sebenarnya, yakni denotasinya. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa upaya itu tidak – atau belum? – berhasil sejauh ini.
Dekonstruksi atas mitos tersebut banyak dilakukan agar makna ‘perbaikan’ dan ‘sama rasa sama rata’ serta ‘kepatuhan terhadap etika dan hukum’ dapat
menggantikan mitos buruk yang berkembang ke notasi salah kaprah itu.
4. Ramah Tamah
Tradisi lisan mengenal kata ramah-tamah yang dilekatkan pada sifat bangsa Indonesia. Ia juga merupakan bagian dari tradisi lisan dalam masyarakat. Ini bahkan
sudah menjadi mitos. Dalam diri orang Jawa, ramah tamah ini sudah merupakan suatu ‘kewajiban’ dalam berinteraksi dalam masyarakat. Seperti kutipan berikut ini.
Maksud untuk sekadar menghabiskan waktu itu mengecewakan Zaitun. Mantri Pasar itu malahan menuduhnya. Hasil kunjungan ramah tamah yang
istimewa P:22. Kunjungan yang dikakukan Siti Zaitun pada Pak Mantri merupakan cerminan
ramah tamah orang Jawa yang menjadi ciri khasnya. Lazimnya, sikap tersebut dimulai oleh orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua atau bawahan
terhadap atasannya. Meskipun kadang-kadang sikap itu berpotensi untuk disambut dengan sikap sebaliknya, tetap saja sikap itu masih dipertahankan dalam kehidupan
sehari-hari. Ramah tamah sebagai ekspresi expression dimaknai Pak Mantri dengan
‘sikap berpura-pura’. Sikap berpura-pura ini merupakan makna konotasi yang juga isi content yang terealisasi melalui relasi sikap atau tindakan Siti Zaitun.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Khususnya setelah reformasi, terjadi banyak peristiwa yang membuat mitos ini menjadi luntur. Terlepas dari apa penyebabnya, kenyataan menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia telah kehilangan sifat ramah tamahnya. Bentrokan antaragama, antarsuku, terjadi di berbagai bagian negeri kita. Tawuran sudah menjadi bagian dari
tradisi lisan baru. Tawuran terjadi di kalangan pelajar dan bahkan mahasiswa. Dalam bertetangga kita masih melihat keramahtamahan sebagian bangsa kita. Akan tetapi,
begitu seseorang berada dalam kemudi mobil atau motor, ia menjadi orang lain yang sama sekali tidak ramah tamah. Mitos bangsa yang ramah tamah menjadi pudar dan
sedang berproses menjadi mitos baru; ‘bangsa yang suka berkelahi’. Perkembangan budaya masyarakat memperlihatkan ingroupness menjadi menonjol.
Sikap ramah tamah terhadap bangsa asing juga pernah merupakan mitos dalam masyarakat kita. Mitos ini pun sudah memudar di berbagai tempat, kita
mengamati terjadinya sikap tidak ramah terhadap kehadiran orang asing sehingga berpotensi merugikan peristiwa dan investasi asing. Mitos ini termasuk juga pudar
karena berbagai peristiwa di tanah air yang tidak menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah tamah.
5. Mahasiswa Kekuatan Moral