, para pengusaha bukan lagi pamong, tapi maling betulan, maling berdasi, maling berbintang, dan maling berpendidikan.
Persekongkolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Partai Randu dalam rangka memeras rakyat. Dan pada akhirnya ada pertanda bahwa sebuah pohon besar
tumbang. Orang sekitar terminal mendengar suara, “Rak-rak-reketeg Brrruuk” Suara
itu sebenarnya cukup keras, tapi tertutup oleh gemerosok hujan dan angin ribut. Lhadalah Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke
terminal. Beringin itu tumbang MPU:193. Pohon beringin itu merupakan petanda bahwa Orde Baru runtuh. Abu Kasan
lulus dari STSI Solo dan ia jadi sarjana. Ki Lebdocarito, ayah angkat Abu Kasan, meninggal dunia dan menunjuk Abu Kasan sebagai ahli waris seluruh perlengkapan
gamelan wayang miliknya. Ki Lebdocarito adalah dalang yang setia pada pakem, sedangkan Abu Kasan dalang yang inovatif, yang sudah bersilaturahmi dengan dunia
modern. Maka mantra ular yang dimiliki Abu Kasan mitos-mitos segera dibuang, selain mengarah kepada syirik membahayakan tauhid Islam, tidak sesuai pula
dengan dunia modern yang berpijak pada realitas, ilmu, dan teknologi. Abu Kasan memberikan ular peliharaannya ke kebun binatang, kemudian berencana menikahi
Lastri, dan menjalani hidup sebagai seorang sarjana dalang.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
c. Wasripin dan Satinah