Manusia yang Bersatu dengan Alam

objektif tidak hanya merupakan bagian dari dunia saja, tetapi manusia mengetahui dirinya dan korelasinya dengan yang lain yang dihayati dalam dunia ini. Ini berarti bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara konkret dan menyeluruh merupakan pula refleksi atas dunia. Jadi, dunia tidak dapat dipakai tanpa manusia. Demikian juga sebaliknya, manusia dan dunia dapat saling mengimplikasikan.

a. Manusia yang Bersatu dengan Alam

Berhadapan dengan alam, manusia berusaha untuk sedapatnya membebaskan diri daripadanya dengan merohanikan atau menghaluskannya. Alam pada dirinya sendiri sejauh berada dalam keasliannya termasuk alam kasar. Alam asli bagi orang Jawa adalah angker, mengerikan, dan menakutkan, tempat kebuasan, kekacauan, penuh bahaya, dan penuh roh-roh yang tidak dikenal. Bagi orang yang mencari kesaktian, alam merupakan tempat tinggal sementara dan tempat untuk membuktikan diri. Hubungan antara manusia dan alam sekelilingnya tidak bersifat eksploitatif agar dapat diperoleh keuntungan. Hubungan ini lebih bersifat saling menjaga sehingga terciptanya keselarasan. Masyarakat Jawa percaya bahwa siapa yang melanggar interaksi tersebut akan terkena hukuman baik dari warga maupun kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dan berasal dari alam adikodrati. Hubungan antara aktivitas manusia dengan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan. Dengan kebudayaan ini manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sebagai sistem aturan-aturan atau pola-pola kompleks nilai yang bersumber dari etika dan pandangan Minsarwati, 2002:48. Sikap kosmologis masyarakat Jawa terhadap lingkungan alam ini tercermin pada saat terjadinya letusan tanggal 22 November 1994 baik itu terjadi di Desa Purwobinangun, Turgo, Kepoharjo, Kaliadem,Umbulharjo, dan Kinahrejo. Di sini, tampak sekali bagaimana manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam Gunung Merapi. Mereka tidak mau meninggalkan daerahnya yang tertimpa bencana walaupun daerah itu sudah hancur lebur dilalap awan panas dan dijadikan sebagai daerah terlarang yang tidak layak huni. Kenyataan ini bisa dipahami sebagai sebuah sikap hidup atau sebuah kearifan atau kebijaksanaan hidup terhadap lingkungan alam dan budayanya yang selama ini dirasakan sebagai sesuatu yang berjiwa. Terjadinya letusan itu lebih dipaham sebagai sebuah takdir. Keengganan masyarakat untuk meninggalkan daerah menurut pandangan masyarakat umum di Yogyakarta lebih didasari oleh kewajaran. Hal ini menyangkut eksistensinya sebagai masyarakat lereng Merapi yang berbudaya yang mampu hidup berdampingan secara serasi dan harmonis dengan alam. Keberadaan Merapi tetap dipandang sebagai anugerah. Manusia selalu tunduk dan dikuasai oleh Gunung Merapi, hal ini bisa dilihat betapa masyarakat tidak berani menebang pohon seenaknya, berburu binatang di hutan, memindahkan batu-batu besar di tempat-tempat tertentu, mendirikan rumah menghadap ke arah Gunung Merapi, apalagi punya keberanian untuk membakar hutan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Makna kosmologis ini tentunya bermanfaat besar dalam meningkatkan martabat manusia pada tingkat pertama, sampai yang terakhir karena setelah itu maka ada tugas manusia adalah memayu hayuning bawana. Konsep ini dipandang sebagai etika kosmologis. Artinya, berupa ajakan moral yang implisit dalam hukum alam. Manusia harus membuat seluruh isi alam menjadi tenteram dan damai, untuk itu manusia harus menyadarinya dengan cara menaati tatanan yang berlaku dan hidup harmonis dan selaras. Oleh karena itu, manusia harus menciptakan keharmonisan terhadap alam dengan berlaku hidup selaras, serasi, dan seimbang.

b. Manusia yang Menaklukkan atau Mendayagunakan Alam