Jelas sekali Asal usulnya bahwa Wahid Hasyim masih keturunan para ulama-ulama besar dan priyai. Menjadikannya orang yang besar dan berpengaruh
pula. Mengambil kata mutiara yaitu Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang
religius. Ibunya, Nafiqah, adalah anak Kyai Ilyas seorang Kyai yang terkenal dari pesantren Sewulan madiun, sedang dari garis keturunan ayah, dia merupakan
keturunan dari ulama yang sangat dihormati. Ayah, kakek dan buyutnya adalah ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar ilmu
agama dan yang mengilhami berdirinya pesantren di pulau Jawa. Ayah Wahid Hasyim sendiri adalah pendiri pesantren Tebuireng Jombang, K.H. M. Hasyim
Asyari. Kakeknya K.H. Hasyim Asyari adalah pendiri pesantren Keras di Jombang. Sedang kakek buyutnya K.H. Usman selain dikenal sebagai pendiri
pesantren Gedang, juga dikenal sebagai ulama yang mengenalkan ajaran Thariqat Naqsabandiyah di Jombang. Bahkan pesantrennya sebagaimana disinyalir oleh
Gus Dur sebagai pusat gerakan sufi di Jawa Timur. Sejak kecil ia terkenal sebagai anak yang pendiam, peramah, dan pandai
mengambil hati orang. Dikenal banyak orang sebagai orang yang gemar menolong kawan, suka bergaul dengan tidak memandang bangsan, atau memilih
agama pangkat dan uang; terlalu percaya pada kawan, suka berkorban, akan tetapi mudah tersinggung perasaannya dan mudah marah, akan tetapi dapat mengatasi
kemarahannya.
6
Dengan sifat yang mudah bergaul dan suka menolong ini lah yang menjadikan Wahid Hasyim sebagai orang yang dihormati oleh kawan
maupun lawan politiknya.
2. Pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim
Pendidikan dan bimbingan agama beliau dapatkan langsung dari ayahnya dalam lingkungan keluarga yang sangat religius yaitu pesantren Tebuireng.
Sebagaimana umumnya anak-anak yang lain, pada umur 5 tahun beliau belajar membaca al-
Qur’an pada ayahnya selepas shalat Maghrib dan Dzuhur, di samping
6
Ruchman Basori, The Founding Father, Pesantren Modern Indonesia: Jejak Langkah K.H. A. Wahid Hasyim, Jakarta: Inceis, 2006, Cet I, hal. 62
bersekolah di Madrasah Salafiyahdi Tebuireng dan khatam al- Qur’an pada usia 7
tahun. Memang sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak kecil seusia 7-13 tahun belajar al-
Qur’an sebagai pendidikan agama tingkat dasar.
7
ketika usianya 7 tahun ia mulai belajar kitab Fathul-Qarib, Minhajul Qawim, Mutamimmah pada ayahnya juga. Merupakan umur yang relatif muda
untuk anak pada zamannya dan kitab-kitab tersebut sebenarnya baru diajarkan bagi santri yang cukup senior. Pada umur 12 tahun wahid hasyim telah tamat dari
Madrasah Salafiyah Tebuireng, dan mulai mengajar adiknya A. Karim Hasyim kitab
„Izi pada malam hari. Pada masa itu wahid hasyim sangat giat mempelajari ilmu-ilmu kesusastraan bahasa Arab dan sastranya, akan tetapi cara belajarnya
sebagian besar dengan kekuatan muthala’ah dan membaca sendiri. Kitab-kitab yang sering ditela’ahnya antara lain “Diwanusy-Syu’ara” dan oleh karenanya
tiada sedikit hafalan syair-syair dalam bahasa Arab. Syair-syair tersebut dihimpun dan disusun dalam sebuah buku tebal.
8
Perkembangan pengetahuan yang diperoleh oleh Wahid Hasyim selalu menjadi perhatian ayahnya. Ketika Wahid Hasyim dipandang sudah cukup dalam
menguasai ilmu-ilmu agama, ayahnya mengirim dia untuk lebih mendalami ilmu agama di berbagai pesantren. Pada usia 13 tahun, beliau mulai pengembaraannya
dari satu pesantren kepesantren lainnya. Pesantren pertama yang dikunjungi adalah Pesantren Siwalan Panji,
Sidoarjo, pesantren dimana ayahnya juga pernah belajar. Dibawah bimbingan ayahnya dan Kyai Chozin Panji, Wahid Hasyim belajar kitab-kitab Bidayah,
Sullamut Taufiq kitab tentang Tauhid dan Tasawuf, Taqrib Tentang Hukum Islam dan Tafsir Jalalain tentang Tafsir al-
Qur’an. Wahid Hasyim tinggal disana selama 25 hari selama bulan Ramadhan
9
. Kemudian kembali ke Tebuireng. Tahun berikutnya beliau mulai pengembarannya ke berbagai pesantren di Jawa,
7
Ibid., hal. 63
8
Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan alm. K.H. A. Wahid Hasyim, 1957, hal. 145-146.
9
Pada bulan Ramadhan, di pesantren- pesantren ada kebiasaan pengajian “Kilatan” atau
“Tabarrukan” jumlah kitab yang dibaca diperbanyak, begitu juga waktunya, dengan target kitab khatam dibaca selama satu bulan Ramadhan.
termasuk Pesantren Lirboyo, Kediri, sebelum akhirnya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar otodidak di pesantrennya sendiri.
Dengan demikian, pendidikan Wahid Hasyim diperoleh dari ayahnya secara informal dan secara formal dari beberapa kyai di berbagai pesantren yang
dikunjunginya. Program pembelajaran yang diikuti, termasuk program Ramadhan yang sering dikenal dengan nama pesantren kilat dengan sistem halaqoh,
biasanya bebentuk membaca kitab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa atau Melayu. Program dianggap selesai apabila seluruh kitab sudah dibaca. Untuk
mendalaminya, santri diharapkan mengulang kembali mereview apa yang telah dipelajarinya secara sendiri.
10
Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu seolah-olah yang diperlukan Wahid Hasyim adalah keberkatan dari sang Guru,
bukan ilmunya itu sendiri. Soal ilmu, demikian mungkin beliau berfikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara bagaimana saja. Tapi soal memperoleh
berkat kyai harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan menetap si pesantren. Inilah yang agaknya menjadi pertimbangan utama dari Wahid Hasyim ketika itu.
Kebiasaan mengembara ke pesantren satu dan pesantren lainnya dapat dipahami sebgai aplikasi metode pengajaran modern yaitu studi comperatif, yaitu
dengan cara melihat dari dekat, membandingkan sistem pengajaran, karakter pesantren satu dan pesantren lain. Agar nantinya dapat diambil pelajaran yang
lebih berharga untuk kehidupan kita. Ternyata hal ini menjadi sangat positif bagi pembentukan dan mengembangan pendidikan pesantren di kelak kemudian hari.
11
Meskipun Wahid Hasyim telah menguasai bahasa Arab dan kitab-kitab, tetapi Wahid Hasyim belum bisa membaca tulisan yang ditulis dengan huruf latin.
Beliau baru belajar huruf latin pada usia 15 tahun. Dalam waktu yang cukup singkat, dia sudah bisa menguasainya. Meskipun tidak diketahui bagaimana dia
dapat menguasainya begitu cepat, akan tetapi semenjak Moh. Ilyas, sepupu Wahid Hasyim, lulus dari HIS dan datang ke Tebuireng untuk memdalami ilmu Agama
pada tahun 1925, dapat diasumsikan bahwa Wahid Hasyim belajar huruf latin dari
10
Achmad Zaini, op. cit., hal. 13
11
Ruchman Basori, op. cit., hal. 64
sepupunya tersebut. Semenjak itu Wahid Hasyim menjadi seorang kutu buku. Berbagai buku, majalah dan jurnal dibacanya, baik itu ditulis dalam bahasa
Indonesia, Jawa maupun Arab. Dia juga berlangganan beberapa jurnal dan majalah dalam negeri dan luar negeri, seperti Penyebar Semangat, Daulat Rakyat,
Pandji Pustaka, Umm al- Qura’, Shaut al-Hijaz, al-Latha’if al-Musawarah,
Kullusha’in wa al-Dunya dan De Locomotif. Kemampuan membaca huruf latin mengantarkan Wahid Hasyim mengenal
ilmu pengetahuan “sekuler” dan berbagai bahasa asing, seperti bahasa Belanda dan Inggris. Disamping dia mempelajari ilmu dan bahasa tersebut secara otodidak
dari Sumber Pengetahuan, majalah tiga bulanan, Wahid Hasyim belajar juga kepada Imam Sukarlan
12
, Moh. Ilyas
13
, dan beberapa santri ayahnya yang mempunyai kemampuan dalam bidang tersebut. Hal ini dimungkinkan karena
santri yang belajar dari Tebuireng datang dari berbagai lapisan dan daerah, yang mana sebagian mereka pernah belajar di sekolah-sekolah Belanda.
Wahid Hasyim juga tercatat sebagai anggota perpustakaan di Surabaya. Tidak seperti anggota lainnya yang membaca berdasar sesuatu yang menjadi
keinginan interes mereka, Wahid Hasyim membaca semua buku yang tersedia di perpustakaan, bahkan dilaporkan bahwa dia meminjam berdasarkan nomor buku
secara berurutan. Sayangnya, informasi berkaitan dengan hal ini sangat sedikit. Bisa jadi bener bahwa dia membaca seluruh buku yang ada dikarenakan jumlah
buku yang tersedia masih sangat terbatas, atau dia mereview buku tersebut untuk melihat isi buku, kemudian dia membaca secara selektif sesuai dengan minatnya.
Singkatnya, melalui otodidak, pengetahuan yang didapat sangat luas mulai tafsir, hadis, fiqih, sampai pegetahuan tentang sejarah, politik, dan filsafat.
14
Kegemaran membacanya kian meningkat, sampai-sampai Wahid Hasyim harus menggunakan
kaca mata.
15
Ini semua bekal ilmu pengetahuan yang luas ini menjadikan modal
12
Imam Sukarlan adalah Guru pada Taman Siswa yang belajar ilmu keislaman sekaligus mengajar bahasa Belanda di Tebuireng.
13
Moh. Ilyas adalah saudara sepupu Wahid Hasyim. Dia adalah alumni sekolah Belanda, Holland Inlandsche Scholen HIS di Surabaya. Di Tebuireng, Ilyas selain belajar ilmu keislaman
juga mengajar bahasa Belanda dan Sains.
14
Achmad Zaini, op.cit., hal. 14
15
Lihat Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 146