Filsafat Jawa Konsep .1 Nilai

baik itu asal mula, gejala-gejala, substansi-substansi, serta sebab-akibat yang ditimbulkannya, maka sangat relevan sekali apabila kosmologi ini sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam yang berusaha tampil untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tetap mengacu pada manusia makhluk dengan kecerdasan dan kesadaran diri. Sehubungan dengan itu, masyarakat Jawa pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Baik secara langsung ataupun tidak, dan disadari ataupun tidak ia akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya. Dari pengalaman hidup ini kemudian diperoleh cita lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya. Keberadaan kosmos dengan keteraturannya mengantarkan pada pemahaman yang lebih realistis, bahkan alam dengan gejala-gejala yang muncul pasti ada yang mengatur dan mengendalikan.

2.2.5 Filsafat Jawa

Brown dalam bukunya yang berjudul Psycolinguistics 1980:11 berpendapat bahwa salah satu hakikat bahasa adalah dipergunakan sebagai alat komunikasi untuk beroperasi dalam suatu masyarakat atau budaya tertentu. Dengan kemampuan berbahasa manusia dapat mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka hilanglah kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 generasi berikutnya. Dengan bahasa pula, manusia dapat berpikir secara sistematis dan teratur. Anderson 2008:10 juga menambahkan bahwa bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada. Kelahiran bahasa itu bergandengan dengan kelahiran budaya. Melalui budaya segala cipta kognisi seseorang dapat dimiliki oleh orang lain dan dapat juga diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sejak adanya manusia, ada dua evolusi yang bersamaan, yaitu evolusi fisiologi berkenaan dengan tubuh dan evolusi budaya. Keduanya diikuti pembesaran otak manusia dan perluasan pemakaian bahasa. Jadi, dapat dipastikan bahwa manusia, bahasa, dan budaya lahir dan tumbuh secara bersama-sama. Pada kenyataannya, tidak semua manusia berbahasa secara lugas. Adakalanya dalam menyampaikan maksudnya, manusia menggunakan perbandingan- perbandingan atau simbol-simbol tertentu. Oleh karena itu, manusia memerlukan proses berpikir dan perenungan yang cukup panjang untuk memahami maksud tersebut. Di sinilah, muncul filsafat budaya yang berfungsi sebagai pedoman dan pengarah kebudayaan tertentu. Salah satu pengemban kebudayaan yang cukup besar di Indonesia adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa itu telah mengejawantahkan pemikiran-pemikiran filosofis tersebut dalam kehidupannya. Pemikiran filosofis itu disebut Ciptoprawiro sebagai filsafat Jawa. Koesnoe Setyodarmodjo, 2007:157, memberikan pengertian tentang filsafat Jawa. Menurutnya filsafat Jawa adalah ‘filsafat Sangkan Paraning Dumadi’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka dapat dialihbahasakan menjadi Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 ‘filsafat asal dan arahnya yang ada’. Bila disebut pandangan hidup orang Jawa itu dengan kata-kata filsafat, maka kita perlu berhati-hati dalam mengartikannya. Hal ini karena arti kata filsafat itu sendiri bermacam-macam. Koesnoe Setyodarmodjo, 2007:157 juga mengartikan filsafat atas tiga pengertian. Pertama, filsafat diartikan sebagai suatu pandangan hidup, atau yang dalam bahasa Jerman dinamakan ‘Weltanschauung’. Kedua, filsafat diartikan sebagai pemikiran yang logis, radikal sistematis tentang apa yang ada dalam kerangka kesemestaan atau universalitas. Sebagai contoh, bagaimana filsafat kebenaran itu menurut seorang pemikir. Demikian pula filsafat tentang susila, hukum, kekuasaan, dan seterusnya. Ketiga, filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang filsafat yang disebutkan dalam arti pertama danatau arti yang kedua. Di pihak lain, Ciptoprawiro 2000:11 mendefinisikan filsafat sebagai suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud fenomena, yang bersifat mendalam dan mendasar. Berfilsafat dalam arti luas, dalam kebudayaan Jawa berarti ngudi kasampurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu. Eksistensi manusia di dunia dibekali Tuhan tiga komponen pokok yang memberinya ciri khas sebagai makhluk yang paling sempurna di atas permukaan bumi, yaitu akal pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam bahasa Jawa diistilahkan cipta, rasa, dan karsa, yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut ‘trisakti jiwa’. Kemudian oleh Bung Karno dalam sambutannya pada upacara menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1951, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dijadikan trilogi perjuangan bangsa Indonesia, yaitu : nationale geest, nationale will, nationale doad jiwa nasional, kemauan nasional, dan perilaku nasional. Pandangan hidup, sikap hidup, dan patrap hidup merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dan keutuhan itu secara konsekuen dipegang teguh oleh orang Jawa dalam berolah filsafat. Inilah yang memberi ciri khas pandangan hidup filsafat dan ilmu kawruh Kejawen yang secara diametral berlawanan dengan filsafat serta penerapan ilmu pengetahuan manusia Barat yang cenderung memisahkan jiwa dan materi dan menjurus ke suatu dualisme. Jadi, perbandingan antara filsafat Barat dan filsafat Jawa dapat dirumuskan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ciptoprawiro 2000:16 bahwa filsafat Barat mengidentifikasikan aku ego manusia dengan ciptanya rasio, akal. Dengan demikian, cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya hingga terlepasnya dari hubungan dengan lingkungannya hingga terjadi jarak distansi antara manusia dengan lingkungannya. Bagi filsafat Barat, manusia adalah manusia lepas hubungan. Filsafat Barat beranggapan bahwa manusia adalah animal rationale binatang yang bernalar, Socrates. Sebaliknya, menurut filsafat Jawa manusia itu selalu dalam hubungan dengan lingkungannya, yaitu Tuhan serta Alam Semesta, dan menyadari kesatuannya. Maka bagi filsafat Jawa manusia adalah manusia dalam hubungan. Saat mempergunakan kodrat kemampuannya, manusia Jawa senantiasa mengusahakan kesatuan cipta-rasa- karsa. Filsafat Jawa Filsafat Timur umumnya beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi Ciptoprawiro, 2000:15. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Dengan demikian, filsafat Jawa menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi, artinya menyadari kesatuan hubungannya dengan Tuhan. Maka paham Jawa melihat sesuatu yang tidak mudah terjangkau oleh sembarangan orang sebagai gejala metaempiris yang berasal dari wahyu Illahi.

2.3 Landasan Teori