Mantra Pejinak Ular Strukturalisme Novel-Novel Kuntowijoyo .1

kepada pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan terpelajar. Kasan Ngali merupakan tokoh protagonis dalam cerita yang ditampilkan sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer kekayaan, doyan perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi priayi Jawa. Jabrohim benar ketika mengatakan bahwa novel Pasar kuntowijoyo mengisahkan proses pewarisan nilai-nilai budaya Jawa dalam perubahan sosial di sebuah kota kecamatan 1996:5. Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan kedudukan Pak Mantri menjadi kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman modern sosok Pak Mantri yang amat “Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar yang bergerak bersama perubahan sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk memimpin pasar, di mana berbagai nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai priayi Pak Mantri, nilai-nilai profesionalitas modern Siti Zaitun, pegawai bank, progresivitas usaha Kasan Ngali, wirausaha, dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan orang Jawa.

4.1.2 Mantra Pejinak Ular

Dua masalah pokok yang menonjol dalam novel MPU adalah perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan agraris yang berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses perubahan sosial budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika kelompok politik dominan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 mayoritas Orde Baru dengan kelompok minoritas yang akhirnya sanggup menjebol dan meruntuhkan kelompok dominan itu. Itu sebabnya, selain semacam “catatan etnografis”, novel Kuntowijoyo ini dalam kadar tertentu adalah novel sejarah. Tepatnya, catatan etnografis dan sejarah mengenai perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Tokoh utama novel ini adalah Abu Kasan Sapari. Abu Kasan Sapari lahir di tengah masyarakat agraris yang seluruh sikap dan tindak–tanduknya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Nama Abu Kasan sendiri tidak luput dari pertimbangan mitos dalam tradisi, yang mengacu pada Abu sahabat nabi, yakni Abu Bakar, Kasan cucu nabi, alias Hasan, sedangkan Sapar adalah bulan ketika ayah-ibu Abu Kasan menikah. Macapat dan tembang Jawa, misalnya Dhandanggula peninggalan Sunan Kalijaga, shalawatan dari buku barzanji, sejak Abu Kasan bayi sudah merasuk ke dalam jiwanya. Inilah catatan etnografis yang memperlihatkan pernak-pernik kehidupan masyarakat agraris dengan segala rupa mitos, keyakinan, dimana agama sering bercampur dengan tradisi budaya turun-temurun. Latar cerita digambarkan di kaki Gunung Lawu. Kegitan Abu Kasan dan masyarakat Jawa pedesaan dipusatkan di kaki gunung tersebut, yakni saat membangun desa: membuat saluran air, membangun MCK, mengajak masyarakat memelihara kebersihan lingkungan, membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya menyadarkan masyarakat akan hak-hak politik sebagai warga negara. Di bawah komando camat, bupati, dan seterusnya ke atas, Abu Kasan terlibat dalam gerakan- gerakan penataran P-4, perpustakaan masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 perekonomian desa penyuluhan cara beternak, bertani, membuat emping melinjo, dan sebagainya. Ia bekerjasama dengan mahasiswa UNS yang KKN, menyiapkan berbagai perlombaan yang mengarah pada modernisasi pedesaan. Abu Kasan Sapari, meski berbasis tradisi Jawa-Islam dan dididik secara priayi oleh kakek-neneknya, akhirnya menjadi agen modernisasi pembangunan. Judul novel ini “Mantra Pejinak Ular” tentu saja memegang peranan penting dalam menggulirkan peristiwa demi peristiwa dalam novel ini, khususnya dalam konteks perubahan sosial budaya. Pada bagian akhir novel akan terlihat bagaimana Abu Kasan harus meninggalkan ular-ular dan membuang mantra kemudian sepenuhnya memasuki kehidupan realitas kawin dengan Lastri, mendalang, sambil tetap menjadi pegawai negeri. Dalam bahasa esai Kuntowijoyo sendiri, bagian akhir novel ketika mengisahkan Abu Kasan berpisah dengan ular dan mantranya, dapat dianggap sebagai peristiwa “ selamat tinggal mitos, selamat datang realitas”. Demikianlah Kuntowijoyo menegaskan bahwa hidup sekarang ini tidak bisa tidak berpijak pada realitas, berpegang pada ilmu, percaya pada yang transenden Tuhan, bukan berpijak pada mitos, berpegangan pada klenik, apalagi syirik menjamakkan Tuhan. Simaklah kata-kata eyang leluhur Abu Kasan yang hadir dalam mimpinya: “Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu. Teknologi, dan doa, bukan mantra” MPU:231. Melalui novel ini Kuntowijoyo mengajak masyarakat untuk meninggalkan mantra-mantra yang berbasis mitos, mistik, dan klenik. Kemudian, menggantinya dengan ilmu yang berpijak pada realitas dan doa yang langsung mentransendensikan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi amar ma’ruf, liberasi nahyi munkar, dan transendensi tu’minunabillah. Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal tokoh lain yakni, seorang perempuan yang akan dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan perias pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak menolong kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat kepada Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik yang tidak menyukainya. Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep wayang dituturkan dengan alur maju dan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh bagian novel bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang dipahami. Novel ini merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan sejarah yang dimulai dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat Kemuning di kaki Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala desa, sampai persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru hingga keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis, bahkan klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional.

4.1.3 Wasripin dan Satinah