Madrasah Menengah Atas MMA al-Ittifaqiah Indralaya 1967-
67
Bila melihat unsur-unsur pokok pesantren secara konvensional yang terdiri dari: pondok, masjid, pengajian kitab-kitab Islam klasik kitab
kuning, santri, dan kyai.
33
Status sebagai pondok pesantren memang telah terpenuhi, pembelajaran pesantren kitab kuning dan metode yang dipakai
memang sudah lama diterapkan, termasuk kyai-kyai yang memang menjadi tenaga pendidik, memiliki mushola, dan asrama santri yang
terletak di belakang gedung madrasah. Meskipun santri yang mukim di
asrama baru sekitar 10 selebihnya masih menyewa di rumah-rumah penduduk dan rumah-rumah yang sengaja dibuat oleh penduduk
diperuntukkan sebagai asrama. Pada tanggal 11 Maret 1976, MMA al-Ittifaqiah berubah status
menjadi Pondok Pesantren dengan surat Departemen Agama RI nomor 504YPI-376 tanggal 11 Maret 1967. MMA dan MII yang secara struktur
kepengurusan yayasan semula terpisah, disatukan menjadi bagian dari pesantren. Dengan demikian, program pendidikan Pondok Pesantren al-
Ittifaqiah terdiri dari Madrasah Aliyah 3 tahun, Madrasah Tsanawiyah 4 tahun, dan Madrasah Ibtidaiyah 4 tahun.
34
Di masa awal perjalannya, pesantren ini juga sempat mengalami masa surut pada rentang 1985 sampai 1988. Pada masa ini terjadi
penurunan jumlah santri dan tenaga pendidik yang cukup drastis. Bila pada tahun-tahun sebelumnya jumlah santri mencapai 300 orang dengan
tenaga guru 25 orang, puncaknya pada 1988, jumlah santri keseluruhan baik hanya berjumlah lebih kurang 44 orang 20 orang santri Ibtidaiyah,
17 orang santri Tsanawiyah, dan 7 orang santri Aliyah dengan jumlah guru aktif hanya 8 orang.
33
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES, 1994, h. 44
34
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-
Ittifaqiah …, h. 5
68
KH. Ahmad Qori Nuri selaku pimpinan pesantren, melakukan berbagai upaya untuk memecahkan persoalan ini. Misalnya Beliau
menggunakan stategi rooling dan penggabungan kelas, santri-santri dari
berbagai kelas digabungkan dalam satu ruang belajar untuk satu mata pelajaran tertentu, dan seterusnya. Bahkan Beliau sampai pada keputusan
membebaskan seluruh biaya kepada para santri dengan harapan menarik minat para calon santri dan wali santri untuk belajar di pesantren ini.
Dalam situasi memprihatinkan ini Beliau kemudian meminta putra Beliau, Moechlies Qorie yang saat itu sedang bertugas di MAN Belitang
OKU untuk pulang membantu mengurus Pondok. Dalam waktu yang hampir bersamaan Muhsin Qori, putra sulung Beliau, yang telah menjadi
Kepala Desa di Lampung juga pulang ke Indralaya. Menindaklajuti permasalahan yang sedang dihadapi Pondok saat itu, kemudian
berdasarkan hasil musyawarah ditunjuklah K. Muhsin Qori ditunjuk sebagai Wakil Mudir Bidang Keuangan dan K. Moechlies Qorie sebagai
Wakil Mudir Bidang Pendidikan dan Wakil Ketua Yayasan al-Ittifaqiah, periode 1989-1990.
Selanjutnya dengan tambahan tenaga ini mulailah dilakukan pembenahan sistem dan manajemen pesantren serta perubahan stategi dan
pola penerimaan santri dan melakukan rekrutmen tenaga pendidik. Hasilnya, pada tahun ajaran 1988-1989, terlihat perubahan yang sangat
menggemberikan, selain rekrtutmen guru tambahan yang mencapai 30 orang, juga terlihat bertambahnya antusias calon santri yang berdatangan
ke Pondok. Saat itu tercatat tidak kurang dari 400 orang santri baru mendaftarkan diri di pesantren ini, bahkan sebagian berasal dari keluarga
Pertamina dan PUSRI kalangan menengah kota di Palembang waktu itu.
35
35
Wawancara dengan K. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009
69
Dengan penuh kegigihan dan keikhlasan, KH. Ahmad Qori Nuri terus berjuang mengembangkan pesantren ini, termasuk berusaha
menyiapkan pasilitas belajar dan kebutuhan pondok lainnya, seiring jumlah santri yang terus bertambah dan berdatangan dari berbagai daerah
sampai ke luar Sumatera Selatan. Sampai Beliau tutup usia pada 11 April 1996, pesantren ini berhasil mengasramakan seluruh santri yang berasal
dari luar Indralaya. Keseluruhan santri waktu itu berjumlah 700 orang, degan pasilitas asrama, gedung belajar, dan kantor yang memadai di atas
lahan pesantren 33.330 m² yang diperluas dari area sebelumnya yang hanya seluas 4000 m².
36
KH. Ahmad Qori Nuri sepertinya telah membaca tantangan lembaga pendidikan yang dipimpinnya semakin berat dan kompleks.
Sehingga sepertinya KH. Ahmad Qori telah mempersiapkan generasi penerus yang akan melanjutkan dan mengembangkan pesantren. Generasi
penerus kyai yang melanjutkan atau memiliki background pendidikan
formal, memungkinkan terjadinya pembaharuan dalam pesantren. Dengan kapasitas keilmuan yang relatif lebih terbuka, menjadikan para kyai muda
ini sebagai motor pengerak dalam dinamika pesantren yang pada gilirannya mengawali perubahan cara dalam mengelola pesantren.
37
Pada generasi kedua inilah KH. Ahmad Qori menitipkan amanah dan
menyimpan harapan besar untuk memajukan dan mengembangkan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah di masa depan.
Putra-putra KH. Ahmad Qori Nuri tercatat semuanya melanjutkan pendidikan tinggi formal dan meraih kesarjanaan pendidikan tinggi. K.
Muhsin Qori dan K. Moechlies Qori IAIN Raden Fatah Palembang, K. Moersjied Qori PTIQ Jakarta, K. Muslih Qori LPBA Jakarta, dan K.
36
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-
Ittifaqiah …, h. 5
37
Amin Haedari, Transpormasi Pesantren; Pengembangan Aspek Pendidikan Keagamaan, dan
Sosial, Jakarta: LekDis dan Media Nusantara, 2006, h. 13