Landasan Teori KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

Dengan demikian, filsafat Jawa menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi, artinya menyadari kesatuan hubungannya dengan Tuhan. Maka paham Jawa melihat sesuatu yang tidak mudah terjangkau oleh sembarangan orang sebagai gejala metaempiris yang berasal dari wahyu Illahi.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra. Penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu ini, tampaknya masih jarang diminati. Padahal, sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali dari model ini. Maksudnya, peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat lebih leluasa memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner, karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia. Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia anthoropos. Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti : bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleks ide, kompleks aktivitas, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleks ide. Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat negara-negara kolonial, khususnya Inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non-Eropah dalam rangka mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Dalam hal ini antropologi sastra ada kaitannya dengan studi orientalis. Atas dasar pertimbangan bahwa sistem kultural suatu bangsa tersimpan di dalam bahasa, maka jelas karya sastra merupakan sumber yang sangat penting. Dalam ruang lingkup regional dan nasional jelas antropologi sastra perlu dibina dan dikembangkan. Polemik Kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana tidak semata-mata berorientasi ke Barat, sebagaimana ditanggapi oleh kritikus dan budayawan yang lain. Sebaliknya, Polemik Kebudayaan bermaksud untuk menemukan pola-pola kebudayaan nasional, dasar- dasar berpikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan model-model kesenian berikutnya, khususnya kesusastraan. Dengan memanfaatkan bahasa Indonesia yang secara definitif sudah mulai digunakan sejak Kebangkitan Nasional 1908, yang kemudian disahkan dalam Sumpah Pemuda 1928, karya sastra Indonesia modern diharapkan mampu menjadi wadah bagi aspirasi bangsa, baik intelektual maupun emosional. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya merupakan kelanjutan sastra Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya diharapkan mampu untuk memberikan keseimbangan antara perkembangan teknologi dan perkembangan spritual. Meskipun karya sastra tersebut merupakan hasil imajinasi, tetapi perlu Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 diketahui bahwa justru di dalam imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermain- mainkan’, di situlah lokus penelitian antropologi sastra Ratna, 2004:352. Banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan manusia dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan sastra. Jadi, penelitian sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat. Menurut Kleden 2004:356, refleksi kebudayaan harus selalu diadakan karena kebudayaan hanya dapat dikembangkan karena direfleksikan. Tanpa refleksi, bukan tidak mungkin bahwa suatu masyarakat akan hanyut dalam semacam determinisme kebudayaan. Dalam pandangan kebudayaan yang deterministis kebudayaan dipandang hanya sebagai norma dan nilai yang tidak boleh digugat, dan bukannya juga produk-produk bersama yang telah dihasilkan dan diciptakan, dan karena itu dapat selalu berubah dan diubah bilamana tidak sesuai lagi dengan keperluan pada saat ini. Sesuai kedudukannya sebagai kata benda kebudayaan harus kita hadapi dan kita terima, tetapi dalam kedudukannya sebagai kata kerja kebudayaan harus digarap dan diolah kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat Wallace 1966:70 bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah sistem kepercayaan yang merupakan serangkaian pengetahuan manusia mengenai kosmologi, seperti makhluk halus, mitos, serta dunia nyata yang kompleks. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Hoed 2007:122 menjelaskan bahwa setiap lapisan kebudayaan mengandung prinsip-prinsip supraindividual dengan warga masyarakatnya yang masing-masing mempunyai benih otonomi individual. Benih-benih itu menjadi kuat dan mulai meninggalkan sebagian prinsip-prinsip supraindividual dalam kebudayaan internasional atau global untuk membentuk kebudayaan baru. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagai animal symbolicum, yang menolak hakikat manusia sebagai animal rationale. Cassirer 1990:65 menyatakan bahwa sistem simbol mendahului sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol. Menurut teori ini, karakteristik yang menandai semua kegiatan manusia adalah proses simbolisme. Sebagaimana dikatakan oleh Eliade 2002:12 bahwa pemikiran simbolik merupakan salah satu bagian mutlak manusia. Pemikiran simbolik adalah awal dari bahasa dan pemikiran deskriptif. Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di satu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang memungkinkan sistem komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas. Di pihak lain, sesuai dengan pendapat Bloch Ratna, 2004:351, manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling memengaruhi, yaitu : a hubungan manusia dengan alam sekitar, b hubungan manusia dengan manusia yang lain, c hubungan manusia dengan struktur dan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 institusi sosial, d hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, dan f manusia dan kesadaran religius atau para-religius. Menurut Forde Minsarwati, 2002:48, hubungan antara aktivitas manusia dengan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan. Melalui kebudayaan ini manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan sebagai sistem aturan-aturan atau pola-pola untuk perilaku dan berupa pola kompleks nilai yang bersumber dari etika dan pandangan. Pada umumnya penelitian antropologi sastra, menurut Bernard Endraswara, 2008:109 lebih bersumber pada tiga hal, yaitu a manusiaorang, b artikel tentang sastra, c bibliografi. Dari ketiga sumber data ini sering dijadikan pijakan seorang peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber data tersebut dipandang sebagai documentation resources. Hal ini memang patut dipahami karena karya sastra sebenarnya juga merupakan sumber informasi. Selanjutnya, antropologi sastra ini termasuk juga ke dalam pendekatan arketaipal, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern. Hal tersebut berhubungan dengan unsur-unsur mitos, legenda, dongeng, fantasi, dan sejarah dalam karya sastra. Satu lagi yang menjadi inti pendekatan ini ialah penelitian terhadap konsep kesadaran kolektif dan primordial images yang terungkap dalam karya sastra. Dalam pengaplikasiannya seseorang dituntut menguasai sistem dan budaya masyarakat. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Scott Sikana, 2008:137, dalam buku teori klasiknya Five Approaches of Literary Criticism menjelaskan arketaipal menjurus kepada pencarian simbol, ritual, dan unsur-unsur tradisi dalam karya sastra. Arketaipal lebih bertumpu kepada analisis yang bersifat mengkaji manusia dengan tindak-tanduknya daripada mengkaji unsur estetik dan intrinsik karya. Oleh karena itu pendekatan ini berhubungan dengan psikologi manusia, sebab manusia dalam setiap zaman tidak terlepas dari tindakan- tindakan yang berbentuk budaya dan kesenian. Jung 1875-1961 kelahiran Swiss adalah pelopor teori arketaipal. Jung juga merupakan psikiater. Teori ini merupakan lanjutan falsafah psikologis Jung. Lebih lanjut, Jung Sikana, 2008:138 mengemukakan bahwa dalam diri manusia, terutama pengarang, memiliki suatu indera dan intuisi. Tanpa sadar, penceritaan terhadap sesuatu akan dilakukan secara turun-temurun. Jung juga menyebutkan bahwa manusia mempunyai persamaan pengalaman dan asas serta tidak berubah-ubah. Di samping itu, terdapat juga penyimpangan gaya hidup terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Sangat beralasan jika Sikana mengemukakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan pada karya-karya yang kaya dengan unsur-unsur mitos. Hal itu sejalan dengan pendapat Frye, yang menegaskan bahwa karya yang paling banyak dapat dihubungkan dengan mitologisme dan arkaisme ini ialah yang bercorak keagamaan, yaitu segala bentuk kepercayaan tradisi; seperti animisme, totemisme, berhala, dan agama Kristiani sendiri. Menurutnya, setiap kepercayaan itu kaya dengan unsur-unsur mitos; malah kelahiran kepercayaan itu sendiri dibina oleh mitos-mitos Sikana, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 2008:134. Mitos ini pula dalam interpretasi yang luas dapat dikaitkan dengan teori psikologi Jung. Dengan demikian, antropologi sastra dapat mengkajinya dalam bentuk paparan etnografi. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

2.4 Model Penelitian