61
Marga Sakatiga.
16
Pasirah merupakan pimpinan Marga yang secara tradisional merupakan institusi tertinggi kemasyarakatan setelah lembaga
keluarga, kampung dan dusun di daerah Sumatera Selatan. Dengan kualifikasi tertentu, pimpinan Marga disebut pula sebagai Depati dan
Pangeran.
17
Karena pejabat pemerintah waktu itu selalu memberatkan masyarakat, maka tampillah KH. Bahsin Ishak yang kemudian didukung
dan dipilih masyarakat.
18
Situasi ini yang kemudian menjadikan Beliau sebagai tokoh ulama dan umara sekaligus pada zamannya.
Di tengah perjalanan madrasah yang semakian memperlihatkan kemajuan dan perkembangannya dengan jumlah siswa mencapai 300
orang, pada 1942 Madrasah ini terpaksa harus ditutup. Madrasah ini bubar setelah gedung madrasah dibakar orang yang tak dikenal.
19
Faktor pembakaran ini, sangat terkait dengan situasi politik pada waktu itu.
Sesuai dengan namanya “al-Siyasiyah”, Madrasah ini diduga kuat menjadi
basis kegiatan politik oleh tentara Jepang yang sejak 14 Februari 1942 memasuki daerah Ogan Ilir.
20
Dan diduga kuat motif pembakaran Madrasah sebagai merupakan bentuk teror politik yang dialamatkan
kepada KH. Bahsin Ishak dari pihak yang tidak senang dengan posisi Beliau sebagai Depati Marga pada waktu itu. Bahkan akibat teror yang
berkepanjangan Beliau terpaksa harus hijrah ke daerah Lintang Kabupaten
Lahat dan selanjutnya menetap di sana. Banyak juga murid-murid Beliau yang ikut dikejar-kejar dan terpaksa harus mengungsi ke beberapa
tempat.
21
Akhirnya segala aktivitas Madrasah as-Siyasiyah harus berhenti dan ditutup dalam waktu yang cukup lama.
16
Saudi Berlian, Mengenal Seni Budaya OKI…, h. 68
17
Mohammad Najib, eds., Sejarah Ogan Ilir
…, h. 27-28
18
Wawancara dengan KH. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009
19
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-
Ittifaqiah …, h. 2.
20
Mohammad Najib, eds., Sejarah Ogan Ilir
…, h. 21, dan wawancara dengan K. Buhairi Nuri, Sakatiga 17 Juli 2009.
21
Wawancara dengan K. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009
62
c. Sekolah Menengah Islam SMI Sakatiga 1949-1962
Setelah Madrasah as-Syiyasiyah ditutup, pendidikan yang pernah berkembang melalui lembaga tersebut secara otomatis terhenti.
Dampaknya kemudian terjadi kefakuman dan trauma psikologis bagi para guru dan murid Madrasah tersebut. Lebih jauh lagi pendidikan keagamaan
di Sakatiga waktu itu juga menjadi terlantar. Menyadari keadaan ini, KH. Ahmad Qori Nuri salah seorang murid KH. Ishak Bahsin yang juga pernah
terlibat mengajar di Madrasah as-Syiyasiyah berinisiatif untuk kembali menghidupkan kembali Madrasah tersebut.
Pada 1949, KH. Ahmad Qori Nuri mengajak murid-murid KH. Ishak Bahsin yang lain seperti KH. Ismail Muhyiddin, dan H. Yahya
Muhyiddin untuk membangun kembali Madrasah. Dan dengan bantuan beberapa orang kader Partai Syarikat Islam Indonesia PSII Saktiga,
gedung Madrasah as-Siyasiyah dibangun kembali.
22
Sejak awal karena KH. Ahmad Qori yang memprakarsai dan memobilisasi gerakan untuk
membangun kembali Madrasah, disepakati untuk menunjuk Beliau sebagai pimpinan madrasah, namun kemudian Beliau menyarankan KH.
Ismail Muhyidin yang memimpin madrasah, karena saat itu KH. Ismail Muhyidin lah yang lebih senior. Maka berdirilah madrasah dengan nama
Sekolah Menengah Islam SMI Sakatiga.
23
Pada 31 Agustus 1950 dimulai lah kegiatan belajar-mengajar di sekolah tersebut dengan jumlah siswa 70 orang. Sekolah Menengah Islam
menyelenggarakan dua tingkat pendidikan, yaitu tingkat Ibtidaiyah setara tingkat Tsanawiyah sekarang dengan masa belajar 4 tahun dan tingkat
Tsanawiyah setara tingkat Aliah sekarang dengan masa belajar 3 tahun.
22
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-
Ittifaqiah …, h. 2
23
Wawancara dengan K. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009
63
Pada tahun keempat jumlah siswa yang belajar di SMI mencapai 250 orang.
24
Pada 1954, KH. Ismail Muhyidin berpulang ke rahamtullah. Dan
sepeninggal KH. Muhyudin, diamanahkan kepada KH. Ahmad Qori Nuri untuk melanjutkan kepemimpinan SMI. Dalam upaya mengembangkan
madrasah KH. Ahmad Qori Nuri menambah 3 lokal ruang belajar sehingga seluruhnya menjadi 8 lokal dan menambah tenaga guru baik
untuk mata pelajaran agama maupun mata pelajaran umum. Sampai tahun 1962 tercatat siswa yang belajar SMI berjumlah 400 orang.
25
d. Madrasah Menengah Atas MMA Sakatiga 1962-1967
Awal 1962, menyesuaikan dengan peraturan Departemen Agama waktu itu, nama SMI dirubah menjadi Madrasah Menengah Atas MMA
Sakatiga. Program pendidikan terdiri dari Tsanawiyah dengan masa belajar 4 tahun dan Aliyah dengan masa belajar 3 tahun.
Di bawah kepemimpinan KH. Ahmad Qori Nuri pembaharuan kurikulum mulai dilakukan, mata pelajaran umum yang diajarkan di
MMA Sakatiga disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku pada SMP dan SMA. Seiring pertambahan jumlah murid, maka selain menambah
tenaga pengajar, dibangun pula ruang belajar. Tenaga guru di MMA saat itu berjumlah 17 orang terdiri dari 13 guru agama dan 4 guru pelajaran
umum. Dan dibangun tambahan 3 ruang belajar, sehingga berjumlah 11 lokal.
Pada era ini, MMA mengalami kemajuan pesat. Jumlah santri di Madrasah ini mencapai 527 orang yang berasal tidak saja dari Sumatera
Selatan tapi dari propinsi-propinsi lain. Karena prestasi dan keberhasilan MMA Sakatiga, desa Sakatiga demikian terkenal pada waktu itu, sampai-
24
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-
Ittifaqiah …, h. 2
25
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-
Ittifaqiah …, h. 2