dirinya ditunjuk sebagai penasehat MIAI, tetapi pendelegasian dan pelimpahan tugas-tugas atas kepemimpinan organisasi tersebut dilimpahkan kepada anaknya,
yaitu Wahid Hasyim. Wahid Hasyim masuk ke dalam MIAI dan berkiprah di sana ketikan MIAI
mengadakan kogres pada 1939. Dalam kongres tersebut, beliau terpilih sebagai ketua MIAI mewakili dari NU. Organisasi yang bergabung dalam MIAI pada
1941 antara lain: PSII, PBII, Muhammadiyah, Persatuan Ulama Indonesia, Persis, Nahdlatul Ulama, Ijtihadul Islamiyah, Al-Islam, Al-Irsyad, PAI, Musyawaratun
Thalibin, dan Jamiatul Washilah. Kiprahnya Wahid Hasyim adalah menjaga persaudaraan antar-umat Islam
bisa dilakukan dengan konsekuen. Hal ini dilakukan dengan mengedepankan kesamaan ketimbang perbedaan di antara golongan, aliran, dan perbedaan mazhab
Islam di Indonesia. Perjalanan Wahid Hasyim dalam organisasi ini relatif tidak banyak. Pada
1941 beliau mengundurkan diri dari MIAI dan mengundurkan diri pula di PBNU ketua bidang Ma’arif NU, dengan alasan dipanggil ayahnya untuk megasuh
Pesantren Tebuireng karena ayahnya sudah lanjut usia.
25
Dengan demikian beliau hanya menjadi anggota biasa di MIAI. Tidak lama MIAI dibekukan oleh Jepang,
kemudian menjadi Masyumi.
d. K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Masyumi
Pada tahun 1943 didirikan Masyumi di Jakarta pada masa pendudukan tentara Jepang di bawah pimpinan K.H. Mas Mansur sebagai ketua dan Wahid
Hasyim sebagai wakil ketua. Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka timbullah fikiran dari
pemuka-pemuka Islam, di antaranya M. Nasir dan Wahid Hasyim hendak mengadakan Mu’tamar Islam dari segala golongan seluruh Indonesia. Akhirnya
diadakanlah: Kongres Umat Islam di Yogyakarta Nopember 1945. Pada waktu itu lahirlah satu partai politik baru dengan nama Masyumi.
25
Muhammad Rifai, op. cit., hal. 65-66.
Waktu itu di diambillah ikrar bersama, yaitu hanya mengakui Masyumi sebagai satu-satunya partai politik dijadikan anggota istimewa dalam Masyumi.
Partai-partai politik yang telah berdiri sebelum proklamasi ditiadakan dan dilebur menjadi Masyumi.
26
Wahid hasyim menyadari bahwasanya organisasi Masyumi adalah alat penjinak Jepang terhadap gerakan politik Islam. Maka dari itu, sejak masuk ke
Masyumi Wahid Hasyim mencari para pemuda untuk menyelamatkan organisasi ini dan masyarakat agar tidak sekedar menjadi alat propaganda Jepang semata.
Wahid Hasyim mengajak M. Natsir, Harsono Cokroaminoto, Prawoto Mangkusasmito dan Zainul Arifin. Perekrutan ini bertujuan untuk meminimalisir
pengerahan pemerintah Jepang untuk Romusa secara masal. Dan berusaha mengadakan persiapan-persiapan penting dan diam-diam, persiapan-persiapan
yang ditujukan untuk memperkuat perlawanan rakyat, baik rohani berupa penyiaran ajaran Islam yang sebenarnya, dan jasmani dalam mengisi Tentara
Pembela Air PETA atau persiapan tentara Islam Hizbullah. Kebingungan tentara Jepang berhubung dengan hasil-hasil penyerangan tentara sekutu.
Dipergunakan sebaik-baiknya untuk menguntungkan pertahanan bangsa, tanah air dan Agama.
27
Kemudian, Wahid Hasyim menguatkan bidang media pada organisasi ini. Beliau bersama kawan-kawan yang progresif mendirikan majalah Suara Muslimin
Indonesia, tempat ia menjadi pimpinannya. Media ini kebanyakan berisi himbauan kepada pemuda untuk mengobarkan semangat jihad dan peperangan
melawan jepang. Didalam menulis beliau sering menggunakan nama samaran atau tak bernama. Penyamaran ini dipakai utuk menyinggung “politik manis” Jepang.
Di dalam media ini juga terdapat karangan semangat jihad dari berbagai penulis, seperti K.H. A. Mokti, R.H. Adnan, Asa Bafagih, H.M. dahlan, A. Bahri,
Abdullah Aidit, maupun Hatta. Di samping itu beliau juga memelopori berdirinya Badan Propaganda
Islam BPI yang anggotanya didik agar trampil dan mahir berpidato di hadapan
26
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996, hal. 368
27
Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 332.
umum. Para ahli pidato atau da’i ini di gunakan sebagai penyambung gagasan- gagasan Masyumi dan Wahid Hasyim untuk memperkuat rasa persatuan dan
persaudaraan umat Islam Indonesia. Di Jakarta diadakan latihan ulama yang didalamnya beliau memberikan pelajaran kedisiplinan dan ceramah-ceramah
mengenai pengetahuan umum dan perjuangan. Latihan ini setiap bulannya mengeluarkan 60 kiai yang tersebar di seluruh Jawa.
Pada zaman inilah bisa dikatakan sebagai masa emas politik Islam ketika masing-masing golongan bekerja sama dan mengetahui posisinya masing-masing.
Muhammadiyah giat mengadakan latihan untuk menolong fakir miskin sedangkan NU giat latihan untuk mempersiapkan kiai-kiainya. Menjelang kemerdekaan
1944 Wahid hasyim pindah di Jakarta karena banyak tenaga dan pekerjaan yang harus dicurahkannya di ibukota. Bisa dikatakan pada tahun inilah fase politisnya
dimulai. Apalagi pada tahun 1945 beliau menjadi ketua Masyumi. Organisasi ini bisa dikatakan adalah partai politik Islam terbesar di Indonesia saat itu.
Fase ini sebelumnya dimulai ketika Wahid Hasyim yang berada dalam BPUPKI mempersiapkan proklamasi kemerdekaan dengan tujuan menyusun
Pancasila, UUD 1945. Di dalam tugas tersebut, Wahid Hasyim mewakili NU juga mewakili MIAI. Kemudian hal itu dilanjutkan ketika beliau menjadi wakil
Masyumi masuk kedalam stuktur pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk, yaitu dalam kabinet Soekarno sebagai dan dalam kabinet Parlementer sebagai
Menteri Agama mewakili Masyumi. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia dan berdiri R.I.S. maka dalam
kabinet Hatta 1950 Wahid Hasyim dipilih menjadi Menteri Agama. Jabatan itu terus menerus dipegangnya sampai tiga kali kabinet yaitu dalam kabinet Natsir
dan Kabinet Sukiman. Kiprah Wahid Hasyim dalam Masyumi juga bisa dilihat dari susunan
kepengurusan Masyumi dari periode ke periode. Misalnya pada periode 1945 dalam pengurusan Pimpinan Pusat Masyumi Wahid Hasyim menjabat Ketua
Muda II bagian Majlis Syuro dan ketua umumnya adalah ayahnya. Kemudian, pada tahun 1949 perubahan kepengrusan Pimpinan Pusat Mayumi, yaitu
menghilangkan kepengurusan Majlis Syuro. Wahid Hasyim menjadi salah satu