meliputi antara lain selamatan atau wilujengan, melakukan upacara-upacara keagamaan dan perbuatan keramat. Mengenai selamatan dikenal ada bermacam-
macam bentuk. Hal tersebut selalu berkaitan dengan kelahiran, kematian, dan pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.
Wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa ini pun terlihat melalui tradisi slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual sowan dan
ruwatan yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Slametan
Hal yang menonjol dari masyarakat Jawa adalah kuatnya ikatan solideritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan
pemitosan terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan terhadap roh tersebut ancestor worship yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-
relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan roh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Ritus ritual sentral orang Jawa, khususnya Jawa Kejawen, adalah slametan, suatu perjamuan makan seremonial sederhana; semua tetangga harus diundang dan
keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Pada acara ini terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai
kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Sekaligus menimbulkan perasaan kuat bahwa semua warga desa adalah sama derajatnya satu sama lain, kecuali ada yang
memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Ritus selamatan sebagai sebuah awal kerja besar pada hakikatnya merupakan manifestasi pengakuan pada permohonan dan pemuliaan terhadap Yang Menciptakan
Jagad. Pengakuan dan permohonan sampai pemuliaan tersebut, sesuai dengan tradisi kuno nenek moyang, akhirnya merupakan penjelmaan simbol konkretisasi tindakan.
Oleh karena itu, ritus selamatan ibarat surat ijin formal. Ritus selamatan itu pula, dalam berbagai bentuk dan tujuan, dilakukan oleh
banyak anggota etnik di Indonesia – kelahiran, pernikahan, kematian, yang masing- masing dianggap tidak cukup hanya diselamati satu dua kali – pada gilirannya
menyematkan identitas dan predikat bahwa bangsa Indonesia diasuh dan ditayang oleh tradisi budaya magis-mistis. Sedangkan preparasi yang dipakai ritus pastilah
bervariasi ragam dan modelnya, bergantung pada tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Langkanya usaha melakukan riset, transkripsi, dan penerbitan
cetak pada era transformasi budaya tradisional dan modern akhir abad 20 mengakibatkan masalah yang berkaitan erat dengan budaya upacara hanya dihafal
oleh para pemuka komunitas etnik atau para lokal jenius dan cendikiawan setempat. Itulah sebabnya pada konteks kehidupan urban masa kini seluk-beluk yang
menyangkut tradisi ritual komunitas etnik tetap bernasib serba lisan. Tradisi slametan berakar dari budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata
slamet Arab : salamah yang berarti selamat, bahagia, dan sentosa. Slametan adalah kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara
di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang besar, mulai dari tedak siti upacara menginjak tanah, mantu perkawinan, hingga upacara tahunan untuk
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk
menahan kekuatan kekacauan tolak bala. Menurut Pamberton Mulder, 2005:89, praktik yang sarat dengan makna slametan tersebut dilaksanakan dengan maksud agar
dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan roh penunggu desa dhanyang .
Hal ini pun terlihat jelas dalam novel P, meskipun sudah berpikiran modern masyarakat Jawa masih saja memercayai tradisi tersebut. Perhatikan kutipan berikut.
Selamatan pasar baru Dan dia datang untuk itu Ikut bersenang bersama keruntuhan pekerjaannya Macam-macam pikirannya waktu makan...Setelah
selesai makan. Paijo baru sadar sungguh, ia orang asing di situ dan selamatan itu juga ditujukan untuk menyelamati bangkrutnya pasarnya P:57.
Novel P menggambarkan Kasan Ngali sebagai tokoh yang menghalalkan segala cara demi memuaskan nafsunya. Ia mendirikan pasar baru di depan rumahnya
untuk menyaingi pasar pemerintah yang dipimpin oleh Pak Mantri, yang pada akhirnya pasar saingannya itu bangkrut. Untuk merayakan berdirinya pasar baru
miliknya sekaligus merayakan kebangkrutan pasar pemerintah itu, Kasan Ngali mengadakan selamatan. Ia mengundang warga setempat, termasuk Paijo. Padahal
Paijo adalah pegawai pasar pemerintah dan orang kepercayaan Pak Mantri. Di dalam novel ini terjadi pergeseran fungsi dan pemahaman pada masyarakat
Jawa tentang selamatan. Selamatan yang awalnya ditujukan untuk niat yang baik dan untuk keselarasan seluruh makhluk di bumi berubah maknanya bagi orang-orang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
tertentu. Orang yang menyalahgunakan tradisi tersebut, selamatan dijadikan sebagai alat untuk melancarkan usahanya semata.
b . Sesajen
Tradisi sesajen sajen dijadikan sebagai sarana ritual keagamaan untuk memohon restu nenek moyang. Dalam ritual ini, fungsi roh nenek moyang dianggap
sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama
asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut ‘religion magic’ dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat Jawa. Sajian terdiri dari berbagai jenis makanan dalam jumlah yang sangat kecil,
yang antara lain terdiri dari nasi tumpeng, berbagai jenis panganan, rempah-rempah, bermacam-macam benda kecil yang diatur di atas sebuah pinggan kecil yang terbuat
dari sebuah bambu acak. Orang-orang desa selalu meletakkan sajen di sudut-sudut petak sawah pada
saat-saat kritis dalam siklus pertanian ; para keluarga petani di desa maupun orang kota meletakkannya di berbagai tempat di sekitar rumah, di halaman, dan di
persimpangan jalan, pada tiap hari Kamis malam malem Jemuwah. Perhatikan kutipan berikut.
Wasripin juga dikenal orang luar desa. Di sebuah desa ada rombongan penari jatilan alias kuda lumping. Sebelum bermain ketua rombongan …harus ada
restu danyang kuburan...Tapi restu bersyarat : danyang minta sajen…kembang menyan setiap malem Jum’at WdS:112.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, Smith
Sani, 2008:2 menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk
berbakti kepada dewa ataupun mencari kepuasan batin yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian
dari kewajiban sosial.
c. Penamaan Anak Orang Jawa dalam mengungkapkan tentang suatu kepercayaan juga selalu