Kurikulum Pedidikan Islam Konsep Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim

Penyebar Semangat. Ketujuh urutan pertama jurnal tersebut diterbitkan oleh berbagai organisasi Islam di tahun 1930-an, baik modernis maupun traisionalis. Keempat jurnal yang terakhir diterbitkan oleh kelompok “Nasionalis”. Dari kesebelas jurnal tersebut, hanya Berita Nahdlatul Ulama saja, yang secara konsisten mewakili pandangan kaum tradisionalis. Kesediaan Wahid Hasyim untuk berlangganan majalah dan surat kabar milik kaum Is lam modern dan kelompok “Nasionalis” merupakan gambaran pribadinya yang progresif. 56 Dalam pembaharuan ini Wahid Hasyim tidak lepas dari kritik. Segala kritik, segala serangan mengenai usahanya dari segala golongan, tidak diindahkan oleh Wahid Hasyim, semuanya itu disambut dengan tenang dan beliauberjalan dengan keyakinannya sebagai idealis. 57 Yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan terobosan baru dikalangan pesantren. Padahal pada saat itu mata pelajaran non-agama masih dianggap tabu karena dianggap identik dengan Barat. Saat itu usia beliau baru 21 tahun. Hal ini Wahid Hasyim mengatakan bahwa: “Kalau dulu orang mengartikan pendidikan Barat itu pada umumnya sebagai suatu cara pendidikan yang didasarkan atas pengetahuan Barat, adat-istiadat Barat, bahasa Barat secara yang lahir, maka di sini yang dimaksud dengan Barat adalah lebih dari itu. Pendidikan yang didasarkan pada filsafat Barat yang pokok yaitu kebendaan materialisme walaupun wadahnya sudah dinasionalkan dengan adat-istiadat nasional dan bahasa nasional ”. 58 Tulisan Wahid Hasyim di atas itu mengenai ketidak setujuan beliau terhadap pandangan masyarakat pesantren pada saat itu, yang menganggap pendidikan umum atau non-agama itu dikategorikan dalam keilmuan yang negatif. Karena pada waktu itu Barat Belanda adalah musuh besar untuk masyarakat Indonesia. Menurut beliau yang dimaksud dengan Barat Itu 56 Shofiyullah Mz ed, op. cit., hal. 177. 57 Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 153. 58 K.H. A. Wahid Hasyim, Pendidikan Ketuhanan. Dalam Aboe Bakar Ajteh, op. cit., hal. 803. lebih dari apa yang masyarakat pikirkan, salah satunya materialisme dan 3 G; Gold, Glory, Gospel. Senada dengan di atas Wahid Hasyim dalam tulisannya mengatakan bahwa: “Sesungguhnya dalam lapangan pengetahuan, tiada perlu ada perselisihan dan perpecahan; juga dalam pandangan Islam demikian pula halnya. Dan Islam pada hakikatnya tidak mengenal diskriminasi atau sikap membeda-bedakan di dalam segala hal; juga dalam lapangan pengetahuan”. 59 Menurut beliau, agama saja tidak membeda-bedakan di dalam segala hal apalagi dalam segi ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu non-agama. Jadi pemikiran Wahid Hasyim dalam kurikulum pendidikan Islam adalah perlunya memasukkan ilmu pendidikan umum kedalam kurikulum pesantren. Seperti dengan adanya Madrasah Nizhamiyah yang mana kurikulum ilmu umum 70 dan ilmu agama 30.

c. Metode Pembelajaran

Bukti-bukti historis yang tersedia, sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa Kitab Kuning menjadi text books, references, dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang, baru dimulai terjadi pada abad ke-18 M. Bahkan, cukup realistik juga memperkirakan bahwa pengajaran Kitab Kuning secaara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 M ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari program belajarnya di Mekkah. 60 Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah: a. Wetonan, yakni suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang 59 K.H. A. Wahid Hasyim, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. Dalam Aboe Bakar Ajteh, op. cit., hal. 813. 60 Marzuki Wahid, dkk, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal. 224. menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut bandongan, sedangkan di Sumatera di sebut dengan halaqoh. b. Metode Sorogan, yakni suatu metode di mana santri menghadap kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab kuning yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri, kendatipun demikian metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung. c. Metode Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. 61 Sepulang dari Mekkah, Wahid Hasyim mengusulkan kepada ayahnya K.H. Hasyim Asy’ari untuk merubah metode pembelajaran di pesantren. Perubahan metode pembelajaran yang mulanya menggunakan metode sorogan atau bandongan diganti dengan sistem tutorial dengan bentuk kelas-kelas berjenjang yang lebih sistematis. 62 Metode tutorial merupakan cara menyampaikan bahan pelajaran yang telah dikembangkan dalam bentuk modul untuk dipelajari siswa secara mandiri. Siswa dapat mengkonsultasikan tentang masalah-masalah dan kemajuan yang ditemuinya secara periodik berjangka. 63 Wahid Hasyim mengharapkan dengan adanya perubahan itu agar terjadinya proses belajar-mengajar yang aktif-dialogis, yang mana bukan semata-mata guru sebagai satu-satunya sumber ilmu dan pendapat guru tidaklah suatu kebenaran mutlak, sehingga bisa disanggah dan dimusyawarahkan bersama oleh peserta didik. Jadi pemikiran beliau dalam metode pembelajaran itu pergantian metode wetonan dan sorogan dengan sistem tutorial yang sistematis dan 61 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, Cet ke-1, hal. 287. 62 Seri Buku Tempo, op. cit., hal. 65. 63 Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Jakarta: Gaung Persada Press, 2004, cet ke-2, hal. 77. perjenjangan dalam kelas, serta mengindahkan proses belajar mengajar yang aktif-dialogis dan guru ditempatkan bukan satu-satunya sumber ilmu.

B. Pembahasan

Menurut Rupert C. Lodge, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar mengatakan Life is education and education is life. 64 Pendidikan tidak akan punya arti bila manusia tidak ada di dalamnya. Hal ini disebabkan, karena manusia merupakan subjek dan obyek pendidikan. Artinya, manusia tidak akan bisa berkembang dan mengembangkan kebudayaannya secara sempurna bila tidak ada pendidikan. Untuk itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa eksistensi pendidikan merupakan salah satu syarat yang mendasar bagi meneruskan dan mengekalkan kebudayaan manusia. Di sini, fungsi pendidikan berupaya menyesuaikan mengharmonisasikan kebudayaan lama dengan kebudayaan baru secara proporsional dan dinamis. 65 Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam mengembangkan peradapan. Seperti halnya dengan perkembangan peradaban Islam dan dalam mencapai kejayaan umat Islam. Pendidikan Islam tidak akan sempurna meresap dalam sanubari jika tidak disertakan didikan yang baik pada seluruh generasi. Oleh sebab itu di dalam al-Quran telah ditetapkan proses awal pendidikan dan menentukan beberapa tokoh pendidikan Islam yang harus diikuti sebagai dasar dalam membentuk dan membina kepribadian ummah. Pendidikan Islam secara umum adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup life- skill. Akan tetapi, walaupun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. Al- Qur’an dan Sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber 64 Samsul Nizar, op. cit., hal. v. 65 Ibid. otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan merumuskan panduanpetunjuk kehidupan dunia. 66 Modernisme muncul karena beberapa faktor, antara lain kontak dengan Barat, kesadaran reinterpretasi ajaran agama, kejumudan 67 dan taqlid. 68 Yang dimaksud dengan dasar-dasar modernisme dalam Islam di sini adalah dasar-dasar pemikiran ulama dan cendikiawan muslim guna mengembangkan analisa mereka dalam memperjuangkan ajaran Islam yang universal. 69 Kenyataannya pendidikan Islam Indonesia pada zaman Belanda mengalami nasib yang tragis, di mana pendidikan Islam pada saat itu dianak tirikan, bahkan penduduk asli bumi putera diperlakukan sebagai penduduk kelas nomer tiga, karena kelas nomer tiga itu kelas paling rendah di negeri ini. Di mana orang Belanda sebagai kelas nomor satu, orang asing termasuk Cina sebagai kelas dua, sedangkan orang Indonesia sebagai kelas tiga. 70 Dari latarbelakang itulah para cendikiawan muslim mencoba memperbaru pendidikan Islam, yang mana agar Indonesia dipandang dan pendidikan Islam di Indonesia mengikuti perkembangan zaman tanpa melupakan tradisi lama. Salah satu tokoh pembaharu pendidikan Islam adalah K.H. Abdul Wahid Hasyim merombak sistem pesantren Tebuireng, metode pembelajaran dan tujuan pendidikannya. Maka Wahid Hasyim mencoba untuk mengoreksi harapan expectation santri belajar di pesantren. Beliau mengusulkan agar kebanyakan santri yang datang ke pesantren tidak berharap menjadi ulama. Mereka dapat memperoleh ilmu agama dan buku-buku yang ditulis dengan huruf latin, dan menghabiskan waktunya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dibarengi kemampuan 66 Qurroti A’yun’s Blog, Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Link http:aaxu.wordpress.com-pembaharuan-pendidikan-Islam . Diakses pada tanggal 28 Maret 2013. 67 Jumud adalah mandek atau statis dan baku. Lihat M. Dahlan Y. Al-Barry, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, Surabaya: Target Press, 2003, hal. 346. 68 Taqlid adalah mengikuti sesuatu tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Lihat Ibid., hal. 757. 69 T.H. Thalhas, Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan K.H. M. Hasyim Asy’ari, Jakarta: Galura Pase, hal. 10. 70 Mansur dkk, op. cit., hal. 55