Dialektika Dua Dunia Pemikiran Tentang Sastra

yang berbasis transendensi dilangsungkan. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo melalui tokoh Abu Kasan Sapari dalam Mantra Pejinak Ular berikut. “Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh. Kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya.”MPU:83. Dengan demikian, hampir semua novel Kuntowijoyo membersitkan filosofi- psikologi manusia dan budaya Jawa, konsep dan gagasan yang berpijak pada pemikiran Islam, realitas dunia kehidupan sehari-hari, mistik yang dihadapkan dengan ilmu sosial dan empiris, untuk akhirnya mengelaborasi spritualitas manusia dan menautkannya pada segi transendensi manusia itu sendiri. Sebagai karya intelektual, karya Kuntowijoyo selalu bertendens pada keyakinan gagasan sebagaimana dikonsepkannya sendiri, termasuk konsepnya mengenai sastra transendentalsastra profetik.

4.2.2. Dialektika Dua Dunia

Putra Anwar, 2007:114 menyebut bahwa novel-novel Kuntowijoyo, kecuali Khotbah di Atas Bukit, dapat dikatakan dongeng etnografis kehidupan manusia dan masyarakat Jawa dalam perubahan sosial dari budaya agraris ke budaya kota. Dengan gaya realisme yang melukiskan manusia di sebuah masyarakat, novel-novel Kuntowijoyo kental dengan informasi etnografis, bahkan informasi kesejarahan. Akan tetapi, sebagai novel pastilah Kuntowijoyo tidak bermaksud menyampaikan informasi etnografis dan unsur kesejarahan, melainkan memandang bagaimana Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 perubahan sosial berlangsung di suatu masyarakat yang dengan sendirinya mengubah sistem masyarakat. Perubahan itu sendiri merupakan gerak sejarah yang niscaya dalam pertumbuhan masyarakat. Novel-novel Kuntowijoyo konsen merenungi masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Rujukannya pada realitas tertentu, bahkan peristiwa sosial dan sejarah, tidak terlalu sulit dibuktikan. Novel Kuntowijoyo lebih tepat disebut sebagai novel sosial karena sebagaimana dikonsepkannya, novel sosial dapat menggunakan peristiwa sejarah kontemporer sebagai bahannya. Peristiwa sejarah kontemporer barangkali di zaman pengarang hidup hanya disebut sebagai peristiwa sosial saja. Akan tetapi, pada suatu hari bukan tidak mungkin peristiwa sosial sudah dipahami sebagai peristiwa sejarah. Seperti umumnya cerpen-cerpen Kuntowijoyo, novel-novelnya juga dituturkan dengan gaya realisme. Realisme adalah gaya penulisan yang menurut Lukacs merupakan jalinan lengkap hubungan antara manusia, alam, dan sejarah. Oleh karena itu, tugas seorang penulis realis adalah meluaskan kecenderungan dan kekuatan khusus dalam mewujudkan perasaan dan tindakan individu. Seorang realis senantiasa mengintegrasikan individu ke dalam keseluruhan masyarakat dan menginformasikan setiap kekhususan dalam kehidupan sosial dengan kekuatan “sejarah” atau sebuah pergerakan Eagleton, 1976:28. Kuntowijoyo tentu bukan seorang Marxis, meski karya-karyanya menggali persoalan masyarakat kecil, miskin, dan terpinggirkan terutama oleh perilaku politik rezim Orde Baru dan kerakusan kapitalisme yang membendakan manusia. Sementara Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 itu, dari bentuk ucap karyanya, khususnya cerpen dan novel, Kuntowijoyo bukan jenis novelis yang amat peduli dengan formalistik suatu bentuk ucap. Isi atau pokok soal subject matter sering menjadi perkara yang lebih penting yang kemudian menentukan kehadiran bentuk karya itu sendiri. Dari segi penuturan, hampir semua karya-karya Kuntowijoyo cenderung dituturkan dalam kombinasi narasi telling ceritaan dan showing ragaan. Suatu gaya yang sebenarnya cukup umum dilakukan para pengarang Indonesia, kecuali Budi Darma yang cenderung bergaya telling atau Umar Kayam dan Putu Wijaya yang umumnya bergaya showing. Jika cerita yang menggunakan gaya telling menitikberatkan pada jalinan narasi, maka gaya showing berusaha menghadirkan para tokoh secara langsung, terutama malalui dialog, sehingga seakan langsung melakukan “pertunjukan” di hadapan para pembaca Boot, 1973:215. Pendek kata, cara bercerita Kuntowijoyo memadukan gaya telling dan showing. Novel-novel Kuntowijoyo menghadirkan dua dunia yang bersebrangan. Dua dunia itu berdialektika yang kemudian memunculkan semacam sintesis. Selain gaya berpadunya penceritaan telling dan showing, unsur-unsur kisah lainnya menunjukkan dua dunia yang berpadu: tokoh tua-muda dan tokoh pria-wanita, sikap kasar-lembut dan jahat-baik, latar kota-desa dan pasar-mesjid, keberadaan yang lahir-yang gaib dan manusia-Tuhan, peristiwa budaya tradisi-modern dan mitos-realitas. Dikotomi itu berhadapan, tetapi hampir tidak dapat dipisahkan. Keduanya sama penting, saling terkait, dan tidak terelakkan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Pola cerita yang dibangun secara dikotomis itu adakalanya menjadi kisah tampak sekali hitam-putih. Dengan sendirinya, di luar dunia yang dihadapkan masih banyak segi dan masalah yang tidak tergali. Pergulatan bahasa yang digunakan Kuntowijoyo tampak lebih menonjol sifat alegoris dan didaktisnya. Selain karakter tersebut, keyakinan sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo turut memengaruhi kecenderungan hitam-putih novel-novel tersebut. Itu sebabnya pesan atau gagasan dalam karya Kuntowijoyo tidak terlalu sulit untuk digali dan dirumuskan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

BAB V MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO

5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa

Secara etimologi kosmologi berasal dari perkataan “kosmos” yang berarti dunia, aturan, atau alam, dan logos yang berarti rasio atau akal. Jadi, kosmologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang alam dunia, akan tetapi dikatakan bahwa kosmologi merupakan ajaran atau ulasan tentang dunia Bertens, 1985:13. Kosmologi juga merupakan telaah mengenai alam semesta skala besar. Istilah kosmologi yang berasal dari bahasa Yunani kosmos diterapkan pertama kali oleh Pythagoras 580-500 SM untuk menggambarkan keteraturan dan harmoni pergerakan benda-benda langit. Istilah ini dipakai lagi dalam pembagian filsafat Christian Wolf 1679-1754. Dalam pengertian Wolf ini, alam semesta diselidiki menurut menurut inti dan hakikat yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan maknanya. Titik tolak kosmologi adalah kesatuan manusia dan alam semesta serta dunia yang dialami manusia. Hegel berpendapat bahwa topik pokok kosmologi meliputi persoalan- persoalan contingensi kemungkinan, hal-hal yang kebetulan, necessity keharusan, limitations and formal laws of the world batas-batas formal dalam hukum-hukum Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009