Lampiran 2 Sinopsis Novel-Novel Kuntowijoyo
a. Pasar
Novel Pasar mengisahkan lika-liku perjalanan kehidupan Pak Mantri dalam memimpin pasar kecamatan, sebuah kota kecil yang berada dalam transisi perubahan
sosial dan kebudayaan. Sebagai kepala pasar, Pak Mantri harus mengelola kehidupan pasar, mulai dari menarik orang agar melakukan kegiatan jual beli di pasar, membina
hubungan dengan aparatur pemerintah camat dan polisi, bekerjasama dengan dunia usaha, baik yang profesional bank maupun para pedagang. Untuk menjalankan
tugas operasionalnya, Pak Mantri dibantu oleh seorang pegawaipenarik karcis bernama Paijo.
Pak Mantri adalah orang Jawa terpelajar dan priayi yang tahu betul adat dan tata krama Jawa. Orang-orang mengakui hal ini, termasuk Pak Camat dan para
pegawai kecamatan lainnya. Penuturan yang hangat dan lincah dari pengarang menggambarkan kepada
pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan terpelajar. Namun, Pak Mantri tidak menyadari bahwa dirinya menimbulkan kesusahan bagi
para pedagang pasar. Burung-burung dara milik Pak Mantri, selain mengotori pasar dan mengganggu pengunjung pasar, juga merugikan para pedagang beras , jagung,
gaplek, dsb. Bukannya menyadari kesalahannya, malahan Pak Mantri menyalahkan orang-orang yang menolak kehadiran burung tersebut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Orang berbudi adalah orang yang bertanggungjawab. Memelihara burung itu adalah amanat. Itu tanggung jawab kita terhadap yang Mencipta burung.
Meskipun tidak ada undang-undangnya. Ialah hukum yang tak tertulis. Siapa menyiakan makhluk lain, ia akan disia-siakan pula, suatu kali. Dan tahukah
kau, bahwa hidup itu lebih dari hanya makan untuk diri sendiri? P:8. Burung itu peliharaan penting dan spiritual dalam budaya Jawa. Selain simbol
amanat Yang Mencipta sebagaimana yang diyakini Pak Mantri, memelihara burung juga merupakan bentuk kehalusan dan mencintai keindahan. Tidak ada orang Jawa
yang benar-benar orang Jawa tidak mencintai rasa halus dan keindahan. Masalahnya, cara Pak Mantri memelihara burung merugikan orang lain, bahkan merugikan negara.
Selain burung itu mengganggu pengunjung dan merugikan pedagang, burung juga menyita waktu kerja Paijo yang seorang abdi negara. Pak Mantri mencampuradukkan
antara kepentingan sebagai kepala pasar dan kepentingan pribadi dalam urusan burung ketika memakai tenaga Paijo. Hal ini merupakan gaya khas Kuntowijoyo
yang menggambarkan tokoh Pak Mantri yang seorang priayi terpelajar, tetapi di sisi lain merugikan orang lain. Pak Mantri bicara tata krama dan mawas diri gaya Jawa,
namun ia sendiri tidak mawas diri. Hari demi hari burung dara di atap kantor bank pasar semakin bertambah
jumlahnya. Burung-burung bebas beterbangan ke sana kemari, mengganggu lalu lalang orang-orang di pasar, bahkan mematuki barang-barang dagangan yang dijual
di pasar. Akibatnya, para pedagang tidak betah berjualan. Mula-mula mereka pindah ke luar pagar pasar sehingga memacetkan jalan umum. Kasan Ngali sebagai
pengusaha kecamatan melihat peluang ini. Dibukalah pasar swasta di halaman rumahnya, tidak jauh dari pasar Pak Mantri. Berpindahlah para pedagang ke pasar
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kasan Ngali, apalagi pasar Kasan Ngali tidak memungut bayaran sebagaimana pasar kecamatan yang dipimpin Pak Mantri.
Melihat pasarnya ditinggalkan orang, Pak Mantri tersinggung bukan kepalang. Namun, ia berusaha menahan diri. Sebagai priayi tidak baik mengumbar kemarahan.
Begitu keyakinannya. Namun, ketika pasar nyaris bangkrut ia merasa harus bertindak. Ia melapor kepada camat perihal “pembangkangan” pedagang pasar dan keberadaan
pasar tidak resmi milik Kasan Ngali. Camat menerima Pak Mantri dengan sopan, tetapi tidak ada realisasi atas laporan itu. Meski di hadapan Pak Camat selalu sopan,
hati Pak Mantri mengutuk-ngutuk dan mengatakan camat tidak tahu aturan, tidak mengerti kepriayian. Demikianlah orang Jawa, segala sesuatu disimpan dalam hati
dan karena itu dalam beberapa hal jadi munafik. Motif Kasan Ngali mendirikan pasar di halaman rumahnya tidak semata-mata
karena alasan ekonomi. Itu sebabnya ia tidak memungut bayaran. Motif yang paling penting, seperti kemudian ia juga membuka bank swasta, adalah unjuk diri dan
kekayaan kepada Siti Zaitun, pegawai bank pasar, yang diam-diam disukainya. Sebagai lelaki kaya yang doyan perempuan, ia tidak bisa mencegah dirinya untuk
menyukai Siti Zaitun. Memang pasar dan bank milik Kasan Ngali tidak banyak memberikan
keuntungan ekonomi baginya. Keuntungan diperolehnya lebih banyak dari usahanya memborong gaplek dan hasil tani di musim panen untuk dikeluarkan pada musim
paceklik dengan harga amat mahal. Atau meminjamkan uang kepada banyak orang di musim paceklik untuk membayar gaplek atau hasil tani lainnya di musim panen.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kasan Ngali adalah tengkulak dan begitulah umumnya watak tengkulak di mana pun. Ini semakin menimbulkan kebencian Pak Mantri terhadapnya, apalagi Pak Mantri
tahu bahwa Kasan Ngali mengincar Siti Zaitun. Pak Mantri sendiri, sebagai bujangan tua, meski dipendam dalam hati, diam-diam menyukai Siti Zaitun. Ia pun secara
terang-terangan mengutuk Kasan Ngali di hadapan Paijo. Puncak kemarahan Pak Mantri adalah ketika mendapati burung-burungnya
mati bergeletakan di halaman pasar. Kemarahan semakin telak manakala menyadari hadiah daging yang diberikan Siti Zaitun kepadanya adalah daging burung
peliharaannya sendiri. Ia marah dan melapor kepada polisi, tetapi tindak lanjut polisi tidak juga menggembirakan.
Pak Mantri akhirnya menyerah dan menyadari keadaan. Meski kesadaran itu datangnya tiba-tiba, Pak Mantri rela menyedekahkan semua burungnya kepada siapa
saja yang berhasil menangkapnya. Kandang-kandang burung di pasar dibongkar. Orang-orang menangkapi burung-burung itu. Dengan sikap penuh wibawa khas
priayi, Pak Mantri bersukacita dengan kesadaran dan tindakannya, termasuk ketika Kasan Ngali membeli burung-burung hasil tangkapan orang-orang untuk dilepaskan
lagi setelah diberi tanda cat pada bulu-bulunya. Sekali lagi Kasan Ngali yang bermental tengkulak memamerkan kekayaan, tidak lain tidak bukan dalam rangka
memikat hati Siti Zaitun dan mengejek Pak Mantri yang priayi itu. Kasan Ngali ditampilkan sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer
kekayaan, doyan perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi priayi Jawa.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan kedudukan Pak Mantri menjadi kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman modern sosok Pak Mantri yang amat
“Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar yang bergerak bersama perubahan sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk memimpin pasar, di mana berbagai
nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai priayi Pak Mantri, nilai-nilai profesionalitas modern Siti Zaitun, pegawai bank, progresivitas usaha Kasan Ngali,
wirausaha, dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan orang Jawa.
b. Mantra Pejinak Ular