Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu
sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.
Menurut Kluckhohn dalam Koentjaraningrat 2002:191, tiap sistem nilai budaya dalam kebudayaan itu terdapat lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima
masalah dasar tersebut digambarkan dengan jelas dalam novel-novel Kuntowijoyo sebagai berikut.
7.1.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan
Pada umumnya orang Jawa tidak banyak meminati tindakan-tindakan religius intensif seperi mencintai Allah, memuji-Nya, dan mempersembahkan diri kepada-
Nya. Mereka jarang menganggap diri sebagai hamba yang tidak pantas di hadapan Allah atau pantas dikutuk. Kata dosa dalam kesadaran religius Jawa – sejauh tidak
ditanamkan di dalamnya agama Islam atau agama Kristiani – tidak tampak memainkan peranan penting. Begitu pula kehidupan sesudah kematian, juga tidak
menimbulkan banyak perhatian yang penting hanyalah kewajiban mereka yang masih hidup untuk menjamin penguburan sesuai dengan adat kebiasaan agar tidak
menimbulkan kemarahan arwahnya. Hubungan orang Jawa dengan Allah bersifat tenang. Kesadaran akan Yang
Ilahi lebih merupakan semacam latar belakang yang hanya dieksplisitkan apabila ada alasan-alasan khusus. Sebelum peristiwa-peristiwa kehidupan penting atau dalam
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
keadaan terdesak diucapkan doa-doa, barangkali dengan berziarah ke tempat keramat atau naik ke Gunung Merapi untuk berdoa dan menawarkan sesajen. Kecuali itu,
perhatian orang Jawa diarahkan pada kehidupan sehari-hari. Pada akhir abad XVIII hampir seluruh Pulau Jawa secara resmi beragama
Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda-beda. Pusat Islam yang paling sadar adalah kota-kota di pesisir utara. Di situlah titik berat kebudayaan santri. Juga dalam
semua kota di pedalaman Jawa terdapat kampung-kampung santri. Kebudayaan santri itu berhadapan dengan kebudayaan keraton dan pedalaman Jawa. Walaupun, keraton-
keraton secara resmi memeluk agama Islam, namun tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol. Keraton menjadi pusat kebudayaan Jawa klasik dengan tari-tarian dan
pertunjukan wayang, dengan gamelan dan dengan suatu ritual keagamaan yang memang diadakan pada hari-hari besar Islam, tetapi yang isinya berasal dari zaman
Hindu-Jawa. Agama Islam dianggap sebagai salah satu persiapan untuk memperoleh kesatuan dengan Illahi, dan apabila kesatuan itu telah tercapai bentuk persiapan itu
dianggap tidak begitu penting lagi. Di keraton-keraton, khususnya di Surakarta berkembanglah kesusastraan mistik yang sangat dipengaruhi oleh mistik Islam,
namun pada hakikatnya bersifat heterodoks.
Potret gambaran tentang perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan sampai meninggal dunia, diilustrasikan secara apik oleh leluhur Jawa dalam macapat; yakni
dari tembang Mijil sampai Pucung. Bahkan, para pujangga bukan sekadar memotret fase-fase penting dalam perjalanan hidup manusia, tetapi juga memberikan solusi atau
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi; baik mengenai makna, hikmah serta penyikapannya solusi yang semuanya dikemas secara simbolik metafor.
Refleksi perjalanan manusia dalam novel-novel Kuntowijoyo yang terekam dalam macapat tersebut, yakni sebagai berikut.
1. Mijil
Mijil berarti keluar atau lahir, bayi yang baru lahir dari gua garba rahim ibu. Bayi yang baru saja dilahirkan, tentu dalam keadaan fitrah, suci, atau murni dan tanpa
dosa; ibaratnya seperti kertas putih. Pada dasarnya usia 0-15 tahun, seorang anak memiliki kecenderungan pada boneka doll. Pengertian boneka di sini, yakni
mainan; segala sesuatu yang bersifat materi. Dalam tuntunan agama Islam, Allah SWT sebagaimana dinyatakan dalam
Alqur’an telah menyatakan bahwa bayi yang fitrah; apakah ia akan beragama
Islam, Nasrani, atau Yahudi maka orang tua yang bertanggungjawab sebab mereka yang mendidik anaknya sejak lahir.
Di sinilah peran penting orang tua dalam mengasuh anaknya. Secara sederhana, kewajiban orang tua dalam mengasuh anak, antara lain sebagai berikut.
a. Memberikan nama yang baik kepada anaknya. Nama yang baik tadi
merupakan doa dan harapan orang tua sehingga si anak kelak setelah dewasa menjadi orang, sesuai harapan orang tuanya.
b. Memberikan kebutuhan si anak, baik menyangkut sandang, pangan, dan
papan tempat tinggal sehingga terjalin suasana yang baik dalam keluarganya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
c. Memberikan pengajaran, pendidikan, atau menyekolahkan dalam rangka
menuntut ilmu. Kebutuhan yang azasi bagi seorang manusia adalah menuntut ilmu. Itulah yang terdeteksi dari proses perjalanan nabi Adam as, saat
mendapatkan pengajaran yang baik oleh Allah SWT ketika berada di surga. d.
Dalam ajaran Islam, Rasulullah SAW pernah menganjurkan agar orang tua memberikan tiga pelatihan kepada anak-anaknya; 1 melatihnya memanah
dengan anak panah; 2 melatih berenang; dan 3 melatih menunggang kuda. e.
Dari kelahiran si jabang bayi sebagai ungkapan syukur, diharapkan orang tuanya menyembelih kambing yang diniatkan untuk aqiqah dimaksudkan
sebagai ‘penebusan’ hawa nafsu si bayi yang telah tergadaikan yang dagingnya diberikan kepada fakir miskin atau tetangganya.
f. Setelah besar atau kira-kira berusia 7-12 tahun, si anak laki-laki dikhitankan.
Dalam persfektif kejawen, khitan tadi diistilahkan sebagai ‘mengislamkan’ si anak.
g. Orang tua diharapkan memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya dengan
melindungi, menjaga, dan merawatnya dengan baik. h.
Orang tua diharapkan bisa mendidik anak-anaknya secara baik, yakni dengan konsep pengajaran Jawa, yakni dengan mulat mengetahui, milolo
mendorong, miluta membimbing, palidarma memaafkan kepada anak- anak.
Tradisi macapat ini muncul pada masa Jawa-Islam yang dibawa oleh walisongo saat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Tembang ini diyakini dapat
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
berpengaruh baik pada kehidupan seorang anak yang baru lahir. Macapat ini dinyanyikan dengan iringan gamelan yang bertujuan untuk mendoakan si anak agar
menjadi orang yang berguna kelak. Perhatikan kutipan berikut. Pada hari kelima, diadakan sepasaran dengan mengundang macapatan dan
gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu
Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua orang tuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya pada
jabang bayi yang baru lahir. Kemudian dengan suara serak seseorang tua melagukan Dandanggula, peninggalan Sunan Kalijaga yang berisi doa
keselamatan: Ana kidung rumeksa ing wengi Ada nyanyian menjaga malam
teguh ayu luputa ing lara aman sentosa tidak terkena penyakit kalisa
bilai kabeh
luput dari semua penderitaan jim setan datan purun
jin dan setan tidak mau mengganggu paneluhan tan ana wani
santet tidak berani mendekat miwah panggawe ala
dan semua perbuatan jahat gunaning wong luput
guna-guna dari orang salah agni atemahan tirta
api menjadi air maling adoh tan ana ngarah mring mami
pencuri jauh tidak menuju saya tuju dudu pan sirna
maksud jahat akan musnah Pembacaan macapat itu ditutup dengan kenduri dan doa yang dipimpin oleh
modin desa MPU:2-3. Mijil atau lahir, secara maknawi bisa saja dikontekstualkan sebagai lahirnya
gagasan, ide, intuisi batin atau semacam uneg-uneg dan sebagainya. Bahkan, dalam kepribadian pun seseorang bisa ‘dilahirkan’ kembali setelah hijrah dari kegelapan
menuju terang-benderang. Begitu pula dengan ‘kelahiran baru’, ‘semangat baru’, ‘motivasi baru’, ‘rencana baru’ dan seterusnya.
Seorang tokoh sufi besar, Imam Hasan al-Bashri saat berumur 70 tahun pernah merefleksikan kesuksesan Simeon ketika meninggal dunia pada usia 70 tahun
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
setelah bersyahadat membaca syahadat. Padahal sebelumnya Simeon selama 70 tahun adalah seorang penyembah api beragama Majusi.
Peristiwa di atas mengisyaratkan bahwa meski usia Simeon telah 70 tahun tetapi sebenarnya ia baru saja mengalami proses ‘kelahirannya kembali’ setelah
membaca syahadat dengan meninggalkan keyakinan yang telah digelutinya selama 70 tahun.
2. Asmarandana
Asmarandana artinya fase atau masa di mana seseorang telah berhubungan dengan asmara atau cinta terhadap lawan jenis. Begitulah tema tentang cinta atau
percintaan antara laki-laki dan perempuan merupakan ‘tema abadi’ dari zaman Nabi Adam hingga kiamat. Tema tentang cinta dianggap oleh banyak orang merupakn
peristiwa manusia dari bagian hidup yang teramat penting dari tiga hal penting; yakni, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Orang yang terlibat cinta misalnya
seorang lelaki yang mencintai seorang perempuan cantik, bisa menimbulkan semangat dan gairah hidup. Sebaliknya, orang yang mengalami kegagalan cinta bisa
mengalami patah hati, frustasi hingga tega melakukan bunuh diri, sebagaimana yang terekspresikan dalam kisah cinta Romeo dan Juliet.
Pada fase ini, biasanya usia belasan tahun 17 tahun, seseorang sudah mengenal cinta pertama alias ‘cinta monyet’. Tentu, ini masih berada dalam tahap
yang masih awal dalam fase percintaan yang sesungguhnya cinta sejati. Setelah berusia 25 tahun bagi laki-laki dan 22 tahun bagi perempuan, biasanya mereka telah
mulai matang dewasa yang sebenarnya untuk memasuki masa perkawinan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Purwadi dalam Susetya 2007:11 menyatakan masalah percintaan asmara yang disalurkan sesuai dengan moral agama akan membuahkan sesuatu yang baik,
menyelamatkan, kehormatan, kemuliaan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika seseorang bermain-main dalam urusan percintaan, maka akan menyebabkan problem
solving dalam urusan sosial kemasyarakatan. Dalam budaya Jawa sering diungkapkan ‘witing tresna jalaran suka kulina’
cinta bisa tumbuh dan berkembang karena kebiasaan. Artinya, dalam pergaulan atau persahabatan antara pria dan wanita yang pada awalnya tidak memikirkan masalah
percintaan, namun lama-kelamaan akan bisa menumbuhkan cinta di antara mereka; lantaran kulina kebiasaan sehari-hari. Mungkin kebiasaan karena seringnya bertemu
satu dengan lainnya. Bisa saja karena terjadi interaksi dengan saling membantu di antara mereka, atau karena sama-sama bekerja di instansi yang sama, sehingga sering
bertemu dan bertegur-sapa, hingga lahirlah cinta dari lubuk hatinya. Namun, dalam Islam sama sekali tidak mengenal istilah pacaran karena bukan
muhrim-nya, antara laki-laki dan perempuan dilarang saling pandang, bergaul secara bebas, duduk dan bepergian berduaan, dst. Hal tersebut dimaksudkan untuk
mengantisipasi terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan sebab betapa banyaknya laki- laki atau perempuan telah terseret arus pergaulan bebas.
Pada novel
MPU, Abu Kasan banyak membuat geguritan asmaradana untuk kekasihnya Lastri. Salah satunya dapat dilihat pada kutipan berikut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Di Rumpun Bambu Burung Kecil Pada suatu kali dalam perjalanan
Di suatu rumpun bambu kutemukan Sebuah sarang dan di dalamnya
Seekor burung kecil yang manis
Burung kecilku yang manis Senyum di wajahnya
Menyambut pengembara Lagu didendangkan
Aku pun berhenti
... Cinta pengembara yang gairah
Cinta pengembara yang gelisah
Burung kecilku yang manis Katakan cintamu padaku
Cintamu air bening sahara Cintamu penghapus duka
.... MPU:163-164
3. Kinanthi
Kinanthi adalah fase setelah seseorang melakukan perkawinan sehingga memasuki babak baru dalam menjalani kehidupannya yakni kehidupan berumah
tangga. Pujangga Jawa, dalam rambu-rambu perkawinan, telah memberikan nasihatnya melalui senandung tembang, yang jika diperhatikan oleh masyarakat Jawa
akan sangat bermanfaat, sebagai berikut : Gegarane wong akrami
rambu-rambu dalam perkawinan dudu bandha dudu rupa
bukan karena harta, bukan karena wajah amung ati pawitane
hanya hati modalnya luput pisan kena pisan
gagal sekali, tepat sekali yen angel angel kelangkung jika terlanjur sulit, sulit sekali
tan kena tinumbas arta jika benartepat ibaratnya tidak bisa dibeli
harta WdS:19
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Barangkali makna
tembang tersebut menafsirkan ajaran dalam agama Islam bahwa yang harus diutamakan dalam menentukan perkawinan adalah kualitas pribadi
seseorang dalam kedewasaan keyakinannya. Ini artinya seseorang tadi telah memiliki modal kuat dalam hati dan kepribadiannya berkaitan dengan agamanya. Nabi SAW
memang memberikan alternatif sebagai rambu-rambu dalam perkawinan, di antaranya menikah karena: 1 agamanya; 2 memiliki nashab keturunan yang baik
atau mulia; 3 kecantikanketampanan wajahnya; dan 4 hartanya. Setelah memasuki perkawinan, biasanya para sesepuh, ulama, orang tua
masing-masing mendoakan agar dalam kehidupan perkawinannya, pasangan suami- isteri dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah; yakni
kehidupan yang bahagia saling mencintai dalam naungan rahmat Allah SWT. 4.
Dhandhanggula Dhandhanggula sebenarnya terdiri dari dua kata; dhandhang yang artinya pait
pahit dan gula yang berarti manis. Jadi, dhandhanggula berarti gambaran pahit- manis alias suka-duka dalam kehidupan terutama setelah seseorang memasuki
kehidupan berumah tangga. Pada fase ini, pasangan suami isteri, di samping mengalami kenikmatan dan kebahagiaan hidup, misalnya telah mendapatkan
momongan anak dari perkawinannya serta penghasilan yang cukup, tetapi mereka juga makin memiliki tanggung jawab yang besar sehingga mereka harus menjalani
kehidupannya dengan lara lapa prihatin. Makna dhandhanggula menurut Purwadi dalam Susetya, 2007:17, yakni
rasa optimis terhadap masa depan yang lebih manis, lebih cerah, dan lebih gemilang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
harus melewati masa pahit terlebih dahulu. Oleh karena itu, masa depan yang cerah dan baik harus dilewati dengan agenda hidup yang lebih jelas dan tertata rapi,
lumampah anut wirama berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada novel WdS tembang dhandanggula ini dilantunkan oleh Satinah, seperti
terlihat dalam kutipan berikut. Setelah selesai, katanya, Saya akan menyanyikan ‘Dandanggula Tanah
Merindukan Hujan...yang penting tembang ini jujur. Mulai, ya?” Adhuh Gusti, tan jawah puniki
Aduh Tuhan, hujan tidak datang Lemah-lemah selak padha bengkah
tanah-tanah sudah tidak tahan Grimis we mendah senenge
gerimis saja
betapa senang
... Mengko neka keduwung
nanti kalau
menyesal Yen ana sing andhisiki jika
ada yangmendahului
Nyiram banyu tawa menyiram
air tawar
Wong selak pikun sebab
keburu pikun
Aywa suwe-suwe to jangan
terlalu lama
Anggonmu mikir kuwi kau
memikirkan Wong butuh tenan kakang
soalnya saya
membutuhkan, kakang
WdS:192-193
5. Megatruh
Megatruth berarti megat memutuskan, sedang ruh roh, sehingga memutuskan atau terlepasnya roh seorang manusia. Ini adalah fase terakhir manusia,
yakni mengahadapi kematian. Purwadi dalam Susetya 2007:23 menyatakan bahwa pada tingkat megatruh ini identik dengan tingkatan makrifat yang sudah ikhlas lahir
batin sehingga mencapai ‘mati sajroning urip’hingga mencapai akhir hidup yang baik.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Pada novel MPU tembang ini menceritakan menceritakan perjalanan Jaka Tingkir melewati Bengawan Solo yang masa itu dikenal sebagai sungai yang banyak
buayanya. Perhatikan kutipan berikut. Dengan tembang Megatruh, diceritakan perjalanan Jaka Tingkir alias Mas
Karebet dari Padepokan Banyubiru ke Demak lewat Bengawan Solo. Pada abad ke-16 Bengawan Solo pasti masih banyak buayanya.
Sigra milir
segera hanyut
Sang gethek sinangga bajul rakit
didukung buaya
Kawan dasa kang jageni empat puluh buaya yang menjaga
Ing ngarsa miwahing pungkur di muka dan di belakang
Tinepi ing kanan kering di tepi kanan dan kiri
Sang gethek lampahnya alon rakit berjalan perlahan-lahan
WdS:41-42 Megatruh ini dinyanyikan orang Jawa ketika mereka merasa ajalnya sudah
dekat. Ini juga merupakan tembang perpisahan kepada dunia beserta isinya. Sementara itu, tembang macapat yang tergolong pada sinom, maskumambang,
durma, pangkur, gambuh, dan pucung tidak terdapat dalam novel-novel Kuntowijoyo. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis tidak menjelaskannya.
Selanjutnya, salah satu yang patut dicatat dalam proses perkembangan budaya Jawa adalah adanya pengaruh yang kuat dari budaya India Hindu-Budha. Pengaruh
Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah
melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga terhadap sistem agama.
Cerita Ajisaka yang datang ke Pulau Jawa kemudian mengubah huruf India ke dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sejarah Jawa. Perkembangan ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabrata dan Ramayana
dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena golongan cendikiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka
golongan cendikiawan Jawa menjadi kaum bangsawan priyayi, yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha mengalami proses Jawanisasi.
Kuntowijoyo mentransmisikan sosiohistoris tersebut pada tokoh ‘Ayah Satiyem’. Tokoh tersebut berpandangan bahwa agama apapun seorang baik itu Islam,
Kristen, Hindu, ataupun Budha harus tetap mempertahankan budayanya. Agaknya ini juga merupakan pemikiran Kuntowijoyo selaku budayawan yang tersirat melalui
novel tersebut. Ayahnya berpendapat bahwa orang bisa beragama apa saja : Islam-Kristen-
Budha, tetapi jangan lupa Jawanya. Jowo berarti tahu makna hidup WdS:45.
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu
baik, maka sangat wajarlah jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis bersifat momot atau serba memuat.
7.1.2 Hubungan Manusia dengan Alam