disuatu wilayah Indonesia, melakukkan perkawinan dan mengikuti gaya hidup lokal. Kedua proses ini sering terjadi secara bersamaan.
46
Ketika berdiri kerajaan perlak yang menurut seminar Medan pada tahun 1963, dan seminar di Aceh pada tahun 1978, sekitar abad-abad pertama Hijriyah,
lembaga-pendidikan seperti meunasah, rangkang, dayah dan bentuk pendidikan atau pengajian di surau dan masjid. Jadi pengertian pendidikan pada masa
permulaan masuknya Islam di Nusantara ialah pengajian disurau-surau dan masjid.
Ketika berdiri kerajaan Islam lain sesudah kerajaan Perlak seperti kerajaan Islam Samudra Pasai 1025 M, Kerajaan Aceh 1025 M, dan kerajaan Islam
Tamiah 1184 M dapat dipastikan bahwa kegiatan-kegiatan pendidikan Islam di wilayah-wilayah kerajaan tersebut tentu samik berkembang luas dan dapat
diperkirakan pihak
kerajaan memberikan
bantuan untuk
pembiayaan penyelenggaraan pendidikan Islam di wilayahnya.
47
Menegaskan uraian diatas bahwa pada abad-abad pertama Hijriyah atau sekitar abad 8 atau 9 Masehi, pendidikan Islam telah berdiri dan berkembang di
Aceh lewat surau-surau dan masjid.
2. Masa Penjajahan Belanda
Ketika bangsa Belanda pertama kali menginjakan kakinya di Nusantara yang dimulai dengan melakukan monopoli kegiatan perniagaan di bawah sebuah
badan bernama VOC Verenigde Oost Indische Compagnie, tahun 1602-1799 lalu diikuti masa penjajahan pemerintah colonial mulai tahun 1799, tidak dapat
disangkal, bahwa misi keagamaan golongan Kristen telah jalan bareng, baik dilakukkan oleh pejabat VOC atau pejabat pemerintah colonial, oleh Zending
Kristen Protestan dan misionaris Katolik. Dalam penyiapan tenaga trampil untuk mendukung operasional kegiatan
VOC, baik yang bergerak dilapangan maupun tenaga administrasi, VOC
46
SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006, Cet. I. hal. 33
47
Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Ngali Aksara Penamadani, 2010, hal. 30-31
membuka lembaga pendidikan dibeberapa tempat di kawasan Indonesia Barat dan Timur.
Yang dipilih untuk diterima di lembaga pendidikan tersebut adalah dari golongan Kristen, dan untuk kaum Muslimin tertutup, terkecuali dalam kasus-
kasus tertentu. Sebagai organisasi perdagangan yang semata-mata terfokus pada usaha meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, bersikap formal mereka adalah
“netral agama”. Tetapi dalam kenyataannya, VOC menjalankan “politik agama”. Penduduk pribumi yang beragama Islam akan dikristenkan. Dibalik konsep
mengkristekan penduduk pribumi umat Islam terkandung sejumlah tujuan yang ingin dicapai secara berjenjang. Kalau penduduk pribumi berhasil dikristenkan,
maka hambatan psikologis antara orang Belanda dan penduduk pribumi, dengan sendirinya akan hilang, dan kemungkinan timbulnya konflik dan perlawanan
pribumi terhadap bangsa Belanda dengan motif keagamaan akan sirna pula. Orang Belanda dan penduduk pribumi sudah seiman; sama-sama penganut agama
Kristen. Tetapi sejarah mencatat kenyataan lain; dalam masa VOC yang berlangsung selama hampir dua abad 1602-1799 ia gagal mengkristenkan umat
Islam Indonesia. Ketika mulai memikirkan, merencanakan dan mencari model pendidikan
bagi penduduk pribumi, diantara pejabat dan pemerintah colonial terjadi perbedaan pandangan. Sebagian beranggapan, bahwa sekolah agama yang telah
memasyarakat layak dipertanggungjawabkan sebagai wadah pendidikan bagi pribumi. sekolah agama yang telah tersebar luas dan telah memiliki sarana
pendidikan, walaupun masih sangat sederhana dan umumnya dibiayai masyarakat sendiri akan menguntungkan karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya
besar dan mulai dari nol. Tetapi sebagian pejabat kolonial menolak keras untuk menjadikan
sekolah-sekolah agama-madrasah-menjadikan model pendidikan penduduk pribumi.
Sistem pendidikan pesantren atau diniyah dan madrasah dinilai terlalu buruk. Didalamnya hanya diajarkan agama, bahasa Arab, dan al-Qur
’an. Di pesantren dan madrasah tidak diperkenalkan huruf Latin. Guru-gurunya pun tidak