diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi amar
ma’ruf, liberasi nahyi munkar, dan transendensi tu’minunabillah. Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal tokoh lain yakni, seorang perempuan
yang akan dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan perias pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak
menolong kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat kepada Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik
yang tidak menyukainya. Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep
wayang dituturkan dengan alur maju dan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh bagian novel bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang
dipahami. Novel ini merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan sejarah yang dimulai dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat
Kemuning di kaki Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala desa, sampai persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru
hingga keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis, bahkan klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional.
4.1.3 Wasripin dan Satinah
Novel WdS mengungkapkan bagaimana penguasa fobia dengan agama Islam, khususnya penguasa Orde Baru. Islam dipandang sebagai mitos yang para
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
penganutnya menyimpan “ideologi” pembangkangan. Tidak mengherankan bila Wasripin, tokoh utama novel ini, dilenyapkan para penguasa atas nama
pembangkangan tersebut. Begitu pula dengan tokoh Pak Modin yang dipaksa penguasa mengaku sebagai komandan NII Negara Islam Indonesia, sebagai alasan
jahat penguasa untuk meredam “suara-suara” yang tidak seragam dengan pemerintah. Perhatikan kutipan berikut.
Pagi TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat
yang dirahasiakan karena dapat meimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia Komandan DITII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan
Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk senapan dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang...Kata para pejabat yang
dikutip koran ialah bahwa pemerintah akan menindak tegas pelaku-pelaku makar...WdS:231.
Wasripin merupakan tokoh utama novel ini. Ia lahir di sebuah desa di pantai utara Cirebon dan Semarang. Kemudian merantau ke Jakarta, menjalani hidup
miskin, amat meyakinkan karena kemiskinannya telah memaksa ia menerima keadaan, termasuk keadaan yang hina dina, tanpa masa depan, bahkan bergelimang
dosa dan kenistaan. Gambaran kehidupan Wasripin yang miskin dan “bejat” di Jakarta dapat dilihat pada kutipan berikut.
Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua wanita lain yang masih bersaudara dengan emek angkatnya dan bekerja sebagai
penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki datang, ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam dipasang.
Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar suara-suara, tetapi waktu itu tidak tahu artinya...Umur enam belas atau tujuh belas emak
angkatnya meraba-raba sarungnya dan berbisik, sangat dekat ke telinganya.“Engkau laki-laki dewasa”....Dan emak angkatnya lalu sibuk
memasang kain penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
terjadi, namun kemudian tahulah ia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia menjadi terbiasa WdS:4.
Tidak ada moral di situ, apalagi yang dimaksud moral adalah tingkah laku kelas menengah dan kaya yang bermental “borjuis”. Wasripin hanya tamatan SD. Ia
kemudian menjadi pemuas nafsu para wanita di kampung kumuh Jakarta. Ia membantu emak angkatnya berjualan ketoprak. Ia tidak pernah sembahyang dan
mengenal peribadatan. Kemiskinan sebagai urban menyeretnya ke jurang penuh dosa dan kehinaan. Tetapi, ia bertekad ingin mengubah nasib dengan memutuskan
meninggalkan sudut Jakarta yang kumuh, menuju suatu desa di pantai utara antara Cirebon-Semarang, desa tempat dulu ibunya melahirkan dirinya. Dari peristiwa
inilah, latar cerita berpindah ke perkampungan di pantai utara. Seperti novel Kuntowijoyo yang lain, khususnya MPU, novel ini berpijak
pada latar sejarah dan sosial di zaman Orde Baru. Itu sebabnya, selain sebagai novel esai atau gagasan, novel Wds dapat dipandang pula sebagai “catatan etnografis”
mengenai pahit-getirnya kehidupan wong cilik yang tersingkir dari kehidupan dan kemudian dilenyapkan sebuah rezim yang sama sekali tidak pernah dipahami
keberadaannya oleh orang-orang miskin itu. Di kampung nelayan itulah hidup Wasripin berubah. Ia tidak lagi susah dan
menderita seperti waktu di Jakarta. Ia kini terhormat dan dibutuhkan banyak orang. Ia bisa belajar agama dan sholat kepada Pak Modin. Ia berkenalan dengan perempuan
yang kelak jadi calon mempelainya: Satinah yang datang dari sebuah desa, bersama masa lalu yang kelam dan menyakitkan. Satinah bersama pamannya, selain kerja
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
menjahit, menjadi penyanyi di pasar, di Tempat Pelelangan Ikan TPI, di berbagai tempat di kampung nelayan itu. Satinah yang miskin menolak lamaran untuk menjadi
pelacur. Ia memilih hidup bersama pamannya yang dulu “memerkosanya”, tetapi pamannya mencongkel mata sehingga buta dan berjanji menjadi “budak” Satinah.
Sama seperti dua novel sebelumnya, novel WdS ini pun dikemas dengan menggunakan alur maju yang menggambarkan kehidupan Wasripin hidup di sebuah
kampung yang tidak pernah lepas dari intrik politik, terutama permainan Partai Randu sama dengan “Partai Randu” dalam novel MPU, partai penguasa yang dapat
memanfaatkan seluruh jaringan birokrasi camat, polisi, tentara dan para penguasa. Wasripin suka menolong siapa saja, tidak pandang bulu. Itu sebabnya ia
nyaris dikultuskan penduduk, hingga akhirnya Wasripin dituduh sebagai penyebar ajaran sesat oleh Badan Pengawas Agama yang tidak lain alat penguasa untuk
mengawasi gerakan masyarakat dalam bidang agama. Sekali lagi harus ditegaskan, penguasa Orde Baru amat fobia dengan agama, khususnya agama Islam.
Demikianlah, perilaku para penguasa di zaman Orde Baru, dengan bantuan jaringan birokrasi, dengan serampangan menuduh dan membunuh masyarakat yang
tidak pernah jelas dan terbukti kesalahannya, termasuk gerakan-gerakan makar berbasis agama sebagaimana yang dituduhkan penguasa. Dalam kata-kata Bruinessen
1999:301, pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mensinyalir adanya beberapa kelompok yang dituduh sedang mempersiapkan negara Islam melalui jalan kekerasan.
Akan tetapi, sulit memastikan seberapa murni gerakan itu dan sejauh mana mereka benar-benar terlibat dalam apa yang dituduhkan kepada mereka. Kecilnya jumlah
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
anggota yang berhasil mereka rekrut menunjukkan bahwa di kalangan muslim yang kecewa sekalipun tidak ada kecenderungan kuat pada kekerasan fisik.
4.2 Pemikiran Tentang Sastra