itu, seorang individu juga memiliki harapan yang besar terhadap pekerjaannya untuk memberikan kesejahteraan bagi dirinya
dimasa depan. Setiap individu mempunyai keinginan untuk dapat mencapai hasil yang semaksimal sesuai harapan individu.
Harapan inilah yang nantinya akan mempengaruhi tinggi rendahnya keterlibatan kerja individu dalam melakukan kerja
atau tugas.
b. Adanya keterlibatan emosional terhadap pekerjaan Keterlibatan secara emosional atau keterlibatan psikologis
karyawan terhadap pekerjaan muncul melalui pengabdian yang dilakukan untuk memperoleh keberhasilan dalam mendapatkan
kepuasan dari keberhasilan pribadi dalam menyelesaikan pekerjaan. Selain kemampuan dalam bidang pengetahuan
individu pun dalam bekerja perlu melibatkan emosionalnya. Tidak dipungkiri bahwa banyak individu yang melibatkan emosi
dan perannya dalam mengambil sebuah keputusan.
c. Adanya rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan
Rasa tanggung jawab yang tinggi dari seorang karyawan muncul berdasarkan pelaksanaan kerjanya yang banyak dan
ditentukan oleh usaha atau peranan penting dirinya dalam bekerja serta konsistensi identitas yang dimiliki dirinya daripada faktor-
faktor kebetulan diluar pengendalian dirinya atau berdasarkan
kerjasama. Rasa tanggung jawab pada individu yaitu menilai dan memahami tugas dan pekerjaan yang dilakukannya.
d. Adanya rasa bangga terhadap pekerjaan Rasa bangga yang dirasakan oleh seseorang karyawan
terbentuk karena organisasi tempat dirinya bekerja mampu memberikan penghargaan, penghormatan dan status. Pekerjaan
yang dilakukan oleh karyawan juga dihargai dan hal ini yang dapat mendorong karyawan untuk mencapai target yang telah
ditentukan oleh organisasi.
e. Adanya keinginan untuk maju untuk visi dimasa depan mobilitas ke atas
Setiap karyawan menginginkan mobilitas ke atas terhadap pekerjaannya, dimana hal ini dapat diwujudkan oleh karyawan
yang menyumbangkan ide-ide atau brainstorming dirinya guna penacapaian tujuan dan sasaran organisasi. Dalam aktivitas
bekerjanya, karyawan lebih memiliki semangat kerja tinggi dan lebih kreatif.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil aspek keterlibatan dari Lodahl dan Kejner, karena menurut peneliti berbagai aspek
tersebut dapat mewakili intisari dari keterlibatan kerja secara praktis.
2.3. Konflik dan Peran
Pengertian konflik yang lebih mendasar adalah suatu kenyataan yang muncul karena adanya kehidupan bersama yang dibentuk manusia yang
tidak dapat di atasi secara tuntas selama kehidupan masih terus berlangsung dalam Anoraga, 2001:99. Konflik menggambarkan suatu kondisi dimana
seseorang berada di bawah tekanan untuk berespon secara simultan terhadap dua atau lebih dorongan yang bertentangan Atwaeter, dalam Triwahyuni
2011:3. Dalam hidup bermasyarakat setiap individu memiliki peran-peran
tertentu sesuai dengan posisinya. Masing-masing peran memiliki tuntutan yang berkaitan dengan pola tingkah laku yang diharapkan oleh masyarakat,
misalnya kedudukan sebagai ibu yang menuntut perilaku tertentu, seperti mendidik anak-anaknya dan menjadi tauladan bagi anak-anaknya.
Dengan demikian ibu yang bekerja, sesuai dengan statusnya sebagai wanita yang telah menikah, memiliki peran sebagai isteri, ibu rumah tangga,
dan orang tua ibu dari anak-anaknya. Tetapi, sebagai wanita yang bekerja, maka ia pun mempunyai peran yang lain yaitu sebagai pekerja, yang mana
dari masing-masing peran memiliki peran memiliki tuntutan dan harapan tertentu yang berbeda.
Ralph Linton dalam bukunya The Study of Man 1936:115 membagi peran menjadi dua 2 yaitu:
a. Ascribed Roles adalah peran-peran yang dimiliki seseorang sejak
dilahirkan dan peran-eran yang diperoleh seseorang tanpa ada usaha
atau keinginan dari orang itu, misalnya: peran jenis kelamin dan peran yang berkaitan dengan pertalian keluarga, seperti ibu, anak, dan lain-
lain. b.
Achieved Roles adalah peran yang diterima setelah beberapa proses atau usaha. Peran ini biasanya menuntut sejumlah keahlian atau
pelatihan, misalnya: peran dan pekerjaan. Seorang ibu yang bekerja menjalani kehidupan kedua peran di atas,
perannya sebagai isteri dan ibu merupakan Ascribed Roles. Sedangkan, perannya sebagai pegawai adalah Achieved Roles. Dengan demikian peran
yang dimiliki wanita bekerja yang berkaitan dengan keluarga isteri dan ibu merupakan peran yang berbeda dengan perannya sebagai pegawai.
Peran wanita dalam rumah tangga seringkali bertentangan dengan perannya sebagai pekerja sehingga menimbulkan masalah atau konflik pada
diri wanita berperan ganda. Wanita yang bekerja seringkali mengalami konfik dan stress sehubungan dengan usahanya untuk menggabungkan
perannya dalam keluarga dan perannya sebagai pekerja. Konflik yang seperti ini disebut sebagai konflik peran.
Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek Rosenthal dalam Geraldine, 1988:8
mendefinisikan konflik peran sebagai: “A type of stress occurring when conflicting and competing
demands or expectancies were perceived from two or more roles enacted by an individual
”.
Defini lain menurut Frieze, Parsons, Johnson, Ruble Zellman dalam
a comparative study of transitional role strain in reentry women students
oleh Geraldine M. Menger, BA, 1988:9 adalah:
“Another form of role conflict was based on external time demands rather than inherent
contradictions in expectations” Dari kedua definisi di atas dapat dikatakan konflik peran merupakan
keadaan dimana individu menghadapi tekanan, tuntutan, atau harapan yang saling bertentangan dari dua peran atau lebih yang dilakukannya.
Duxbury dan Higgins menambahkan bahwa Konflik ketegangan peran yang dialami oleh ibu rumah tangga yang bekerja di kantor dan
memiliki tuntutan yang berbeda dari dua peran yang harus dilakukan secara bersamaan, yakni di rumah dan di dalam organisasi kantor, dapat
diistilahkan dengan Multiple Roles Duxbury dan Higgins, 1991:3. Duxbury dan Higgins, 1991:3 mengatakan bahwa akibat dari
berbagai peran yang dimiliki Multiple Roles individu akan menghasilkan ketegangan fisik dan psikologis dalam dua cara, yaitu:
a. Beban peran yang berlebih Role Overload, yang menimbulkan kesulitan untuk menentukan prioritas peran mana yang akan
didahulukan. Seorang wanita bekerja yang memiliki peran sebagai ibu rumah tangga, pekerja dan sebagai anggota Dharma Wanita misalnya,
akan mengalami kesulitan untuk menentukan prioritas ketika ketiga perannya tersebut menuntut untuk dipenuhi pada suatu saat yang sama.
b. Tuntutan terhadap kedua peran akan menimbulkan kesulitan untuk memenuhi harapan dari kedua peran tersebut. Pada contoh di atas,
wanita mengalami kesulitan untuk memenuhi harapan dari ketiga peran yang dimilikinya, karena kedua peran tersebut menuntut untuk
dipenuhi.
2.3.1 Bentuk Konflik Peran Ganda
Menurut Greenhaus dan Beutell dalam Carlson, dkk. 2000:250 ada tiga bentuk konflik peran ganda, yaitu:
a. Time-Based conflict Konflik yang terjadi karena tuntutan waktu dari peran yang
satu mempengaruhi partisipasi dalam peran lain. Konsep yang termasuk dalam konflik ini diantaranya: waktu bekerja yang
berlebihan, kurangnya waktu untuk pasangan atau anak, atau jadwal yang tidak fleksibel.
b. Strains-Based conflict Konflik yang disebabkan oleh gejala stress seperti
kelelahan dan mudah marah, yang diakibatkan oleh satu peran mengganggu peran yang lain. Konflik ini melibatkan stress
dalam keluarga dan pekerjaan, meluapnya emosi yang negatif dan dukungan dari pasangan.
c. Behavior-Based conflict Konflik yang terjadi jika tingkah laku tertentu dituntut oleh
satu peran lain, yang kemudian dapat mempersulit individu dalam memenuhi tuntutan peran yang lain, misalnya tuntutan
peran keluarga dengan tuntutan pekerjaan.
Allen 1968:9 menjelaskan sebuah tipe konflik peran, yaitu Interrole Conflict Konflik antar Peran. Interrole Conflict terjadi
ketika seorang memainkan dua peran sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Hall juga menambahkan dalam Geraldine, 1988:41
dalam konflik ini ketegangan sering kali terjadi pada wanita disebabkan karena adanya Multiple Roles yang harus dilakukan pada
suatu saat yang sama karena adanya harapan dan tuntutan yang menekan.
Greenhaus dan Beutell dalam Simanjuntak, 2007:97 mengatakan bahwa Interrole Conflict terjadi ketika muncul tekanan
peran dari domain karir dan keluarga yang satu sama lain bertentangan dalam beberapa aspek. Oleh karena itu, partisipasi
dalam peran karir keluarga dibuat lebih sulit dengan partisipasi yang baik dalam peran keluarga karir. Seorang wanita yang
berprofesi sebagai pengacara misalnya, pada suatu saat diharapkan untuk hadir dalam persidangan suatu kasus penting. Namun, pada
saat yang sama ia juga diharapkan untuk memberikan prioritas utamanya pada keluarganya di rumah karena suami atau anaknya
sedang sakit. Hall dalam Geraldine, 1988:43 menjelaskan bahwa inti dari
Interrole Conflict yang dialami wanita adalah ketidaksesuaian harapan yang berlebih Role Overload pada dirinya, yang kemudian
menyebabkan wanita merasa sulit untuk memenuhi harapan dari
masing-masing peran tersebut karena keterbatasan waktu yang dimilikinya. Konflik peran yang dialami oleh wanita adalah tidak
cukupnya waktu untuk melakukan semua tugas-tugas dan kewajiban yang diharapkan dari dirinya terutama setelah ia menikah dan
memiliki anak kecil serta ketika pekerjaan menuntut waktu kerja yang panjang.
Imelda Luki Arinta dalam Azwar, 2005:160 dalam penelitiannya mengenai Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik
Peran Ganda pada Ibu Bekerja, menyatakan bahwa konflik peran ganda pada wanita diperkirakan berasal dari peran dalam pekerjaan
dan peran dalam keluarga. Hal tersebut mengacu pada teori Kopelman 1983 dan Burley 1989 dalam Herts, 2003:13-15 yang
menyatakan dalam studinya tentang konflik peran pada istri yang dikembangkan dari teori Interrole Conflict, yaitu adanya konflik
antara pekerjaan dengan keluarga. Kopelman
hanya membahas
mengenai faktor-faktor
penyebab dari munculnya Interrole Conflict, yaitu a waktu kerja yang berlebihan; b konflik jadwalkegiatan; dan c kelelahanmarah.
Ketiga aspek tersebut masuk ke dalam dua 2 bentuk global dari teori Kopelman mengenai Interrole Conflict, yaitu : Time
– Based, yang berdasarkan waktu dan Strain-Based Excessive Strains, yang
berdasarkan kepada tekananstress.
Menurut Burley dalam Herts, 2003:15, dari penjabaran Kopelman tersebut, ia hanya mewakili pekerjaan yang menghambat
keluarga work interference with family. Artinya konflik perjadi antarperan dimana tuntutan waktu dan ketegangan secara
keseluruhan yang dihasilkan dari pekerjaan mempengaruhi pekerja untuk memenuhi tanggung jawab yang berkaitan dengan keluarga,
sedangkan untuk bukan keluarga yang menghambat pekerjaan family interference with work adalah bentuk konflik antarperan
dimana tuntutan waktu dan ketegangan secara keseluruhan dihasilkan dari keluarga yang mempengaruhi pekerja untuk
memenuhi tanggung jawab yang berkaitan dengan pekerjaan. Lalu, Burley merekonstruksi teori tersebut dengan memfokuskan kajian
family interference with work dengan membuat skala pengukuran. Berdasarkan atas teori Kopelman 1983 dan Burley 1989,
Imelda Luki Arinta dalam Azwar, 2005:160 mengelompokkan konflik peran ganda menjadi 7 aspek, yaitu:
1 Pengasuhan anak 2 Bantuan pekerjaan rumah tangga
3 Komunikasi dan interaksi dengan anak dan suami 4 Waktu untuk keluarga
5 Menentukan prioritas 6 Tekanana karir dan tekanan keluarga
7 Pandangan suami terhadap peran ganda wanita
Berdasarkan ketujuh aspek tersebut, maka peneliti akan menjadikan aspek-aspek tersebut menjadi landasan dalam membuat
skala pengukuran dalam melakukan penelitian konflik peran ganda wanita.
2.4 Masa Kerja Tenure
2.4.1 Pengertian masa kerja
Menurut Robbins 2001:45 masa kerja adalah “masa
seseorang menjalankan pekerjaan tertentu” atau dapat disebut juga
sebagai senioritas. Sjabandhyni, dkk. 2001 menyatakan bahwa
pada umumnya karyawan ditetapkan untuk promosi antara lain karena pengalaman kerjanya dan karyawan akan diberikan
kedudukan atau jabatan lebih tinggi, yaitu karena pengalaman, usia atau kemampuan karyawan yang diperoleh dari umur atau lamanya
bekerja. Studi yang dilakukan oleh Angle dan Perry 1981,
Hrebeniak 1974, Morris dan Sherman 1981, serta Sheldon 1971 dalam Sjabandhyni ,2001:458, menunjukkan bahwa salah satu
anteseden dari komitmen organisasi, yaitu masa kerja tenure seseorang pada organisasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Makin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk menerima tugas yang lebih menantang,
otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk bekerja, tingkat
imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi yang lebih tinggi.
b. Adanya peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga, dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin
sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut. c. Adanya keterlibatan sosial yang dalam dengan organisasi dan
individu-individu yang ada, hubungan sosial yang lebih bermakna,
sehingga membuat
individu semakin
berat meninggalkan organisasi.
d. Akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang, karena mobilitas individu berkurang dan terlalu lama
berada dalam suatu organisasi.
2.4.2 Konsep Masa Kerja
Gould Hawkins, Mount, Sturnpf Rabinowitz dalam Cohen 1997:149, mengelompokkan masa kerja menjadi 3 tahap,
yaitu yang terdiri dari:
1. Tahap Perkembangan Establish Stage, yaitu masa kerja kurang dari 2 Tahun.
2. Tahap lanjutan Advancement Stage. Yaitu masa kerja antara 2 sampai 10 tahun.
3. Tahap pemeliharaan MaintenanceStage, yaitu masa kerja lebih dari 10 tahun.
2.5 Perceived Organizational Support POS
2.5.1 Definisi Perceived Organizational Support POS
Perceived Organizational Support dapat diartikan sebagai keyakinan pegawai tentang bagaimana organisasi menghargai kontribusi
pegawai dalam
perusahaan dan
bagaimana organisasi
memperhatikan kesejahteraan pegawai Rhoades dan Eisenberger, 2002. Perkembangan POS didorong oleh kecenderungan karyawan
dalam menentukan karakteristik kemanusiaan dalam organisasi Eisenberger et al., 1986 dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002.
Levinson 1965, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002 mencatat bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh organisasi
dilihat sebagai indikasi dalam mencapai tujuan organisasi, bukan hal yang semata-mata dilakukan berdasarkan motif kesadaran organisasi.
Hal ini diwujudkan melalui kebijakan organisasi, aturan, dan tanggung jawab keuangan. Perwujudan ini sebagai kekuatan
organisasi dalam menggerakkan keryawan agar lebih giat dalam bekerja.
Menurut Eisenberger et al., 1986; Eisenberger, Cummings, Armeli, dan Lynch, 1997, serta Shore dan Shore, 1995, dalam
Rhoades dan Eisenberger, 2002, imbalan organisasi dan kondisi kerja yang baik seperti gaji, promosi, pekerjaan yang berkembang
serta pengaruh asuransi organisasi dapat lebih memiliki kontribusi terhadap POS jika karywan meyakini bahwa tindakan tersebut
dilakukan atas dasar sukarela, bukan karena adanya paksaan seperti perundingan terlebih dahulu. Di sinilah karyawan dapat melihat
apakah organisasi memperlakukan mereka secara baik atau tidak. Teori Organizational Support juga menunjukkan proses
psikologis yang mengakibatkan Perceived Organizational Support POS. Pertama, pada kaidah pertukaran jika pekerja melakukan
pekerjaan dengan baik maka akan mendapat imbalan dari organisasi, POS dapat menghasilkan perasaan wajib dalam diri
karyawan untuk memperdulikan kesejahteraan organisasi dan menolong organisasi menuju sasarannya. Kedua, kepedulian,
persetujuan dan rasa menghargai ditimbulkan oleh POS yang memenuhi kebutuhan sosioemosional, menuju keanggotaan pekerja
yang bersatu dan status peran pada identitas sosial mereka. Ketiga, POS akan menguatkan keyakinan pegawai bahwa organisasi akan
memberi penghargaan terhadap peningkatan kinerja performance reward expectancies. Proses ini akan menimbulkan kebaikan baik
dari individu peningkatan kepuasan kerja dan suasana hati yang positif maupun bagi organisasi meningkatnya komitmen afektif dan
kinerja serta berkurangnya pergantian. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Perceived
Organizational Support adalah keyakinan pegawai tentang sejauh mana organisasi menghargai kontribusi mereka dalam perusahaan
dan sejauh mana organisasi memperhatikan kesejahteraan pegawai
yang diwujudkan melalui kebijakan organisasi, aturan, dan tanggung jawab keuangan dan di sinilah karyawan dapat melihat apakah
organisasi memperlakukan mereka secara baik atau tidak. Dalam sejumlah penelitian, POS mempunyai hubungan yang
positif dengan beberapa variable lain, diantaranya, yaitu: 1. Komitmen organisasi afektif Eisenberger et al., 1990; Setton,
Bennet, dan Liden, 1996; Rhoades, eisenberger dan Armeli, 2001; Shore dan Tetrick, 1991 dalam Rhoades dan Eisenberger,
2002, 2. Effort-reward expectancies atau harapan bahwa segala upaya
akan dibalas dengan imbalan Eisenberger et al., 1990, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002,
3. Komitmen kesinambungan Shore dan Tetrik, 1991, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002,
4. Leader-member exchange atau pertukaran anggota dengan pemimpin Setton et al., 1996; Wayne, Shore dan Liden, 1997,
dalam Rhodes dan Eisenberger, 2002, 5. Dukungan pengawas dalam organisasi Kottke dan Sharafinski,
1988; Malatesta 1995; Shore dan Tetrik, 1991, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002,
6. Perceived organizational politics atau penerimaan dukungan politik Andrews dan Kacmar, 2001; Cropanzano, Howes,
Graney dan Toth, 1997; M. L. Randall, Cropanzano, Bornmann,
dan Birjulin, 1999, dalam Rhoades et al., 2001, dalam Rhoades dan Eisenberger 2002,
7. Keadilan prosedural Andrews dan Kacmar, 2001; Rhoades et al., 2001, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002 dan,
8. Kepuasan kerja Aquino dan Griffeth, 1999; Eisenberger et al., 1997; Shore dan Tetrick, 1991, dalam Rhoades dan Eisenberger,
2002.
2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Perceived Organizational Support
Berdasarkan pada teori Organizational Support Eisenberger et al., 1986, dalam Rhodes dan Eisenberger, 2002, tiga bentuk
umum dari penerimaan perlakuan yang baik dari organisasi seperti kejujuran, dukungan pengawas organisasi, serta imbalan organisasi
dan kondisi kerja dapat meningkatkan POS, yaitu:
1. Kejujuran atau Keterbukaan Keadilan prosedural berhubungan dengan kejujuran yang
digunakan untuk mengukur pembagian sumber penghasilan di antara pegawai Grenberg, 1990, dalam Rhoades dan
Eisenberger, 2002 berpendapat bahwa suatu hal yang berhubungan dengan kejujuran yang dilakukan secara berulang-
ulang dalam
memutuskan sumber
penghasilan akan
menimbulkan efek POS dengan menunjukkan kesejahteraan pegawai.
Cropanzano dan Grenberg 1997, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002 membedakan antara aspek struktural dan
aspek sosial pada keadilan prosedural. Aspek struktural sebagai faktor penentu adanya peran formal dan asuransi mengenai
keputusan yang dapat mempengaruhi pegawai, termasuk pemberitahuan yang memuaskan sebelum sebuah keputusan
dilaksanakan, menerima informasi yang akurat dan pegawai diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan. Aspek
sosial dari keadilan prosedural memperlakukan pegawai dengan kewibawaan dan penuh penghargaan serta melengkapi pegawai
dengan informasi mengenai bagaimana sebuah hasil diukur. Penerimaan politik organisasi juga berhubungan dengan
keadilan prosedural, seperti berusaha mempengaruhi orang lain untuk membuat dirinya menarik, bahkan terkadang memberikan
imbalan kepada orang lain Cropanzano et al., 1997; Kacmar dan Carlson, 1997; Nye dan Witt, 1993; M. L. Randall et al.,
1999, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002. Persepsi skala politik menganggap pandangan mengenai sesuatu yang
menurutnya lazim yakni mendapatkan hasil yang bernilai dengan berperan dengan gaya bekerja, memberikan nasehat
yang tidak baik mengenai keputusan manajemen agar perilakunya aman dan memperoleh bayaran tambahan dan
mempromosikan kualitas dirinya Kacmar dan Carlson, 1997, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002.
2. Dukungan Pengawas Persepsi umum pegawai mengenai penilaian terhadap
organisasi mereka mengembangkan pandangan umum mengenai tingkatan, pengawas mana yang memberi nilai kontribusi mereka
tentang kesejahteraan pegawai Kottke dan Sharafinski, 1988, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002. Karena tugas pengawas
sebagai wakil dari perusahaan, memiliki tanggung jawab dalam memerintah dan mengevaluasi kinerja bawahan, pegawai melihat
pengawas mereka memperlakukan mereka dengan baik atau tidak sebagai indikasi dukungan organisasi Eisenberger et al.,
Levinson, 1965, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002.
3. Imbalan organisasi dan kondisi kerja. Shore dan Shore dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002
berpendapat bahwa praktek sumber daya manusia SDM yang memberikan penghargaan pada pegawai yang memiliki
kontribusi terhadap perusahaan berhubungan positif dengan POS. Segala sesuatu yang berhubungan dengan imbalan
organisasi dan kondisi kerja di antaranya adalah : a. Penghargaan, gaji dan promosi Recognition, pay, and
promotions . Pada teori Organizational Support, kesempatan
baik untuk penghargaan yang tepat dapat memberikan nilai positif bagi kontribusi pegawai dan kontribusi pada POS itu
sendiri. b. Keamanan Kerja Job security. Asuransi yang dimiliki
organisasi demi keselamatan pegawai diharapkan menjadi bagian dari POS.
c. Otonomi Autonomy. Dengan otonomi, diharapkan pegawai dapat mengontrol pekerjaan mereka, seperti penjadwalan,
prosedur kerja, dan tugas yang beragam. d. Penekan Peran Role Stressor. Penekan ini berhubungan
dengan lingkungan yang mana pegawai merasa tidak mampu mengatasi sebuah permasalahan dalam organisasi.
e. Pelatihan Training. Wayne et al., 1997, dalam Rhoades dan Eisenberger, 2002 berpendapat bahwa pelatihan kerja
adalah sebuah kegiatan yang dapat ditentukan sebagai investasi bagi pegawai yang dapat meningkatkan POS.
f. Ukuran Organisasi Organization Size. Dekker dan Barling 1995, dalam Rhoades dan Eisenbergert, 2002 berpendapat
bahwa individu merasa kurang bernilai dalam sebuah organisasi yang besar, dengan asuransi yang besar dan
prosedur yang mungkin dapat mengurangi sifat fleksibel sebagai kebutuhan pegawai. Organisasi yang besar, dapat
menunjukkan kedermawanan kepada kelompok pegawai,
kemudian mengurangi keluwesan pegawai dalam bekerja, hal ini dapat mengurangi POS.
Teori yang digunakan untuk mengetahui persepsi wanita karir berkeluarga mengenai dukungan perusahaan mengenai kesejahteraan
mereka, maka peneliti mengunakan adaptasi skala Perceived Organizational Support POS dari Eisenberger.
2.6 Kerangka Berpikir
Komitmen organisasi organizational commitment merupakan salah satu
tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai independent variable variabel bebas, maupun sebagai dependent
variable variabel terikat. Hal ini antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi
agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan produksi jasa dan barang yang dihasilkan. Indikasi yang paling jelas dapat dilihat ketika
komitmen karyawan mempunyai komitmen organisasi yang rendah adalah tingginya jumlah karyawan yang mengundurkan diri atau keluar dari
organisasi dalam Yuwono, dkk. 2005:142.
Pada penelitian ini, komitmen organisasi sebagai variabel terikat. Dalam hal ini, peneliti ingin membuktikan teori oleh Van Dyen dan Graham
dalam Coetzee, 2005 yang menguraikan 3 tiga faktor psikologis yang mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu: 1 faktor personal, meliputi
usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, keterlibatan kerja job involvement, dan konflik peran; 2 faktor posisional, meliputi masa kerja
dan status jabatan; dan yang terakhir, 3 faktor situasional, yakni Perceived Organizational Support POS.
Dalam banyak penelitian, masing-masing faktor telah dibuktikan kontribusinya dalam komitmen organisasi. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Ali Nina 1996 pada sejumlah karyawan di Jakarta dalam Seniati, 2002 yang membuktikan bahwa faktor personal seperti status penikahan,
dan tingkat pendidikan berhubungan negatif dengan komitmen organisasi. Beberapa hasil penelitian lain mengenai dampak masa kerja terhadap
komitmen organisasi, dikemukakan oleh Cherington, Condie dan England dalam Sjabadhyni, 2001 yang melaporkan bahwa pekerja yang lebih tua
senior memiliki komitmen organisasi yang tinggi dibandingkan dengan pekerja yang lebih muda junior.
Seniati 2002 menjabarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Vera Rachmayati pada karyawan perusahaan di Jakarta, yakni konflik peran
pada wanita mempunyai hubungan negatif dengan komitmen organisasi. Jika dilihat menurut kaca mata peneliti, hal tersebut terjadi karena dalam
segi peranan wanita sebagai wanita karier dan wanita yang berkeluarga yang tidak diorganisir dengan baik. Kerancuan peran dapat saja terjadi, apabila
kedua peran tersebut mengalami ketimpangan, dan wanita dihadapkan kepada pilihan yang sulit, yakni mengurus keluarga suami dan anak atau
bekerja untuk mendapatkan tambahan pemasukan finansial.
Dalam Robbins 2001 komitmen organisasi dan keterlibatan kerja memiliki hubungan yang positif. Keterlibatan kerja dalam aspek sikap kerja
dari komitmen organisasi menimbulkan tingkat dimana seorang karyawan memihak dan terlibat secara aktif dalam pekerjaannya. Bukti riset
memperlihatkan bahwa seseorang yang memiliki komitmen dan keterlibatan yang positif, maka tingkat keluar masuknya turnover individu
dalam organisasi sangat rendah. Dalam sejumlah penelitian, Perceived Organizational Support
persepsi terhadap dukungan organisasi yang termasuk kedalam faktor situasional, mempunyai hubungan yang positif dengan komitmen organisasi
afektif Eisenberger et al., 1990; Setton, Bennet, dan Liden, 1996; Rhoades, eisenberger dan Armeli, 2001; Shore dan Tetrick, 1991 dalam Rhoades dan
Eisenberger, 2002. hal tersebut karena komitmen afektif berkaitan dengan adanya keinginan untuk terikat pada organisasi. Individu menetap dalam
organisasi karena keinginannya sendiri. Kunci dari tipe komitmen ini dengan POS adalah individu merasakan adanya kesesuaian antara nilai
pribadinya dan dengan nilai-nilai organisasi. Berbagai penelitian yang telah diuraikan di atas sesuai dengan
asumsi peneliti, bahwa kontribusi faktor-faktor psikologis yang dijabarkan menjadi faktor personal, posisional, dan situasional tersebut yang
mempunyai kontribusi positif dan negatif pada komitmen organisasi. Namun, hasil yang disimpulkan dari sebuah penelitian tidak mutlak
mempunyai hasil yang sama, jika diuji dengan sampel yang berbeda dalam sebuah populasi tertentu.
Peneliti mengamati bahwa banyak penelitian yang menggunakan sampel secara umum, yakni lebih menekankan kepada karyawan pada
sebuah perusahaan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik mengambil sampel penelitian dengan sasaran utama
wanita karir berkeluarga. Hal tersebut diminati untuk melihat lebih spesifik kepada satu peran gender secara utuh.
Pada dasarnya faktor personal, faktor posisional, dan faktor situasional pada komitmen organisasi, masing-masing faktor mempunyai
kontribusi yang positif dan negatif. Namun, bagaimana hal itu akan benar- benar mempengaruhi secara nyata, adalah tergantung dari individu itu
sendiri. Bagaimana cara dia untuk menyikapi kehidupan organisasinya, yaitu bagaimana individu tersebut dapat memaknai eksistensinya dalam sebuah
organisasi sebagai hal yang penting bagi organisasinya sendiri, orang lain, maupun untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, untuk mengtahui hal tersebut
lebih lanjut. Maka, peneliti akan mencoba meneliti topik tersebut, agar mendapatkan hasil yang faktual.
2.7 Hipotesis Penelitian