BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia kerja di Indonesia saat ini berlangsung sangat pesat, baik dalam sektor formal maupun informal. Implikasinya, akan terbuka
lapangan kerja baru bagi tenaga kerja. Namun, lapangan kerja yang banyak terbuka, dapat dipastikan tidak akan mampu menampung banyaknya jumlah
tenaga kerja yang semakin besar. Data Badan Pusat Statistika menyebutkan bahwa pada tahun 2011,
jumlah tenaga kerja di indonesia mencapai 119,4 juta orang, yang naik sebesar 2,9 juta orang dibanding keadaan Agustus 2010, dan naik 3,4 juta
orang dibanding keadaan Februari 2010, dan diprediksi jumlah pengangguran saat ini mencapai mencapai 8,1 juta orang. Seiring dengan
peningkatannya jumlah tenaga kerja, setahun terakhir Februari 2010 - Februari 2011, hampir semua sektor mengalami kenaikan jumlah pekerja,
namun, angka pekerja yang dibutuhkan tidak seimbang dengan jumlah pelamar kerja yang ada. Akibatnya, akan terjadi persaingan yang ketat dan
dapat dipastikan hanya individu yang dapat bersaing secara kompetitif dan
professional yang dapat memenangkan persaingan tersebut.
Tenaga kerja yang kompetitif dan profesional dengan kriteria memiliki komitmen organisasi yang tinggi merupakan suatu kebutuhan yang
sangat penting bagi efektifitas kerja untuk mencapai keberhasilan organisasi. Menurut Greenberg dan Baron 2003 tenaga kerja yang memiliki komitmen
organisasi yang tinggi, yaitu tenaga kerja yang produktif sehingga pada akhirnya akan lebih menguntungkan bagi organisasi. Ketika komitmen
organisasi seseorang tinggi, maka efektifitas pelaksanaan tugas akan lebih
optimal.
Secara teoritis, komitmen organisasi dijabarkan oleh Baron 2003, yang mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap pekerja
terhadap organisasi tempat individu bekerja. Karyawan dengan komitmen organisasi yang tinggi akan menunjukkan sikap positif, yaitu memiliki
harapan dan motivasi yang tinggi dalam bekerja di sebuah organisasi. Komitmen ini memerlukan suatu pengorbanan dan pengabdian individu di
dalam organisasi, sehingga dapat diartikan sebagai kesetiaan untuk melakukan apa saja yang telah di putuskan oleh organisasi. Komitmen
organisasi juga merupakan hubungan antara individu dengan organisasi tempat individu bekerja, yang diartikan bahwa individu mempunyai
keyakinan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, adanya kerelaan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh demi kepentingan organisasi serta
mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi.
Dalam sebuah jurnal penelitian mengenai komitmen organisasi oleh Ali Nina dalam Seniati, 2002, mengungkapkan bahwa karyawan yang
memiliki keinginan untuk bekerja sampai pensiun, dan karyawan yang memiliki kesempatan untuk berkembang di dalam organisasi mempunyai
tingkat komitmen organisasi yang tinggi, yakni ditandai dengan tingkat turnover yang rendah dan keterlibatan kerja yang aktif dalam organisasinya.
Hal tersebut selaras dengan konsep yang dijabarkan oleh Steers dan Porter dalam Yuwono, dkk., 2005 yang mengemukakan bahwa komitmen
merupakan suatu keadaan individu dimana individu menjadi sangat terikat oleh tindakannya. Melalui tindakan ini akan menimbulkan keyakinan yang
menunjang aktivitas dan keterlibatannya. Sehingga seorang pekerja dengan komitmen yang tinggi pada umumnya mempunyai kebutuhan yang besar
untuk mengembangkan diri dan senang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di organisasi tempat mereka bekerja. Hasilnya
mereka jarang terlambat, tingkat absensi yang rendah, produktivitas yang tinggi, serta berusaha menampilkan kinerja yang terbaik. Di samping itu,
pekerja dengan komitmen yang tinggi juga dapat menurunkan turn over
dalam Greenberg dan Baron, 1995.
Secara teoritis, Allen dan Meyer dalam Yuwono, dkk., 2005 mengemukakan komponen model komitmen organisasi, yaitu 1 Komitmen
afektif affective commitment yang dimaknai bahwa keikatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan dalam suatu organisasi. Individu menetap
dalam organisasi karena keinginan sendiri; 2 Komitmen kesinambungan continuance commitment yang dimaknai bahwa komitmen individu
didasarkan pada pertimbangan tentang apa yang harus dikorbankan bila akan meninggalkan organisasi. Individu memutuskan untuk menetap pada suatu
organisasi karena menganggapnya sebagai suatu pemenuhan kebutuhan; 3
Komitmen normatif normative commitment yang dimaknai bahwa keyakinan individu tentang tanggung jawab terhadap organisasi. Individu
akan tetap tinggal pada suatu organisasi karena merasa wajib untuk loyal
kepada organisasi tersebut.
Setiap karyawan memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Perwujudan tingkah
laku pada karyawan yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif akan berbeda dengan karyawan dengan dasar continuance, dan begitu
pula untuk karyawan dengan dasar normatif. Karyawan yang ingin menetap betah dalam organisasi karena keinginannya sendiri affective memiliki
keinginan menggunakan usaha agar sesuai dengan tujuan organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar continuance
cenderung menghindari kerugian finansial sehingga usaha yang dilakukan untuk organisasi kurang maksimal, misalnya individu takut tidak
mendapatkan gaji sebagaimana yang saat ini didapat, dan takut tidak mendapatkan pekerjaan sebagaimana yang saat ini dijalankan. Sementara
itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh mana perasaan kewajiban yang dimiliki
karyawan. Komponen normatif menimbulkan perasaaan kewajiban pada karyawan untuk member balasan atas apa saja yang telah diterimanya dari
organisasi Kuncoro, dalam Yuwono, dkk., 2005.
Van Dyne dan Graham, dalam Coetzee, 2005 menjelaskan mengenai beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi,
yaitu faktor personal, faktor posisional, dan faktor situasional. Faktor personal berhubungan dengan elemen pribadi yang terdapat di dalam diri
individu. Faktor posisional berhubungan dengan kedudukan seseorang dalam lingkungan kerjanya, sedangkan faktor situasional berhubungan
dengan situasi atau keadaan di dalam organisasi.
Beberapa faktor personal yang mempengaruhi komitmen organisasi diantaranya yaitu faktor demografik usia, tingkat pendidikan, dan status
perkawinan, keterlibatan kerja dan konflik peran. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di sebuah perusahaan di Malaysia, Asri dan Hamrilah 2007
menyatakan bahwa faktor-faktor demografik dapat memberikan efek positif
dan efek negatif terhadap komitmen organisasi karyawan.
Sjabadhyni, dkk. 2001 menyatakan bahwa faktor demografik, seperti usia, tingkat pendidikan, dan status perkawinan memang memiliki
hubungan yang signifikan dengan komitmen organisasi. Selanjutnya, Sjabadhyni menguraikannya sebagai berikut: 1 usia, dalam penelitian
Mowday, Porter, dan Steers 1982 menunjukkan bahwa usia mempunyai hubungan secara positif dengan komitmen organisasi. March dan Simon
1958 mengemukakan bahwa kesempatan individu untuk mendapatkan pekerjaan lain menjadi lebih terbatas sejalan dengan meningkatnya usia
individu; 2 tingkat pendidikan, Mowday, Porter, dan Steers 1982 mengatakan bahwa tingkat pendidikan sering ditemukan berhubungan
negatif dengan komitmen organisasi, meskipun hasil penelitian tersebut tidak seluruhnya konsisten. Hal ini disebabkan oleh pendidikan sering
membentuk keterampilan yang kadang-kadang tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya dalam pekerjaan sehingga harapan individu sering tidak
terpenuhi dan menimbulkan kekecewaan terhadap organisasi. Dengan demikian, makin tinggi tingkat pendidikan individu makin banyak pula
harapannya yang mungkin tidak dapat dipenuhi atau tidak sesuai dengan organisasi tempat di mana ia bekerja; dan yang terakhir, 3 status
perkawinan, dalam sebuah penelitian oleh Vera Racmayati dalam Seniati, 2002 menyatakan bahwa status perkawinan mempunyai kontribusi negatif
terhadap komitmen organisasi. Hal tersebut, dapat saja terjadi, terutama pada individu yang telah berkeluarga dan berkaitan dengan manajemen
peran yang diperankan oleh pihak laki-laki maupun wanita.
Komitmen organisasi seorang laki-laki dan wanita mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Apalagi, persaingan gender di dalam
dunia kerja terlihat semakin nyata. Dahulu, dunia kerja hanya didominasi oleh kaum laki-laki, seperti yang dinyatakan oleh Beechey dalam
Imanoviani, 2011 bahwa hampir setiap jenis pekerjaan tampak laki-laki lebih mempunyai kekuasaan dibandingkan wanita. Namun, di zaman
teknologi dan informasi yang semakin canggih, siapapun memiliki kesempatan yang sama dalam hal mendapatkan pendidikan dan pekerjaan
yang layak. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik BPS, bahwa partisipasi wanita dalam lapangan kerja meningkat signifikan. Selama
Februari 2006-Februari 2007, jumlah pekerja wanita bertambah 2,12 juta orang, terbesar di sektor pertanian dan perdagangan, sedangkan jumlah
pekerja laki-laki hanya bertambah 287 ribu orang. Namun disayangkan jumlah tenaga kerja yang banyak tidak diimbangi dengan lahirnya
perusahaan baru y ang siap ”menampung” lulusan sarjana wanita. Mowday
dalam Sjabadhyni, 2001 menyatakan bahwa wanita dalam dunia kerja cenderung memiliki komitmen terhadap organisasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pria, karena wanita pada umumnya harus mengatasi lebih banyak rintangan dalam mencapai posisi mereka dalam organisasi
sehingga keanggotaan dalam organisasi menjadi lebih penting bagi mereka.
Faktor personal yang selanjutnya akan dijelaskan keterkaitannya dengan komitmen organisasi, yaitu keterlibatan kerja job involvement.
Dunnete dalam Gading, 1997 menerangkan bahwa keterlibatan kerja seseorang dalam pekerjaannya terlibat pada keseriusan dalam melakukan
pekerjaan, memiliki nilai-nilai yang penting yang selalu dipertahankan dalam hubungannya dengan pekerjaan, dan perasaan menikmati pekerjaan.
Gading 1997
yang menyimpulkan
beberapa pendapat
pakar, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan keterlibatan kerja adalah
tingkat dimana seseorang mengidentifikasikan diri secara psikologis terhadap pekerjaan, serta dapat dikatakan sebagai tingkat kesuksesan dalam
kerja yang mempengaruhi kerja dirinya, serta pentingnya kerja bagi kehidupan seseorang. Keterlibatan kerja ini ditandai oleh harapan yang besar
terhadap pekerjaan, rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan, kesiapan dalam menghadapi tugas, kebanggaan terhadap pekerjaan, ambisi, serta
keinginan untuk mobilitas ke atas.
Keterlibatan kerja penting bagi kualitas kehidupan kerja karyawan dan diperlukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Menurut
Diefendorff et al., dalam Yekty, 2006, karyawan yang melibatkan diri secara penuh dalam bekerja akan memperhatikan kepentingan organisasi
dalam mencapai tujuannya. Karyawan menjadi lebih peduli terhadap fungsi organisasi yang efektif, berusaha memelihara perilaku yang menguntungkan
organisasi dan mengerahkan seluruh kemampuan serta keahliannya dalam bekerja. Keterlibatan kerja membuat karyawan lebih berkomitmen dalam
bekerja, karena adanya pandangan bahwa usaha dan kinerja yang dilakukan
memiliki makna positif bagi kesejahteraan dirinya dan organisasi.
Keterlibatan kerja Job involvement seseorang berhubungan secara positif dengan komitmen organisasi Chughtai dan Zafar, dalam Srimulyani,
2009. Mowday et al. dalam Srimulyani, 2009 menerangkan seorang karyawan lebih dahulu dijadikan terbiasa dengan pekerjaannya dan
dilibatkan dalam pekerjaan tertentu, dan kemudian, ketika kebutuhan mereka terpenuhi, hal ini akan mengembangkan rasa komitmen untuk
organisasi.
Penjelasan mengenai faktor terakhir dari personal factor yang berhubungan dengan komitmen organisasi, yaitu konflik peran seorang
wanita. Saat ini, peran wanita telah bergeser dari peran tradisional menjadi modern. Dari hanya memiliki peran tradisional untuk melahirkan anak dan
mengurus rumah tangga, kini wanita mempunyai peran sosial dimana dapat berkarir dalam bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan didukung
pendidikan yang tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya konflik peran ganda sebagai pekerja dan ibu rumah tangga bagi wanita yang telah
berkeluarga.
Wanita sebagai partner kaum pria, tidak hanya di rumah tapi juga dalam bekerja dengan menyalurkan potensi dan bakat mereka. Bagi wanita
pekerja, bagaimanapun mereka juga merupakan ibu rumah tangga yang tetap terikat dengan lingkungan keluarga. Anoraga 2005 menjelaskan bahwa
dalam meniti karir, wanita lebih mempunyai beban dan hambatan yang lebih berat dibandingkan dengan pria. Kedua peran yang dipegang oleh seorang
wanita, kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak mampu
mengatasinya, sehingga menimbulkan konflik peran dalam kehidupannya.
Konflik peran menurut Frieze, Parsons, Johnson, Ruble Zellman
dalam Geraldine M. Menger, BA, 1988 merupakan keadaan dimana
individu menghadapi tututan atau harapan yang saling bertentangan dari dua peran atau lebih yang dilakukannya. Konflik peran pada wanita akan
menimbulkan dua keadaan situasi yang mempengaruhi proses
terbentuknya komitmen organisasi, yaitu situasi keluarga dan situasi pekerjaan. Keduanya situasi tersebut keluarga dan pekerjaan menuntut
tanggung jawab lebih dari individu yang bersangkutan. Hal tersebut lebih banyak dialami oleh seorang wanita.
Dalam teori Kopelman 1983 dan Burley 1989 dalam Herts, 2003 menyatakan tentang konflik peran pada wanita. Teori tersebut
dikembangkan dari teori Interrole Conflict, yaitu adanya konflik antara
pekerjaan dengan keluarga. hal tersebut dapat terjadi karena wanita lebih dihadapkan pada permintaan antara peran kerja dan peran keluarga secara
bersamaan yang memerlukan prioritas dalam menjalankan kedua peran tersebut. Kedua peran ini pekerjaaan dan keluarga jika dilakukan tidak
sejalan atau tidak seimbang maka akan timbul konflik peran atau yang disebut sebagai work-family conflict yang bisa mempengaruhi komitmen
organisasi individu dalam perusahaan ditempat individu bekerja. Situasi pekerjaan dan situasi keluarga merupakan hal yang mempengaruhi proses
komitmen. Dalam sebuah penelitian, Nurul Mahvira Harahap dan Cherly
Kumala 2010 membuktikan bahwa konflik peran work-family conflict pada wanita karir berkeluarga pada usia 20-45 tahun, berkorelasi negatif
dengan komitmen organisasi. Hal tersebut membuktikan bahwa seorang Wanita yang bekerja dan berkeluarga sulit untuk dapat mengatur
kehidupannya, yaitu bagaimana ia harus bertindak dalam mengatasi masalah keluarga dan pekerjaan. Misalnya, ketika seorang wanita dihadapkan
diwaktu yang bersamaan kepada pilihan untuk menjaga anaknya yang sakit di rumah atau menghadiri rapat penting dengan atasannya di kantor. Hal
tersebut dapat menjadi suatu indikasi atau pemicu terjadinya konflik peran ganda, bila wanita tersebut tidak dapat mengambil keputusan secara cerdas
dan tepat. Selanjutnya, mengenai faktor posisional. Van Dyen dan Graham
dalam Coetzee, 2005 menjabarkan bahwa terdapat dua faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu masa kerja. Sjabandhyni, dkk., 2001 menguraikan studi yang dilakukan oleh Angle dan Perry 1981,
Hrebeniak 1974, Morris dan Sherman 1981, dan Sheldon 1971, yang menunjukkan bahwa prediktor masa kerja dan komitmen organisasi
mempunyai hubungan yang postitif, karena semakin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk menerima tugas
yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi
yang lebih tinggi. Jika seseorang telah lama bekerja dalam suatu organisasi adanya
peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga, dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk meninggalkan
organisasi tersebut, serta dalam diri individu tersebut telah memiliki keterlibatan sosial yang dalam dengan organisasi dan individu-individu yang
ada, hubungan sosial yang lebih bermakna, sehingga membuat individu semakin berat meninggalkan organisasi. Semakin lama seseorang bekerja
dalam suatu organisasi juga berdampak pada kesempatan orang tersebut untuk mendapatkan Akses informasi pekerjaan baru, karena mungkin faktor
usia yang semakin lama semakin bertambah, Cohen, 1993. Sebuah penelitian dijelaskan bahwa hubungan antara masa kerja dan
komitmen organisasi mempunyai hubungan yang positif, pada penelitian tentang Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja
Dan Komitmen Organisasi oleh Darwito 2008 , terdapat data persepsi
mengenai hubungan masa kerja dan komitmen organisasi, menurut data tersebut pegawai dengan masa kerja di atas 2-10 tahun Advancement
Stage, memiliki komitmen organisasi yang tinggi, dan terdapat dampak positif pada komitmen organisasi itu sendiri. Seorang pegawai akan setia
melayani organisasinya, dan enggan untuk meninggalkan organisasinya, karena terdapat faktor-faktor tertentu yang menguatkannya, seperti pangkat
yang tinggi status jabatan, atau imbalan gaji yang sesuai dengan yang diharapkan, tak elak juga faktor dari hubungan sosial dengan rekan kerja dan
atasan yang baik dan nyaman. Faktor terakhir yang akan dibahas dalam latar belakang ini yaitu,
faktor situasional. Faktor situasional yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu Perceived Organizational Support POS yang disebut juga dengan
persepsi terhadap dukungan organisasi. Perceived Organizational Support dapat diartikan sebagai keyakinan pegawai tentang bagaimana organisasi
menghargai kontribusi pegawai dalam perusahaan dan bagaimana organisasi memperhatikan kesejahteraan pegawai Rhoades dan Eisenberger, 2002.
Eisenberger dkk, dalam Rhoades, Eisenberger, dan Armeli, 2001 menjelaskan bahwa dukungan organisasi akan diukur dari persepsi individu
mengenai kesiapan organisasi untuk member reward pada peningkatan usaha-usaha yang dilakukan individu dan seberapa besar organisasi menilai
kontribusi dan memperhatikan kesejahteraan karyawan, yang disebut sebagai Perceived Organizational Support POS.
Pack dan Soetjipto dalam Srimulyani, 2009 menyatakan bahwa persepsi dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif komitmen
organisasi. Hal ini berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan personal karyawan dan juga menghargai kontribusi karyawan
pada organisasi maka karyawan mau mengikatkan diri dan menjadi bagian dari organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini terdapat tiga faktor yang akan diteliti pengaruhnya terhadap komitmen organisasi wanita
karir berkeluarga, yaitu faktor personal yang meliputi: usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, keterlibatan kerja, dan konflik peran,
faktor posisional yaitu, masa kerja, dan faktor situasional yaitu, Perceived Organizational Support.
Peneliti berpendapat bahwa ketiga faktor tersebut secara bersama- sama memberi pengaruh terhadap komitmen organisasi wanita karir
berkeluarga, baik berpengaruh negatif ataupun positif. Karena, seperti yang telah kita ketahui bahwa arti bekerja yang semula berorientasi pada kodrat
wanita sebagai pemelihara rumah tangga kearah arti bekerja yang berorientasi pada fungsi mereka sebagai makhluk yang bekerja homo
laboran menjadi sangat unik untuk diteliti lebih lanjut. Setiawan, dalam Jurnal Sikap Karir Pustakawan Wanita, Erlina Inderasari, 2007. Oleh
karena itu, peneliti tertarik mengambil judul penelitian, yaitu: Analisis faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi komitmen organisasi pada
wanita karir berkeluarga.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah