menyediakan dukungan
individual, menawarkan
stimulus intelektual, dan memberikan contoh nilai-nilai dan praktik-praktik
yang penting. 3 Mendesain ulang organisasi; meliputi
membangun suatu
kultur kolaboratif,
menciptakan dan
memelihara struktur-struktur dan proses-proses pengambilan keputusan bersama, serta membangun hubungan dengan para
orang tua dan komunikasi yang lebih besar.
14
Dari keterangan
tersebut menggabarkan
bahwa dimensi
kepemimpinan antara lain mencakup karakteristik kejelasan visi dan arah strategi, kondisi yang mendukung untuk mengembangkan profesionalisme,
dan keterlibatan stakeholders dalam pengambilan keputusan, serta
dibangunnya kerjasama dan kemitraan yang lebih luas.
B. Kepemimpinan Pesantren
1. Pengertian dan Tipologi Pesantren
a. Pengertian Pesantren
Pesantren sebagai “kampung peradaban” dengan segala kesederhanaan dan kekurangannya menyimpan potensi besar yang
telah terbukti dapat melakukan transformasi peradaban Islam yang lebih kosmopolit.
15
Seperti diungkapkan Husni Rahim, pendirian pesantren umumnya sangat sederhana, berawal dari kegiatan
pembelajaran yang diikuti oleh beberapa orang santri yang datang kepada seorang kyai untuk belajar mengaji. Kegiatan pembelajaran ini
biasanya dilaksanakan di rumah kyai sendiri atau di masjid dan langgar mushalla. Kemudian pengajian ini berkembang seiring
pertambahan jumlah santri dan pelebaran tempat belajar sampai menjadi sebuah lembaga pendidikan.
16
Dalam pemakaian sehari- hari, istilah “pesantren” bisa disebut
dengan “pondok” saja atau kedua kata ini digabungkan menjadi
14
Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif…, h. 33
15
Djohan Effendi, “Pesantren Kampung Peradaban”, dalam Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie Bidang Pendidikan Islam,
Jakarta: Paramadani, 2003, h. xviii
16
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001, h. 158
“pondok pesantren”. Melacak asal-usul istilah pondok atau pesantren antara lain dikemukakan Zamakhsyari Dhofier dan Manfred Ziemek
dan dimaknai sebagai tempat tinggal. Menurut Dhofier, pesantren berasal dari kata “santri” dengan penambahan awal “pe” dan akhiran
“an” yang berarti tempat tinggal santri.
17
Sementara menurut Ziemek berasal dari istilah
pesantrian berarti “tempat santri”.
18
Melacak akar kata “santri” seperti dikutip Dhofier, Prof. Jhons
berpendapat bahwa istilah ini berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Dan menurut C.C. Berg istilah tersebut berasal dari
kat a “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-
buku suci agama Hindu atau seorang sarjana atau ahli agama Hindu. Selanjutnya menurut Chatuverdi dan Tiwari, kata “shastri” berasal
dari kata “shastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama
atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
19
Sementara Nurcholish Madjid mengemukakan, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai acuan untuk meneliti asal-usul kata
“santri.” Pertama, santri berasal dari bahasa Sansekerta “sastri” artinya “melek huruf”, karena kaum santri dengan kitab-kitab yang
mereka pelajari adalah kelas literary bagi orang Jawa. Kedua, kata
santri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seorang mengabdi kepada seorang guru. Cantrik selalu mengikuti ke mana
guru menetap dengan tujuan dapat belajar mengenai suatu keahlian. Pola hubungan “guru-cantrik” ini terus berlanjut dan berubah menjadi
“guru-santri” yang kemudian menjadi “kyai-santri” dalam dunia
pesantren.
20
17
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES, 1994, h. 18
18
Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, Terjemahan Burche B. Soendjojo,
Jakarta: P3M, 1986, h. 16
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 18
20
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,
1997, h. 19-20
Haedar Putra Daulay mengungkapkan, istilah “santri” sudah akrab di kalangan masyarakat sebelum Islam datang ke Indonesia
sebagai tempat pendidikan agama seperti mandala dan asrama pada
masa Hindu-Budha. Sehingga adanya kaitan pemaknaan istilah “santri” yang digunakan sebelum kedatangan Islam dengan sesudah
masuknya Islam ke Indonesia bisa saja terjadi.
21
Nurcholish Madjid menyimpulkan, bahwa secara historis pesantren sebenarnya sudah ada
sejak zaman Hindu-Buddha dan Islam tinggal meneruskan dan mengislamkannya. Sehingga lembaga ini tidak saja identik dengan
makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia indigenous.
22
Dengan demikian, dari beberapa penegrtian di atas, secara kebahasaan akar kata pesantren memiliki kedekatan makna dan
mengandung beberapa pengertian antara lain: a tempat pemondokan atau asrama para santri, b pengajaran kitab suci atau buku agama
kitab kuning, c kaum terpelajar, dan d hubungan antara guru-murid. Memotret lembaga pendidikan Islam yang mempertahankan
sistem pengajaran yang diistilahkan Martin van Bruinessen dengan great tradition
23
ini; Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisonal Islam untuk mempelajari, memahami,
medalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-sehari.
24
Sehingga sejak awal pesantren didirikan dan motivasi para santri belajar ke pesantren untuk mendalami dan menguasai ilmu
pengatahuan agama Islam tafaquh fi al-din agar menjadi muslim
21
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, h.62
22
Nurcholish Madjid, Bilik-
Bilik Pesantren…, h. 3
23
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat
… h. 17
24
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesanten; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994 h.55
yang baik kaffah dengan harapan menjadi ulama atau kyai, pemimpin
agama di masyarakat atau mendirikan dan mengasuh pesantren.
25
Zamakhsyari Dhofier mengidentifikasi unsur pokok yang menjadi ciri khas yang menunjang eksistensi sebuah pesantren, yaitu:
pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik Kitab Kuning, dan, kyai.
26
Sementara itu Mastuhu membagi unsur-unsur pokok pesantren tersebut, menjadi: a aktor atau pelaku: kyai, ustadz,
santri, dan pengurus; b sarana perangkat keras: masjid, rumah kyai, rumah dan asrama ustadz, asrama santri, gedung sekolah atau
madrasah, dan sebagainya; dan c sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, cara pengajaran, keterampilan,
dan saran non-fisik lainya.
27
K.H. Imam Zarkasyi memberikan perluasan unsur pokok dengan mendefinisikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
agama Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan
pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
28
Lebih lanjut Abdullah Syukri Zarkasyi memperjelas definisi ini bahwa 1 pesantren harus berbentuk asrama
full residential Islamic boarding school, 2 fungsi kyai sebagai central figure uswah hasanah yang berperan sebagai guru
mu’alilim, pendidik murabbî, dan pembimbing mursyid, 3 masjid sebagai pusat kegiatan, dan 4 materi yang diajarkan tidak
terbatas kepada kitab kuning saja.
29
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pesantren
merupakan lembaga
pendidikan Islam
yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan, keilmuan, dan kemandirian
25
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam…, h. 147
26
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 44
27
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesanten
…, h. 25
28
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2005, h. 4
29
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan…, h. 4